Malam ini kami berkumpul dalam keluarga besar. Sehabis sholat magrib kami menikmati makan malam bersama.
“Mau disuapi, Mama,” pinta Nadin sambil menyodorkan piringnya padaku. Padahal beberapa suap pertama telah masuk secara mandiri.
“Sama ayah saja, ya,” tawar Mas Kusuma sambil mengambil alih piring yang mengarah padaku.
“Gak mau, maunya sama Mama,” lagi-lagi anak itu menolak membuat laki-laki disampingku melengos dan semua yang hadir tertawa.
“Ayah sekarang kalah saing,” imbuh ibu mertua di sela tawanya.
“Iya, tapi tidak apa. Saya bahagia Anin mau menerima Nadin dengan baik. Terima kasih, Sayang,” ucap laki-laki itu tulus padaku.
Aku hanya mengangguk sembari menyuapi gadis lima tahun yang duduk di antara aku dan Mas Kusuma. Sambil aku pun menyuap makanan sendiri.
“Besok ba
Aku menatapnya nanar. Tanyanya membuatkumerasakan kembali perihnya luka yang sudah terendap empat tahun silam. Saat ini, kurasakan luka itu ternyata masih terbuka.“Bolehkah saya mengetahuinya, Anin? Maaf, saya ingkar. Saya telah berjanji untuk tidak akan mengungkit cerita ini lagi, tapi mengetahui keluargamu mengenal Ilham, rasa ingin tahu saya hadir kembali," pintanya sambil menatapku sendu, "Saya hanya ingin tahu, agar tidak ada lagi tanya yang mengganjal di kemudian hari."Aku menghela napas dalam berulang kali. Aku pun sebenarnya ingin menceritakan semua ini secara tuntas. Akan tetapi, untuk mengingat kejadian itu saja rasanya aku tidak mampu, apalagi harus menceritakan detail peristiwanya. Seluruh sendiku terasa luruh. Aku tidak mampu.“Jika memang dia orangnya apa yang akan Mas lakukan? Apa Mas akan menyesal dan meninggalkanku?” tanyaku pelan.“Ceritakan,
Malam ini, selepas shalat magrib aku menemaninya menyiapkan perbekalan untuk pra tugas.Selama empat belas hari, dia akan menerima materi dan latihan di Kompi Markas sebagai persiapan sebelum berangkat ke medan tugas yang sebenarnya.“Apa harus begini isi tasnya, Mas?” tanyaku ketika membantunya menyiapkan protap.Protap adalah perlengkapan di dalam tas yang selalu tersandang di punggung prajurit ketika dalam tugas.Isinya pakaian PDL dengan sepatunya, perlengkapan mandi, perlengkapan shalat, mie instan, sarden, sandal jepit, tempat minum, rantang makanan, juga perlengkapan-perlengkapan militer yang aku tidak paham apa nama dan fungsinya.Ada satu yang menarik perhatianku, yaitu sebuah benda yang menyerupai kotak kosmetik. Saat kubuka, isinya ternyata memang benar-benar seperti kosmetik.Bentuknya persegi panjang yang i
Aku duduk sambil memeluk Nadin di salah satu sudut pelabuhan. Setelah dua minggu menjalani pra tugas, ditambah dua minggu masa senggang untuk persiapan, hari ini satuan tugas itu berangkat untuk memenuhi panggilan ibu pertiwi.Para prajurit itu berangkat dengan mengemban suatu misi di daerah konflik yang ada di tanah air. Menjaga keamanan dan keperkasaan sang merah putih untuk tetap berkibar.Tujuan utama mereka bukanlah berperang. Satuan tugas itu justru menebar misi perdamaian, menanamkan cinta tanah air, sehingga harapannya tidak hanya membasmi anggota gerakan pengacau keamanan melainkan membunuh akar-akar itu dari hati masyarakat.Suasana pelabuhan cukup ramai. Dari berbagai sudut, terlihat banyak istri para prajurit lain yang datang untuk mengantar bersama anak-anak mereka. Kami sedang menunggu suami masing-masing yang sedang menerima pengarahan dari Kasdam di atas kapal.
