Matanya menatapku tajam. Wajahnya tegas. Sama sekali tidak kutemukan gurat kelembutan di sana. Bias arogan kembali menerpa.
“Bukan.” Aku menggeleng.
“Kamu menyukainya?”
“Tidak!” Kembali aku menggeleng.
“Dia menyukaimu?” Kali ini aku mengangguk. Aku merasa seperti disidang saja.
“Dia pernah bilang?” Aku kembali mengangguk.
“Kenapa menolak?”
“Aku memintanya datang saja melamar jika memang serius.”
Dia mengembuskan napas kasar mendengar jawaban terakhirku. Kemudian menyandarkan tubuh pada mobil. Menatap kosong dengan cahaya amarah pada netranya. Namun, kentara ia coba redam. Sementara aku hanya bergeming, berdiri berhadapan tidak jauh darinya. Merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi tidak nyaman.
“Nurin … dulu juga satu kantor dengan orang yang menyukainya.” Dia menjeda kalimatnya sembari memandangku sejenak. Kemudian kembali mengembuskan napas kasar.
“Ah sudahlah, ayo!” Dia menegakkan badan kemudian membuka pintu. Memintaku masuk, kemudian dia sendiri segera mengambil posisi kemudi.
Mobil melaju membelah kota Pontianak. Menyusuri jalan yang tidak pernah sepi. Kontras dengan suasana di antara kami saat ini. Sepi seolah yang ada hanya sendiri.
“Mas, gak balik kerja lagi?” tanyaku mencoba memecah hening.
“Enggak,” jawabnya singkat.
“Kita mau kemana, Mas?” tanyaku ketika menyadari ia melajukan mobil ke jalan yang bukan menuju pulang.
Dia menatapku lembut. Mata elangnya tiba-tiba menjadi teduh.
“Saya ingin berdua denganmu sebentar,” sahutnya kemudian kembali fokus pada mobil. Berdua? Kami suami istri, bahkan di rumah pun selalu berdua di kamar. Berdua bagaimana lagi yang dia maksud?
Ia mengarahkan mobil menjauhi pusat kota. Meninggalkan tol Landak, memasuki arah Siantan. Mobil dapat melaju lebih cepat karena jalanan masih ramai lancar. Belum terjadi kemacetan. Biasanya pada jam pulang kerja, sekitar pukul tiga sore, akan terjadi kemacetan luar biasa di tol Landak. Sekarang baru mendekati pukul tiga, jadi masih aman untuk berkendara dengan lancar.
Aku mengamati setiap jengkal jalan yang dilewati dengan diam. Entah kemana dia akan membawa. Setelah melewati Siantan, terminal Batu Layang, mobil tetap melaju. Kini yang kutahu kami memasuki daerah Jungkat.
Senyumku terkembang ketika ia mengarahkan mobil pada pintu masuk suatu kawasan wisata.
“Kita ke Jungkat Beach?” Aku bertanya spontan dengan ekspresi penuh kegirangan. Seperti anak kecil yang diberi oleh-oleh es krim ketika orang tuanya pulang dari berbelanja.
“Kamu suka?” Dia menatapku sambil menuntai senyum khasnya. Aku mengangguk semringah tanpa malu-malu. Aku senang tempat ini. Selama ini, mengunjungi Jungkat Beach hanya sebatas ingin. Janji bersama teman-teman selalu gagal karena jadwal yang tidak cocok.
Dia memarkirkan mobil pada tempat yang telah disediakan. Aku segera turun tanpa perlu menunggu dia membukakan pintu. Tidak sabar menjejakkan kaki pada pasir putih, merasakan semilir angin, dan kaki yang basah tersapu deburan ombak.
“Kita numpang shalat dulu di sana.” Dia meraih tanganku, membawa menuju resort yang ada di area pantai. Aku mengangguk. Waktu ashar memang telah masuk sejak tadi.
“Sudah pernah ke sini?” tanyanya sambil menggandeng tanganku menyusuri pantai setelah kami selesai shalat.
“Belum,” jawabku sambil melepaskan pandangan pada keindahan yang membentang. Laut biru di bawah hamparan langit biru.
