Part 10. Bertemu Orangtua
Memasuki waktu zuhur, kami tiba di Serimbu. Lelah? Tentu saja! Lebih dari enam jam berkendara sepeda motor. Hanya dua kali beristirahat. Bagian belakang tubuh terasa panas dan pegal. Punggung seperti kaku.
Serimbu, merupakan ibu kota dari kecamatan Air Besar. Dinamakan demikian karena desa-desa yang terdapat di kecamatan ini dilintasi oleh sungai besar. Sungai Bahasa setempat disebut ‘aek’ atau air. Sehingga sungai besar menjadi air besar.
Rumah orang tuaku sangat sederhana. Merupakan rumah panggung dengan material papan. Ketika tetangga dan sebagian besar warga telah merehab rumah mereka, kedua orang tuaku masih betah dengan bentuk rumah sederhana itu. Alasan terbesarnya tentu saja soal biaya, karena kami bukanlah keluarga berkecukupan. Untung saja kayu yang menjadi bahan pembangunan rumah ini dari jenis belian, sehingga tidak lapuk meskipun telah berpuluh tahun.
Part 11. KelamMalam ini, dia terlelap dengan mendekapku erat. Seharusnya aku merasa damai saat tak berjarak dengannya seperti ini. Saat irama jantung kami seolah menyatu. Namun, hati ini justru begitu resah.“Saya tidak ingin kamu bekerja. Saya takut kamu terpikat dengan laki-laki lain di sana. Saya tidak sanggup. Tidak akan sanggup. Karena itu, tolong, mengertilah,” mohonnya tadi sebelum tidur.“Biarkan saya saja yang bekerja, memanjakanmu, memenuhi segala butuhmu, meskipun harus memeras keringat sampai habis asalkan kamu tetap bersama saya, menjadi milik saya selamanya.” Dia bicara dengan napas yang berlomba. Seperti ada suatu emosi yang menguasai.“Sekarang, bicara! Katakan bahwa kamu akan setia,” pintanya sembari menatap mataku. Mungkin ingin menyeimbangkan kejujuran yang akan terucap dari bibirku dengan yang terpancar dari sana.&ld
Part 12. Nikah KantorKami segera kembali ke Pontianak, sama sekali tidak ada kesempatan untuk berlama-lama melepas rindu di sini, karena Mas Kusuma harus dinas.Sepulang dari bertemu orangtuaku di Serimbu, Mas Kusuma tidak ingin menunda untuk mengurus administrasi nikah kantor.“Ada apa, Mas?” tanyaku. Malam ini kudapati ia tengah duduk di atas karpet bulu di kamar. Ia tampak tersenyum sendiri sambil memandangi sesuatu.“Kemarilah!” pintanya sambil menepuk tempat di sisinya. Aku yang saat itu berdiri di depan pintu, baru dari dapur, menurut dan duduk di tempat yang dia maksud.“Saya sedang menyiapkan berkas nikah kantor, lihat foto gandeng kita. Serasi ‘kan? Kamu cantik sekali.”Dia menunjukkan foto yang kami rekam beberapa hari lalu. Padahal foto itu sudah berulang kali dilihat. Jujur aku juga sena
Part 13. PoV Kusuma“Apa maksud semua ini, Anin? Kamu sudah tidak perawan?” Aku menatap wajah yang menunduk itu. Berharap apa yang kubaca pada hasil pemeriksaan ini salah."Maaf, Mas," jawabnya pelan, mengubur semua harapanku.Aku menghela napas kasar. Tangan mengepal gusar. Jadi inikah yang dia maksud dengan kata ‘tidak sempurna?’Hah! Aku tidak percaya dengan semua ini. Aku juga tidak berpikir kearah ini. Kupikir dia bicara tentang fisik, bukan hal seintim ini! Bagaimana mungkin seorang Anindyaswari yang wajahnya terlihat begitu polos, bening bagai tak berdosa, hasil pemeriksaannya 2p?Bagaimana mungkin aku tertipu? Ini bukan sekadar pakaian yang menutupi, yang mungkin bisa menipu. Namun, ini adalah pancaran jiwanya. Semua dapat terlihat dari cahaya wajahnya. Atau mungkin aku yang sudah terlalu silau oleh pesonanya, sehingga tid
Suatu hal yang menyakitkan dan memalukan memang terlampau sulit untuk diceritakan. Bahkan sekedar untuk singgah dalam ingatan terasa berat apalagi harus diungkapkan.Jangan berkata apa susahnya bercerita. Itu teramat susah. Orang lain tidak akan pernah tahu.Aku menatapnya yang menjauh dengan mobil yang melaju sangat kencang.Aku tahu kamu terluka, Mas. Kamu pasti sangat kecewa dengan kenyataan yang tidak pernah kamu duga sebelumnya. Andai aku punya kemampuan untuk mengungkapkan kenyataan ini sejak awal. Mungkin semuanya akan lebih baik. Bukan aku tidak mau, tapi tidak mampu. Aku tidak pernah berpikir untuk memulai ikatan suci ini dengan sebuah ketidakjujuran. Namun, aku tidak punya kuasa untuk bicara. Lagi pula, kamu tidak memberiku banyak waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa berkata apa adanya.Aku melangkah gontai, menuju istana yang mungkin sebentar lagi tak sudi menerima. Sejatinya aku te
