“Mas, bahagia?” Kutanyakan juga rasa penasaran yang menggelayut.
“Sangat! Kamu akan resmi jadi istri saya secara administrasi di kantor. Secara agama sudah resmi, tinggal peresmian secara negara saja,” jawabnya pelan, tapi tegas.
“Kamu, bahagia?” Dia balik bertanya.
Aku mengangguk, “Alhamdulillah, sangat bahagia. Meski dulu dilamar secara arogan,” balasku menyindir. Dia terkekeh.
Ya, tentu saja aku bahagia. Dia yang mau menerima tanpa mempermasalahkan titik hitamku, memperlakukanku demikian mani, menghujaniku dengan berjuta cinta.
“Kalau begitu, kita buat pernikahan ini selalu bahagia. Agar tidak ada luka di antara kita. Ingat kata petugas bintal tadi, saya adalah pakaianmu, dan kamu adalah pakaian saya. Kita saling menjaga agar pakaian kita selalu bersih dari noda. Kamu mau?” tanyanya.
Aku menganggu
“Kalau begitu kita makan bareng, ya. Aku sudah ijin sama Ibu tadi untuk menyiapkan makanan di meja,” balas Nurin semringah, “Sesekali kita perlu makan bareng, Mas. Supaya Nadin merasa tetap mempunyai orang tua yang utuh.”“Boleh,” balas Mas Kusuma di luar dugaanku. Mulutku sampai terbuka saat mendengarnya, tidak percaya dia akan mengijinkan Nurin makan bersama kami, menyantap makanan yang dibawa dan disiapkan wanita itu. Padahal, tadi pagi aku sudah menyempatkan diri untuk masak makan siang sebelum berangkat.Apa dia tidak menjaga perasaanku? Apalagi wanita yang dihadapanku ini kemarin malam terang-terangan meminta posisinya kembali. Dan sekarang, dia mengatakan agar Nadin merasa tetap mempunyai orang tua yang utuh. Apa maksudnya?“Benar, Mas? Alhamdulillah. Akhirnya ....” seru wanita itu semringah, membuatku semakin panas.“Mas,&rdq
"Saya berangkat," pamitnya.Laki-laki itu berdiri di hadapanku yang sedang duduk di sisi tempat tidur, memperhatikannya yang sejak tadi merapikan PDL yang ia kenakan.Sambil mengulurkan tangan, ia mendekat, memintaku menciumnya takzim.Setelah pulang dari korem kemarin, keesokan harinya dia kembali ke batalyon, menghadap perwira seksi lidik untuk melaporkan berkas yang telah kami urus. Kemudian pada malam harinya kami menghadap komandan dan wakil. Kebetulan, komandan menginginkan setiap pasang pengantin baru menghadap ke rumah, tidak ke kantor. Salah satu alasan yang beliau sampaikan adalah agar lebih terjalin rasa kekeluargaan.Usai tahapan laporan ke batalyon, hari ini dia mulai menjalani sanksi tahanan 14 hari.Aku mengabaikan tangan itu, justru mendekap pinggangnya erat. Hatiku sedih ia pergi, menjalani hukuman untuk sebuah kesalahan yang tidak ia perbuat.
“Dipanggil diam saja. Apalagi menyambut suami pulang.” Suaranya terdengar mengeluh. Aku memicingkan mata, kembali menoleh padanya.“Mas?” Aku memanggilnya ragu. Dia masih berdiri di depan pintu dengan melipat tangan.“Ya,” sahutnya sambil masuk dan merapatkan pintu, kemudian berjalan kearahku.“Apa kamu tidak tahu kalau saya rindu. Berharap ketika pulang disambut istri. Dipanggil saja tidak acuh,” ucapnya sambil melepas drahrimnya. kemudian menyerahkannya padaku.“Mas?” Kembali aku memanggilnya ketika drahrim itu nyata ada di tanganku.“Hmm,” sahutnya. Kali ini sambil melepas seragam lorengnya.“Ini benaran kamu, Mas?” tanyaku tidak percaya.“Ya benar. Memang siapa lagi? Kamu pikir hantu?” ucapnya sinis menatapku. Sepertinya dia marah, tapi aku
Senyumku terkembang ketika melihat bayangan diri di cermin. Hari ini fitting baju pengantin. Ada empat baju yang akan kami kenakan di hari bahagia nanti. Satu baju untuk akad, dan tiga baju untuk resepsi.Pada saat akad, baju yang kugunakan berupa kebaya panjang berwarna putih. Sedangkan Mas Kusuma akan mengenakan Jas hitam. Saat resepsi, baju yang dipilih berupa pakaian khas melayu, jawa, dan kebaya panjang hijau untuk dipadankan dengan PDU 1 Mas Kusuma.“Cantik,” komentarnya ketika kucoba setiap baju.“Kamu suka? Kalau gak suka, kita coba yang lain,” lanjutnya.“Aku suka, Mas,” jawabku cepat, “terima kasih, ya, Mas,” lanjutku. Aku benar-benar merasa diperlakukan bagai ratu olehnya.“Sama-sama. Yang penting kamu bahagia,” balasnya. Aku memang bahagia, meskipun ada satu lubang yang tak terisi. Entah bagaima