“Duduk di bawah pohon itu,” ajaknya sambil menggandeng pinggangku. Aku menurut. Pohon itu memang terlihat sebagai spot yang bagus untuk menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan di sini. Ia mengajakku duduk dalam jarak yang rapat. Membiarkanku menghidu aroma maskulinnya. Kemudian tangannya melingkar lagi di pinggangku. Matanya menatap lurus pada langit biru yang mulai membias cahaya jingga. Saat ini wajahnya terlihat begitu lembut menyejukkan. Ditambah senyum khasnya yang tak pernah habis. Sesekali aku mencuri pandang padanya.
“Ada yang ingin kamu tanyakan?” Dia menatapku.
“Hmm?” balasku tak mengerti.
“Pasti banyak yang kamu ingin tahu tentang saya,” jelasnya. Tetap memaku netraku. Rasanya aku menggigil mendapat tatapan semacam itu darinya. Bukan karena tatapan itu dingin. Tapi … begitu menggetarkan hingga ke relung hati. Aku seakan sulit bernapas. Alih-alih bertanya semua hal yang membuat penasaran selama ini tentangnya, aku malah diam.
“Selamat ulang tahun, ratu duniaku, bidadari surgaku.” Dia mengusap pucuk kepalaku lembut, mengulangi ucapan yang tadi pagi telah ia sampaikan. Aku tersenyum kemudian mengangguk. Sementara organ tubuh yang ada di dalam dada riuh menggema.
“Terima kasih.” Kembali hanya kata itu yang dapat kuucap. Kali ini dia yang mengangguk dengan senyum khas yang masih setia. Terasa ia mengeratkan lingkaran tangannya di pinggangku. Membuat kami semakin rapat, kemudian sibuk dengan dada yang bergemuruh.
“Jika kamu tidak ingin bertanya, saya yang akan bertanya,” ucapnya setelah beberapa saat kami hanya diam, membiarkan ombak yang memecah sunyi bersama deburannya.
“Apa?” balasku. Aku memberanikan diri menjatuhkan kepala pada bahunya.
“Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?” Aku kembali menegakkan kepala. Menatapnya dengan kening mengernyit.
“Karena saya merasa telah memaksamu menikah, tanpa kompromi,” jawabnya tanpa perlu kuminta apa maksud dari pertanyaannya itu.
“Saya takut kamu akan menolak kalau harus bertanya dulu apakah mau menikah dengan saya.” Aku menyimak setiap kalimat yang dia ucapkan.
“Saya menyukaimu sejak lama. Sejak pertama kali melihatmu di sekolah saat harus menggantikan Anggara melatih paskibra.” Aku mengernyitkan kening. Mencoba mengingat waktu kejadian yang dia sebutkan.
“Kamu tidak ingat? Iyalah, itu bukan sesuatu yang spesial untukmu. Tapi bagi saya sangat spesial. Tidak pernah bisa pupus saat pertama melihat pipimu yang menggemaskan ini,” lanjutnya sambil mencubit gemas, tapi cukup keras pada pipiku. Cukup sakit, tapi aku bahagia melihat ekspresinya. Dia bisa lepas dari zona senyum pelit khas itu. Kali ini senyum itu lepas menguntai tawa.
“Terus?” Aku memintanya melanjutkan cerita.
“Terus saya mencari tahu tentangmu. Memintamu memberi privat pada Nadin juga rencana yang saya rekayasa. Memintamu datang setiap hari saat sore di mana jam saya pulang kerja. Semua itu agar bisa melihatmu. Karena kamu itu ngangenin.”
“Curang!” Aku pura-pura sebel. Padahal sebenarnya diri ini merasa bagai di awang-awang. Begitu tersanjung dengan cinta yang dia berikan.
“Jadi apa kamu bahagia?” Dia kembali pada pertanyaan awalnya.
“Atau ada ganjalan di hatimu, karena ada seseorang di masa lalu?” Dia menatapku lekat. Mungkin sedang mencari kejujuran pada jawaban yang akan kuberikan. Atau dia teringat pada Ilham?
“Tergantung,” jawabku.
“Tergantung?”
“Apa Mas akan membuatku bahagia?” Dia masih menatapku lekat.
“Bagaimana cara membuatmu bahagia?” tanyanya kemudian. Ia memalingkan pandangan dariku. Menatap kosong ke laut lepas.
“Anin. Saya pernah kecewa. Kekecewaan yang membuat saya sulit membedakan antara cinta dan hasrat memiliki. Saya mencintaimu dan ingin memilikimu seutuhnya. Mengertilah! Saya akan menghujanimu dengan begitu banyak cinta, dan kamu juga harus melakukan hal yang sama.” Dia kembali menatapku lekat.
