Share

Bagian 2

Part 2. Setialah Padaku

Sore dilamar, malam menikah. Mungkin di dunia ini, akulah satu-satunya.

Dia terlihat gagah dengan balutan kemeja putih dan jas hitam, berpadu celana kain berwarna hitam pula. Badannya tegap, wajah terangkat, dengan sorot mata tegas. Menyiratkan bahwa dia yakin dengan keputusannya menikahiku. 

Namun, berbeda denganku. Di balik balutan kebaya putih dan kain batik coklat, serta kerudung putih yang sederhana, aku lebih banyak menunduk, merasa tidak yakin dengan pernikahan ini. Wajar saja, prosesnya demikian singkat dan setengah terpaksa. Ditambah lagi, tidak ada keluargaku yang datang. 

Aku hanya menelepon Bapak dan meminta pengertian beliau. Kujelaskan semua. Tidak ada yang ditutupi. Beruntung Bapak kooperatif dan bersedia melimpahkan perwalianku kepada pihak hakim.

“Bapak percaya bahwa kamu bisa memilih jalan terbaik untuk hidupmu,” sahut beliau.

Dengan penuh percaya diri, dia menjabat tangan penghulu yang akan menikahkan kami. Kemudian lafaz ijab qabul pun diucap dengan sekali libas. Tidak ada gugup. Suaranya jelas dan menggema. Padahal pernikahan ini mendadak. Bahkan dia baru menanyakan nama orang tuaku beberapa menit sebelum akad dilaksanakan.

“Sah!” seru dua orang saksi yang hadir pada ritual suci itu. Dari perawakan tubuhnya, aku bisa menebak bahwa mereka adalah teman satu profesi laki-laki yang kini dinyatakan sah menjadi suamiku itu.

Aku menarik napas panjang, kemudian melepaskannya kembali. Bertukar sudah statusku. Kini aku adalah seorang istri. Baktiku secara penuh berpindah dari kedua orang tua, kepada dia, yang kini sedang menyematkan cincin sebagai mahar padaku. 

Setelah cincin tersemat, aku mencium takzim punggung tangannya. Seperti halnya orang lain menikah, begitu bukan? Mencium punggung tangan suami sebagai simbol bahwa dia telah menjadi imam, menjadi pemimpin yang akan menentukan arah bahtera rumah tangga. 

Tak kusangka lelaki ini membalas dengan mencium keningku, lama dan dalam. Aku merasa seolah ada cinta yang turut menyertai. Apa iya?

Ada desiran yang merambat dan bermula dari tempat ciuman itu dilabuhkan. Aku memejamkan mata, menikmati setiap rambatan getaran yang mengaliri setiap inchi tubuh. Perlahan, getaran itu berkumpul di dada. Kemudian dari sana, seolah melesak ke segala arah. Menyebabkan jantung berdegup demikian cepat. Tubuhku gemetar, napasku berhembus tersendat. 

Ouh! Rasa apa ini?

Sesaat kemudian dia melepaskan keningku. Menatap sebentar dengan mengulas satu senyum. Indah ....

Aku terpana.

Setahun mengenalnya, ini kali pertama kulihat sebuah senyum terukir di bibirnya. Meski hanya sepersekian detik, aku bisa mengingat setiap gurat lengkungan bibir itu, dan seketika semua mengisi rongga kepala, menciptakan buncah rasa untuk terus menatapnya.

Malam mulai beranjak menuju larut. Penghulu sudah pamit sejak beberapa waktu lalu. Namun, tidak kedua temannya. Mereka masih betah mengobrol, berkelakar menggoda kami, pengantin baru. 

Aku terpaksa tetap duduk di antara mereka. Tidak tahu akan kemana. Masih terasa asing. Dia tidak memberi petunjuk. Sementara, ibu mertua telah lama pamit menidurkan Nadin. 

“Setelah menolak setiap gadis yang dikenalkan, saya pikir kamu memang sudah tidak mau menikah lagi. Eh, tiba-tiba langsung tancap sebelum laporan,” goda salah satu dari keduanya. Kemudian mereka bertiga tergelak nyaring.

“Sudah tidak sabar rupanya, pastilah nanti bagai singa kelaparan. Dua tahun menganggur, Bro,” balas temannya yang lain. Kembali mereka tergelak.

Aku menunduk malu sekaligus ngeri dengan kelakar mereka. Pipi terasa panas. 

“Masuklah.” Tiba-tiba dia berkata sambil menepuk lembut sebelah pundakku. Seolah mengerti perasaan tidak nyaman yang melanda akibat kelakar mereka, para kaum adam yang ah ... begitulah! Sering bablas dan lepas kontrol. Aku menatapnya dengan satu tanya tak terucap, “Masuk kemana?”

“Kamar yang tadi,” lanjutnya seolah paham. Matanya tepat membingkai mataku, menyorot hingga terasa menggetarkan dada. 

Aku mengangguk kemudian berpamitan. Kakiku gontai menuju kamar yang tadi digunakan untuk berias. Kamar pribadinya. 

Kamar yang  sangat rapi untuk seorang laki-laki. Aku bahkan berdecak kagum. Tidak ada pakaian atau apapun berserakan, semua menempati tempat masing-masing. Kamar ini tidak terlalu luas, ranjang king size mendominasi terletak di tengah. Ada pojokan di sisi ranjang dengan meja kecil yang di atasnya terletak lipatan sajadah, sarung, peci, Quran kecil, dan tasbih. 

