Part 5. Ilham
“Mas.”
“Hmm?”
“Jadi ngantar aku ke sekolah hari ini?” tanyaku sambil duduk di sisi ranjang. Memperhatikannya yang sibuk merapikan lipatan lengan baju lorengnya pagi itu. Dia benar-benar gagah dengan seragamnya. Jujur aku benar-benar terpesona memandangnya. Terpesona memandang suami sendiri boleh ‘kan?
“Jadi! Saya akan ijin sehabis apel pagi,” sahutnya tetap sibuk merapikan seragam. Kali ini berganti lengan baju yang lain. Kemudian mematut diri di cermin untuk memasang baret di kepala.
“Mmm, pagi ini aku mau belanja,” ucapku. Dia menoleh sejenak.
“Bisa sendiri?”
“Bisa.” Aku mengangguk.
“Tapi ….”
“Apa?” Dia mengernyitkan kening.
“Ini kemarin, PIN-nya lupa.” Aku menunjukkan dua kartu debit yang dia berikan semalam.
“Lalu kemarin bayar catering bagaimana?” Dia berpindah dari posisi berdiri, beringsut duduk di sampingku.
“Kemarin pakai uangku dulu. Tapi sekarang saldonya udah abis.”
Dia menatapku sebentar kemudian tersenyum tipis. Senyum terindah yang dia miliki. Senyum pelit tapi menggigit.
“Kemarin kenapa gak nanya?”
Aku menggeleng, “ Takut ganggu. ‘kan kemarin katanya Mas sibuk.”
“Ya, kalau sekedar w******p-an bisa,” ucapnya sambil sok sibuk menepuk-nepuk bagian tubuh, bermaksud merapikan baju yang memang sudah rapi.
“ATM kamu PIN-nya berapa?”
Aku menatapnya bingung. Kenapa justru menanyakan PIN ATM-ku? Aku mengernyitkan kening.
“Hmm?” tanyanya ketika melihatku bergeming.
“290896,” jawabku masih dalam bingung. Pin-ku, ya, aku tahu. Itu adalah hari kelahiranku. Yang aku tanyakan adalah Pin kartu ATM yang dia beri.
“Nah, itu.”
“Hahh?”
“Itu Pin-nya.”
“Hahh?”
“Itu pin-nya … sama.”
“Hahh? Kok bisa sama?”
Dia mengubah posisi dari menyamping kemudian duduk berhadapan denganku. Membingkai wajahku sejenak dengan mata elangnya. Kemudian perlahan meraih tanganku, menggenggamnya erat dengan bibir setia menyungging senyum tipis khas miliknya.
“Selamat hari lahir. Jadi istri sholehah untukku. Selalu mencintaiku dan anak-anak. Setia dan bersedia mendampingiku dalam keadaan apapun.” Dia mengeratkan genggamannya.
Aku ulang tahun hari ini?
Aku mengusap wajah pelan. Benar ini hari lahirku. Sesuai angka yang terdapat pada pin kartu debit itu. Ya Tuhan, aku saja lupa. Perayaan ulang tahun Nadin yang hanya beda satu hari bahkan tak mampu mengingatkanku pada hari bersejarah ini. Mungkin karena selama ini tidak pernah dirayakan atau tidak pernah ada orang spesial yang memberi ucapan selamat.
Aku tersenyum. Senangnya punya suami. Sebahagia ini rasanya ketika diberi perhatian berupa ucapan selamat ulang tahun olehnya.
Lelakiku ini memang memiliki sikap tak tertebak. Selama ini kesannya arogan, dingin, cuek, tapi ternyata perhatian. Dia tahu ulang tahunku. Sedangkan aku? Hingga hari ini bahkan tidak tahu berapa umurnya.
