Sontak saja pipiku memanas. Aku menahan gerakan bibir sekuat hati agar tidak merekah terlalu lebar mendengar kalimat terakhirnya. Akan tetapi, gagal. Tak ayal, aku menunduk menyembunyikan wajah.Teman hidup katanya?Ah, dia bisa saja membuat bibirku seakan enggan berhenti tersenyum dengan celetukan-celetukan tak terduganya."Dasar kamu, Rel!" Orang yang dia panggil Abang itu tampak gemas, lalu melayangkan tepukan kesal pada bahunya."Ijin, Bang," balasnya diiringi tawa ringan."Oke. Lanjutkan! Semoga lancar hingga ke pelaminan.""Aamiin. Terima kasih, Bang."Akad nikah itu sepertinya akan dilangsungkan di tenda ini. Di depan sana terdapat panggung yang kutaksir merupakan pelaminan pengantin. Di depan pelaminan itu, terdapat meja persegi panjang yang dikelilingi enam buah kursi. Empat kursi sudah ada yang menempati, tersisa dua kursi yang masih kosong. Kuperkirakan itu merupakan kursi yang disiapkan untuk kedua pengantin. Sementara empat orang yang telah hadir itu kemungkinan penghulu,
Wajahnya dingin. Sama sekali tidak ada senyuman di bibirnya. Sorot matanya yang tajam itu terasa bagai menembus jantungku."Dia?" tanyaku bingung. Suara yang keluar terdengar gemetar karena rasa takut.Aku heran dengan keadaan sendiri, mengapa harus takut dengannya? Memangnya dia siapa? Bahkan dia bukan siapa-siapa!Laki-laki itu tampak menghela napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Dia melepaskan genggaman tangannya dariku, setelah itu mengusap wajah sendiri. "Maaf," lirihnya. Setelah itu, lagi-lagi dia menghela napas panjang. "Maaf? Kenapa?" Aku bertanya hati-hati, lalu memberanikan diri memindai wajah coklatnya yang tampak frustrasi. Lagi-lagi hatiku bertanya, ada apa dengannya?"Tidak apa-apa," sahutnya, "Ayo." Ia kembali melanjutkan langkah panjangnya menuju sepeda motor yang terletak tidak jauh dari kami berhenti.Tanpa bicara, ia segera men-starter kuda besinya itu. Lalu, setelah memastikan aku duduk dengan sempurna, ia melajukan kendaraannya itu menuju mesjid terdekat.
"Cobain dulu," ucapnya saat aku tidak segera mencicipi minuman itu. Mau tidak mau, daripada dilihati terus sehingga aku jadi salah tingkah dan tidak bisa meneruskan makan, aku menuruti ucapannya."Maniskan?" tanyanya saat satu sedotan berhasil melewati kerongkonganku."Iya." Aku menjawab singkat sembari mengangguk."Kayak kamu," timpalnya.Tak ayal, aku yang belum sempurna menelan semua minuman yang ada di mulut, tersedak oleh kalimat singkatnya.Subhanallah .... Aku mengurut dada.Ternyata laki-laki kaku ini sangat pandai berkata-kata manis. Bicaranya medit, tetapi kerap tak terduga. Satu dua kata yang terucap dari bibirnya selalu mampu membuatku tersipu malu.Saat ini aku benar-benar tidak mampu lagi mengangkat wajah. Sepanjang menikmati bakso, aku menyuap sambil terus menunduk. Alhasil tidak ada pembicaraan di antara kami. Yang ada hanya saling diam. Hening. Sesekali, keheningan di antara kami ditingkahi suara sendok dan garpu yang saling beradu dengan pinggiran mangkuk.Aku sudah
"Hanum." Melihatku terjatuh, Farel gegas menghampiri. Laki-laki itu lantas duduk mensejajarkan diri denganku."Ada apa?" tanyanya. Intonasi suaranya terdengar khawatir.Tidak mampu menjawab, aku menyerahkan ponsel yang masih tersambung dengan Umak padanya. Ia meraih benda itu, lalu mulai berbicara.Informasi yang tadi Umak sampaikan, Ayah kecelakaan. Saat hendak ke mesjid menjalankan sholat Zuhur bersama Azmi, sepeda motor yang mereka kendarai ditabrak dari belakang. Tidak terlalu parah. Akan tetapi, Ayah yang saat itu posisinya dibonceng, terpental dari sepeda motor. Sedangkan Azmi tumbang di tempat.Azmi mengalami lecet pada lengan, sementara Ayah tidak mengalami luka sama sekali. Keduanya bahkan tetap menjalankan sholat Zuhur di mesjid. Akan tetapi, usai sholat Ayah mengeluh nyeri pada bagian dada. Sesampai di rumah, keluhan bertambah menjadi sesak napas sehingga harus dilarikan ke UGD."Kondisi Ayah sesak dan sangat lemah, Num. Saat ini Ayah bernapas dengan bantuan oksigen. Ayah