Saung ini tidaklah luas. Kursi pelaminan terletak pada sisi kanan dari jalan masuk. Berdampingan dengan pelaminan itu terdapat organ tunggal sebagai hiburan acara ini. Seorang laki-laki berpakaian semiformal stand by duduk di sana. Tempat akad dilangsungkan terletak tepat di depan kursi pelaminan itu.Suasana saung terasa khidmat dengan music religi yang diputar pelan. Seorang MC membawakan acara dengan kesan formal. Prosesi sacral itu diawali dengan lantunan ayat suci, Surah An-Nisa ayat 1.Akhirnya, akad nikahku berwalikan orang yang memang berhak secara utuh. Orang yang memang kuharapkan untuk itu. Orang yang menjadi perantara aku ada di dunia, yang selama ini memegang tanggung jawab atasku. Hari ini tanggung jawab itu akan beliau serahkan secara langsung kepada laki-laki lain melalui ijab qabul.Bayu berembus tidak terlalu kencang. Hanya lembut membelai setiap raga yang hadir. Cuaca sepertinya demikian
PoV KusumaTidak mengapa jika nanti kita tidak punya waktu untuk selalu bersama, yang penting kita selalu punya banyak waktu untuk mengenang indahnya kebersamaan kita saat ini.==============Malam.Aku menatap wajahnya yang terlelap sambil tersenyum bahagia. Tak henti hati dan bibir ini mengucap syukur, akhirnya dia menjadi milikku utuh. Secara agama, kantor, dan negara.Jari tanganku mengusap lembut pipi squishy-nya. Dengkurannya terdengar halus menyapu telinga. Aku menyukai suaranya. Bagiku seperti irama yang mendamaikan. Dengkurannya seolah menyampaikan bahwa tidurnya benar-benar lelap dan aku merasa senang mengetahui hal itu.Dia terlihat benar-benar lelah setelah seharian melewati rangkaian pesta pernikahan kami. Meskipun tampak begitu lelah, rona bahagia jelas terpancar di wajahnya.Dia memang sangat bahagia, setidaknya begitu menurut pengakuann
Mas Kusuma berdiri di depan pintu kamar dengan wajah sedikit heran saat melihatku masih duduk malas di tepi tempat tidur setelah berpakaian rapi."Lho, kok, malah duduk lagi. Ayo berangkat," ucapnya.Hari dia mengajak untuk mengurus kartu penunjukkan istri prajurit. Sebenarnya ini bisa kuurus sendiri. Namun, Mas Kusuma tidak ingin aku repot bolak balik sendiri. Sebab, rumah kami cukup jauh dari batalyon. Kami tinggal di rumah pribadi, bukan di perumahan prajurit yang terletak di lingkungan batalyon.Kami hanya mengambil blanko. Perlu waktu beberapa lama untuk proses pengajuan. Kartu penunjukkan istri sangat penting. Terutama untuk penyelesaian urusan administrasi keprajuritan, serta klaim hak-hak sebagai istri prajurit."Malas," sahutku asal.Bagaimana tidak malas? Jika dia memaksa untuk segera mengurus semua berkas itu dengan alasan dia akan berangkat tugas.
Tidak perlu banyak kata lagi tentang cinta dan setia. Ketika semua sudah pada tempatnya, maka tidak ada yang bisa menukarnya lagi. Seperti matahari untuk siang, dan rembulan untuk malam. Semua setia pada posisi masing-masing. Maka aku untukmu, juga akan setia pada tempatku.======="Mas cemburu, ya?" Aku bertanya menggoda. Entah mengapa, kali ini aku suka melihat ekspresi cemburunya.Laki-laki itu mendelik, membuatku terkekeh geli. Kutarik tangan agar lepas dari genggamannya, bukan benar-benar ingin lepas, melainkan hanya untuk menggodanya."Diam, kenapa?" Dia berdecak kesal sambil mengeratkan genggaman. Aku semakin cekikikan."Jangan khawatir, Mas. Dia gak akan berani mengambil aku dari Mas."Ia menoleh, menatap dengan dahi mengernyit. Sorot matanya seolah bertanya, "Oh, ya? Benarkah?""Iya. Mana berani dia sama Mas. Garang, gitu!" teran