[Mas. Apa kabar?][Sudah sampai mana?][Apa masih jauh?][Mas, balas, dong.][Mas ....][Ya Allah .... Balas, dong ....][Aku rindu ....]Aku mengusap setitik bening yang mencoba menyeruak dari sudut mata.Kurang lebih dua minggu sudah Mas Kusuma berangkat. Dua Minggu itu pula aku menahan rindu yang teramat berat. Mas Kusuma tidak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif karena masih dalam perjalanan di atas kapal. Tidak ada signal seluler apalagi internet di sana.Setiap hari, entah berapa puluh pesan yang aku kirim, baik pesan singkat seluler maupun chat pada aplikasi hijau di handphone-ku.Sudah tak terhitung pula berapa kali aku mencoba melakukan panggilan untuknya, dan semua selalu berakhir dengan kecewa.Nomor yang anda tuju
Aku tercenung beberapa lama mendengar pertanyaan laki-laki itu. Satu bulan setengah aku kembali ke sekolah ini, Ilham secara terang-terangan menjauh. Ia tidak mau bicara padaku. Jangankan bicara, menyapa pun tidak mau.Saat pertama kali mengajar kembali, semua rekan sejawat mengucapkan selamat atas pernikahanku dengan Mas Kusuma. Namun, Ilham tidak. Ia justru menghilang dari ruang guru.Pernah aku menyapanya sekali, mengajaknya bicara untuk memperbaiki silaturahmi yang terputus, tetapi berakhir dengan rasa malu sebab tidak sedikit pun ia menggubris. Sejak saat itu aku tidak pernah menyapanya lagi, kecuali jika nanti dia yang menyapa terlebih dahulu.Setelah semua perubahan sikapnya itu, hari ini dia akhirnya bicara, tetapi untuk menanyakan hal yang tidak seharusnya."Karena ... dia jodohku," jawabku setelah berpikir beberapa lama. Jujur saja, aku bingung untuk menjawab apa. 
PoV Ilham"Cie cie yang lagi rindu. Tak sudah sudah memandangi foto."Suara Bu Irene menarik perhatianku. Refleks kualihkan netra untuk mencari keberadaannya. Ternyata dia sedang menggoda Anin."Ish. Ganggu saja," balas Anin.Ibarat ada luka menganga di hatiku, kemudian tersiram air garam.Perih!Aku tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya saat melihat rona merah begitu saja mendominasi wajah perempuan yang pernah dekat denganku, yang sampai saat ini masih sangat kucintai, Anindyaswari.Anin tampak begitu malu saat Bu Irene menangkap basah dirinya yang mungkin sedang memandangi foto-foto Kusuma, suaminya.Aku dapat melihat begitu banyak cinta di mata Anin yang kini dia berikan untuk Kusuma. Itu membuatku sakit.Kedua tanganku mengepal geram. Aku cemburu.
MESKIPUN JAUH"Tidak!" jawabku tegas, "Aku tidak mungkin mengkhianati suamiku. Aku sangat mencintainya dan dia pun sangat mencintaiku."Setelah mengucapkan kalimat itu, aku bergegas menuju kelas, meninggalkan Ilham yang tampak gusar dan tidak terima dengan jawabanku.Tidak perlu membahas hal ini lebih lama. Tidak ada gunanya. Mungkin mulai saat ini aku harus menghindari Ilham.Usai jam mengajar, aku segera pulang, memilih tidak mampir ke kantor demi menghindari Ilham. Semua perangkat pembelajaran kubawa ke rumah.Untuk saat ini, lebih baik aku menjaga jarak dengan laki-laki itu, agar dia merasa tidak ada harapan untuk memulai lagi hubungan kami yang memang sudah berakhir.Aku segera memacu sepeda motor dengan cepat meninggalkan lingkungan sekolah. Hari ini jam mengajarku full sampai akhir. Nadin pasti sudah menunggu di rumah.
