"Terima kasih ya, Mas," tulisku haru. Aku mengirimkan foto dua hadiah yang ia berikan, sebagai tanda bahwa hadiah itu telah aku terima.
"Sama-sama, sayang. Dihabiskan, ya, buburnya," balasnya.
"Iya. Meskipun tidak seenak buatan Mas, tapi aku suka karena Mas yang membelikan."
"Alhamdulillah jika suka. Hadiah yang satunya suka tidak?"
"Suuukaaa sangat," balasku dengan menambahkan emoticon hati berjejer.
“Alhamdullilah. O, ya. Jangan ngidam yang aneh-aneh dulu, ya. Ngidamnya nanti saja tunggu anak kedua kita. Dirapel juga tidak apa-apa,” pesannya lagi.
Aku tertawa kecil membaca permintaannya. Secara ilmiah, ngidam itu memang tidak ada. Namun, menurutku ngidam itu lebih disebabkan adanya perubahan hormon dalam tubuh sehingga terjadi perubahan yang membuat tubuh menjadi tidak nyaman.
Misalnya tidak nyaman makan, padah
"Apa ini, Anin!"Sebuah pesan singkat di aplikasi hijau dari Mas Kusuma menyertai foto yang ia kirimkan.Aku tersentak saat foto itu berhasil didownload dan terbuka. Mataku membulat. Belum sempat kuketikkan pesan balasan, panggilan video darinya masuk."Apa itu!" tanyanya gusar. Matanya menatap nanar.“Saya melakukan banyak hal, berusaha agar kamu tetap merasa nyaman selama menjalani kehamilan. Saya ingin kamu merasa saya ada di dekat kamu meskipun jauh. Satu hal yang tidak bisa saya lakukan adalah menemanimu secara langsung saat pemeriksaan kehamilan, tapi bukan berarti kamu harus mencari laki-laki lain untuk menggantikan saya!” Suaranya pelan, tetapi terdengar sangat berenergi dan menusuk.Ia terus menatap dengan wajah dingin dan sorot mata yang tajam penuh angkara murka.“Mas,” panggilku takut. Aku bergidik ngeri memer
Gugur Bunga...Telah gugur pahlawankuTunai sudah janji baktiGugur satu tumbuh s’ribuTanah air jaya saktiLagu gugur bunga mengiringi prosesi pemakaman yang dilangsungkan secara militer. Aku tidak mampu menahan air mata yang memaksa menerabas melalui sudut netra.Tubuhku berguncang, tak sanggup menahan pilu terlebih ketika tembakan kosong dilepaskan di udara, mengiringi langkah setengah tegap para prajurit yang mengiringi keberangkatan peti jenazah dari rumah duka menuju pemakaman.Dia, prajurit yang gugur di medan tugas. Pahlawan bangsa, yang berjuang membela keamanan tanah air. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosamu, menempatkanmu bersama orang-orang yang dimuliakan oleh-Nya.Pratu Yudha Ardiansyah adalah satu pahlawan yang jasanya akan selalu dikenang dalam korp prajurit angkatan darat, juga oleh bangsa Indonesia. Pa
"Mau kemana, Mas?" Aku menatap Mas Kusuma yang berpakaian rapi seperti hendak pergi. Celana panjang jeans berpadu kaos basic grey berukuran pas badan membalut sempurna tubuh atletisnya."Saya mau keluar sebentar, ada janji sama teman," sahutnya.Pukul 10.00 wib. Ia yang sebelumnya sedang mematut diri di depan cermin, melangkah mendekat padaku yang baru saja usai menidurkan Farel."Teman siapa? Ganteng banget mau ketemu teman," balasku cemburu. Rasa itu datang begitu saja, secara tiba-tiba.Laki-laki itu terkekeh. Tangannya seolah refleks mencubit hidungku."Saya hanya pakai baju kaos begini, ganteng apanya?" tanyanya.Aku memerhatikan outfitnya sekali lagi.Iya, sih.Dia hanya mengenakan kaos basic yang super duper simple. Akan tetapi, kenapa justru itu membuatnya semakin ke
Dia mulai melepas baju sendiri, kemudian menurunkan pakaian bagian bawah.Ya Rabb ....Jika tidak KAU kirimkan seseorang untuk menyelamatkanku, tolong kirimkan saja malaikat maut untuk mematikanku saat ini. Hatiku menjerit putus asa.Kupejamkan mata demikian rapat agar tak sedikitpun bayangan tubuh laknat yang menjijikkan itu terekam dalam penglihatanku.Mas Kusuma .... Aku menghadirkan bayang suamiku dalam benak.Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu.Aku tidak bisa menjaga kehormatanku.Mungkin kita akan berpisah setelah ini, tetapi bukan karena aku tidak setia. Aku mencintaimu, teramat mencintaimu, Mas.Air mataku mengalir deras. Aku tergugu saat merasakan tangan kotor itu kembali menjamah tubuhku yang penutupnya telah ia koyak. Aku meronta saat bibir terkutuknya