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Fortuner hitam yang dikendarai Mas Kusuma memasuki pekarangan rumah. Aku berdiri, sedikit gugup menyambut kedatangan laki-laki itu. Jantungku berdegup cukup kencang. Takut, jika dia masih marah. Setelah Fortuner hitam itu ditempatkan sesuai posisinya, dari belakang menyusul satu mobil yang pernah kulihat. Sebuah luka tergores di hati. Terasa perih. Ayla berwarna merah menyala itu berhenti setelah mengambil parkir di sisi kiri rumah, tepat di depan garasi yang ditempati Fortuner hitam milik suamiku.Laki-laki yang kini telah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan PDH seperti saat dia berangkat, turun dari mobil tanpa menunggu pengendara Ayla merah menyala itu. Entah baju siapa yang dia kenakan. Bagaimana dia bisa pulang bersama mantan istrinya itu malam-malam begini. Apakah tadi dia pergi ke rumah wanita itu? Kuredam semua tanya dan prasangka ketika laki-l
Nurin tetap terdiam, memandang kosong ke depan beberapa saat kemudian menunduk menekuri lantai. Aku gerah dengan sikapnya, seolah menunjukkan bahwa dia begitu terluka karena aku telah mengambil hartanya yang paling berharga, Mas Kusuma dan Nadin. Padahal saat kudatang, Mas Kusuma bukan milik siapa-siapa lagi.“Mbak, pernikahan bukanlah suatu permainan untukku, yang bisa dimulai dan diselesaikan kapan saja. Di dalamnya, kita tidak hanya sedang berjanji kepada pasangan masing-masing tetapi juga kepada Sang Pencipta. Aku memang bukan wanita yang sempurna untuk mendampingi Mas Kusuma, mungkin secara fisik aku akan kalah saing dengan Mbak. Tapi aku punya cinta dan setia yang sempurna untuk Mas Kusuma,” sindirku.Kalimat ini sebenarnya tidak hanya kutujukan kepada perempuan di sampingku itu. Tetapi juga kepada diri sendiri. Sebagai penguat untuk tetap bertahan dalam mahligai pernikahan kami.Ya, aku memang bukan wa
Terima kasih Ya Allah, engkau hadirkan laki-laki berhati murni ini untukku. Hati yang kuharapkan mampu menyinari titik hitamku. Tubuhku berguncang. Aku menangis bahagia. Benar-benar bahagia. Sebelumnya aku telah begitu ketakutan jika akan kehilangan dirinya.“Kamu menangis?” Dia merenggangkan dekapannya, tetapi aku justru semakin merapatkan.“Anin …,” panggilnya tetap mencoba melepaskan dekapannya. Matanya terbuka menatapku. Jarinya mengusap basah di pipiku. Dia beranjak duduk, kemudian mengangkat tubuhku untuk duduk bersama.“Maaf,” ucapnya.“Aku yang minta maaf, Mas. Aku tidak jujur,” tuturku di antara isak.“Tidak Anin, saya yang minta maaf,” tuturnya sambil membelai rambutku lembut, “Tidak seharusnya saya semarah itu.”“Mas layak marah.”
“Kamu kenapa?” tanya Mas Kusuma ketika melihatku memijat-mijat pelipis saat sarapan pagi ini. Entahlah, sejak subuh aku merasa sedikit pusing. Barangkali sisa kejadian semalam, karena aku tidak makan hampir seharian.Makanan yang masuk ke perutku semalam hanya satu gelas teh hangat, selembar roti saat sarapan pagi sebelum berangkat ke Kesdam, dan satu gelas teh es saat di kantin.“Gak tau, Mas. Agak pusing dan mual. Mungkin masuk angin,” jawabku sambil tetap menyuapi Nadin yang pagi itu tidak mau makan sendiri.“Apa mungkin kamu sudah isi?” Ibu mertuaku bertanya sambil tersenyum kepadaku, menatap lembut dengan raut bahagia, raut tak berdosa.Ucapan beliau yang lembut, justru membuat jantungku terasa hampir mau copot. Wajar, sih, jika beliau bertanya demikian. Karena pernikahan secara agamaku dengan Mas Kusuma sudah berjalan dua mingguan. Beliau tidak tahu jika kami