Matanya menatapku tajam. Wajahnya tegas. Sama sekali tidak kutemukan gurat kelembutan di sana. Bias arogan kembali menerpa.
“Bukan.” Aku menggeleng.
“Kamu menyukainya?”
“Tidak!” Kembali aku menggeleng.
“Dia menyukaimu?” Kali ini aku mengangguk. Aku merasa seperti disidang saja.
“Dia pernah bilang?” Aku kembali mengangguk.
“Kenapa menolak?”
“Aku memintanya datang saja melamar jika memang serius.”
Dia mengembuskan napas kasar mendengar jawaban terakhirku. Kemudian menyandarkan tubuh pada mobil. Menatap kosong dengan cahaya amarah pada netranya. Namun, kentara ia coba redam. Sementara aku hanya bergeming, berdiri berhadapan tidak jauh darinya. Merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi tidak nyaman.
“Nurin … dulu juga satu kantor dengan orang yang menyukainya.” Dia menjeda kalimatnya sembari memandangku sejenak. Kemudian kembali mengembuskan napas kasar.
“Ah sudahlah, ayo!” Dia menegakkan badan kemudian membuka pintu. Memintaku masuk, kemudian dia sendiri segera mengambil posisi kemudi.
Mobil melaju membelah kota Pontianak. Menyusuri jalan yang tidak pernah sepi. Kontras dengan suasana di antara kami saat ini. Sepi seolah yang ada hanya sendiri.
“Mas, gak balik kerja lagi?” tanyaku mencoba memecah hening.
“Enggak,” jawabnya singkat.
“Kita mau kemana, Mas?” tanyaku ketika menyadari ia melajukan mobil ke jalan yang bukan menuju pulang.
Dia menatapku lembut. Mata elangnya tiba-tiba menjadi teduh.
“Saya ingin berdua denganmu sebentar,” sahutnya kemudian kembali fokus pada mobil. Berdua? Kami suami istri, bahkan di rumah pun selalu berdua di kamar. Berdua bagaimana lagi yang dia maksud?
Ia mengarahkan mobil menjauhi pusat kota. Meninggalkan tol Landak, memasuki arah Siantan. Mobil dapat melaju lebih cepat karena jalanan masih ramai lancar. Belum terjadi kemacetan. Biasanya pada jam pulang kerja, sekitar pukul tiga sore, akan terjadi kemacetan luar biasa di tol Landak. Sekarang baru mendekati pukul tiga, jadi masih aman untuk berkendara dengan lancar.
Aku mengamati setiap jengkal jalan yang dilewati dengan diam. Entah kemana dia akan membawa. Setelah melewati Siantan, terminal Batu Layang, mobil tetap melaju. Kini yang kutahu kami memasuki daerah Jungkat.
Senyumku terkembang ketika ia mengarahkan mobil pada pintu masuk suatu kawasan wisata.
“Kita ke Jungkat Beach?” Aku bertanya spontan dengan ekspresi penuh kegirangan. Seperti anak kecil yang diberi oleh-oleh es krim ketika orang tuanya pulang dari berbelanja.
“Kamu suka?” Dia menatapku sambil menuntai senyum khasnya. Aku mengangguk semringah tanpa malu-malu. Aku senang tempat ini. Selama ini, mengunjungi Jungkat Beach hanya sebatas ingin. Janji bersama teman-teman selalu gagal karena jadwal yang tidak cocok.
Dia memarkirkan mobil pada tempat yang telah disediakan. Aku segera turun tanpa perlu menunggu dia membukakan pintu. Tidak sabar menjejakkan kaki pada pasir putih, merasakan semilir angin, dan kaki yang basah tersapu deburan ombak.
“Kita numpang shalat dulu di sana.” Dia meraih tanganku, membawa menuju resort yang ada di area pantai. Aku mengangguk. Waktu ashar memang telah masuk sejak tadi.
“Sudah pernah ke sini?” tanyanya sambil menggandeng tanganku menyusuri pantai setelah kami selesai shalat.
“Belum,” jawabku sambil melepaskan pandangan pada keindahan yang membentang. Laut biru di bawah hamparan langit biru.
“Duduk di bawah pohon itu,” ajaknya sambil menggandeng pinggangku. Aku menurut. Pohon itu memang terlihat sebagai spot yang bagus untuk menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan di sini. Ia mengajakku duduk dalam jarak yang rapat. Membiarkanku menghidu aroma maskulinnya. Kemudian tangannya melingkar lagi di pinggangku. Matanya menatap lurus pada langit biru yang mulai membias cahaya jingga. Saat ini wajahnya terlihat begitu lembut menyejukkan. Ditambah senyum khasnya yang tak pernah habis. Sesekali aku mencuri pandang padanya.
