“Kamu kenapa?” tanya Mas Kusuma ketika melihatku memijat-mijat pelipis saat sarapan pagi ini. Entahlah, sejak subuh aku merasa sedikit pusing. Barangkali sisa kejadian semalam, karena aku tidak makan hampir seharian.
Makanan yang masuk ke perutku semalam hanya satu gelas teh hangat, selembar roti saat sarapan pagi sebelum berangkat ke Kesdam, dan satu gelas teh es saat di kantin.
“Gak tau, Mas. Agak pusing dan mual. Mungkin masuk angin,” jawabku sambil tetap menyuapi Nadin yang pagi itu tidak mau makan sendiri.
“Apa mungkin kamu sudah isi?” Ibu mertuaku bertanya sambil tersenyum kepadaku, menatap lembut dengan raut bahagia, raut tak berdosa.
Ucapan beliau yang lembut, justru membuat jantungku terasa hampir mau copot. Wajar, sih, jika beliau bertanya demikian. Karena pernikahan secara agamaku dengan Mas Kusuma sudah berjalan dua mingguan. Beliau tidak tahu jika kami
Tangisku mulai pecah. Aku sangat kecewa padanya. Seharusnya dia desak saja aku untuk bercerita tentang apa yang terjadi, membiarkanku mengungkapkan semuanya. Bukan sok mencegah, tetapi praduga di hatinya belum tuntas. Meskipun itu sangat menyakitkan untuk diingat, tetapi ucapannya ini lebih menyakitkan lagi.“Benar kata, Mas. Bahwa aku telah melakukannya bersama laki-laki lain sebelumnya. Tapi ucapan, Mas, itu seolah aku melakukannya dengan sukarela. Tidak Mas. Aku bukan penzina.” Kubiarkan tangisku pecah, kemudian berlalu dengan membawa test pack yang dia berikan. Menuju kamar mandi, menuruti apa maunya. Kemudian kembali setelah beberapa lama dan memberikan semua hasil itu padanya.“Anin ….” Suaranya terdengar bergetar ketika menerima semua benda itu dariku. Semua yang hasilnya negative. Tentu saja negative karena peristiwa itu telah empat tahun berlalu.Dia meraih tanganku, tapi pelan kut
Entah berapa lama aku terlelap. Ketika kubangun, bajuku telah terpasang kembali. Posisi tidurku terlentang, kepala di atas bantal, dengan selimut menutupi tubuh. Perasaan sudah lebih nyaman. Minyak urut yang hangat membuat perutku tak lagi terlalu mual. Begitu pula sakit di kepala, terasa lebih enteng, mungkin karena obat yang dia berikan, juga pijatan-pijatan lembutnya.Aku tersenyum.Jika kamu terus manis begini, Mas. Pasti akan sangat membahagiakan. Kamu benar-benar pandai memanjakanku.Aku menyibak selimut dan bermaksud beranjak turun ketika dia menyembul dari balik pintu. Di tangannya terdapat satu nampan berisi mangkuk dan segelas susu.“Kamu sudah bangun?” tanyanya sambil mendekat. Ia meletakkan nampan di atas tempat tidur tepat di sampingku.Seulas senyum terkembang di bibirnya. Senyum yang selalu membuat
Hari ini kami melanjutkan kembali rangkaian tahapan nikah kantor yang tertunda. Jadwal hari ini adalah ke Korem.“Sudah, siap?” tanya Mas Kusuma sambil berdiri di mulut pintu. Dia baru saja dari mengantar Nadin ke sekolah. Hari ini Nadin berangkat ditemani Ibu. Agar ketika pulang nanti dapat mencari taksi online karena untuk hari ini saja, Mas Kusuma tidak dapat menjemput.Sedangkan aku sibuk mematut diri di cermin dengan pakaian PSK. Agak kurang pede setiap mengenakan pakaian ini, karena jilbab harus dikenakan masuk ke dalam leher baju. Sedangkan selama ini aku terbiasa mengenakan jilbab model simple, menjuntai sedada. Meskipun seragam PSK yang kukenakan ini masih cukup longgar.“Sudah cantik, kok,” komentarnya ketika melihatku masih sibuk merapikan jilbab yang kukenakan.“Benar, Mas?” tanyaku meminta penguatan.“Iya, kamu tidak pakai ap