Cukup lama kami saling diam, larut bersama rasa masing-masing."Farel mana, Mas?" tanyaku memecah hening."Farel ada sama Ibu dan Bu Ramlah," sahutnya sekadar saja.Dia sendiri masih bergeming dengan posisinya, masih enggan melepaskanku dari dekapannya."Kamu ingin melihat Farel?" tanyanya kemudian."Iya. Farel sudah lama belum minum ASI, tapi aku masih belum tenang sepenuhnya, takut nanti Farel malah ikutan gelisah.""Bu Ramlah sudah memberinya ASIP. Farel baik-baik saja, sayang. Dia tidak rewel. Kamu tenangkan diri dulu jika belum siap bertemu putra kita."Aku mengangguk. Selama ini aku memang menyetok ASIP untuk persediaan. Aku masih bimbang apakah akan kembali mengajar atau tidak, masih khawatir Umak tetap menuntut syaratnya waktu itu.Akan tetapi, setelah kejadian hari ini keputusanku su
Satu setengah tahun kemudian.“Aduh!” jeritku tersentak oleh satu tendangan yang tiba-tiba.“Kenapa, Sayang?” Mas Kusuma yang sebelumnya terlelap sambil memelukku dari belakang ikut terbangun.Aku bergeming. Hanya meringis sambil meraba perut yang barusan jadi sasaran samsak mahkluk indah di dalamnya.“Nendang, ya?” tanya Mas Kusuma sambil mengusap lembut perut buncitku. Aku mengangguk.Kehamilan kedua ini, aku merasa lebih berat. Entah, apakah memang kondisinya yang memang berat atau karena saat ini aku bisa bermanja dengan suamiku?Memasuki usia kandungan tujuh bulan, aku semakin sering terjaga tengah malam karena tendangan yang datang tiba-tiba.Di samping itu, kadang-kadang aku merasa perutku sangat penuh hingga menyesak dada. Akibatnya aku sedikit kesulitan bernapas dan itu pun cukup
(Halo, Kak. Season 2 ini kita akan bertemu dengan putra pertama dari Sersan Kusuma dan Anin).Farel Abimanyu. Nama yang bagus. Namun, sayang sombong! Good looking, tapi enggak good attitude. ***"Hanum, ayo gabung ke depan. Sekalian Mbak kenalkan sama temannya Mas Cahyo. Masih ada satu yang jomblo. Guanteng, lho," ucap Mbak Rissa sembari menggamit tanganku. "Enggak usah, Mbak. Aku di sini saja. Malu," tolakku halus. Aku mencoba melepaskan gamitan tangannya, merasa enggan untuk memenuhi ajakannya."Ih, kenapa malu? Enggak apa-apa, kok. Ayo, jangan malu," ucapnya lagi. Bagaimana tidak malu? Perempuan mendatangi laki-laki kemudian berkata ingin kenalan? Haduh, membayangkannya saja sudah membuatku ingin menyembunyikan wajah ke bawah kolong ranjang. "Nanti nyesel, lho, kalau enggak mau. Jarang-jarang ada kesempatan bertemu." Mbak Rissa terus memaksa.Mbak Rissa merupakan teman sejawatku mengajar. Dia PNS tiga tahun di atasku. Namun, dari segi umur, Mbak Rissa lima tahun di atasku. Sifa
Aku menyipitkan mata. Dahiku mengernyit. Mulutku ternganga. Setelah dengan sombongnya dia bersikap abai saat dikenalkan, tiba-tiba sekarang sok peduli mau mengantar pulang? Apa dia punya kepribadian ganda?"Eh, tidak apa-apa, Om. Saya pulang sendiri saja. Sudah biasa. Lagian rumah saya tidak terlalu jauh," tolakku enggan diantar olehnya. Alih-alih merasa aman, justru aku takut. Seram melihat wajah dinginnya. Apa kulit wajahnya begitu kaku sehingga tidak bisa tertarik elastis untuk menggurat sebuah senyuman?"Kamu duluan, saya ikut dari belakang." Tanpa menggubris ucapanku, ia naik ke atas sepeda motornya. Apa selain tidak bisa senyum, dia juga tidak bisa mendengar? Masa iya dia punya gangguan pendengaran di usia yang masih terbilang muda?"Cit cit cuiiit." "Ehem ... Ehem ...." Sorakan dan dehaman tiba-tiba terdengar ramai di belakangku. Sontak aku menoleh. Di teras tampak teman-teman lelaki kaku ini berkumpul. Mereka tersenyum jahil, tertawa menggoda, bahkan Mbak Rissa pun ikut-iku
"Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu
"Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia
"Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga
PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.
"Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat
Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku
Sekolah memberiku cuti menikah selama satu Minggu. Dua hari digunakan untuk persiapan, satu hari untuk pelaksanaan, tiga hari kami manfaatkan untuk masa berdua menikmati pasca resepsi, dan satu hari masa untuk beristirahat sebelum melaksanakan tugas negara kembali.Setelah satu Minggu melalui hari-hari awal penuh bahagia, hari ini aku dan Mas Farel merapat ke tempat tugas.Pukul enam pagi aku sudah rapi dengan seragam dan polesan make up tipis. Kami akan bersiap untuk sarapan ketika notifikasi pesan singkat dari aplikasi pepesanan warna hijau di ponselku berbunyi.Sebuah pesan dari Mbak Rissa masuk. "Hanum, hari ini Mbak enggak masuk. Tadi sudah ijin sama kepala sekolah. Mbak ada giat upacara pelepasan pindah Mas Cahyo. Nanti tolong sampaikan tugas-tugas Mbak ke siswa, ya," tulisnya. Om Cahyo pindah? Dahiku mengernyit. Bukankah Om Cahyo leting Mas Farel. Apakah Mas Farel juga ikut pindah? Tapi mengapa dia tidak memberitahuku?"Om Cahyo pindah, Mbak?" tanyaku meminta penegasan. Selam
Aku titipkan diaLanjutkan perjuanganku 'tuknyaBahagiakan dia, kau sayangi diaSeperti ku menyayanginya'Kan kuikhlaskan diaTak pantas ku bersanding dengannya'Kan kuterima dengan lapang dadaAku bukan jodohnyaDahiku mengernyit. Mataku sontak mencari sumber suara pada iringan musik organ tunggal yang menjadi hiburan di resepsi pernikahan kami. Aku seperti mengenal suara yang membawakan lagu Aku Bukan Jodohnya dari Tri Suaka yang sedang mengalun itu. "Mantan kamu."Mas Farel menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik pada satu arah, memberi kode agar aku melihat ke sudut yang di maksud. "Apa, sih?" Aku merengut saat melihat pada sosok yang dia sebut sebagai mantanku. Pantas saja aku seperti mengenal suara orang yang membawakan lagu itu, rupanya Hadi sedang berada di atas panggung. Dia memang terkenal dengan suara merdunya sejak kami masih kuliah. Hadi sering mengisi waktu luang dengan memetik gitar di taman kampus bersama beberapa rekannya. Suaranya itu juga yang menjadi salah satu
Aku rindu, Ayah. Rindu sebenar-benarnya rindu."Hanum." Umak yang sedang tadi memerhatikanku dirias MUA dari sofa bed yang tersedia kamar, melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Beliau mengusap punggungku lembut. Aku mengangkat wajah, menatap sendu satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini."Mak." Aku memanggil beliau lirih, ingin mengadukan perasaan yang berkecamuk di hati. Namun, aku tahu tanpa kuceritakan pun beliau sudah paham apa yang kurasakan."Jangan menangis, Hanum. Nanti riasan kamu rusak." Bukannya khawatir kondisi putrinya, Umak justru memikirkan riasanku. Walaupun, aku tahu apa yang baru saja beliau ucapkan itu hanya sekadar untuk menghiburku.Tangan tua beliau kemudian mengusap lembut butiran bening yang mulai banyak pecah di sudut mataku. Akan tetapi, semakin beliau mengusap, butiran itu justru semakin banyak. "Mak."Aku menjatuhkan diri ke dalam tubuh tua Umak, memeluk erat wanita yang telah berjasa mengantarku ke dunia itu. Tubuhku berguncang menahan tangi