"Tuh 'kan?" ucap Ayah sambil terkekeh. Beliau segera beranjak ke depan. Umak meyusul di belakang. Sementara aku terpaku di tempat. Syok. Seolah tidak percaya laki-laki itu benar-benar datang. Jadi tadi dia chat untuk mengetahui apakah aku ada di rumah atau tidak? "Waalaikumsalam. Masuk Nak Farel." Suara Ayah terdengar ramah."Terima kasih, Yah."Yah? Aku mencebik. Masih lucu dengan percaya diri laki-laki ini yang terus saja memanggil ayahku dengan sebutan Ayah juga. "Ayo duduk. Akhirnya datang juga. Terus terang ayah sudah nunggu sejak tadi," ujar Ayah. Ayah yang bicara, aku yang malu.Boleh-boleh saja menunggu kedatangan laki-laki itu, tetapi tidak harus diceritakan juga 'kan?"Hanum! Ini Nak Farel datang. Ayo cepat mandi!" Astaghfirullahal'azim! Aku beristighfar sambil memejamkan mata rapat-rapat, menutupkan novel yang kubaca ke wajah dengan sedikit ditimpukkan. Tega sekali ayahku itu. Tidak harus berseru lantang dan diucapkan di depan laki-laki itu juga 'kan? Jatuh, dong, re
Ayah menatap laki-laki itu serius. Untuk sementara, aku tidak menemukan raut jahil sama sekali pada wajahnya. Beliau menjelma menjadi sosok yang berwibawa."Hubungan seperti apa yang Nak Farel maksudkan?" tanyanya tenang, "Pacaran?"Laki-laki di sampingku kembali berdeham. Jakunnya sekali dua naik turun. Sepertinya ia cukup tegang, tetapi berusaha tenang. "Saya tidak ingin pacaran, Ayah. Saya bermaksud menjadikan Hanum sebagai istri." Bicaranya terdengar begitu yakin dan mantap, tak sedikitpun ada kesan keraguan."Kapan?""Jika Ayah dan Umak merestui, secepatnya saya akan membawa Hanum bertemu kedua orang tua saya. Setelah itu saya akan mengurus nikah kantor.""Nak Farel sudah yakin?""Sudah.""Secepat itu?""Ya!"Aku tercenung memerhatikan laki-laki itu. Dia begitu yakin menjawab pertanyaan Ayah, tegas dan cepat. Apa dia benar-benar sudah mantap dengan niatnya itu?"Bukankah kalian baru pertama bertemu tadi malam. Apa tidak sebaiknya saling mengenal lebih dalam dulu untuk mengetahui
Temani? Tidak? Temani? Tidak? Aku berdebat dengan hati. Jika ditemani, apakah aku sanggup dekat-dekat dengannya? Yang bisa tiba-tiba mendapat serangan senyum tipis bibirnya, kerlingan memesona mata elangnya, juga kalimat-kalimat tak terduga yang dapat membuat pipi selalu menghangat.Jika menolak, hatiku seolah tidak rela. Jujur saja, aku sebenarnya sangat ingin pergi. Rasanya menyenangkan membayangkan jalan berdua dengan laki-laki tampan dan gagah seperti dia. Ah ..., kenapa pikiranku jadi nakal sekali? Godaan setan ini pasti."Mau, ya?" Laki-laki itu bertanya setelah cukup lama aku tidak memberi jawaban."Eng ...." Aku melirik ke arah ruang keluarga, isyarat dari jawaban bahwa aku butuh ijin dari Ayah dan Umak untuk bisa pergi. Hanya saja bibirku masih terasa berat untuk bicara gara-gara tadi dia menyebut tentang latihan ijab qabul, lidahku rasanya masih kelu."Saya akan bicara sama Ayah dan Umak, untuk minta ijin membawa kamu pergi," sahutnya. Aku menatapnya takjub. Peka sekali d
Sontak saja pipiku memanas. Aku menahan gerakan bibir sekuat hati agar tidak merekah terlalu lebar mendengar kalimat terakhirnya. Akan tetapi, gagal. Tak ayal, aku menunduk menyembunyikan wajah.Teman hidup katanya?Ah, dia bisa saja membuat bibirku seakan enggan berhenti tersenyum dengan celetukan-celetukan tak terduganya."Dasar kamu, Rel!" Orang yang dia panggil Abang itu tampak gemas, lalu melayangkan tepukan kesal pada bahunya."Ijin, Bang," balasnya diiringi tawa ringan."Oke. Lanjutkan! Semoga lancar hingga ke pelaminan.""Aamiin. Terima kasih, Bang."Akad nikah itu sepertinya akan dilangsungkan di tenda ini. Di depan sana terdapat panggung yang kutaksir merupakan pelaminan pengantin. Di depan pelaminan itu, terdapat meja persegi panjang yang dikelilingi enam buah kursi. Empat kursi sudah ada yang menempati, tersisa dua kursi yang masih kosong. Kuperkirakan itu merupakan kursi yang disiapkan untuk kedua pengantin. Sementara empat orang yang telah hadir itu kemungkinan penghulu,
