Aku menyipitkan mata. Dahiku mengernyit. Mulutku ternganga. Setelah dengan sombongnya dia bersikap abai saat dikenalkan, tiba-tiba sekarang sok peduli mau mengantar pulang? Apa dia punya kepribadian ganda?"Eh, tidak apa-apa, Om. Saya pulang sendiri saja. Sudah biasa. Lagian rumah saya tidak terlalu jauh," tolakku enggan diantar olehnya. Alih-alih merasa aman, justru aku takut. Seram melihat wajah dinginnya. Apa kulit wajahnya begitu kaku sehingga tidak bisa tertarik elastis untuk menggurat sebuah senyuman?"Kamu duluan, saya ikut dari belakang." Tanpa menggubris ucapanku, ia naik ke atas sepeda motornya. Apa selain tidak bisa senyum, dia juga tidak bisa mendengar? Masa iya dia punya gangguan pendengaran di usia yang masih terbilang muda?"Cit cit cuiiit." "Ehem ... Ehem ...." Sorakan dan dehaman tiba-tiba terdengar ramai di belakangku. Sontak aku menoleh. Di teras tampak teman-teman lelaki kaku ini berkumpul. Mereka tersenyum jahil, tertawa menggoda, bahkan Mbak Rissa pun ikut-iku
Aku mencebik sambil menatap punggungnya yang hilang di ujung jalan. Percaya diri sekali dia? Memangnya siapa yang mau bertemu dengannya lagi setelah ini? Terus, apa masalahnya dengan panggilan Om? Menurut Mbak Rissa, bukankah Om itu justru panggilan untuk menghormati keluarga besar TNI golongan Tamtama dan Bintara? Lalu salahnya di mana?Ah, biarlah. Untuk apa memikirkan dia?Aku segera berbalik dan bersiap masuk rumah. Ayah dan Umak masih menunggu di teras. "Ehem .... Cie, anak Ayah. Akhirnya ...." Ayah berdeham sambil matanya melirik dan bibirnya tersenyum menggodaku."Sudah berapa lama?" Beliau bertanya sambil alisnya naik turun. Aku mengembuskan napas panjang. Punya Ayah serasa punya teman sebaya, super usil dan super kepo. "Apa, sih, Yah?" Aku merengut, lalu buru-buru masuk menenteng berkat selamatan pemberian Mbak Rissa. Melayani keusilan Ayah tidak akan ada habisnya. "Ini ada makanan berkat selamatan tadi, Ayah sama Umak sudah makan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Berhar
Mbak Rissa! Pasti Dia!Aku segera menggulir aplikasi ke bawah, membuka pesan dari Mbak Rissa sebelum mengirim balasan untuk protes karena telah memberikan nomorku tanpa ijin."Nanti cerita ya, Han.""Hi hi hi.""Om Farel malu-malu kucing.""Diam-diam, tiba-tiba tancap gas." Empat pesan pendek beruntun darinya. Begitu pesan-pesan itu kubaca, langsung saja pada layar tampak tulisan Mbak Rissa sedang mengetik. Aku sampai tercenung beberapa saat. Sepertinya dia sudah menunggu sejak tadi pesan-pesan itu centang biru. Excited sekali dia. Tidak Ayah dan Umak, tidak Mbak Rissa, semua super kepo."Gimana, Han?"Pesan baru dari Mbak Rissa masuk. Aku mengembuskan napas panjang seketika, merasa heran kenapa orang-orang begitu semangat ingin tahu tentang si Lelaki Kaku itu? Apa yang istimewa darinya?"Apanya yang bagaimana, Mbak?" Pesan balasan dariku. Tidak perlu menunggu lama, pesan itu langsung centang biru begitu kukirim."Gimana kamu sama Om Farel tadi? Ngapain saja? Dia nembak kamu enggak?