Wait! Dia mungkin saja tahu ulang tahunku. Misalnya dengan diam-diam mengintip KTP. Namun, bagaimana ceritanya pin ATM itu adalah hari lahirku? Kami baru menikah pada malam sebelum kartu itu dia berikan? Sebelumnya tidak ada proses pacaran yang menjadi pertanda bahwa aku spesial di hatinya. Lantas, kapan PIN itu dibuat? Apa benar bahwa aku telah lama spesial di hatinya? Seperti kata Ibu bahwa dia telah lama berencana menikahiku?
“Terima kasih,” jawabku masih dalam bingung, tapi rona bahagia mampu menutupinya
“Bagaimana, Mas tahu?” tanyaku kemudian. Dia tersenyum.
“Saya memang belum banyak mengenalmu. Tapi, untuk hal seperti ini pasti tahu lah.” Dia masih menggenggam tanganku.
“Mmm ….” Aku ingin melanjutkan tanya. Namun, susah sekali bibir terucap.
Apa Mas sudah mencintaiku sejak lama sehingga hari lahirku dianggap penting dan dijadikan pin kartu debitmu? Sejak kapan?
Menanyakan dua kalimat itu saja berat sekali. Takut dianggap ge-er. Bagaimana mungkin dia mencintaiku sejak lama? Jika selama ini dia selalu tak acuh bin cuek bin dingin. Akhirnya kubiarkan saja kalimat itu menggantung di benak.
“Minta hadiah apa?” Duh …. Kalau ini aku yakin dia mencintaiku. Bicaranya begitu lembut. Sangat berbeda ketika dia melamar. Andai saja waktu melamarnya begini, aku tidak perlu merasa ragu menerima. Semoga dia akan tetap seperti ini sampai selamanya.
“Enggak ada,” jawabku mulai salah tingkah karena perhatiannya.
“Bilang saja. Saya tidak banyak tahu tentangmu. Saya juga bukan laki-laki romantis yang pandai memberi kejutan,” ucapnya tetap terus membingkaiku dengan mata elangnya. Kejutan ini saja sudah membuatku seakan melayang.
“Emang gak minta apa-apa, cuma ….”
“Cuma apa?” Dia menatapku intens. Ya Robbi … mata elangnya, rahang kokohnya, senyum tipisnya … bisa-bisa aku mati kehabisan napas karena semua itu.
“Ah, enggak … gak jadi ….” Aku menggeleng sambil menunduk.
Cuma aku minta cinta yang tulus darimu. Itu yang mau aku ucapkan. Malu ‘kan mau ngomong begitu?
“Hey ….” Dia menganggkat wajahku.
“Udah siang, Mas. Nanti terlambat.” Aku mengalihkan pembicaraan. Dia mengangkat tangan melihat jam.
“Iya, sudah mau jam tujuh. Nadin sudah siap?”
“Sudah,” sahutku sembari mengangguk.
“Ayo!” Dia beranjak melangkah keluar dan aku mengekor di belakang.
“Akhir minggu nanti kita ketemu orang tuamu,” ucapnya sambil jalan.
“Setelah itu kita langsung urus nikah kantor,” lanjutnya. Aku cuma menanggapi dengan anggukan.
“Kamu langsung ke pasar?”
“Iya,” jawabku sambil mengangguk kembali.
“Hati-hati.”
“Iya.” Aku kembali menganggu. Entahlah, mengapa di depannya aku selalu tak berkutik. Selalu merasa takluk. Selalu mengangguk dan iya … iya … saja.
Kami segera menuju teras depan. Terlihat Nadin telah siap bersama Ibu dengan tas di punggung.
“Nadin, mau diantar Mama.” Ia menggelayut manja ketika aku dan Mas Kusuma tiba di sana.
“Mulai besok saja, ya, diantar Mama. Hari ini Mama ada keperluan,” bujuk laki-laki itu sambil menggendong gadis kecil berseragam hijau putih itu dan membawanya ke sepeda motor. Kalau berangkat dinas, dia jarang menggunakan mobil kecuali jika ada hal penting.
