Tidak perlu banyak kata lagi tentang cinta dan setia. Ketika semua sudah pada tempatnya, maka tidak ada yang bisa menukarnya lagi. Seperti matahari untuk siang, dan rembulan untuk malam. Semua setia pada posisi masing-masing. Maka aku untukmu, juga akan setia pada tempatku.
=======
"Mas cemburu, ya?" Aku bertanya menggoda. Entah mengapa, kali ini aku suka melihat ekspresi cemburunya.
Laki-laki itu mendelik, membuatku terkekeh geli. Kutarik tangan agar lepas dari genggamannya, bukan benar-benar ingin lepas, melainkan hanya untuk menggodanya.
"Diam, kenapa?" Dia berdecak kesal sambil mengeratkan genggaman. Aku semakin cekikikan.
"Jangan khawatir, Mas. Dia gak akan berani mengambil aku dari Mas."
Ia menoleh, menatap dengan dahi mengernyit. Sorot matanya seolah bertanya, "Oh, ya? Benarkah?"
"Iya. Mana berani dia sama Mas. Garang, gitu!" teran
Malam ini kami berkumpul dalam keluarga besar. Sehabis sholat magrib kami menikmati makan malam bersama.“Mau disuapi, Mama,” pinta Nadin sambil menyodorkan piringnya padaku. Padahal beberapa suap pertama telah masuk secara mandiri.“Sama ayah saja, ya,” tawar Mas Kusuma sambil mengambil alih piring yang mengarah padaku.“Gak mau, maunya sama Mama,” lagi-lagi anak itu menolak membuat laki-laki disampingku melengos dan semua yang hadir tertawa.“Ayah sekarang kalah saing,” imbuh ibu mertua di sela tawanya.“Iya, tapi tidak apa. Saya bahagia Anin mau menerima Nadin dengan baik. Terima kasih, Sayang,” ucap laki-laki itu tulus padaku.Aku hanya mengangguk sembari menyuapi gadis lima tahun yang duduk di antara aku dan Mas Kusuma. Sambil aku pun menyuap makanan sendiri.“Besok ba
Aku menatapnya nanar. Tanyanya membuatkumerasakan kembali perihnya luka yang sudah terendap empat tahun silam. Saat ini, kurasakan luka itu ternyata masih terbuka.“Bolehkah saya mengetahuinya, Anin? Maaf, saya ingkar. Saya telah berjanji untuk tidak akan mengungkit cerita ini lagi, tapi mengetahui keluargamu mengenal Ilham, rasa ingin tahu saya hadir kembali," pintanya sambil menatapku sendu, "Saya hanya ingin tahu, agar tidak ada lagi tanya yang mengganjal di kemudian hari."Aku menghela napas dalam berulang kali. Aku pun sebenarnya ingin menceritakan semua ini secara tuntas. Akan tetapi, untuk mengingat kejadian itu saja rasanya aku tidak mampu, apalagi harus menceritakan detail peristiwanya. Seluruh sendiku terasa luruh. Aku tidak mampu.“Jika memang dia orangnya apa yang akan Mas lakukan? Apa Mas akan menyesal dan meninggalkanku?” tanyaku pelan.“Ceritakan,
Malam ini, selepas shalat magrib aku menemaninya menyiapkan perbekalan untuk pra tugas.Selama empat belas hari, dia akan menerima materi dan latihan di Kompi Markas sebagai persiapan sebelum berangkat ke medan tugas yang sebenarnya.“Apa harus begini isi tasnya, Mas?” tanyaku ketika membantunya menyiapkan protap.Protap adalah perlengkapan di dalam tas yang selalu tersandang di punggung prajurit ketika dalam tugas.Isinya pakaian PDL dengan sepatunya, perlengkapan mandi, perlengkapan shalat, mie instan, sarden, sandal jepit, tempat minum, rantang makanan, juga perlengkapan-perlengkapan militer yang aku tidak paham apa nama dan fungsinya.Ada satu yang menarik perhatianku, yaitu sebuah benda yang menyerupai kotak kosmetik. Saat kubuka, isinya ternyata memang benar-benar seperti kosmetik.Bentuknya persegi panjang yang i
Aku duduk sambil memeluk Nadin di salah satu sudut pelabuhan. Setelah dua minggu menjalani pra tugas, ditambah dua minggu masa senggang untuk persiapan, hari ini satuan tugas itu berangkat untuk memenuhi panggilan ibu pertiwi.Para prajurit itu berangkat dengan mengemban suatu misi di daerah konflik yang ada di tanah air. Menjaga keamanan dan keperkasaan sang merah putih untuk tetap berkibar.Tujuan utama mereka bukanlah berperang. Satuan tugas itu justru menebar misi perdamaian, menanamkan cinta tanah air, sehingga harapannya tidak hanya membasmi anggota gerakan pengacau keamanan melainkan membunuh akar-akar itu dari hati masyarakat.Suasana pelabuhan cukup ramai. Dari berbagai sudut, terlihat banyak istri para prajurit lain yang datang untuk mengantar bersama anak-anak mereka. Kami sedang menunggu suami masing-masing yang sedang menerima pengarahan dari Kasdam di atas kapal.
