Suatu hal yang menyakitkan dan memalukan memang terlampau sulit untuk diceritakan. Bahkan sekedar untuk singgah dalam ingatan terasa berat apalagi harus diungkapkan.
Jangan berkata apa susahnya bercerita. Itu teramat susah. Orang lain tidak akan pernah tahu.
Aku menatapnya yang menjauh dengan mobil yang melaju sangat kencang.
Aku tahu kamu terluka, Mas. Kamu pasti sangat kecewa dengan kenyataan yang tidak pernah kamu duga sebelumnya. Andai aku punya kemampuan untuk mengungkapkan kenyataan ini sejak awal. Mungkin semuanya akan lebih baik. Bukan aku tidak mau, tapi tidak mampu. Aku tidak pernah berpikir untuk memulai ikatan suci ini dengan sebuah ketidakjujuran. Namun, aku tidak punya kuasa untuk bicara. Lagi pula, kamu tidak memberiku banyak waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa berkata apa adanya.
Aku melangkah gontai, menuju istana yang mungkin sebentar lagi tak sudi menerima. Sejatinya aku te
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Fortuner hitam yang dikendarai Mas Kusuma memasuki pekarangan rumah. Aku berdiri, sedikit gugup menyambut kedatangan laki-laki itu. Jantungku berdegup cukup kencang. Takut, jika dia masih marah. Setelah Fortuner hitam itu ditempatkan sesuai posisinya, dari belakang menyusul satu mobil yang pernah kulihat. Sebuah luka tergores di hati. Terasa perih. Ayla berwarna merah menyala itu berhenti setelah mengambil parkir di sisi kiri rumah, tepat di depan garasi yang ditempati Fortuner hitam milik suamiku.Laki-laki yang kini telah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan PDH seperti saat dia berangkat, turun dari mobil tanpa menunggu pengendara Ayla merah menyala itu. Entah baju siapa yang dia kenakan. Bagaimana dia bisa pulang bersama mantan istrinya itu malam-malam begini. Apakah tadi dia pergi ke rumah wanita itu? Kuredam semua tanya dan prasangka ketika laki-l
Nurin tetap terdiam, memandang kosong ke depan beberapa saat kemudian menunduk menekuri lantai. Aku gerah dengan sikapnya, seolah menunjukkan bahwa dia begitu terluka karena aku telah mengambil hartanya yang paling berharga, Mas Kusuma dan Nadin. Padahal saat kudatang, Mas Kusuma bukan milik siapa-siapa lagi.“Mbak, pernikahan bukanlah suatu permainan untukku, yang bisa dimulai dan diselesaikan kapan saja. Di dalamnya, kita tidak hanya sedang berjanji kepada pasangan masing-masing tetapi juga kepada Sang Pencipta. Aku memang bukan wanita yang sempurna untuk mendampingi Mas Kusuma, mungkin secara fisik aku akan kalah saing dengan Mbak. Tapi aku punya cinta dan setia yang sempurna untuk Mas Kusuma,” sindirku.Kalimat ini sebenarnya tidak hanya kutujukan kepada perempuan di sampingku itu. Tetapi juga kepada diri sendiri. Sebagai penguat untuk tetap bertahan dalam mahligai pernikahan kami.Ya, aku memang bukan wa
Terima kasih Ya Allah, engkau hadirkan laki-laki berhati murni ini untukku. Hati yang kuharapkan mampu menyinari titik hitamku. Tubuhku berguncang. Aku menangis bahagia. Benar-benar bahagia. Sebelumnya aku telah begitu ketakutan jika akan kehilangan dirinya.“Kamu menangis?” Dia merenggangkan dekapannya, tetapi aku justru semakin merapatkan.“Anin …,” panggilnya tetap mencoba melepaskan dekapannya. Matanya terbuka menatapku. Jarinya mengusap basah di pipiku. Dia beranjak duduk, kemudian mengangkat tubuhku untuk duduk bersama.“Maaf,” ucapnya.“Aku yang minta maaf, Mas. Aku tidak jujur,” tuturku di antara isak.“Tidak Anin, saya yang minta maaf,” tuturnya sambil membelai rambutku lembut, “Tidak seharusnya saya semarah itu.”“Mas layak marah.”
