Part 6. POV Sersan Kusuma
Anindyaswari. Pertama kali bertemu, ketika aku diminta menggantikan Anggara, teman satu leting melatih paskibra di tempat ia mengajar. Dia sendiri saat itu sedang memberikan bimbingan untuk siswa yang akan mengikuti olimpiade Sains mata pelajaran IPA. Dia memukau dengan segala kesederhaannya saat melintas di depanku. Tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan.
Senyumnya, entah bagaimana cara menggambarkannya. Menyejukkan sekaligus menggemaskan. Pipinya putih, terlihat halus dan kenyal bak squishy. Ingin sekali kuremas-remas gemas hingga putihnya akan memerah. Memandang wajahnya bagaikan candu. Ingin lagi, lagi, dan lagi.
Aku, Kusuma. Seorang prajurit berpangkat sersan kepala di salah satu batalyon infanteri Pontianak. Telah terpikat pada seorang Anindyaswari sejak pandangan pertama.
Setahun ini, aku sangat merindukan sesosok hawa untuk menemani. Bermanja ketika malam. Berkeluh kesah di saat siang. Satu tahun memang belum lama, tetapi sebagai laki-laki aku tidak munafik bahwa menahan hasrat rindu ini teramat berat. Ditambah kerasnya suasana kerja membuat rindu semakin menggebu. Rindu pada kelembutan seorang wanita. Yang menyejukkan mata dan hati. Setia menemani dalam berbagai kondisi.
Pada Anindyaswari, sepertinya kerinduan ini telah tertambat.
Kucari cara agar dapat terus melihatnya. Beberapa kali ikut Anggara ke sekolah meskipun tidak untuk turut melatih. Tentu saja sekedar ingin melihatnya.
“Bosan saja, tidak ada kegiatan,” ucapku memberi alasan.
Hingga akhirnya, aku mendapatkan informasi bahwa gadis itu juga memberikan les privat. Maka ku atur agar dia mau membimbing Nadin. Tentu saja tanpa menunjukkan aku sedang mencari. Biar dia yang datang. Kusebar informasi melalui Anggara, kujanjikan honor yang lebih besar.
Tidak hanya dia yang datang menawarkan minat. Sebelumnya, banyak sekali mahasiswa semester akhir yang menyatakan bersedia menjadi guru les Nadin. Berbagai alasan dan perjanjian yang memberatkan kuutarakan agar mereka mundur teratur.
“Berminat membimbing anak saya?” tanyaku ketika pertama kali dia datang. Hatiku bersorak girang.
Dia hanya tersenyum dan mengangguk.
Senyumnya itu ... ingin sekali aku membalasnya. Akan tetapi, tidak. Tidak boleh terlalu menunjukkan suka apalagi cinta. Jaga image. Jangan murahan mengobral rasa. Laki-laki tidak boleh menjadi budak cinta, jika tidak ingin harga diri diinjak.
Wanita kadang menjadi besar kepala karena merasa terlalu dicintai. Kemudian berlaku sesuka hati. Tidak peduli apakah itu akan menyakiti atau melawan kodrat sebagai istri. Aku sudah mengalaminya karena itu jangan sampai hal itu berulang.
“Datang setiap hari, saat sore!” titahku. Dia tersentak.
“Setiap hari?” Matanya membulat. Aku mengangguk tegas. Karena memang tidak sedang ingin berkompromi. Melainkan sedang membuat cara agar dia datang ke rumah setiap hari. Tentu menyenangkan mendapati wajah squishy-nya setelah lelah sepulang kerja. Membayangkannya saja kala itu membuatku tersenyum sendiri.
“Tapi ....”
“Mulai besok, ya.” Aku memotong ucapan. Ekspresi wajahnya bingung dan terlihat lucu sekali. Aku nyaris tertawa melihatnya.
“Terima kasih,” ucapku memutus obrolan. Aku sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk membantah. Sengaja kuciptakan suasana agar dia menurut pada semua ucapanku. Setelahnya aku pamit, meninggalkannya bersama ibu. Kemudian berdiri menatapnya dari jauh. Memandang pipi squishy yang begitu lembut terlebih saat tertarik akibat sudut bibirnya melengkung.
Setiap sepulang kerja, hati begitu bahagia mendapati dia bersama Nadin. Mereka tidak seperti sedang belajar melainkan bermain bersama. Aku bahkan membayangkan mereka sebagai ibu dan anak.
Pada jam-jam mendekati pulang, irama jantung selalu tak menentu. Berdegup lebih cepat, dada berdebar-debar, relung hati bergetar. Tak jarang, bibir spontan tersenyum ketika ingat bahwa akan melihat si pipi quishsy itu saat kupulang. Aku selalu tidak sabar untuk segera tiba di rumah. Meskipun akhirnya aku hanya berani berlalu sekilas di depannya, kemudian tersenyum memandang dari jauh.
