Cukup lama kami saling diam, larut bersama rasa masing-masing.
"Farel mana, Mas?" tanyaku memecah hening.
"Farel ada sama Ibu dan Bu Ramlah," sahutnya sekadar saja.
Dia sendiri masih bergeming dengan posisinya, masih enggan melepaskanku dari dekapannya.
"Kamu ingin melihat Farel?" tanyanya kemudian.
"Iya. Farel sudah lama belum minum ASI, tapi aku masih belum tenang sepenuhnya, takut nanti Farel malah ikutan gelisah."
"Bu Ramlah sudah memberinya ASIP. Farel baik-baik saja, sayang. Dia tidak rewel. Kamu tenangkan diri dulu jika belum siap bertemu putra kita."
Aku mengangguk. Selama ini aku memang menyetok ASIP untuk persediaan. Aku masih bimbang apakah akan kembali mengajar atau tidak, masih khawatir Umak tetap menuntut syaratnya waktu itu.
Akan tetapi, setelah kejadian hari ini keputusanku su
Satu setengah tahun kemudian.“Aduh!” jeritku tersentak oleh satu tendangan yang tiba-tiba.“Kenapa, Sayang?” Mas Kusuma yang sebelumnya terlelap sambil memelukku dari belakang ikut terbangun.Aku bergeming. Hanya meringis sambil meraba perut yang barusan jadi sasaran samsak mahkluk indah di dalamnya.“Nendang, ya?” tanya Mas Kusuma sambil mengusap lembut perut buncitku. Aku mengangguk.Kehamilan kedua ini, aku merasa lebih berat. Entah, apakah memang kondisinya yang memang berat atau karena saat ini aku bisa bermanja dengan suamiku?Memasuki usia kandungan tujuh bulan, aku semakin sering terjaga tengah malam karena tendangan yang datang tiba-tiba.Di samping itu, kadang-kadang aku merasa perutku sangat penuh hingga menyesak dada. Akibatnya aku sedikit kesulitan bernapas dan itu pun cukup
(Halo, Kak. Season 2 ini kita akan bertemu dengan putra pertama dari Sersan Kusuma dan Anin).Farel Abimanyu. Nama yang bagus. Namun, sayang sombong! Good looking, tapi enggak good attitude. ***"Hanum, ayo gabung ke depan. Sekalian Mbak kenalkan sama temannya Mas Cahyo. Masih ada satu yang jomblo. Guanteng, lho," ucap Mbak Rissa sembari menggamit tanganku. "Enggak usah, Mbak. Aku di sini saja. Malu," tolakku halus. Aku mencoba melepaskan gamitan tangannya, merasa enggan untuk memenuhi ajakannya."Ih, kenapa malu? Enggak apa-apa, kok. Ayo, jangan malu," ucapnya lagi. Bagaimana tidak malu? Perempuan mendatangi laki-laki kemudian berkata ingin kenalan? Haduh, membayangkannya saja sudah membuatku ingin menyembunyikan wajah ke bawah kolong ranjang. "Nanti nyesel, lho, kalau enggak mau. Jarang-jarang ada kesempatan bertemu." Mbak Rissa terus memaksa.Mbak Rissa merupakan teman sejawatku mengajar. Dia PNS tiga tahun di atasku. Namun, dari segi umur, Mbak Rissa lima tahun di atasku. Sifa
Aku menyipitkan mata. Dahiku mengernyit. Mulutku ternganga. Setelah dengan sombongnya dia bersikap abai saat dikenalkan, tiba-tiba sekarang sok peduli mau mengantar pulang? Apa dia punya kepribadian ganda?"Eh, tidak apa-apa, Om. Saya pulang sendiri saja. Sudah biasa. Lagian rumah saya tidak terlalu jauh," tolakku enggan diantar olehnya. Alih-alih merasa aman, justru aku takut. Seram melihat wajah dinginnya. Apa kulit wajahnya begitu kaku sehingga tidak bisa tertarik elastis untuk menggurat sebuah senyuman?"Kamu duluan, saya ikut dari belakang." Tanpa menggubris ucapanku, ia naik ke atas sepeda motornya. Apa selain tidak bisa senyum, dia juga tidak bisa mendengar? Masa iya dia punya gangguan pendengaran di usia yang masih terbilang muda?"Cit cit cuiiit." "Ehem ... Ehem ...." Sorakan dan dehaman tiba-tiba terdengar ramai di belakangku. Sontak aku menoleh. Di teras tampak teman-teman lelaki kaku ini berkumpul. Mereka tersenyum jahil, tertawa menggoda, bahkan Mbak Rissa pun ikut-iku
Aku mencebik sambil menatap punggungnya yang hilang di ujung jalan. Percaya diri sekali dia? Memangnya siapa yang mau bertemu dengannya lagi setelah ini? Terus, apa masalahnya dengan panggilan Om? Menurut Mbak Rissa, bukankah Om itu justru panggilan untuk menghormati keluarga besar TNI golongan Tamtama dan Bintara? Lalu salahnya di mana?Ah, biarlah. Untuk apa memikirkan dia?Aku segera berbalik dan bersiap masuk rumah. Ayah dan Umak masih menunggu di teras. "Ehem .... Cie, anak Ayah. Akhirnya ...." Ayah berdeham sambil matanya melirik dan bibirnya tersenyum menggodaku."Sudah berapa lama?" Beliau bertanya sambil alisnya naik turun. Aku mengembuskan napas panjang. Punya Ayah serasa punya teman sebaya, super usil dan super kepo. "Apa, sih, Yah?" Aku merengut, lalu buru-buru masuk menenteng berkat selamatan pemberian Mbak Rissa. Melayani keusilan Ayah tidak akan ada habisnya. "Ini ada makanan berkat selamatan tadi, Ayah sama Umak sudah makan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Berhar
Mbak Rissa! Pasti Dia!Aku segera menggulir aplikasi ke bawah, membuka pesan dari Mbak Rissa sebelum mengirim balasan untuk protes karena telah memberikan nomorku tanpa ijin."Nanti cerita ya, Han.""Hi hi hi.""Om Farel malu-malu kucing.""Diam-diam, tiba-tiba tancap gas." Empat pesan pendek beruntun darinya. Begitu pesan-pesan itu kubaca, langsung saja pada layar tampak tulisan Mbak Rissa sedang mengetik. Aku sampai tercenung beberapa saat. Sepertinya dia sudah menunggu sejak tadi pesan-pesan itu centang biru. Excited sekali dia. Tidak Ayah dan Umak, tidak Mbak Rissa, semua super kepo."Gimana, Han?"Pesan baru dari Mbak Rissa masuk. Aku mengembuskan napas panjang seketika, merasa heran kenapa orang-orang begitu semangat ingin tahu tentang si Lelaki Kaku itu? Apa yang istimewa darinya?"Apanya yang bagaimana, Mbak?" Pesan balasan dariku. Tidak perlu menunggu lama, pesan itu langsung centang biru begitu kukirim."Gimana kamu sama Om Farel tadi? Ngapain saja? Dia nembak kamu enggak?
