"Istighfar, Ayah. Ayah pasti mampu melewatinya," ucap Farel."Astaghfirullahal'azim." Ia memberi contoh."Astaghfirullahal'azim." Ayah menirukan dengan lancar, walaupun pelan dan terbata.Di belakang laki-laki itu, aku tergugu. Demikian pula Umak yang berdiri di belakangku."Nak Farel, ayah mau bercerita. Tolong dengarkan." Ayah terus berbicara, padahal napasnya sudah kian tersengal."Iya, Ayah." Suara laki-laki di sampingku itu pun kini terdengar serak."Sebagai seorang ayah, saya sangat ingin menjadi wali di saat anak perempuan saya menikah. Ayah sangat ingin sekali menjadi wali nikah Hanum.""Iya, Insya Allah. Pasti Ayah akan menjadi wali nikah Hanum.""Iya, Nak Farel. Iya."Setelah itu, mata Ayah perlahan memejam. Napasnya masih turun naik dengan sangat berat. Aku memerhatikan laki-laki itu dengan hati yang begitu takut. Pikiran buruk terus saja berkelebat, apakah Ayah tertidur, atau hendak pergi meninggalkan kami.Di antara gundah, seorang dokter datang menghampiri kami. Di tang
Aku membalikkan badan, menatap laki-laki itu penuh harap bahwa apa yang dia tanyakan baru saja itu serius."Mas mau memberikan apa?""Saya belum menyiapkan apa-apa," jawabnya."Aku menerima apa saja yang Mas berikan, walaupun itu hanya uang seribu perak. Tapi jika Mas bisa, aku ingin meminta mahar yang selama ini aku impikan.""Apa?"***Aku menggenggam erat tangan Ayah. Mata laki-laki itu masih memejam rapat, sementara napasnya terus saja memburu. Tanganku beralih mengusap pucuk kepalanya yang mulai ditumbuhi satu dua uban. "Ayah." Aku berbisik pelan di telinga tuanya. Aku percaya beliau mendengar panggilanku, hanya saja terlalu lemah untuk membuka mata."Mas Farel bersedia menikahi Hanum sekarang. Ayah jadi wali nikah Hanum, ya?" bisikku menahan serak. Kemudian kelopak mata itu membuka perlahan. Dalam lemahnya, aku bisa melihat binar bahagia di sana.Farel datang bersama seseorang berseragam putih, yang dari penampilannya aku bisa memastikan bahwa ia adalah dokter. Setelah setuju
Aku tercengang beberapa lama oleh responnya yang di luar perkiraan. Langkahku bahkan sedikit tersurut. Nyaliku ciut menatapnya. Dia tiba-tiba tampak menakutkan. Wajahnya seram dan garang."Aku tadi pulang mandi sama ganti baju sebentar," sahutku tergagap. "Kamu 'kan bisa tunggu saya!""Aku takut nanti kemalaman.""Kamu bisa telepon supaya saya cepat!""Aku kasihan, Mas, seharian ini capek ke sana ke mari ngurusi kami."Setiap kalimat yang aku ucapkan, selalu keluar dengan terbata. Sementara dia menyahut dengan tegas dan lantang."Siapa bilang saya capek? Sudah saya bilang, bahaya jika perempuan keluar malam-malam!""Tapi aku sudah biasa, Mas.""Jangan biasakan sesuatu yang tidak baik!""Maaf." Aku sudah tidak tahan lagi. Air mataku nyaris tumpah. Aku menunduk dengan bibir yang gemetar menahan takut. "Aku lupa," lanjutku serak. Ya Tuhan, baru saja beberapa jam menjadi istrinya, dia sudah garang begini? Apa memang seperti ini tabiat aslinya? Temperamen dan kasar? Mengerikan sekali.
