LOVE ME, SERSAN
Bagian 1
“Bapak tidak berhak mengatur saya seperti itu! Bapak bukan orang tua atau suami saya yang ....”
“Ya, sudah! Kalau begitu saya akan jadi suami kamu. Kita menikah malam ini!”
-----------------
Dia melamarku!
Laki-laki arogan itu melamarku dengan cara yang arogan. Sialnya aku menerima. Tepatnya tidak bisa menolak.
“Bu guru, besok Nadin merayakan ulang tahun di sekolah. Bu guru temenin, ya,” pinta gadis mungil usia lima tahun itu.
“Di sekolah? Pagi berarti, ya?” tanyaku.
Ya, iya lah pagi. Anak TK sekolahnya, ya, pagi.
“Iya,” jawabnya.
“Kalau pagi, gak bisa, Sayang. Bu guru kalau pagi ngajar di sekolah, Bu guru,” balasku meminta pengertian. Dia adalah siswa bimbingan les privatku.
“Terus Nadin sama siapa, dong, besok? Ayah gak bisa nemenin.” Anak ini mulai menangis. Aku mulai kelabakan. Mencari cara membujuknya.
Aku cuma guru les. Seharusnya hanya bertugas mengajarinya calistung. Namun, aku selalu dilibatkan dalam setiap pelik masalah rumah tangga ini.
Nadin seorang anak dari tentara yang setiap waktunya tidak bisa diprediksi. Lima menit menentukan, begitulah ucapannya yang sering aku dengar. Dia tidak bisa memastikan apakah akan punya waktu untuk anaknya besok, karena meskipun sedang libur, jika tiba-tiba ada panggilan dari atasan, harus segera dipenuhi. Istri pertamanya adalah senjata. Perintah atasan harus dijalankan tanpa membantah.
Sudah satu tahun aku membimbing anak ini, jadi sedikit tahu seluk beluk keluarganya. Ibunya memutuskan pergi dan menikah lagi. Kenapa mereka bercerai, aku tidak tahu dan tidak mau tahu.
Laki-laki itu sangat menyayangi putrinya. Ini adalah satu-satunya hal positif yang aku tangkap darinya. Selebihnya, yang kutahu dia laki-laki paling menyebalkan karena sikap arogan dan pengatur. Apapun akan diberikan untuk Nadin. Jika dia mengatakan tidak bisa pada gadis kecil itu, berarti memang tidak bisa. Bukan sekedar alasan.
“Nadin masuk dulu, ya. Sama Eyang di dalam. Ayah mau bicara sama, Bu guru.” Tiba-tiba lelaki yang baru saja kupikirkan itu telah berdiri di dekat kami.
Gadis kecil yang sebenarnya sangat menggemaskan itu berlalu dengan air mata mengurai di pipi.
“Bisa 'kan, besok temani anak saya ulang tahun di sekolahnya?” tanyanya to the point, dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sorot mata tajam dan dingin. Tidak terukir satu senyum pun di bibirnya. Tidak ada raut yang menggambarkan bahwa dia sedang meminta tolong. Yang ada justru aku menangkap dia sedang memerintahku. Dasar arogan.
Aku menghela napas. Kesal. Dia memang arogan. Apa pun keinginannya harus dituruti. Seolah aku ini bawahannya. Padahal aku adalah guru anaknya. Yang seharusnya dia hormati. Bukan diperintah seenaknya.
Untung saja honor yang dia berikan lebih besar dari orang tua siswa lain. Jika tidak, aku enggan menerima Nadin sebagai bimbinganku. Aku mata duitan, ya? Ya, iya lah. Karena aku sedang bekerja, bukan sedang beramal atau menjadi sukarelawan.
“Gak bisa, Pak. Kalau pagi saya mengajar,” sahutku sambil menahan diri agar tidak terpancing emosi oleh sikap arogannya.
“Hanya satu hari, apa gak bisa ijin?” Seharusnya itu susunan kalimat tanya, tapi dia lontarkan dengan nada memerintah supaya aku ijin.
“Gak bisa seenaknya ijin, Pak. Kecuali hal darurat dan penting.”