“Suka?” Tiba-tiba Ibu telah berdiri di sampingku, menangkap basah anaknya yang sedang menikmati keindahan seorang mahkluk Tuhan.
“Bagaimana menurut, Ibu?” Aku bertanya tanpa malu-malu.
“Apa mau Ibu lamarkan?”
“Nanti saja.”
Satu tahun hanya berani menatap dari jauh. Pengecut? Ya. Jujur saja aku memang terlalu takut untuk ditolak.
Lebih baik hidup dalam pengharapan dan tetap bisa menatapnya dari jauh daripada harus buru-buru mengatakannya kemudian ditinggal pergi.
Aku harus pastikan, saat meminta, dia harus bersedia. Aku tidak suka dan rasanya sudah lelah untuk berkompromi.
Nurin! Begitu aku sangat mencintainya. Memberikan banyak kelonggaran sebagai wujud kompromi, tapi yang ada kelonggaran itu membuatnya jauh tak terikat.
Anindyaswari. Memang Si squishy yang lembut dan disukai siapa saja terlebih anak-anak. Nadin pun begitu menyukainya. Sedikit-sedikit, Bu guru.
Seperti hari ini, Nadin begitu ingin dia yang datang menemani perayaan ulang tahunnya di sekolah, menggantikan ketidakhadiranku. Aku diperintahkan standby di batalyon menyambut kunjungan Pangdam.
Tidak kusangka, inilah jalan akhirnya aku dapat memilikinya. Tanpa kompromi. Tanpa bisa dia menolak. Tidak peduli dia mencintaiku atau tidak saat ini. Yang penting aku memilikinya dan dia harus setia.
Matanya menatapku tajam. Wajahnya tegas. Sama sekali tidak kutemukan gurat kelembutan di sana. Bias arogan kembali menerpa.“Bukan.” Aku menggeleng.“Kamu menyukainya?”“Tidak!” Kembali aku menggeleng.“Dia menyukaimu?” Kali ini aku mengangguk. Aku merasa seperti disidang saja.“Dia pernah bilang?” Aku kembali mengangguk.“Kenapa menolak?”“Aku memintanya datang saja melamar jika memang serius.”Dia mengembuskan napas kasar mendengar jawaban terakhirku. Kemudian menyandarkan tubuh pada mobil. Menatap kosong dengan cahaya amarah pada netranya. Namun, kentara ia coba redam. Sementara aku hanya bergeming, berdiri berhadapan tidak jauh darinya. Merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi tidak nyaman.“Nurin &
Part 8. Masa LaluSenja berlalu, menyisakan kelam di langit yang perlahan semakin memekat, menghadirkan sedikit demi sedikit hening, menyiapkan waktu kepada jiwa-jiwa lelah untuk memeluk lelap.Kami masih berdua, menyusuri kembali jalan yang tadi dilewati bersama, membawa keindahan yang telah tercipta dalam setiap jengkalnya. Dia mengarahkan mobil dalam diam, tapi riak wajahnya bahagia. Senyum tipis khasnya sesekali hadir, bersama itu dia akan menatapku yang curi-curi melirik. Beberapa kali satu tangannya lepas dari kemudi, beralih menggenggam erat tanganku, mengalirkan hangat yang cepat merambat ke relung hati.“Kita mampir ke kedai dulu, ya.” Akhirnya dia memecah hening juga.“Kedai?”“Iya, kita makan dulu. Kamu lapar?” tanyanya sambil menatapku sebentar.“Lapar, sih. Tapi, apa gak sebaiknya kita pulang saja, Mas. K
Part 9. PerjalananSeperti yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini kami mengunjungi orang tuaku di kampung.Dia terlihat gagah sekali dengan balutan celana jeans birel dan jaket kulit warna hitam. Sarung tangan warna senada membungkus kedua tangannya. Hari ini kami akan menemui orang tuaku di Serimbu. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Landak. Bakda subuh, kami siap melakukan perjalanan.“Titip Nadin ya, Bu,” ucapku pamit pada ibu mertua. Semalam Mas Kusuma memberi tahu anak itu bahwa untuk dua hari ke depan kami akan pergi.“Nadin mau ikut …,” rengeknya tadi malam. Aku sempat berpikir untuk berangkat diam-diam. Namun, menurut suamiku justru itu tidak baik.“Berterus terang dan memberi pengertian meskipun sulit akan berefek positif untuk perkembangan mental seorang anak,” katanya.&ldq
Part 10. Bertemu OrangtuaMemasuki waktu zuhur, kami tiba di Serimbu. Lelah? Tentu saja! Lebih dari enam jam berkendara sepeda motor. Hanya dua kali beristirahat. Bagian belakang tubuh terasa panas dan pegal. Punggung seperti kaku.Serimbu, merupakan ibu kota dari kecamatan Air Besar. Dinamakan demikian karena desa-desa yang terdapat di kecamatan ini dilintasi oleh sungai besar. Sungai Bahasa setempat disebut ‘aek’ atau air. Sehingga sungai besar menjadi air besar.Rumah orang tuaku sangat sederhana. Merupakan rumah panggung dengan material papan. Ketika tetangga dan sebagian besar warga telah merehab rumah mereka, kedua orang tuaku masih betah dengan bentuk rumah sederhana itu. Alasan terbesarnya tentu saja soal biaya, karena kami bukanlah keluarga berkecukupan. Untung saja kayu yang menjadi bahan pembangunan rumah ini dari jenis belian, sehingga tidak lapuk meskipun telah berpuluh tahun.