“Ada yang ingin kamu tanyakan?” Dia menatapku.
“Hmm?” balasku tak mengerti.
“Pasti banyak yang kamu ingin tahu tentang saya,” jelasnya. Tetap memaku netraku. Rasanya aku menggigil mendapat tatapan semacam itu darinya. Bukan karena tatapan itu dingin. Tapi … begitu menggetarkan hingga ke relung hati. Aku seakan sulit bernapas. Alih-alih bertanya semua hal yang membuat penasaran selama ini tentangnya, aku malah diam.
“Selamat ulang tahun, ratu duniaku, bidadari surgaku.” Dia mengusap pucuk kepalaku lembut, mengulangi ucapan yang tadi pagi telah ia sampaikan. Aku tersenyum kemudian mengangguk. Sementara organ tubuh yang ada di dalam dada riuh menggema.
“Terima kasih.” Kembali hanya kata itu yang dapat kuucap. Kali ini dia yang mengangguk dengan senyum khas yang masih setia. Terasa ia mengeratkan lingkaran tangannya di pinggangku. Membuat kami semakin rapat, kemudian sibuk dengan dada yang bergemuruh.
“Jika kamu tidak ingin bertanya, saya yang akan bertanya,” ucapnya setelah beberapa saat kami hanya diam, membiarkan ombak yang memecah sunyi bersama deburannya.
“Apa?” balasku. Aku memberanikan diri menjatuhkan kepala pada bahunya.
“Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?” Aku kembali menegakkan kepala. Menatapnya dengan kening mengernyit.
“Karena saya merasa telah memaksamu menikah, tanpa kompromi,” jawabnya tanpa perlu kuminta apa maksud dari pertanyaannya itu.
“Saya takut kamu akan menolak kalau harus bertanya dulu apakah mau menikah dengan saya.” Aku menyimak setiap kalimat yang dia ucapkan.
“Saya menyukaimu sejak lama. Sejak pertama kali melihatmu di sekolah saat harus menggantikan Anggara melatih paskibra.” Aku mengernyitkan kening. Mencoba mengingat waktu kejadian yang dia sebutkan.
“Kamu tidak ingat? Iyalah, itu bukan sesuatu yang spesial untukmu. Tapi bagi saya sangat spesial. Tidak pernah bisa pupus saat pertama melihat pipimu yang menggemaskan ini,” lanjutnya sambil mencubit gemas, tapi cukup keras pada pipiku. Cukup sakit, tapi aku bahagia melihat ekspresinya. Dia bisa lepas dari zona senyum pelit khas itu. Kali ini senyum itu lepas menguntai tawa.
“Terus?” Aku memintanya melanjutkan cerita.
“Terus saya mencari tahu tentangmu. Memintamu memberi privat pada Nadin juga rencana yang saya rekayasa. Memintamu datang setiap hari saat sore di mana jam saya pulang kerja. Semua itu agar bisa melihatmu. Karena kamu itu ngangenin.”
“Curang!” Aku pura-pura sebel. Padahal sebenarnya diri ini merasa bagai di awang-awang. Begitu tersanjung dengan cinta yang dia berikan.
“Jadi apa kamu bahagia?” Dia kembali pada pertanyaan awalnya.
“Atau ada ganjalan di hatimu, karena ada seseorang di masa lalu?” Dia menatapku lekat. Mungkin sedang mencari kejujuran pada jawaban yang akan kuberikan. Atau dia teringat pada Ilham?
“Tergantung,” jawabku.
“Tergantung?”
“Apa Mas akan membuatku bahagia?” Dia masih menatapku lekat.
“Bagaimana cara membuatmu bahagia?” tanyanya kemudian. Ia memalingkan pandangan dariku. Menatap kosong ke laut lepas.
“Anin. Saya pernah kecewa. Kekecewaan yang membuat saya sulit membedakan antara cinta dan hasrat memiliki. Saya mencintaimu dan ingin memilikimu seutuhnya. Mengertilah! Saya akan menghujanimu dengan begitu banyak cinta, dan kamu juga harus melakukan hal yang sama.” Dia kembali menatapku lekat.
“Bisa?” tanyanya masih dengan tatapan yang dalam. Membuatku sedikit gugup.
“Insya Allah. Ajari aku,” balasku. Dia tersenyum.