“Kamu pikir anak saya tidak penting?” Aku tersentak. Masyaa Allah. Suaranya pelan, tapi terdengar dalam menekan. Ada nada marah atau tersinggung di dalamnya.
“Bu-bu-bukan be-gi-tu, Pak.” Nah, kan? Aku menjadi gugup, takut, dan seperti terhipnotis untuk tunduk padanya. Begitu takut ia marah, padahal dia siapa? Seharusnya dia menghormatiku. Guru anaknya. Meskipun Cuma guru les.
“Alasannya akan kurang kuat, Pak. Saya dan Nadin tidak ada hubungan apapun kecuali guru dan murid. Orang akan memandang, tidak ada kepentingan saya untuk menemaninya merayakan ulang tahun di sekolah dan meninggalkan tanggung jawab,” tuturku panjang lebar. Semoga dia mengerti.
“Kalau begitu bolos saja. Tidak usah ijin!” titahnya. Gila!
“Saya bisa dipecat nanti, Pak,” timpalku cepat.
“Ya, sudah! Berenti saja sekalian!” Dia emosi. Kenapa jadi dia yang emosi? Harusnya aku!
“Pak, pekerjaan itu penting untuk saya. Tidak mudah mencari tempat kosong untuk guru honor seperti saya,” tukasku kesal. Seenaknya dia bicara. Aku mendengkus kasar. Kalau dia mau memberiku makan, it's okay. Honor dari anaknya privat, mana cukup untuk hidup sebulan.
“Sepenting apa?” tanyanya datar. Dingin menusuk. Melihat ekspresinya membuatku emosi dan terus mengumpat, “Dasar manusia arogan!”
“Sepenting hidup saya yang butuh makan,” sahutku asal.
“Hanya masalah makan? Saya akan memberimu makan. Besok temani anak saya,” ucapnya memerintah. What? Dasar manusia arogan! Sombong! Angkuh! Pengatur! Napasku serasa ngos-ngosan menahan kesal dan emosi. Bisa-bisanya dia merendahkanku seperti itu. Memberiku makan? Walaupun sebelumnya aku bilang it’ s okay kalau dia mau memberiku makan, tapi bukan berarti itu harus jadi kenyataan. Astagfirullah ....
“Bapak tidak berhak mengatur saya seperti itu! Bapak bukan orang tua atau suami saya yang ....”
“Ya, sudah! Kalau begitu saya akan jadi suami kamu. Kita menikah malam ini!”
“Hah?”
“Orang tuamu tidak perlu datang. Yakinkan saja mereka agar mau mengalihkan hak wali kepada pihak hakim. Ini hanya peresmian agar saya berhak memintamu menemani Nadin besok. Setelah malam ini, kita akan menikah lagi nanti. Saat itu, baru membawa orang tuamu.”
Aku melongo. Ini apa, sih? Dia ingin menikahiku, tapi tidak melamarku sebagaimana harusnya orang-orang melamar.
“Will you marry me?”
“Mau kah kamu menikah denganku?”
Jadi melamar itu ada tahap menanyakan kesediaan. Kemudian ada tahap menanti jawaban. Sedangkan dia? Tidak ada pertanyaan bersedia atau tidak. Tidak ada kesepakatan.
Semua sepihak darinya. Secara sepihak dia bilang akan jadi suamiku, tidak bertanya kesediaanku apakah mau menjadi istrinya. Secara sepihak melarangku memberitahu orang tuaku. Secara sepihak pula menentukan pernikahan malam ini.
“Aku antar pulang ke kos. Ambil semua barangmu.”
Aku terdiam. Masih kesal, kaget, bingung, marah, dan entah apa lagi perasaan yang ada di dalam hati. Yang jelas aku tidak habis pikir. Benakku belum bisa mencerna.
“Ayo!” titahnya yang telah berdiri dan membawa kunci mobil. Seperti terhipnotis, aku menurut mengikuti langkahnya. Masuk ke dalam mobil ketika ia membukakan pintu. Menyebutkan alamat ketika ia bertanya di mana kosku.