Part 11. KelamMalam ini, dia terlelap dengan mendekapku erat. Seharusnya aku merasa damai saat tak berjarak dengannya seperti ini. Saat irama jantung kami seolah menyatu. Namun, hati ini justru begitu resah.“Saya tidak ingin kamu bekerja. Saya takut kamu terpikat dengan laki-laki lain di sana. Saya tidak sanggup. Tidak akan sanggup. Karena itu, tolong, mengertilah,” mohonnya tadi sebelum tidur.“Biarkan saya saja yang bekerja, memanjakanmu, memenuhi segala butuhmu, meskipun harus memeras keringat sampai habis asalkan kamu tetap bersama saya, menjadi milik saya selamanya.” Dia bicara dengan napas yang berlomba. Seperti ada suatu emosi yang menguasai.“Sekarang, bicara! Katakan bahwa kamu akan setia,” pintanya sembari menatap mataku. Mungkin ingin menyeimbangkan kejujuran yang akan terucap dari bibirku dengan yang terpancar dari sana.&ld
Part 12. Nikah KantorKami segera kembali ke Pontianak, sama sekali tidak ada kesempatan untuk berlama-lama melepas rindu di sini, karena Mas Kusuma harus dinas.Sepulang dari bertemu orangtuaku di Serimbu, Mas Kusuma tidak ingin menunda untuk mengurus administrasi nikah kantor.“Ada apa, Mas?” tanyaku. Malam ini kudapati ia tengah duduk di atas karpet bulu di kamar. Ia tampak tersenyum sendiri sambil memandangi sesuatu.“Kemarilah!” pintanya sambil menepuk tempat di sisinya. Aku yang saat itu berdiri di depan pintu, baru dari dapur, menurut dan duduk di tempat yang dia maksud.“Saya sedang menyiapkan berkas nikah kantor, lihat foto gandeng kita. Serasi ‘kan? Kamu cantik sekali.”Dia menunjukkan foto yang kami rekam beberapa hari lalu. Padahal foto itu sudah berulang kali dilihat. Jujur aku juga sena
Part 13. PoV Kusuma“Apa maksud semua ini, Anin? Kamu sudah tidak perawan?” Aku menatap wajah yang menunduk itu. Berharap apa yang kubaca pada hasil pemeriksaan ini salah."Maaf, Mas," jawabnya pelan, mengubur semua harapanku.Aku menghela napas kasar. Tangan mengepal gusar. Jadi inikah yang dia maksud dengan kata ‘tidak sempurna?’Hah! Aku tidak percaya dengan semua ini. Aku juga tidak berpikir kearah ini. Kupikir dia bicara tentang fisik, bukan hal seintim ini! Bagaimana mungkin seorang Anindyaswari yang wajahnya terlihat begitu polos, bening bagai tak berdosa, hasil pemeriksaannya 2p?Bagaimana mungkin aku tertipu? Ini bukan sekadar pakaian yang menutupi, yang mungkin bisa menipu. Namun, ini adalah pancaran jiwanya. Semua dapat terlihat dari cahaya wajahnya. Atau mungkin aku yang sudah terlalu silau oleh pesonanya, sehingga tid
Suatu hal yang menyakitkan dan memalukan memang terlampau sulit untuk diceritakan. Bahkan sekedar untuk singgah dalam ingatan terasa berat apalagi harus diungkapkan.Jangan berkata apa susahnya bercerita. Itu teramat susah. Orang lain tidak akan pernah tahu.Aku menatapnya yang menjauh dengan mobil yang melaju sangat kencang.Aku tahu kamu terluka, Mas. Kamu pasti sangat kecewa dengan kenyataan yang tidak pernah kamu duga sebelumnya. Andai aku punya kemampuan untuk mengungkapkan kenyataan ini sejak awal. Mungkin semuanya akan lebih baik. Bukan aku tidak mau, tapi tidak mampu. Aku tidak pernah berpikir untuk memulai ikatan suci ini dengan sebuah ketidakjujuran. Namun, aku tidak punya kuasa untuk bicara. Lagi pula, kamu tidak memberiku banyak waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa berkata apa adanya.Aku melangkah gontai, menuju istana yang mungkin sebentar lagi tak sudi menerima. Sejatinya aku te