"Terima kasih ya, Mas," tulisku haru. Aku mengirimkan foto dua hadiah yang ia berikan, sebagai tanda bahwa hadiah itu telah aku terima."Sama-sama, sayang. Dihabiskan, ya, buburnya," balasnya."Iya. Meskipun tidak seenak buatan Mas, tapi aku suka karena Mas yang membelikan.""Alhamdulillah jika suka. Hadiah yang satunya suka tidak?""Suuukaaa sangat," balasku dengan menambahkan emoticon hati berjejer.“Alhamdullilah. O, ya. Jangan ngidam yang aneh-aneh dulu, ya. Ngidamnya nanti saja tunggu anak kedua kita. Dirapel juga tidak apa-apa,” pesannya lagi.Aku tertawa kecil membaca permintaannya. Secara ilmiah, ngidam itu memang tidak ada. Namun, menurutku ngidam itu lebih disebabkan adanya perubahan hormon dalam tubuh sehingga terjadi perubahan yang membuat tubuh menjadi tidak nyaman.Misalnya tidak nyaman makan, padah
"Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu
"Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia
"Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga
PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.
"Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat
Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku
Sekolah memberiku cuti menikah selama satu Minggu. Dua hari digunakan untuk persiapan, satu hari untuk pelaksanaan, tiga hari kami manfaatkan untuk masa berdua menikmati pasca resepsi, dan satu hari masa untuk beristirahat sebelum melaksanakan tugas negara kembali.Setelah satu Minggu melalui hari-hari awal penuh bahagia, hari ini aku dan Mas Farel merapat ke tempat tugas.Pukul enam pagi aku sudah rapi dengan seragam dan polesan make up tipis. Kami akan bersiap untuk sarapan ketika notifikasi pesan singkat dari aplikasi pepesanan warna hijau di ponselku berbunyi.Sebuah pesan dari Mbak Rissa masuk. "Hanum, hari ini Mbak enggak masuk. Tadi sudah ijin sama kepala sekolah. Mbak ada giat upacara pelepasan pindah Mas Cahyo. Nanti tolong sampaikan tugas-tugas Mbak ke siswa, ya," tulisnya. Om Cahyo pindah? Dahiku mengernyit. Bukankah Om Cahyo leting Mas Farel. Apakah Mas Farel juga ikut pindah? Tapi mengapa dia tidak memberitahuku?"Om Cahyo pindah, Mbak?" tanyaku meminta penegasan. Selam
Aku titipkan diaLanjutkan perjuanganku 'tuknyaBahagiakan dia, kau sayangi diaSeperti ku menyayanginya'Kan kuikhlaskan diaTak pantas ku bersanding dengannya'Kan kuterima dengan lapang dadaAku bukan jodohnyaDahiku mengernyit. Mataku sontak mencari sumber suara pada iringan musik organ tunggal yang menjadi hiburan di resepsi pernikahan kami. Aku seperti mengenal suara yang membawakan lagu Aku Bukan Jodohnya dari Tri Suaka yang sedang mengalun itu. "Mantan kamu."Mas Farel menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik pada satu arah, memberi kode agar aku melihat ke sudut yang di maksud. "Apa, sih?" Aku merengut saat melihat pada sosok yang dia sebut sebagai mantanku. Pantas saja aku seperti mengenal suara orang yang membawakan lagu itu, rupanya Hadi sedang berada di atas panggung. Dia memang terkenal dengan suara merdunya sejak kami masih kuliah. Hadi sering mengisi waktu luang dengan memetik gitar di taman kampus bersama beberapa rekannya. Suaranya itu juga yang menjadi salah satu
Aku rindu, Ayah. Rindu sebenar-benarnya rindu."Hanum." Umak yang sedang tadi memerhatikanku dirias MUA dari sofa bed yang tersedia kamar, melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Beliau mengusap punggungku lembut. Aku mengangkat wajah, menatap sendu satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini."Mak." Aku memanggil beliau lirih, ingin mengadukan perasaan yang berkecamuk di hati. Namun, aku tahu tanpa kuceritakan pun beliau sudah paham apa yang kurasakan."Jangan menangis, Hanum. Nanti riasan kamu rusak." Bukannya khawatir kondisi putrinya, Umak justru memikirkan riasanku. Walaupun, aku tahu apa yang baru saja beliau ucapkan itu hanya sekadar untuk menghiburku.Tangan tua beliau kemudian mengusap lembut butiran bening yang mulai banyak pecah di sudut mataku. Akan tetapi, semakin beliau mengusap, butiran itu justru semakin banyak. "Mak."Aku menjatuhkan diri ke dalam tubuh tua Umak, memeluk erat wanita yang telah berjasa mengantarku ke dunia itu. Tubuhku berguncang menahan tangi