[Mas. Apa kabar?][Sudah sampai mana?][Apa masih jauh?][Mas, balas, dong.][Mas ....][Ya Allah .... Balas, dong ....][Aku rindu ....]Aku mengusap setitik bening yang mencoba menyeruak dari sudut mata.Kurang lebih dua minggu sudah Mas Kusuma berangkat. Dua Minggu itu pula aku menahan rindu yang teramat berat. Mas Kusuma tidak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif karena masih dalam perjalanan di atas kapal. Tidak ada signal seluler apalagi internet di sana.Setiap hari, entah berapa puluh pesan yang aku kirim, baik pesan singkat seluler maupun chat pada aplikasi hijau di handphone-ku.Sudah tak terhitung pula berapa kali aku mencoba melakukan panggilan untuknya, dan semua selalu berakhir dengan kecewa.Nomor yang anda tuju
Aku tercenung beberapa lama mendengar pertanyaan laki-laki itu. Satu bulan setengah aku kembali ke sekolah ini, Ilham secara terang-terangan menjauh. Ia tidak mau bicara padaku. Jangankan bicara, menyapa pun tidak mau.Saat pertama kali mengajar kembali, semua rekan sejawat mengucapkan selamat atas pernikahanku dengan Mas Kusuma. Namun, Ilham tidak. Ia justru menghilang dari ruang guru.Pernah aku menyapanya sekali, mengajaknya bicara untuk memperbaiki silaturahmi yang terputus, tetapi berakhir dengan rasa malu sebab tidak sedikit pun ia menggubris. Sejak saat itu aku tidak pernah menyapanya lagi, kecuali jika nanti dia yang menyapa terlebih dahulu.Setelah semua perubahan sikapnya itu, hari ini dia akhirnya bicara, tetapi untuk menanyakan hal yang tidak seharusnya."Karena ... dia jodohku," jawabku setelah berpikir beberapa lama. Jujur saja, aku bingung untuk menjawab apa. 
PoV Ilham"Cie cie yang lagi rindu. Tak sudah sudah memandangi foto."Suara Bu Irene menarik perhatianku. Refleks kualihkan netra untuk mencari keberadaannya. Ternyata dia sedang menggoda Anin."Ish. Ganggu saja," balas Anin.Ibarat ada luka menganga di hatiku, kemudian tersiram air garam.Perih!Aku tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya saat melihat rona merah begitu saja mendominasi wajah perempuan yang pernah dekat denganku, yang sampai saat ini masih sangat kucintai, Anindyaswari.Anin tampak begitu malu saat Bu Irene menangkap basah dirinya yang mungkin sedang memandangi foto-foto Kusuma, suaminya.Aku dapat melihat begitu banyak cinta di mata Anin yang kini dia berikan untuk Kusuma. Itu membuatku sakit.Kedua tanganku mengepal geram. Aku cemburu.
MESKIPUN JAUH"Tidak!" jawabku tegas, "Aku tidak mungkin mengkhianati suamiku. Aku sangat mencintainya dan dia pun sangat mencintaiku."Setelah mengucapkan kalimat itu, aku bergegas menuju kelas, meninggalkan Ilham yang tampak gusar dan tidak terima dengan jawabanku.Tidak perlu membahas hal ini lebih lama. Tidak ada gunanya. Mungkin mulai saat ini aku harus menghindari Ilham.Usai jam mengajar, aku segera pulang, memilih tidak mampir ke kantor demi menghindari Ilham. Semua perangkat pembelajaran kubawa ke rumah.Untuk saat ini, lebih baik aku menjaga jarak dengan laki-laki itu, agar dia merasa tidak ada harapan untuk memulai lagi hubungan kami yang memang sudah berakhir.Aku segera memacu sepeda motor dengan cepat meninggalkan lingkungan sekolah. Hari ini jam mengajarku full sampai akhir. Nadin pasti sudah menunggu di rumah.