“Kamu kenapa?” tanya Mas Kusuma ketika melihatku memijat-mijat pelipis saat sarapan pagi ini. Entahlah, sejak subuh aku merasa sedikit pusing. Barangkali sisa kejadian semalam, karena aku tidak makan hampir seharian.Makanan yang masuk ke perutku semalam hanya satu gelas teh hangat, selembar roti saat sarapan pagi sebelum berangkat ke Kesdam, dan satu gelas teh es saat di kantin.“Gak tau, Mas. Agak pusing dan mual. Mungkin masuk angin,” jawabku sambil tetap menyuapi Nadin yang pagi itu tidak mau makan sendiri.“Apa mungkin kamu sudah isi?” Ibu mertuaku bertanya sambil tersenyum kepadaku, menatap lembut dengan raut bahagia, raut tak berdosa.Ucapan beliau yang lembut, justru membuat jantungku terasa hampir mau copot. Wajar, sih, jika beliau bertanya demikian. Karena pernikahan secara agamaku dengan Mas Kusuma sudah berjalan dua mingguan. Beliau tidak tahu jika kami
Tangisku mulai pecah. Aku sangat kecewa padanya. Seharusnya dia desak saja aku untuk bercerita tentang apa yang terjadi, membiarkanku mengungkapkan semuanya. Bukan sok mencegah, tetapi praduga di hatinya belum tuntas. Meskipun itu sangat menyakitkan untuk diingat, tetapi ucapannya ini lebih menyakitkan lagi.“Benar kata, Mas. Bahwa aku telah melakukannya bersama laki-laki lain sebelumnya. Tapi ucapan, Mas, itu seolah aku melakukannya dengan sukarela. Tidak Mas. Aku bukan penzina.” Kubiarkan tangisku pecah, kemudian berlalu dengan membawa test pack yang dia berikan. Menuju kamar mandi, menuruti apa maunya. Kemudian kembali setelah beberapa lama dan memberikan semua hasil itu padanya.“Anin ….” Suaranya terdengar bergetar ketika menerima semua benda itu dariku. Semua yang hasilnya negative. Tentu saja negative karena peristiwa itu telah empat tahun berlalu.Dia meraih tanganku, tapi pelan kut
Entah berapa lama aku terlelap. Ketika kubangun, bajuku telah terpasang kembali. Posisi tidurku terlentang, kepala di atas bantal, dengan selimut menutupi tubuh. Perasaan sudah lebih nyaman. Minyak urut yang hangat membuat perutku tak lagi terlalu mual. Begitu pula sakit di kepala, terasa lebih enteng, mungkin karena obat yang dia berikan, juga pijatan-pijatan lembutnya.Aku tersenyum.Jika kamu terus manis begini, Mas. Pasti akan sangat membahagiakan. Kamu benar-benar pandai memanjakanku.Aku menyibak selimut dan bermaksud beranjak turun ketika dia menyembul dari balik pintu. Di tangannya terdapat satu nampan berisi mangkuk dan segelas susu.“Kamu sudah bangun?” tanyanya sambil mendekat. Ia meletakkan nampan di atas tempat tidur tepat di sampingku.Seulas senyum terkembang di bibirnya. Senyum yang selalu membuat
Hari ini kami melanjutkan kembali rangkaian tahapan nikah kantor yang tertunda. Jadwal hari ini adalah ke Korem.“Sudah, siap?” tanya Mas Kusuma sambil berdiri di mulut pintu. Dia baru saja dari mengantar Nadin ke sekolah. Hari ini Nadin berangkat ditemani Ibu. Agar ketika pulang nanti dapat mencari taksi online karena untuk hari ini saja, Mas Kusuma tidak dapat menjemput.Sedangkan aku sibuk mematut diri di cermin dengan pakaian PSK. Agak kurang pede setiap mengenakan pakaian ini, karena jilbab harus dikenakan masuk ke dalam leher baju. Sedangkan selama ini aku terbiasa mengenakan jilbab model simple, menjuntai sedada. Meskipun seragam PSK yang kukenakan ini masih cukup longgar.“Sudah cantik, kok,” komentarnya ketika melihatku masih sibuk merapikan jilbab yang kukenakan.“Benar, Mas?” tanyaku meminta penguatan.“Iya, kamu tidak pakai ap
“Mas, bahagia?” Kutanyakan juga rasa penasaran yang menggelayut.“Sangat! Kamu akan resmi jadi istri saya secara administrasi di kantor. Secara agama sudah resmi, tinggal peresmian secara negara saja,” jawabnya pelan, tapi tegas.“Kamu, bahagia?” Dia balik bertanya.Aku mengangguk, “Alhamdulillah, sangat bahagia. Meski dulu dilamar secara arogan,” balasku menyindir. Dia terkekeh.Ya, tentu saja aku bahagia. Dia yang mau menerima tanpa mempermasalahkan titik hitamku, memperlakukanku demikian mani, menghujaniku dengan berjuta cinta.“Kalau begitu, kita buat pernikahan ini selalu bahagia. Agar tidak ada luka di antara kita. Ingat kata petugas bintal tadi, saya adalah pakaianmu, dan kamu adalah pakaian saya. Kita saling menjaga agar pakaian kita selalu bersih dari noda. Kamu mau?” tanyanya.Aku menganggu
"Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu
"Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia
"Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga
PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.
"Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat
Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku
Sekolah memberiku cuti menikah selama satu Minggu. Dua hari digunakan untuk persiapan, satu hari untuk pelaksanaan, tiga hari kami manfaatkan untuk masa berdua menikmati pasca resepsi, dan satu hari masa untuk beristirahat sebelum melaksanakan tugas negara kembali.Setelah satu Minggu melalui hari-hari awal penuh bahagia, hari ini aku dan Mas Farel merapat ke tempat tugas.Pukul enam pagi aku sudah rapi dengan seragam dan polesan make up tipis. Kami akan bersiap untuk sarapan ketika notifikasi pesan singkat dari aplikasi pepesanan warna hijau di ponselku berbunyi.Sebuah pesan dari Mbak Rissa masuk. "Hanum, hari ini Mbak enggak masuk. Tadi sudah ijin sama kepala sekolah. Mbak ada giat upacara pelepasan pindah Mas Cahyo. Nanti tolong sampaikan tugas-tugas Mbak ke siswa, ya," tulisnya. Om Cahyo pindah? Dahiku mengernyit. Bukankah Om Cahyo leting Mas Farel. Apakah Mas Farel juga ikut pindah? Tapi mengapa dia tidak memberitahuku?"Om Cahyo pindah, Mbak?" tanyaku meminta penegasan. Selam
Aku titipkan diaLanjutkan perjuanganku 'tuknyaBahagiakan dia, kau sayangi diaSeperti ku menyayanginya'Kan kuikhlaskan diaTak pantas ku bersanding dengannya'Kan kuterima dengan lapang dadaAku bukan jodohnyaDahiku mengernyit. Mataku sontak mencari sumber suara pada iringan musik organ tunggal yang menjadi hiburan di resepsi pernikahan kami. Aku seperti mengenal suara yang membawakan lagu Aku Bukan Jodohnya dari Tri Suaka yang sedang mengalun itu. "Mantan kamu."Mas Farel menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik pada satu arah, memberi kode agar aku melihat ke sudut yang di maksud. "Apa, sih?" Aku merengut saat melihat pada sosok yang dia sebut sebagai mantanku. Pantas saja aku seperti mengenal suara orang yang membawakan lagu itu, rupanya Hadi sedang berada di atas panggung. Dia memang terkenal dengan suara merdunya sejak kami masih kuliah. Hadi sering mengisi waktu luang dengan memetik gitar di taman kampus bersama beberapa rekannya. Suaranya itu juga yang menjadi salah satu
Aku rindu, Ayah. Rindu sebenar-benarnya rindu."Hanum." Umak yang sedang tadi memerhatikanku dirias MUA dari sofa bed yang tersedia kamar, melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Beliau mengusap punggungku lembut. Aku mengangkat wajah, menatap sendu satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini."Mak." Aku memanggil beliau lirih, ingin mengadukan perasaan yang berkecamuk di hati. Namun, aku tahu tanpa kuceritakan pun beliau sudah paham apa yang kurasakan."Jangan menangis, Hanum. Nanti riasan kamu rusak." Bukannya khawatir kondisi putrinya, Umak justru memikirkan riasanku. Walaupun, aku tahu apa yang baru saja beliau ucapkan itu hanya sekadar untuk menghiburku.Tangan tua beliau kemudian mengusap lembut butiran bening yang mulai banyak pecah di sudut mataku. Akan tetapi, semakin beliau mengusap, butiran itu justru semakin banyak. "Mak."Aku menjatuhkan diri ke dalam tubuh tua Umak, memeluk erat wanita yang telah berjasa mengantarku ke dunia itu. Tubuhku berguncang menahan tangi