Sebuah lemari tiga pintu terletak pada pojok yang lain. Lemari yang hanya terisi satu pintu. Masih cukup kosong untuk menyimpan pakaianku. Di depan lemari, ada area kosong yang ditutup karpet bulu. Sepertinya untuk duduk bersantai jika tidak sedang tidur. Pada bagian kaki ranjang, terdapat meja rias. Barangkali ini adalah milik istrinya dulu.

Kuakui, kamar ini sangat nyaman. Apalagi ditambah kamar mandi di dalam.

Aku segera mengganti kebaya dengan pakaian tidur. Stelan panjang piyama satin warna marun jadi pilihanku. Kemudian bergegas mencuci muka dan wudu untuk melaksanakan sholat isya. 

Aku senang dengan pojok sholatnya ini. Karpet yang menutupi terlihat rapi, bersih, harum, dan nyaman. Ku pikir dia yang arogan tidak akan mengingat sholat, tapi ternyata salah. 

Knop pintu terbuka, dia menyembul sambil menatapku yang sedang melepas mukena sejenak. Kemudian melanjutkan langkah untuk masuk. Tanpa suara, ia melepaskan pakaian, meletakkannya di atas tempat tidur, menggantinya dengan kaos dan celana pendek. Kemudian berwudu dan melaksanakan empat rakaat pula. Sejuk hati ini melihatnya. Jengkel akan sikap arogannya tertepis. 

Masih tanpa suara dia keluar. Entah kemana, meninggalkanku yang serba salah. Bingung mau apa? Tidur? Bagaimana jika dia menginginkannya malam ini? Bagaimanapun, dia berhak. Tapi dia kemana?

Huft. 

Aku menghembuskan napas. 

Krucuk ....

Aku memegang perut. Lapar. Sejak siang belum makan. Selepas makan siang, aku berangkat memberi les Nadin. Kemudian sore dia melamar sekaligus mengatakan akan menikah malam ini juga. Aku syok, gugup, grogi, sehingga ketika dihidangkan makan, minum, kue, semua sama sekali tidak ada yang bisa kutelan. Jangankan keinginan untuk menelan, untuk menyentuhnya pun tidak. 

Setelah cukup lama, pintu kamar terbuka kembali. Dia masuk dengan sebuah nampan di tangan. Dua piring nasi goreng, sepiring kue yang menjadi kudapan saat pernikahan tadi, juga dua gelas air putih. 

Dia meletakkan nampan di atas karpet.

“Ke sini. Kamu belum makan,” ucapnya pelan, tapi tegas. 

Hmm. Kaku. Sama istri kok tegas. Namun, tak mengapa. Bagaimanapun sikapnya manis sekali. Dia tahu aku lapar.

Aku segera duduk di depannya. Mengambil satu piring nasi goreng yang terlihat menggoda. Apa dia yang memasaknya? Mungkin. Karena ini jelas sekali nasi goreng home made. Rasanya lumayan juga. Enak.

Karena pas saat lapar-laparnya, nasi goreng itu habis kulahap. Sebenarnya masih terasa kurang. 

Ia mengulurkan piringnya. Aku melengos, malu. Seolah aku makannya banyak saja. Padahal aku memang sedang lapar.

“Makanlah, aku tahu kamu lapar,” ucapnya. Malu tapi mau aku menerima piring yang masih terisi separuh itu. Dia menatap setiap suapanku. Tidak dingin, tetapi tidak juga tersenyum hangat. 

Isi piringnya pun ludes kusantap.

“Kuenya?” Ia menyodorkan piring kepadaku. Kali ini aku menggeleng. Bukan karena malu tapi karena sudah kenyang. 

Ia meletakkan kembali piring ke dalam nampan. Kemudian menyisihkannya ke samping. Di antara kami kini kosong. Tidak ada yang menghalangi. Dia merangsek maju mendekatiku. Jantungku berdegup cepat. Dia mau apa? Seketika tubuh terasa kebas, kaku, tidak bisa bergerak.

Netranya menyorot dalam, menatapku lekat. 

Aku menatap ke sudut lain. Tidak mampu membalas tatapannya yang bagaikan menusuk qalbu. 

Namun, dia menahan dengan tangan kekarnya, memaksa untuk tetap mengarah hanya padanya 

Aku memberanikan diri mengangkat kepala, menatap wajah dengan rahang kokoh itu. Menerima sorot netranya yang kemudian seolah mengunci, aku tak sanggup mengalihkan pandangan.

Beberapa saat hening tercipta.

“Setialah padaku,” pintanya ketika manik kami beradu. Ada kekuatan yang menekan pada pintanya. Seperti sebuah energi penuh dendam atas sebuah luka. 

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
justru yg dingin dan yerlihat cuek itu malah sikapnya selalu ma is sama pasangannya...
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
&ntung saja bapaknya Anin mengerti situasi Anin saat itu,& mengizinkan Anindya menikah dengan wali hakim
goodnovel comment avatar
Christie
aneh banget ceritanya ... mau2an dikawinin pdhal gak kenal dgn baik sama tuh laki arogan, cuma sbg guru les anaknya ...hadehhhh gw mah ogah deh dan gw ogah nerusin baca novel ini ... bhaaayyy .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status