Setelah mencium punggung tangannya, dan menunggu tubuhnya hilang di ujung jalan, aku menyiapkan diri untuk ke pasar. Hari berikutnya setelah kemarin, aku memulai lembaran baru menjadi seorang istri. Mencari ridho suami dengan mengurus rumah tangga. Diantaranya, menyediakan makan dari racikan tangan sendiri demi melukis senyum di bibirnya.
====================
[Siang saja, ya, kita ke sekolahnya. Saya belum bisa ijin]
Dia mengirim pesan sekitar pukul Sembilan ketika aku masih sibuk di dapur.
[Iya, tidak apa] Balasku.
[Kamu bisa jemput Nadin?]
[Bisa, biasa Nadin pulang jam berapa?]
[Jam sebelas]
[Oke]
[Terima kasih]
Kembali ia mengirimkan gift jantung yang berdetak di akhir pesannya. Apakah jantungnya sekarang memang berdetak untukku? Memikirkannya aku jadi tersenyum ge-er. Sulitnya menjalin hubungan dengan orang tak tertebak. Sibuk ge-er sendiri dengan perhatiannya kemudian menciut karena kecuekannya.
Tepat azan zuhur, sepeda motor yang ia kendarai terdengar di halaman rumah. Beberapa saat setelah aku pulang dari menjemput Nadin.
“Sholat dulu, Mas. Setelah itu makan baru berangkat,” ucapku setelah dia melepas kopel dan drahrimnya, kemudian menyerahkannya padaku. Aku menyambut benda itu untuk menggantungnya di tempat khusus pada dinding kamar.
“Iya. Sekalian Nadin,” sahutnya sambil berlalu ke kamar. Setelah turut sebentar menyimpan drahrimnya, aku segera keluar kamar, meminta Nadin membersihkan diri dan membimbingnya wudu. Kemudian bersuci untuk diri sendiri.
“Masak apa?” tanyanya sambil menuju meja makan ketika kami selesai sholat.
“Masak apa adanya. Aku gak pinter masak,” jawabku malu. Terus terang kurang pede dan takut tidak cocok dengan lidahnya. Dia saja pintar masak. Nasi goreng buatannya pada malam pertama kami terasa enak.
“Asal disertai cinta, yang apa adanya akan jadi luar biasa,” ujarnya sambil melirik ke arahku. Membuatku senyum tersipu.
=============
“Bu Anin, sudah menikah?” tanya kepala sekolah ketika kusampaikan alasan pengunduran diri.
“Sudah, Pak,” jawabku singkat.
“Kenapa gak ngundang?”
“Mmm.” Aku menoleh pada Mas Kusuma yang tadi berkeras untuk ikut menghadap.
“Nanti ketika resepsi Insya Allah kita undang, Pak,” timpalnya.
“O ….” Beliau mengangguk-angguk.
“Kami masih sangat membutuhkan tenaga, Bu Anin. Apalagi prestasi Ibu cukup baik dengan mengantar siswa kita menang olimpiade sains tahun ini. Profesionalisme dan kompetensi Ibu tidak diragukan lagi,” tutur beliau menanggapi pengunduran diriku.
“Kapan saja, Bu Anin berubah pikiran, kami akan senang menerima Ibu kembali,” lanjutnya.
“Terima kasih, Pak,” ucapku sebelum meninggalkan ruangan itu.
“Sama-sama. Ilham pasti sangat terluka dan patah hati mendengar berita pernikahan Bu Anin ini,” sahutnya sambil terkekeh menggoda. Aku melirik wajah Mas Kusuma yang tetiba menjadi datar. Kami meninggalkan ruangan kepala sekolah dalam diam. Perasaanku menjadi tidak nyaman. Semoga hanya perasaanku saja.
Melintasi ruang guru, seorang lelaki muda berpakaian seragam warna kaki menatap kami dengan diam.
“Dia Ilham? Pacar kamu?”