"Istighfar, Ayah. Ayah pasti mampu melewatinya," ucap Farel."Astaghfirullahal'azim." Ia memberi contoh."Astaghfirullahal'azim." Ayah menirukan dengan lancar, walaupun pelan dan terbata.Di belakang laki-laki itu, aku tergugu. Demikian pula Umak yang berdiri di belakangku."Nak Farel, ayah mau bercerita. Tolong dengarkan." Ayah terus berbicara, padahal napasnya sudah kian tersengal."Iya, Ayah." Suara laki-laki di sampingku itu pun kini terdengar serak."Sebagai seorang ayah, saya sangat ingin menjadi wali di saat anak perempuan saya menikah. Ayah sangat ingin sekali menjadi wali nikah Hanum.""Iya, Insya Allah. Pasti Ayah akan menjadi wali nikah Hanum.""Iya, Nak Farel. Iya."Setelah itu, mata Ayah perlahan memejam. Napasnya masih turun naik dengan sangat berat. Aku memerhatikan laki-laki itu dengan hati yang begitu takut. Pikiran buruk terus saja berkelebat, apakah Ayah tertidur, atau hendak pergi meninggalkan kami.Di antara gundah, seorang dokter datang menghampiri kami. Di tang
Aku membalikkan badan, menatap laki-laki itu penuh harap bahwa apa yang dia tanyakan baru saja itu serius."Mas mau memberikan apa?""Saya belum menyiapkan apa-apa," jawabnya."Aku menerima apa saja yang Mas berikan, walaupun itu hanya uang seribu perak. Tapi jika Mas bisa, aku ingin meminta mahar yang selama ini aku impikan.""Apa?"***Aku menggenggam erat tangan Ayah. Mata laki-laki itu masih memejam rapat, sementara napasnya terus saja memburu. Tanganku beralih mengusap pucuk kepalanya yang mulai ditumbuhi satu dua uban. "Ayah." Aku berbisik pelan di telinga tuanya. Aku percaya beliau mendengar panggilanku, hanya saja terlalu lemah untuk membuka mata."Mas Farel bersedia menikahi Hanum sekarang. Ayah jadi wali nikah Hanum, ya?" bisikku menahan serak. Kemudian kelopak mata itu membuka perlahan. Dalam lemahnya, aku bisa melihat binar bahagia di sana.Farel datang bersama seseorang berseragam putih, yang dari penampilannya aku bisa memastikan bahwa ia adalah dokter. Setelah setuju
Aku tercengang beberapa lama oleh responnya yang di luar perkiraan. Langkahku bahkan sedikit tersurut. Nyaliku ciut menatapnya. Dia tiba-tiba tampak menakutkan. Wajahnya seram dan garang."Aku tadi pulang mandi sama ganti baju sebentar," sahutku tergagap. "Kamu 'kan bisa tunggu saya!""Aku takut nanti kemalaman.""Kamu bisa telepon supaya saya cepat!""Aku kasihan, Mas, seharian ini capek ke sana ke mari ngurusi kami."Setiap kalimat yang aku ucapkan, selalu keluar dengan terbata. Sementara dia menyahut dengan tegas dan lantang."Siapa bilang saya capek? Sudah saya bilang, bahaya jika perempuan keluar malam-malam!""Tapi aku sudah biasa, Mas.""Jangan biasakan sesuatu yang tidak baik!""Maaf." Aku sudah tidak tahan lagi. Air mataku nyaris tumpah. Aku menunduk dengan bibir yang gemetar menahan takut. "Aku lupa," lanjutku serak. Ya Tuhan, baru saja beberapa jam menjadi istrinya, dia sudah garang begini? Apa memang seperti ini tabiat aslinya? Temperamen dan kasar? Mengerikan sekali.
Ayah bukan hanya sebagai orang tua, tetapi juga sebagai teman untukku. Beliau tidak sekadar kepala keluarga, melainkan juga nyawa rumah ini. Keberadaan Ayah selalu membuat hari-hari kami menjadi lebih ceria. Sebaliknya, kehilangan Ayah menjadikan semuanya berubah kelam.Separuh hidup kami seolah hilang bersama kepergian Ayah.Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang pasti, kecuali kematian.Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang abadi. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Aku tahu, kematian tidak memandang usia, tidak harus sakit. Ia bisa datang kapan saja. Seperti Ayah yang beberapa jam sebelumnya masih sehat wal'afiat, tiba-tiba kecelakaan datang dan merenggut nyawanya. Di dalam Al Qur'an pun disebutkan bahwa tidak ada yang bisa menghindar dari kematian. ... Sesungguhnya, kematian yang kamu lari daripadanya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (QS al-Jumu’ah [62]: 8).Akan tetapi, aku manusia yang lemah. Luka atas kehilangan ini terasa amat perih. Prosesi pemakaman Ayah