“Bisa?” tanyanya masih dengan tatapan yang dalam. Membuatku sedikit gugup.
“Insya Allah. Ajari aku,” balasku. Dia tersenyum.
“Terima kasih,” ucapnya kembali mengeratkan lingkaran tangannya. Kemudian kami kompak menatap pada cahaya langit yang mulai meredup. Menyisakan larik-larik jingga. Memantul pada permukaan laut, memendarkan cahaya keemasan. indah! Seindah hati yang kini merasa teramat dicintai, dan juga mencintai.
“Mas,” panggilku sambil menjatuhkan kembali kepala dipundaknya.
“Hmm?”
“Mba Nurin ….”
“Jangan membicarakan orang lain dulu. Saya hanya ingin saat ini yang ada hanya tentang kita.” Dia mengurai lingkaran tangannya sejenak. Kemudian mengajakku mengambil beberapa moment terindah sore itu melalui tangkapan kameranya.
Part 8. Masa LaluSenja berlalu, menyisakan kelam di langit yang perlahan semakin memekat, menghadirkan sedikit demi sedikit hening, menyiapkan waktu kepada jiwa-jiwa lelah untuk memeluk lelap.Kami masih berdua, menyusuri kembali jalan yang tadi dilewati bersama, membawa keindahan yang telah tercipta dalam setiap jengkalnya. Dia mengarahkan mobil dalam diam, tapi riak wajahnya bahagia. Senyum tipis khasnya sesekali hadir, bersama itu dia akan menatapku yang curi-curi melirik. Beberapa kali satu tangannya lepas dari kemudi, beralih menggenggam erat tanganku, mengalirkan hangat yang cepat merambat ke relung hati.“Kita mampir ke kedai dulu, ya.” Akhirnya dia memecah hening juga.“Kedai?”“Iya, kita makan dulu. Kamu lapar?” tanyanya sambil menatapku sebentar.“Lapar, sih. Tapi, apa gak sebaiknya kita pulang saja, Mas. K
Part 9. PerjalananSeperti yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini kami mengunjungi orang tuaku di kampung.Dia terlihat gagah sekali dengan balutan celana jeans birel dan jaket kulit warna hitam. Sarung tangan warna senada membungkus kedua tangannya. Hari ini kami akan menemui orang tuaku di Serimbu. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Landak. Bakda subuh, kami siap melakukan perjalanan.“Titip Nadin ya, Bu,” ucapku pamit pada ibu mertua. Semalam Mas Kusuma memberi tahu anak itu bahwa untuk dua hari ke depan kami akan pergi.“Nadin mau ikut …,” rengeknya tadi malam. Aku sempat berpikir untuk berangkat diam-diam. Namun, menurut suamiku justru itu tidak baik.“Berterus terang dan memberi pengertian meskipun sulit akan berefek positif untuk perkembangan mental seorang anak,” katanya.&ldq
Part 10. Bertemu OrangtuaMemasuki waktu zuhur, kami tiba di Serimbu. Lelah? Tentu saja! Lebih dari enam jam berkendara sepeda motor. Hanya dua kali beristirahat. Bagian belakang tubuh terasa panas dan pegal. Punggung seperti kaku.Serimbu, merupakan ibu kota dari kecamatan Air Besar. Dinamakan demikian karena desa-desa yang terdapat di kecamatan ini dilintasi oleh sungai besar. Sungai Bahasa setempat disebut ‘aek’ atau air. Sehingga sungai besar menjadi air besar.Rumah orang tuaku sangat sederhana. Merupakan rumah panggung dengan material papan. Ketika tetangga dan sebagian besar warga telah merehab rumah mereka, kedua orang tuaku masih betah dengan bentuk rumah sederhana itu. Alasan terbesarnya tentu saja soal biaya, karena kami bukanlah keluarga berkecukupan. Untung saja kayu yang menjadi bahan pembangunan rumah ini dari jenis belian, sehingga tidak lapuk meskipun telah berpuluh tahun.