“Terima kasih,” ucapnya kembali mengeratkan lingkaran tangannya. Kemudian kami kompak menatap pada cahaya langit yang mulai meredup. Menyisakan larik-larik jingga. Memantul pada permukaan laut, memendarkan cahaya keemasan. indah! Seindah hati yang kini merasa teramat dicintai, dan juga mencintai.
“Mas,” panggilku sambil menjatuhkan kembali kepala dipundaknya.
“Hmm?”
“Mba Nurin ….”
“Jangan membicarakan orang lain dulu. Saya hanya ingin saat ini yang ada hanya tentang kita.” Dia mengurai lingkaran tangannya sejenak. Kemudian mengajakku mengambil beberapa moment terindah sore itu melalui tangkapan kameranya.
Part 8. Masa LaluSenja berlalu, menyisakan kelam di langit yang perlahan semakin memekat, menghadirkan sedikit demi sedikit hening, menyiapkan waktu kepada jiwa-jiwa lelah untuk memeluk lelap.Kami masih berdua, menyusuri kembali jalan yang tadi dilewati bersama, membawa keindahan yang telah tercipta dalam setiap jengkalnya. Dia mengarahkan mobil dalam diam, tapi riak wajahnya bahagia. Senyum tipis khasnya sesekali hadir, bersama itu dia akan menatapku yang curi-curi melirik. Beberapa kali satu tangannya lepas dari kemudi, beralih menggenggam erat tanganku, mengalirkan hangat yang cepat merambat ke relung hati.“Kita mampir ke kedai dulu, ya.” Akhirnya dia memecah hening juga.“Kedai?”“Iya, kita makan dulu. Kamu lapar?” tanyanya sambil menatapku sebentar.“Lapar, sih. Tapi, apa gak sebaiknya kita pulang saja, Mas. K
Part 9. PerjalananSeperti yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini kami mengunjungi orang tuaku di kampung.Dia terlihat gagah sekali dengan balutan celana jeans birel dan jaket kulit warna hitam. Sarung tangan warna senada membungkus kedua tangannya. Hari ini kami akan menemui orang tuaku di Serimbu. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Landak. Bakda subuh, kami siap melakukan perjalanan.“Titip Nadin ya, Bu,” ucapku pamit pada ibu mertua. Semalam Mas Kusuma memberi tahu anak itu bahwa untuk dua hari ke depan kami akan pergi.“Nadin mau ikut …,” rengeknya tadi malam. Aku sempat berpikir untuk berangkat diam-diam. Namun, menurut suamiku justru itu tidak baik.“Berterus terang dan memberi pengertian meskipun sulit akan berefek positif untuk perkembangan mental seorang anak,” katanya.&ldq
Part 10. Bertemu OrangtuaMemasuki waktu zuhur, kami tiba di Serimbu. Lelah? Tentu saja! Lebih dari enam jam berkendara sepeda motor. Hanya dua kali beristirahat. Bagian belakang tubuh terasa panas dan pegal. Punggung seperti kaku.Serimbu, merupakan ibu kota dari kecamatan Air Besar. Dinamakan demikian karena desa-desa yang terdapat di kecamatan ini dilintasi oleh sungai besar. Sungai Bahasa setempat disebut ‘aek’ atau air. Sehingga sungai besar menjadi air besar.Rumah orang tuaku sangat sederhana. Merupakan rumah panggung dengan material papan. Ketika tetangga dan sebagian besar warga telah merehab rumah mereka, kedua orang tuaku masih betah dengan bentuk rumah sederhana itu. Alasan terbesarnya tentu saja soal biaya, karena kami bukanlah keluarga berkecukupan. Untung saja kayu yang menjadi bahan pembangunan rumah ini dari jenis belian, sehingga tidak lapuk meskipun telah berpuluh tahun.