Part 6. POV Sersan Kusuma Anindyaswari. Pertama kali bertemu, ketika aku diminta menggantikan Anggara, teman satu leting melatih paskibra di tempat ia mengajar. Dia sendiri saat itu sedang memberikan bimbingan untuk siswa yang akan mengikuti olimpiade Sains mata pelajaran IPA. Dia memukau dengan segala kesederhaannya saat melintas di depanku. Tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan. Senyumnya, entah bagaimana cara menggambarkannya. Menyejukkan sekaligus menggemaskan. Pipinya putih, terlihat halus dan kenyal bak squishy. Ingin sekali kuremas-remas gemas hingga putihnya akan memerah. Memandang wajahnya bagaikan candu. Ingin lagi, lagi, dan lagi. Aku, Kusuma. Seorang prajurit berpangkat sersan kepala di salah satu batalyon infanteri Pontianak. Telah terpikat pada seorang Anindyaswari sejak pandangan pertama. Setahun ini, aku sangat merindukan sesosok hawa untuk menemani. Bermanja keti
Matanya menatapku tajam. Wajahnya tegas. Sama sekali tidak kutemukan gurat kelembutan di sana. Bias arogan kembali menerpa.“Bukan.” Aku menggeleng.“Kamu menyukainya?”“Tidak!” Kembali aku menggeleng.“Dia menyukaimu?” Kali ini aku mengangguk. Aku merasa seperti disidang saja.“Dia pernah bilang?” Aku kembali mengangguk.“Kenapa menolak?”“Aku memintanya datang saja melamar jika memang serius.”Dia mengembuskan napas kasar mendengar jawaban terakhirku. Kemudian menyandarkan tubuh pada mobil. Menatap kosong dengan cahaya amarah pada netranya. Namun, kentara ia coba redam. Sementara aku hanya bergeming, berdiri berhadapan tidak jauh darinya. Merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi tidak nyaman.“Nurin &
Part 8. Masa LaluSenja berlalu, menyisakan kelam di langit yang perlahan semakin memekat, menghadirkan sedikit demi sedikit hening, menyiapkan waktu kepada jiwa-jiwa lelah untuk memeluk lelap.Kami masih berdua, menyusuri kembali jalan yang tadi dilewati bersama, membawa keindahan yang telah tercipta dalam setiap jengkalnya. Dia mengarahkan mobil dalam diam, tapi riak wajahnya bahagia. Senyum tipis khasnya sesekali hadir, bersama itu dia akan menatapku yang curi-curi melirik. Beberapa kali satu tangannya lepas dari kemudi, beralih menggenggam erat tanganku, mengalirkan hangat yang cepat merambat ke relung hati.“Kita mampir ke kedai dulu, ya.” Akhirnya dia memecah hening juga.“Kedai?”“Iya, kita makan dulu. Kamu lapar?” tanyanya sambil menatapku sebentar.“Lapar, sih. Tapi, apa gak sebaiknya kita pulang saja, Mas. K
Part 9. PerjalananSeperti yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini kami mengunjungi orang tuaku di kampung.Dia terlihat gagah sekali dengan balutan celana jeans birel dan jaket kulit warna hitam. Sarung tangan warna senada membungkus kedua tangannya. Hari ini kami akan menemui orang tuaku di Serimbu. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Landak. Bakda subuh, kami siap melakukan perjalanan.“Titip Nadin ya, Bu,” ucapku pamit pada ibu mertua. Semalam Mas Kusuma memberi tahu anak itu bahwa untuk dua hari ke depan kami akan pergi.“Nadin mau ikut …,” rengeknya tadi malam. Aku sempat berpikir untuk berangkat diam-diam. Namun, menurut suamiku justru itu tidak baik.“Berterus terang dan memberi pengertian meskipun sulit akan berefek positif untuk perkembangan mental seorang anak,” katanya.&ldq
Part 10. Bertemu OrangtuaMemasuki waktu zuhur, kami tiba di Serimbu. Lelah? Tentu saja! Lebih dari enam jam berkendara sepeda motor. Hanya dua kali beristirahat. Bagian belakang tubuh terasa panas dan pegal. Punggung seperti kaku.Serimbu, merupakan ibu kota dari kecamatan Air Besar. Dinamakan demikian karena desa-desa yang terdapat di kecamatan ini dilintasi oleh sungai besar. Sungai Bahasa setempat disebut ‘aek’ atau air. Sehingga sungai besar menjadi air besar.Rumah orang tuaku sangat sederhana. Merupakan rumah panggung dengan material papan. Ketika tetangga dan sebagian besar warga telah merehab rumah mereka, kedua orang tuaku masih betah dengan bentuk rumah sederhana itu. Alasan terbesarnya tentu saja soal biaya, karena kami bukanlah keluarga berkecukupan. Untung saja kayu yang menjadi bahan pembangunan rumah ini dari jenis belian, sehingga tidak lapuk meskipun telah berpuluh tahun.