Aku Anindyaswari. Seperti nama orang Jawa, tapi Melayu tulen Kalimantan Barat. Satu tahun lalu, menyelesaikan pendidikan S-1 di kota Khatulistiwa ini. Dengan alasan pekerjaan, aku memutuskan tetap tinggal di kota ini dan menunda pulang ke kampung halaman.
Barangkali, takdir akan membuatku tetap tinggal di sini selamanya.
Part 2. Setialah PadakuSore dilamar, malam menikah. Mungkin di dunia ini, akulah satu-satunya.Dia terlihat gagah dengan balutan kemeja putih dan jas hitam, berpadu celana kain berwarna hitam pula. Badannya tegap, wajah terangkat, dengan sorot mata tegas. Menyiratkan bahwa dia yakin dengan keputusannya menikahiku.Namun, berbeda denganku. Di balik balutan kebaya putih dan kain batik coklat, serta kerudung putih yang sederhana, aku lebih banyak menunduk, merasa tidak yakin dengan pernikahan ini. Wajar saja, prosesnya demikian singkat dan setengah terpaksa. Ditambah lagi, tidak ada keluargaku yang datang.Aku hanya menelepon Bapak dan meminta pengertian beliau. Kujelaskan semua. Tidak ada yang ditutupi. Beruntung Bapak kooperatif dan bersedia melimpahkan perwalianku kepada pihak hakim.“Bapak percaya bahwa kamu bisa memilih jalan terbaik untuk hidup
Part 3. Hari Pertama“Sudah bangun?” Dia tersenyum tipis. Berbaring miring dengan satu tangan menopang kepala. Matanya menatapku intens. Aku yang baru saja terjaga, mengerjapkan mata, mengumpulkan potongan informasi yang kubawa sebelum tidur.“Mas?” panggilku.Segera kuingat bahwa sekarang telah menikah. Ia masih tersenyum tipis. Barangkali pipinya yang kokoh itu kaku untuk menarik garis lengkung yang lebih lebar pada bibirnya. Sehingga senyum itu hanya sedikit sekali menggurat bibir. Akan tetapi, meskipun hanya sedikit dan tipis, senyum itu begitu menawan.“Mandilah, sebentar lagi azan. Kita shalat subuh!” titahnya. Dia sendiri telah rapi dengan baju koko dan sarung. Entah pukul berapa dia bangun dan mandi. Aroma maskulin menyeruak dari tubuhnya. Merasuk ke dalam indera penciumku. Aku tiba-tiba sangat menyukai aroma yang baru kuhidu ini. Ketika ia turut bers
Part 4. Nurin“Ayo!” Dia mendahului melangkah keluar. Langkah tegas seorang prajurit, bahkan melangkah biasa pun aku melihatnya seolah sedang gerak jalan. Sepertinya, latihan militer yang ia peroleh benar-benar sudah mendarah daging.Nadin dan Ibu sudah bersiap, sedang menunggu di teras rumah. Dia sendiri sudah menstarter mobil dan mengarahkannya keluar halaman. Aku tiba di teras bertepatan dengan seorang wanita berusia 30-an memasuki pekarangan.“Sudah mau berangkat, Bu?” tanya wanita itu pada Ibu.“Iya.” Ibu membalas dengan senyum hangat. Aura keibuan jelas terpancar dari wajahnya.“Oh.” Dia mengangguk mengerti.“Selamat ulang tahun, Nadin,” ucapnya pada gadis mungil yang saat itu berlari menyongsongku. Wanita itu tersenyum salah tingkah saat aku keluar.“Bu g
Part 5. Ilham“Mas.”“Hmm?”“Jadi ngantar aku ke sekolah hari ini?” tanyaku sambil duduk di sisi ranjang. Memperhatikannya yang sibuk merapikan lipatan lengan baju lorengnya pagi itu. Dia benar-benar gagah dengan seragamnya. Jujur aku benar-benar terpesona memandangnya. Terpesona memandang suami sendiri boleh ‘kan?“Jadi! Saya akan ijin sehabis apel pagi,” sahutnya tetap sibuk merapikan seragam. Kali ini berganti lengan baju yang lain. Kemudian mematut diri di cermin untuk memasang baret di kepala.“Mmm, pagi ini aku mau belanja,” ucapku. Dia menoleh sejenak.“Bisa sendiri?”“Bisa.” Aku mengangguk.“Tapi ….”“Apa?” Dia mengernyitkan kening.“Ini kemari