Wajahnya dingin. Sama sekali tidak ada senyuman di bibirnya. Sorot matanya yang tajam itu terasa bagai menembus jantungku."Dia?" tanyaku bingung. Suara yang keluar terdengar gemetar karena rasa takut.Aku heran dengan keadaan sendiri, mengapa harus takut dengannya? Memangnya dia siapa? Bahkan dia bukan siapa-siapa!Laki-laki itu tampak menghela napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Dia melepaskan genggaman tangannya dariku, setelah itu mengusap wajah sendiri. "Maaf," lirihnya. Setelah itu, lagi-lagi dia menghela napas panjang. "Maaf? Kenapa?" Aku bertanya hati-hati, lalu memberanikan diri memindai wajah coklatnya yang tampak frustrasi. Lagi-lagi hatiku bertanya, ada apa dengannya?"Tidak apa-apa," sahutnya, "Ayo." Ia kembali melanjutkan langkah panjangnya menuju sepeda motor yang terletak tidak jauh dari kami berhenti.Tanpa bicara, ia segera men-starter kuda besinya itu. Lalu, setelah memastikan aku duduk dengan sempurna, ia melajukan kendaraannya itu menuju mesjid terdekat.
"Cobain dulu," ucapnya saat aku tidak segera mencicipi minuman itu. Mau tidak mau, daripada dilihati terus sehingga aku jadi salah tingkah dan tidak bisa meneruskan makan, aku menuruti ucapannya."Maniskan?" tanyanya saat satu sedotan berhasil melewati kerongkonganku."Iya." Aku menjawab singkat sembari mengangguk."Kayak kamu," timpalnya.Tak ayal, aku yang belum sempurna menelan semua minuman yang ada di mulut, tersedak oleh kalimat singkatnya.Subhanallah .... Aku mengurut dada.Ternyata laki-laki kaku ini sangat pandai berkata-kata manis. Bicaranya medit, tetapi kerap tak terduga. Satu dua kata yang terucap dari bibirnya selalu mampu membuatku tersipu malu.Saat ini aku benar-benar tidak mampu lagi mengangkat wajah. Sepanjang menikmati bakso, aku menyuap sambil terus menunduk. Alhasil tidak ada pembicaraan di antara kami. Yang ada hanya saling diam. Hening. Sesekali, keheningan di antara kami ditingkahi suara sendok dan garpu yang saling beradu dengan pinggiran mangkuk.Aku sudah
"Hanum." Melihatku terjatuh, Farel gegas menghampiri. Laki-laki itu lantas duduk mensejajarkan diri denganku."Ada apa?" tanyanya. Intonasi suaranya terdengar khawatir.Tidak mampu menjawab, aku menyerahkan ponsel yang masih tersambung dengan Umak padanya. Ia meraih benda itu, lalu mulai berbicara.Informasi yang tadi Umak sampaikan, Ayah kecelakaan. Saat hendak ke mesjid menjalankan sholat Zuhur bersama Azmi, sepeda motor yang mereka kendarai ditabrak dari belakang. Tidak terlalu parah. Akan tetapi, Ayah yang saat itu posisinya dibonceng, terpental dari sepeda motor. Sedangkan Azmi tumbang di tempat.Azmi mengalami lecet pada lengan, sementara Ayah tidak mengalami luka sama sekali. Keduanya bahkan tetap menjalankan sholat Zuhur di mesjid. Akan tetapi, usai sholat Ayah mengeluh nyeri pada bagian dada. Sesampai di rumah, keluhan bertambah menjadi sesak napas sehingga harus dilarikan ke UGD."Kondisi Ayah sesak dan sangat lemah, Num. Saat ini Ayah bernapas dengan bantuan oksigen. Ayah
"Istighfar, Ayah. Ayah pasti mampu melewatinya," ucap Farel."Astaghfirullahal'azim." Ia memberi contoh."Astaghfirullahal'azim." Ayah menirukan dengan lancar, walaupun pelan dan terbata.Di belakang laki-laki itu, aku tergugu. Demikian pula Umak yang berdiri di belakangku."Nak Farel, ayah mau bercerita. Tolong dengarkan." Ayah terus berbicara, padahal napasnya sudah kian tersengal."Iya, Ayah." Suara laki-laki di sampingku itu pun kini terdengar serak."Sebagai seorang ayah, saya sangat ingin menjadi wali di saat anak perempuan saya menikah. Ayah sangat ingin sekali menjadi wali nikah Hanum.""Iya, Insya Allah. Pasti Ayah akan menjadi wali nikah Hanum.""Iya, Nak Farel. Iya."Setelah itu, mata Ayah perlahan memejam. Napasnya masih turun naik dengan sangat berat. Aku memerhatikan laki-laki itu dengan hati yang begitu takut. Pikiran buruk terus saja berkelebat, apakah Ayah tertidur, atau hendak pergi meninggalkan kami.Di antara gundah, seorang dokter datang menghampiri kami. Di tang
"Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu
"Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia
"Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga
PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.
"Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat
Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku
Sekolah memberiku cuti menikah selama satu Minggu. Dua hari digunakan untuk persiapan, satu hari untuk pelaksanaan, tiga hari kami manfaatkan untuk masa berdua menikmati pasca resepsi, dan satu hari masa untuk beristirahat sebelum melaksanakan tugas negara kembali.Setelah satu Minggu melalui hari-hari awal penuh bahagia, hari ini aku dan Mas Farel merapat ke tempat tugas.Pukul enam pagi aku sudah rapi dengan seragam dan polesan make up tipis. Kami akan bersiap untuk sarapan ketika notifikasi pesan singkat dari aplikasi pepesanan warna hijau di ponselku berbunyi.Sebuah pesan dari Mbak Rissa masuk. "Hanum, hari ini Mbak enggak masuk. Tadi sudah ijin sama kepala sekolah. Mbak ada giat upacara pelepasan pindah Mas Cahyo. Nanti tolong sampaikan tugas-tugas Mbak ke siswa, ya," tulisnya. Om Cahyo pindah? Dahiku mengernyit. Bukankah Om Cahyo leting Mas Farel. Apakah Mas Farel juga ikut pindah? Tapi mengapa dia tidak memberitahuku?"Om Cahyo pindah, Mbak?" tanyaku meminta penegasan. Selam
Aku titipkan diaLanjutkan perjuanganku 'tuknyaBahagiakan dia, kau sayangi diaSeperti ku menyayanginya'Kan kuikhlaskan diaTak pantas ku bersanding dengannya'Kan kuterima dengan lapang dadaAku bukan jodohnyaDahiku mengernyit. Mataku sontak mencari sumber suara pada iringan musik organ tunggal yang menjadi hiburan di resepsi pernikahan kami. Aku seperti mengenal suara yang membawakan lagu Aku Bukan Jodohnya dari Tri Suaka yang sedang mengalun itu. "Mantan kamu."Mas Farel menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik pada satu arah, memberi kode agar aku melihat ke sudut yang di maksud. "Apa, sih?" Aku merengut saat melihat pada sosok yang dia sebut sebagai mantanku. Pantas saja aku seperti mengenal suara orang yang membawakan lagu itu, rupanya Hadi sedang berada di atas panggung. Dia memang terkenal dengan suara merdunya sejak kami masih kuliah. Hadi sering mengisi waktu luang dengan memetik gitar di taman kampus bersama beberapa rekannya. Suaranya itu juga yang menjadi salah satu
Aku rindu, Ayah. Rindu sebenar-benarnya rindu."Hanum." Umak yang sedang tadi memerhatikanku dirias MUA dari sofa bed yang tersedia kamar, melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Beliau mengusap punggungku lembut. Aku mengangkat wajah, menatap sendu satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini."Mak." Aku memanggil beliau lirih, ingin mengadukan perasaan yang berkecamuk di hati. Namun, aku tahu tanpa kuceritakan pun beliau sudah paham apa yang kurasakan."Jangan menangis, Hanum. Nanti riasan kamu rusak." Bukannya khawatir kondisi putrinya, Umak justru memikirkan riasanku. Walaupun, aku tahu apa yang baru saja beliau ucapkan itu hanya sekadar untuk menghiburku.Tangan tua beliau kemudian mengusap lembut butiran bening yang mulai banyak pecah di sudut mataku. Akan tetapi, semakin beliau mengusap, butiran itu justru semakin banyak. "Mak."Aku menjatuhkan diri ke dalam tubuh tua Umak, memeluk erat wanita yang telah berjasa mengantarku ke dunia itu. Tubuhku berguncang menahan tangi