"Tuh 'kan?" ucap Ayah sambil terkekeh. Beliau segera beranjak ke depan. Umak meyusul di belakang. Sementara aku terpaku di tempat. Syok. Seolah tidak percaya laki-laki itu benar-benar datang. Jadi tadi dia chat untuk mengetahui apakah aku ada di rumah atau tidak? "Waalaikumsalam. Masuk Nak Farel." Suara Ayah terdengar ramah."Terima kasih, Yah."Yah? Aku mencebik. Masih lucu dengan percaya diri laki-laki ini yang terus saja memanggil ayahku dengan sebutan Ayah juga. "Ayo duduk. Akhirnya datang juga. Terus terang ayah sudah nunggu sejak tadi," ujar Ayah. Ayah yang bicara, aku yang malu.Boleh-boleh saja menunggu kedatangan laki-laki itu, tetapi tidak harus diceritakan juga 'kan?"Hanum! Ini Nak Farel datang. Ayo cepat mandi!" Astaghfirullahal'azim! Aku beristighfar sambil memejamkan mata rapat-rapat, menutupkan novel yang kubaca ke wajah dengan sedikit ditimpukkan. Tega sekali ayahku itu. Tidak harus berseru lantang dan diucapkan di depan laki-laki itu juga 'kan? Jatuh, dong, re
Ayah menatap laki-laki itu serius. Untuk sementara, aku tidak menemukan raut jahil sama sekali pada wajahnya. Beliau menjelma menjadi sosok yang berwibawa."Hubungan seperti apa yang Nak Farel maksudkan?" tanyanya tenang, "Pacaran?"Laki-laki di sampingku kembali berdeham. Jakunnya sekali dua naik turun. Sepertinya ia cukup tegang, tetapi berusaha tenang. "Saya tidak ingin pacaran, Ayah. Saya bermaksud menjadikan Hanum sebagai istri." Bicaranya terdengar begitu yakin dan mantap, tak sedikitpun ada kesan keraguan."Kapan?""Jika Ayah dan Umak merestui, secepatnya saya akan membawa Hanum bertemu kedua orang tua saya. Setelah itu saya akan mengurus nikah kantor.""Nak Farel sudah yakin?""Sudah.""Secepat itu?""Ya!"Aku tercenung memerhatikan laki-laki itu. Dia begitu yakin menjawab pertanyaan Ayah, tegas dan cepat. Apa dia benar-benar sudah mantap dengan niatnya itu?"Bukankah kalian baru pertama bertemu tadi malam. Apa tidak sebaiknya saling mengenal lebih dalam dulu untuk mengetahui
Temani? Tidak? Temani? Tidak? Aku berdebat dengan hati. Jika ditemani, apakah aku sanggup dekat-dekat dengannya? Yang bisa tiba-tiba mendapat serangan senyum tipis bibirnya, kerlingan memesona mata elangnya, juga kalimat-kalimat tak terduga yang dapat membuat pipi selalu menghangat.Jika menolak, hatiku seolah tidak rela. Jujur saja, aku sebenarnya sangat ingin pergi. Rasanya menyenangkan membayangkan jalan berdua dengan laki-laki tampan dan gagah seperti dia. Ah ..., kenapa pikiranku jadi nakal sekali? Godaan setan ini pasti."Mau, ya?" Laki-laki itu bertanya setelah cukup lama aku tidak memberi jawaban."Eng ...." Aku melirik ke arah ruang keluarga, isyarat dari jawaban bahwa aku butuh ijin dari Ayah dan Umak untuk bisa pergi. Hanya saja bibirku masih terasa berat untuk bicara gara-gara tadi dia menyebut tentang latihan ijab qabul, lidahku rasanya masih kelu."Saya akan bicara sama Ayah dan Umak, untuk minta ijin membawa kamu pergi," sahutnya. Aku menatapnya takjub. Peka sekali d