“Mas, bahagia?” Kutanyakan juga rasa penasaran yang menggelayut.“Sangat! Kamu akan resmi jadi istri saya secara administrasi di kantor. Secara agama sudah resmi, tinggal peresmian secara negara saja,” jawabnya pelan, tapi tegas.“Kamu, bahagia?” Dia balik bertanya.Aku mengangguk, “Alhamdulillah, sangat bahagia. Meski dulu dilamar secara arogan,” balasku menyindir. Dia terkekeh.Ya, tentu saja aku bahagia. Dia yang mau menerima tanpa mempermasalahkan titik hitamku, memperlakukanku demikian mani, menghujaniku dengan berjuta cinta.“Kalau begitu, kita buat pernikahan ini selalu bahagia. Agar tidak ada luka di antara kita. Ingat kata petugas bintal tadi, saya adalah pakaianmu, dan kamu adalah pakaian saya. Kita saling menjaga agar pakaian kita selalu bersih dari noda. Kamu mau?” tanyanya.Aku menganggu
“Kalau begitu kita makan bareng, ya. Aku sudah ijin sama Ibu tadi untuk menyiapkan makanan di meja,” balas Nurin semringah, “Sesekali kita perlu makan bareng, Mas. Supaya Nadin merasa tetap mempunyai orang tua yang utuh.”“Boleh,” balas Mas Kusuma di luar dugaanku. Mulutku sampai terbuka saat mendengarnya, tidak percaya dia akan mengijinkan Nurin makan bersama kami, menyantap makanan yang dibawa dan disiapkan wanita itu. Padahal, tadi pagi aku sudah menyempatkan diri untuk masak makan siang sebelum berangkat.Apa dia tidak menjaga perasaanku? Apalagi wanita yang dihadapanku ini kemarin malam terang-terangan meminta posisinya kembali. Dan sekarang, dia mengatakan agar Nadin merasa tetap mempunyai orang tua yang utuh. Apa maksudnya?“Benar, Mas? Alhamdulillah. Akhirnya ....” seru wanita itu semringah, membuatku semakin panas.“Mas,&rdq
"Saya berangkat," pamitnya.Laki-laki itu berdiri di hadapanku yang sedang duduk di sisi tempat tidur, memperhatikannya yang sejak tadi merapikan PDL yang ia kenakan.Sambil mengulurkan tangan, ia mendekat, memintaku menciumnya takzim.Setelah pulang dari korem kemarin, keesokan harinya dia kembali ke batalyon, menghadap perwira seksi lidik untuk melaporkan berkas yang telah kami urus. Kemudian pada malam harinya kami menghadap komandan dan wakil. Kebetulan, komandan menginginkan setiap pasang pengantin baru menghadap ke rumah, tidak ke kantor. Salah satu alasan yang beliau sampaikan adalah agar lebih terjalin rasa kekeluargaan.Usai tahapan laporan ke batalyon, hari ini dia mulai menjalani sanksi tahanan 14 hari.Aku mengabaikan tangan itu, justru mendekap pinggangnya erat. Hatiku sedih ia pergi, menjalani hukuman untuk sebuah kesalahan yang tidak ia perbuat.
“Dipanggil diam saja. Apalagi menyambut suami pulang.” Suaranya terdengar mengeluh. Aku memicingkan mata, kembali menoleh padanya.“Mas?” Aku memanggilnya ragu. Dia masih berdiri di depan pintu dengan melipat tangan.“Ya,” sahutnya sambil masuk dan merapatkan pintu, kemudian berjalan kearahku.“Apa kamu tidak tahu kalau saya rindu. Berharap ketika pulang disambut istri. Dipanggil saja tidak acuh,” ucapnya sambil melepas drahrimnya. kemudian menyerahkannya padaku.“Mas?” Kembali aku memanggilnya ketika drahrim itu nyata ada di tanganku.“Hmm,” sahutnya. Kali ini sambil melepas seragam lorengnya.“Ini benaran kamu, Mas?” tanyaku tidak percaya.“Ya benar. Memang siapa lagi? Kamu pikir hantu?” ucapnya sinis menatapku. Sepertinya dia marah, tapi aku
Senyumku terkembang ketika melihat bayangan diri di cermin. Hari ini fitting baju pengantin. Ada empat baju yang akan kami kenakan di hari bahagia nanti. Satu baju untuk akad, dan tiga baju untuk resepsi.Pada saat akad, baju yang kugunakan berupa kebaya panjang berwarna putih. Sedangkan Mas Kusuma akan mengenakan Jas hitam. Saat resepsi, baju yang dipilih berupa pakaian khas melayu, jawa, dan kebaya panjang hijau untuk dipadankan dengan PDU 1 Mas Kusuma.“Cantik,” komentarnya ketika kucoba setiap baju.“Kamu suka? Kalau gak suka, kita coba yang lain,” lanjutnya.“Aku suka, Mas,” jawabku cepat, “terima kasih, ya, Mas,” lanjutku. Aku benar-benar merasa diperlakukan bagai ratu olehnya.“Sama-sama. Yang penting kamu bahagia,” balasnya. Aku memang bahagia, meskipun ada satu lubang yang tak terisi. Entah bagaima