Part 11. KelamMalam ini, dia terlelap dengan mendekapku erat. Seharusnya aku merasa damai saat tak berjarak dengannya seperti ini. Saat irama jantung kami seolah menyatu. Namun, hati ini justru begitu resah.“Saya tidak ingin kamu bekerja. Saya takut kamu terpikat dengan laki-laki lain di sana. Saya tidak sanggup. Tidak akan sanggup. Karena itu, tolong, mengertilah,” mohonnya tadi sebelum tidur.“Biarkan saya saja yang bekerja, memanjakanmu, memenuhi segala butuhmu, meskipun harus memeras keringat sampai habis asalkan kamu tetap bersama saya, menjadi milik saya selamanya.” Dia bicara dengan napas yang berlomba. Seperti ada suatu emosi yang menguasai.“Sekarang, bicara! Katakan bahwa kamu akan setia,” pintanya sembari menatap mataku. Mungkin ingin menyeimbangkan kejujuran yang akan terucap dari bibirku dengan yang terpancar dari sana.&ld
Part 12. Nikah KantorKami segera kembali ke Pontianak, sama sekali tidak ada kesempatan untuk berlama-lama melepas rindu di sini, karena Mas Kusuma harus dinas.Sepulang dari bertemu orangtuaku di Serimbu, Mas Kusuma tidak ingin menunda untuk mengurus administrasi nikah kantor.“Ada apa, Mas?” tanyaku. Malam ini kudapati ia tengah duduk di atas karpet bulu di kamar. Ia tampak tersenyum sendiri sambil memandangi sesuatu.“Kemarilah!” pintanya sambil menepuk tempat di sisinya. Aku yang saat itu berdiri di depan pintu, baru dari dapur, menurut dan duduk di tempat yang dia maksud.“Saya sedang menyiapkan berkas nikah kantor, lihat foto gandeng kita. Serasi ‘kan? Kamu cantik sekali.”Dia menunjukkan foto yang kami rekam beberapa hari lalu. Padahal foto itu sudah berulang kali dilihat. Jujur aku juga sena
Part 13. PoV Kusuma“Apa maksud semua ini, Anin? Kamu sudah tidak perawan?” Aku menatap wajah yang menunduk itu. Berharap apa yang kubaca pada hasil pemeriksaan ini salah."Maaf, Mas," jawabnya pelan, mengubur semua harapanku.Aku menghela napas kasar. Tangan mengepal gusar. Jadi inikah yang dia maksud dengan kata ‘tidak sempurna?’Hah! Aku tidak percaya dengan semua ini. Aku juga tidak berpikir kearah ini. Kupikir dia bicara tentang fisik, bukan hal seintim ini! Bagaimana mungkin seorang Anindyaswari yang wajahnya terlihat begitu polos, bening bagai tak berdosa, hasil pemeriksaannya 2p?Bagaimana mungkin aku tertipu? Ini bukan sekadar pakaian yang menutupi, yang mungkin bisa menipu. Namun, ini adalah pancaran jiwanya. Semua dapat terlihat dari cahaya wajahnya. Atau mungkin aku yang sudah terlalu silau oleh pesonanya, sehingga tid