Part 6. POV Sersan Kusuma Anindyaswari. Pertama kali bertemu, ketika aku diminta menggantikan Anggara, teman satu leting melatih paskibra di tempat ia mengajar. Dia sendiri saat itu sedang memberikan bimbingan untuk siswa yang akan mengikuti olimpiade Sains mata pelajaran IPA. Dia memukau dengan segala kesederhaannya saat melintas di depanku. Tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan. Senyumnya, entah bagaimana cara menggambarkannya. Menyejukkan sekaligus menggemaskan. Pipinya putih, terlihat halus dan kenyal bak squishy. Ingin sekali kuremas-remas gemas hingga putihnya akan memerah. Memandang wajahnya bagaikan candu. Ingin lagi, lagi, dan lagi. Aku, Kusuma. Seorang prajurit berpangkat sersan kepala di salah satu batalyon infanteri Pontianak. Telah terpikat pada seorang Anindyaswari sejak pandangan pertama. Setahun ini, aku sangat merindukan sesosok hawa untuk menemani. Bermanja keti
Matanya menatapku tajam. Wajahnya tegas. Sama sekali tidak kutemukan gurat kelembutan di sana. Bias arogan kembali menerpa.“Bukan.” Aku menggeleng.“Kamu menyukainya?”“Tidak!” Kembali aku menggeleng.“Dia menyukaimu?” Kali ini aku mengangguk. Aku merasa seperti disidang saja.“Dia pernah bilang?” Aku kembali mengangguk.“Kenapa menolak?”“Aku memintanya datang saja melamar jika memang serius.”Dia mengembuskan napas kasar mendengar jawaban terakhirku. Kemudian menyandarkan tubuh pada mobil. Menatap kosong dengan cahaya amarah pada netranya. Namun, kentara ia coba redam. Sementara aku hanya bergeming, berdiri berhadapan tidak jauh darinya. Merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi tidak nyaman.“Nurin &
Part 8. Masa LaluSenja berlalu, menyisakan kelam di langit yang perlahan semakin memekat, menghadirkan sedikit demi sedikit hening, menyiapkan waktu kepada jiwa-jiwa lelah untuk memeluk lelap.Kami masih berdua, menyusuri kembali jalan yang tadi dilewati bersama, membawa keindahan yang telah tercipta dalam setiap jengkalnya. Dia mengarahkan mobil dalam diam, tapi riak wajahnya bahagia. Senyum tipis khasnya sesekali hadir, bersama itu dia akan menatapku yang curi-curi melirik. Beberapa kali satu tangannya lepas dari kemudi, beralih menggenggam erat tanganku, mengalirkan hangat yang cepat merambat ke relung hati.“Kita mampir ke kedai dulu, ya.” Akhirnya dia memecah hening juga.“Kedai?”“Iya, kita makan dulu. Kamu lapar?” tanyanya sambil menatapku sebentar.“Lapar, sih. Tapi, apa gak sebaiknya kita pulang saja, Mas. K
Part 9. PerjalananSeperti yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini kami mengunjungi orang tuaku di kampung.Dia terlihat gagah sekali dengan balutan celana jeans birel dan jaket kulit warna hitam. Sarung tangan warna senada membungkus kedua tangannya. Hari ini kami akan menemui orang tuaku di Serimbu. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Landak. Bakda subuh, kami siap melakukan perjalanan.“Titip Nadin ya, Bu,” ucapku pamit pada ibu mertua. Semalam Mas Kusuma memberi tahu anak itu bahwa untuk dua hari ke depan kami akan pergi.“Nadin mau ikut …,” rengeknya tadi malam. Aku sempat berpikir untuk berangkat diam-diam. Namun, menurut suamiku justru itu tidak baik.“Berterus terang dan memberi pengertian meskipun sulit akan berefek positif untuk perkembangan mental seorang anak,” katanya.&ldq