Part 11. KelamMalam ini, dia terlelap dengan mendekapku erat. Seharusnya aku merasa damai saat tak berjarak dengannya seperti ini. Saat irama jantung kami seolah menyatu. Namun, hati ini justru begitu resah.“Saya tidak ingin kamu bekerja. Saya takut kamu terpikat dengan laki-laki lain di sana. Saya tidak sanggup. Tidak akan sanggup. Karena itu, tolong, mengertilah,” mohonnya tadi sebelum tidur.“Biarkan saya saja yang bekerja, memanjakanmu, memenuhi segala butuhmu, meskipun harus memeras keringat sampai habis asalkan kamu tetap bersama saya, menjadi milik saya selamanya.” Dia bicara dengan napas yang berlomba. Seperti ada suatu emosi yang menguasai.“Sekarang, bicara! Katakan bahwa kamu akan setia,” pintanya sembari menatap mataku. Mungkin ingin menyeimbangkan kejujuran yang akan terucap dari bibirku dengan yang terpancar dari sana.&ld
Part 12. Nikah KantorKami segera kembali ke Pontianak, sama sekali tidak ada kesempatan untuk berlama-lama melepas rindu di sini, karena Mas Kusuma harus dinas.Sepulang dari bertemu orangtuaku di Serimbu, Mas Kusuma tidak ingin menunda untuk mengurus administrasi nikah kantor.“Ada apa, Mas?” tanyaku. Malam ini kudapati ia tengah duduk di atas karpet bulu di kamar. Ia tampak tersenyum sendiri sambil memandangi sesuatu.“Kemarilah!” pintanya sambil menepuk tempat di sisinya. Aku yang saat itu berdiri di depan pintu, baru dari dapur, menurut dan duduk di tempat yang dia maksud.“Saya sedang menyiapkan berkas nikah kantor, lihat foto gandeng kita. Serasi ‘kan? Kamu cantik sekali.”Dia menunjukkan foto yang kami rekam beberapa hari lalu. Padahal foto itu sudah berulang kali dilihat. Jujur aku juga sena
Part 13. PoV Kusuma“Apa maksud semua ini, Anin? Kamu sudah tidak perawan?” Aku menatap wajah yang menunduk itu. Berharap apa yang kubaca pada hasil pemeriksaan ini salah."Maaf, Mas," jawabnya pelan, mengubur semua harapanku.Aku menghela napas kasar. Tangan mengepal gusar. Jadi inikah yang dia maksud dengan kata ‘tidak sempurna?’Hah! Aku tidak percaya dengan semua ini. Aku juga tidak berpikir kearah ini. Kupikir dia bicara tentang fisik, bukan hal seintim ini! Bagaimana mungkin seorang Anindyaswari yang wajahnya terlihat begitu polos, bening bagai tak berdosa, hasil pemeriksaannya 2p?Bagaimana mungkin aku tertipu? Ini bukan sekadar pakaian yang menutupi, yang mungkin bisa menipu. Namun, ini adalah pancaran jiwanya. Semua dapat terlihat dari cahaya wajahnya. Atau mungkin aku yang sudah terlalu silau oleh pesonanya, sehingga tid
Suatu hal yang menyakitkan dan memalukan memang terlampau sulit untuk diceritakan. Bahkan sekedar untuk singgah dalam ingatan terasa berat apalagi harus diungkapkan.Jangan berkata apa susahnya bercerita. Itu teramat susah. Orang lain tidak akan pernah tahu.Aku menatapnya yang menjauh dengan mobil yang melaju sangat kencang.Aku tahu kamu terluka, Mas. Kamu pasti sangat kecewa dengan kenyataan yang tidak pernah kamu duga sebelumnya. Andai aku punya kemampuan untuk mengungkapkan kenyataan ini sejak awal. Mungkin semuanya akan lebih baik. Bukan aku tidak mau, tapi tidak mampu. Aku tidak pernah berpikir untuk memulai ikatan suci ini dengan sebuah ketidakjujuran. Namun, aku tidak punya kuasa untuk bicara. Lagi pula, kamu tidak memberiku banyak waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa berkata apa adanya.Aku melangkah gontai, menuju istana yang mungkin sebentar lagi tak sudi menerima. Sejatinya aku te
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Fortuner hitam yang dikendarai Mas Kusuma memasuki pekarangan rumah. Aku berdiri, sedikit gugup menyambut kedatangan laki-laki itu. Jantungku berdegup cukup kencang. Takut, jika dia masih marah. Setelah Fortuner hitam itu ditempatkan sesuai posisinya, dari belakang menyusul satu mobil yang pernah kulihat. Sebuah luka tergores di hati. Terasa perih. Ayla berwarna merah menyala itu berhenti setelah mengambil parkir di sisi kiri rumah, tepat di depan garasi yang ditempati Fortuner hitam milik suamiku.Laki-laki yang kini telah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan PDH seperti saat dia berangkat, turun dari mobil tanpa menunggu pengendara Ayla merah menyala itu. Entah baju siapa yang dia kenakan. Bagaimana dia bisa pulang bersama mantan istrinya itu malam-malam begini. Apakah tadi dia pergi ke rumah wanita itu? Kuredam semua tanya dan prasangka ketika laki-l
"Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu
"Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia
"Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga
PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.
"Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat
Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku
Sekolah memberiku cuti menikah selama satu Minggu. Dua hari digunakan untuk persiapan, satu hari untuk pelaksanaan, tiga hari kami manfaatkan untuk masa berdua menikmati pasca resepsi, dan satu hari masa untuk beristirahat sebelum melaksanakan tugas negara kembali.Setelah satu Minggu melalui hari-hari awal penuh bahagia, hari ini aku dan Mas Farel merapat ke tempat tugas.Pukul enam pagi aku sudah rapi dengan seragam dan polesan make up tipis. Kami akan bersiap untuk sarapan ketika notifikasi pesan singkat dari aplikasi pepesanan warna hijau di ponselku berbunyi.Sebuah pesan dari Mbak Rissa masuk. "Hanum, hari ini Mbak enggak masuk. Tadi sudah ijin sama kepala sekolah. Mbak ada giat upacara pelepasan pindah Mas Cahyo. Nanti tolong sampaikan tugas-tugas Mbak ke siswa, ya," tulisnya. Om Cahyo pindah? Dahiku mengernyit. Bukankah Om Cahyo leting Mas Farel. Apakah Mas Farel juga ikut pindah? Tapi mengapa dia tidak memberitahuku?"Om Cahyo pindah, Mbak?" tanyaku meminta penegasan. Selam
Aku titipkan diaLanjutkan perjuanganku 'tuknyaBahagiakan dia, kau sayangi diaSeperti ku menyayanginya'Kan kuikhlaskan diaTak pantas ku bersanding dengannya'Kan kuterima dengan lapang dadaAku bukan jodohnyaDahiku mengernyit. Mataku sontak mencari sumber suara pada iringan musik organ tunggal yang menjadi hiburan di resepsi pernikahan kami. Aku seperti mengenal suara yang membawakan lagu Aku Bukan Jodohnya dari Tri Suaka yang sedang mengalun itu. "Mantan kamu."Mas Farel menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik pada satu arah, memberi kode agar aku melihat ke sudut yang di maksud. "Apa, sih?" Aku merengut saat melihat pada sosok yang dia sebut sebagai mantanku. Pantas saja aku seperti mengenal suara orang yang membawakan lagu itu, rupanya Hadi sedang berada di atas panggung. Dia memang terkenal dengan suara merdunya sejak kami masih kuliah. Hadi sering mengisi waktu luang dengan memetik gitar di taman kampus bersama beberapa rekannya. Suaranya itu juga yang menjadi salah satu
Aku rindu, Ayah. Rindu sebenar-benarnya rindu."Hanum." Umak yang sedang tadi memerhatikanku dirias MUA dari sofa bed yang tersedia kamar, melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Beliau mengusap punggungku lembut. Aku mengangkat wajah, menatap sendu satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini."Mak." Aku memanggil beliau lirih, ingin mengadukan perasaan yang berkecamuk di hati. Namun, aku tahu tanpa kuceritakan pun beliau sudah paham apa yang kurasakan."Jangan menangis, Hanum. Nanti riasan kamu rusak." Bukannya khawatir kondisi putrinya, Umak justru memikirkan riasanku. Walaupun, aku tahu apa yang baru saja beliau ucapkan itu hanya sekadar untuk menghiburku.Tangan tua beliau kemudian mengusap lembut butiran bening yang mulai banyak pecah di sudut mataku. Akan tetapi, semakin beliau mengusap, butiran itu justru semakin banyak. "Mak."Aku menjatuhkan diri ke dalam tubuh tua Umak, memeluk erat wanita yang telah berjasa mengantarku ke dunia itu. Tubuhku berguncang menahan tangi