"Tuh 'kan?" ucap Ayah sambil terkekeh. Beliau segera beranjak ke depan. Umak meyusul di belakang. Sementara aku terpaku di tempat. Syok. Seolah tidak percaya laki-laki itu benar-benar datang. Jadi tadi dia chat untuk mengetahui apakah aku ada di rumah atau tidak? "Waalaikumsalam. Masuk Nak Farel." Suara Ayah terdengar ramah."Terima kasih, Yah."Yah? Aku mencebik. Masih lucu dengan percaya diri laki-laki ini yang terus saja memanggil ayahku dengan sebutan Ayah juga. "Ayo duduk. Akhirnya datang juga. Terus terang ayah sudah nunggu sejak tadi," ujar Ayah. Ayah yang bicara, aku yang malu.Boleh-boleh saja menunggu kedatangan laki-laki itu, tetapi tidak harus diceritakan juga 'kan?"Hanum! Ini Nak Farel datang. Ayo cepat mandi!" Astaghfirullahal'azim! Aku beristighfar sambil memejamkan mata rapat-rapat, menutupkan novel yang kubaca ke wajah dengan sedikit ditimpukkan. Tega sekali ayahku itu. Tidak harus berseru lantang dan diucapkan di depan laki-laki itu juga 'kan? Jatuh, dong, re
Ayah menatap laki-laki itu serius. Untuk sementara, aku tidak menemukan raut jahil sama sekali pada wajahnya. Beliau menjelma menjadi sosok yang berwibawa."Hubungan seperti apa yang Nak Farel maksudkan?" tanyanya tenang, "Pacaran?"Laki-laki di sampingku kembali berdeham. Jakunnya sekali dua naik turun. Sepertinya ia cukup tegang, tetapi berusaha tenang. "Saya tidak ingin pacaran, Ayah. Saya bermaksud menjadikan Hanum sebagai istri." Bicaranya terdengar begitu yakin dan mantap, tak sedikitpun ada kesan keraguan."Kapan?""Jika Ayah dan Umak merestui, secepatnya saya akan membawa Hanum bertemu kedua orang tua saya. Setelah itu saya akan mengurus nikah kantor.""Nak Farel sudah yakin?""Sudah.""Secepat itu?""Ya!"Aku tercenung memerhatikan laki-laki itu. Dia begitu yakin menjawab pertanyaan Ayah, tegas dan cepat. Apa dia benar-benar sudah mantap dengan niatnya itu?"Bukankah kalian baru pertama bertemu tadi malam. Apa tidak sebaiknya saling mengenal lebih dalam dulu untuk mengetahui
Temani? Tidak? Temani? Tidak? Aku berdebat dengan hati. Jika ditemani, apakah aku sanggup dekat-dekat dengannya? Yang bisa tiba-tiba mendapat serangan senyum tipis bibirnya, kerlingan memesona mata elangnya, juga kalimat-kalimat tak terduga yang dapat membuat pipi selalu menghangat.Jika menolak, hatiku seolah tidak rela. Jujur saja, aku sebenarnya sangat ingin pergi. Rasanya menyenangkan membayangkan jalan berdua dengan laki-laki tampan dan gagah seperti dia. Ah ..., kenapa pikiranku jadi nakal sekali? Godaan setan ini pasti."Mau, ya?" Laki-laki itu bertanya setelah cukup lama aku tidak memberi jawaban."Eng ...." Aku melirik ke arah ruang keluarga, isyarat dari jawaban bahwa aku butuh ijin dari Ayah dan Umak untuk bisa pergi. Hanya saja bibirku masih terasa berat untuk bicara gara-gara tadi dia menyebut tentang latihan ijab qabul, lidahku rasanya masih kelu."Saya akan bicara sama Ayah dan Umak, untuk minta ijin membawa kamu pergi," sahutnya. Aku menatapnya takjub. Peka sekali d
Sontak saja pipiku memanas. Aku menahan gerakan bibir sekuat hati agar tidak merekah terlalu lebar mendengar kalimat terakhirnya. Akan tetapi, gagal. Tak ayal, aku menunduk menyembunyikan wajah.Teman hidup katanya?Ah, dia bisa saja membuat bibirku seakan enggan berhenti tersenyum dengan celetukan-celetukan tak terduganya."Dasar kamu, Rel!" Orang yang dia panggil Abang itu tampak gemas, lalu melayangkan tepukan kesal pada bahunya."Ijin, Bang," balasnya diiringi tawa ringan."Oke. Lanjutkan! Semoga lancar hingga ke pelaminan.""Aamiin. Terima kasih, Bang."Akad nikah itu sepertinya akan dilangsungkan di tenda ini. Di depan sana terdapat panggung yang kutaksir merupakan pelaminan pengantin. Di depan pelaminan itu, terdapat meja persegi panjang yang dikelilingi enam buah kursi. Empat kursi sudah ada yang menempati, tersisa dua kursi yang masih kosong. Kuperkirakan itu merupakan kursi yang disiapkan untuk kedua pengantin. Sementara empat orang yang telah hadir itu kemungkinan penghulu,
Wajahnya dingin. Sama sekali tidak ada senyuman di bibirnya. Sorot matanya yang tajam itu terasa bagai menembus jantungku."Dia?" tanyaku bingung. Suara yang keluar terdengar gemetar karena rasa takut.Aku heran dengan keadaan sendiri, mengapa harus takut dengannya? Memangnya dia siapa? Bahkan dia bukan siapa-siapa!Laki-laki itu tampak menghela napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Dia melepaskan genggaman tangannya dariku, setelah itu mengusap wajah sendiri. "Maaf," lirihnya. Setelah itu, lagi-lagi dia menghela napas panjang. "Maaf? Kenapa?" Aku bertanya hati-hati, lalu memberanikan diri memindai wajah coklatnya yang tampak frustrasi. Lagi-lagi hatiku bertanya, ada apa dengannya?"Tidak apa-apa," sahutnya, "Ayo." Ia kembali melanjutkan langkah panjangnya menuju sepeda motor yang terletak tidak jauh dari kami berhenti.Tanpa bicara, ia segera men-starter kuda besinya itu. Lalu, setelah memastikan aku duduk dengan sempurna, ia melajukan kendaraannya itu menuju mesjid terdekat.