Ayah bukan hanya sebagai orang tua, tetapi juga sebagai teman untukku. Beliau tidak sekadar kepala keluarga, melainkan juga nyawa rumah ini. Keberadaan Ayah selalu membuat hari-hari kami menjadi lebih ceria. Sebaliknya, kehilangan Ayah menjadikan semuanya berubah kelam.Separuh hidup kami seolah hilang bersama kepergian Ayah.Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang pasti, kecuali kematian.Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang abadi. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Aku tahu, kematian tidak memandang usia, tidak harus sakit. Ia bisa datang kapan saja. Seperti Ayah yang beberapa jam sebelumnya masih sehat wal'afiat, tiba-tiba kecelakaan datang dan merenggut nyawanya. Di dalam Al Qur'an pun disebutkan bahwa tidak ada yang bisa menghindar dari kematian. ... Sesungguhnya, kematian yang kamu lari daripadanya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (QS al-Jumu’ah [62]: 8).Akan tetapi, aku manusia yang lemah. Luka atas kehilangan ini terasa amat perih. Prosesi pemakaman Ayah
"Kenapa kaget begitu ekspresinya?" Laki-laki itu menyipitkan mata, menatapku heran."Eh." Aku tertawa cengengesan.Ya Tuhan, video call dengan mertua? Aku harus bagaimana? Membayangkannya saja sudah canggung.Jujur saja aku tipe orang yang susah bicara kalau melalui telepon, kecuali dengan keluarga atau teman yang sangat dekat. Aku lebih leluasa dan nyaman kalau komunikasi melalui pesan saja. Sekarang dengan mertua yang notabene belum pernah bertemu, akan bagaimana ekspresiku nanti?Lagi pula jangankan dengan mertua, dengan suami saja masih sangat kikuk."Grogi, ya, mau video call sama mertua?" Mas Farel tersenyum jahil. Ia menggerakkan alisnya turun naik.Bah! Lelaki kaku ini pandai juga menggoda sekarang."Berani enggak video call sama mertua?" lanjutnya lagi. "Masa enggak berani?" Ia terus saja mencicit, membuat emosiku terpancing."Mana?" tantangku. Tidak terima kalau diremehkan. Laki-laki itu tersenyum penuh makna, lalu fokus pada ponselnya kembali. Per sekian detik, terdenga
Aku tertawa kikuk, cengengesan, serta tersipu malu oleh pujiannya. Sementara laki-laki itu terus bergeming dengan sorotannya. Ia menerus menatapku intens. Jakunnya turun naik, menunjukkan ia beberapa kali menelan saliva."Mas ...." Aku mulai was-was. Terlebih ketika tatapannya berubah sendu seiring gerakan kedua bibirnya yang saling melipat ke dalam. Lalu hangat napasnya mulai terasa menyapu wajahku.Per sekian detik, jantungku bagai terhenti karena teramat syok. Wajahnya mendekat, bibirnya dengan cepat menyesap lembut bibirku. "Mas ...," lirihku tertahan. Aku berusaha mendorong tubuhnya, menjauhkan diri, melepaskan tindakan laki-laki itu. Akan tetapi, aku seperti tidak bertenaga.Mas Farel melakukannya beberapa lama. Begitu lembut hingga aku merasa sangat nyaman dan terbuai. Entah dorongan dari mana, aku tanpa malu sedikit memberi balasan. Hangat napas kami saling beradu. Lalu setelah itu ia menarik kembali wajahnya dariku.Entahlah. Ketika ia menghentikan sendiri tindakannya, aku j
"Heh?"Aku yang sebelumnya dalam mode malas, sontak menantang tatapnya."Mas bilang apa?"Aku harus memastikan bahwa telingaku tidak salah mendengar. "Saya mencintai kamu," ulangnya gamblang.Astaga .... Ternyata aku tidak salah dengar.Aku menahan napas. Jantungku sudah berdegup tidak karuan sejak tadi, bertalu, melompat-lompat di dalam sana.Aku terpaku cukup lama. Setengah tidak percaya dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan. Dari sikap dan caranya bicara sejauh ini, aku sudah dapat merasa bahwa dia memang mencintaiku. Jelas sekali ada cinta yang tersirat dalam dirinya untukku. Akan tetapi, saat dia mengucapkannya secara lugas seperti ini, tentu rasanya sangat berbeda. Aku merasa lebih tersanjung, lebih bahagia. Jiwaku seperti melayang di awang-awang. Ini ibarat sebuah pengakuan. Cinta itu memang butuh untuk diucapkan demi meyakinkan pasangan. Apalagi seperti Mas Farel yang sangat pelit bicara bahkan terkesan dingin dan sombong. Mendapat ucapan cinta darinya ibarat menang lo
"Ehem!" Dehaman lantang tak biasa Bang Hadi terdengar dari sudut tempat ia berdiri. Aku menoleh, merasa janggal karena seolah suaranya sengaja dibuat-buat.Laki-laki itu melangkah lebar, meninggalkan area parkir seperti tergesa-gesa. Ia bahkan seolah sengaja memalingkan muka dari arah kami."Mas apaan, sih?" Aku melebarkan bola mata, protes atas apa yang dia lakukan."Apaan, kenapa?" tanyanya dengan ekspresi bagai tak berdosa.Belum sempat aku menyahut kembali, beberapa siswa lewat di depan kami sambil cekikikan."Ehem ... Ehem ....""Cie cie, Ibu Hanum ....""Ehem ....""Cuit ... Cuit ...."Mereka bising menggoda dengan mengeluarkan suara dehaman dan cuitan.Letak parkiran dewan guru bersebelahan dengan parkiran siswa. Saat itu sudah banyak sekali siswa yang berdatangan. Aku yang belum pernah diantar laki-laki selama ini, pasti saja menarik perhatian mereka. Kemudian saat mereka memerhatikan, justru Mas Farel tanpa akhlak melayangkan satu kecupan yang tidak mengenal tempat.Argh! Aku