Part 11. KelamMalam ini, dia terlelap dengan mendekapku erat. Seharusnya aku merasa damai saat tak berjarak dengannya seperti ini. Saat irama jantung kami seolah menyatu. Namun, hati ini justru begitu resah.“Saya tidak ingin kamu bekerja. Saya takut kamu terpikat dengan laki-laki lain di sana. Saya tidak sanggup. Tidak akan sanggup. Karena itu, tolong, mengertilah,” mohonnya tadi sebelum tidur.“Biarkan saya saja yang bekerja, memanjakanmu, memenuhi segala butuhmu, meskipun harus memeras keringat sampai habis asalkan kamu tetap bersama saya, menjadi milik saya selamanya.” Dia bicara dengan napas yang berlomba. Seperti ada suatu emosi yang menguasai.“Sekarang, bicara! Katakan bahwa kamu akan setia,” pintanya sembari menatap mataku. Mungkin ingin menyeimbangkan kejujuran yang akan terucap dari bibirku dengan yang terpancar dari sana.&ld
Part 12. Nikah KantorKami segera kembali ke Pontianak, sama sekali tidak ada kesempatan untuk berlama-lama melepas rindu di sini, karena Mas Kusuma harus dinas.Sepulang dari bertemu orangtuaku di Serimbu, Mas Kusuma tidak ingin menunda untuk mengurus administrasi nikah kantor.“Ada apa, Mas?” tanyaku. Malam ini kudapati ia tengah duduk di atas karpet bulu di kamar. Ia tampak tersenyum sendiri sambil memandangi sesuatu.“Kemarilah!” pintanya sambil menepuk tempat di sisinya. Aku yang saat itu berdiri di depan pintu, baru dari dapur, menurut dan duduk di tempat yang dia maksud.“Saya sedang menyiapkan berkas nikah kantor, lihat foto gandeng kita. Serasi ‘kan? Kamu cantik sekali.”Dia menunjukkan foto yang kami rekam beberapa hari lalu. Padahal foto itu sudah berulang kali dilihat. Jujur aku juga sena
Part 13. PoV Kusuma“Apa maksud semua ini, Anin? Kamu sudah tidak perawan?” Aku menatap wajah yang menunduk itu. Berharap apa yang kubaca pada hasil pemeriksaan ini salah."Maaf, Mas," jawabnya pelan, mengubur semua harapanku.Aku menghela napas kasar. Tangan mengepal gusar. Jadi inikah yang dia maksud dengan kata ‘tidak sempurna?’Hah! Aku tidak percaya dengan semua ini. Aku juga tidak berpikir kearah ini. Kupikir dia bicara tentang fisik, bukan hal seintim ini! Bagaimana mungkin seorang Anindyaswari yang wajahnya terlihat begitu polos, bening bagai tak berdosa, hasil pemeriksaannya 2p?Bagaimana mungkin aku tertipu? Ini bukan sekadar pakaian yang menutupi, yang mungkin bisa menipu. Namun, ini adalah pancaran jiwanya. Semua dapat terlihat dari cahaya wajahnya. Atau mungkin aku yang sudah terlalu silau oleh pesonanya, sehingga tid
Suatu hal yang menyakitkan dan memalukan memang terlampau sulit untuk diceritakan. Bahkan sekedar untuk singgah dalam ingatan terasa berat apalagi harus diungkapkan.Jangan berkata apa susahnya bercerita. Itu teramat susah. Orang lain tidak akan pernah tahu.Aku menatapnya yang menjauh dengan mobil yang melaju sangat kencang.Aku tahu kamu terluka, Mas. Kamu pasti sangat kecewa dengan kenyataan yang tidak pernah kamu duga sebelumnya. Andai aku punya kemampuan untuk mengungkapkan kenyataan ini sejak awal. Mungkin semuanya akan lebih baik. Bukan aku tidak mau, tapi tidak mampu. Aku tidak pernah berpikir untuk memulai ikatan suci ini dengan sebuah ketidakjujuran. Namun, aku tidak punya kuasa untuk bicara. Lagi pula, kamu tidak memberiku banyak waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa berkata apa adanya.Aku melangkah gontai, menuju istana yang mungkin sebentar lagi tak sudi menerima. Sejatinya aku te
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Fortuner hitam yang dikendarai Mas Kusuma memasuki pekarangan rumah. Aku berdiri, sedikit gugup menyambut kedatangan laki-laki itu. Jantungku berdegup cukup kencang. Takut, jika dia masih marah. Setelah Fortuner hitam itu ditempatkan sesuai posisinya, dari belakang menyusul satu mobil yang pernah kulihat. Sebuah luka tergores di hati. Terasa perih. Ayla berwarna merah menyala itu berhenti setelah mengambil parkir di sisi kiri rumah, tepat di depan garasi yang ditempati Fortuner hitam milik suamiku.Laki-laki yang kini telah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan PDH seperti saat dia berangkat, turun dari mobil tanpa menunggu pengendara Ayla merah menyala itu. Entah baju siapa yang dia kenakan. Bagaimana dia bisa pulang bersama mantan istrinya itu malam-malam begini. Apakah tadi dia pergi ke rumah wanita itu? Kuredam semua tanya dan prasangka ketika laki-l