LOVE ME, SERSAN
Bagian 1
“Bapak tidak berhak mengatur saya seperti itu! Bapak bukan orang tua atau suami saya yang ....”
“Ya, sudah! Kalau begitu saya akan jadi suami kamu. Kita menikah malam ini!”
-----------------
Dia melamarku!
Laki-laki arogan itu melamarku dengan cara yang arogan. Sialnya aku menerima. Tepatnya tidak bisa menolak.
“Bu guru, besok Nadin merayakan ulang tahun di sekolah. Bu guru temenin, ya,” pinta gadis mungil usia lima tahun itu.
“Di sekolah? Pagi berarti, ya?” tanyaku.
Ya, iya lah pagi. Anak TK sekolahnya, ya, pagi.
“Iya,” jawabnya.
“Kalau pagi, gak bisa, Sayang. Bu guru kalau pagi ngajar di sekolah, Bu guru,” balasku meminta pengertian. Dia adalah siswa bimbingan les privatku.
“Terus Nadin sama siapa, dong, besok? Ayah gak bisa nemenin.” Anak ini mulai menangis. Aku mulai kelabakan. Mencari cara membujuknya.
Aku cuma guru les. Seharusnya hanya bertugas mengajarinya calistung. Namun, aku selalu dilibatkan dalam setiap pelik masalah rumah tangga ini.
Nadin seorang anak dari tentara yang setiap waktunya tidak bisa diprediksi. Lima menit menentukan, begitulah ucapannya yang sering aku dengar. Dia tidak bisa memastikan apakah akan punya waktu untuk anaknya besok, karena meskipun sedang libur, jika tiba-tiba ada panggilan dari atasan, harus segera dipenuhi. Istri pertamanya adalah senjata. Perintah atasan harus dijalankan tanpa membantah.
Sudah satu tahun aku membimbing anak ini, jadi sedikit tahu seluk beluk keluarganya. Ibunya memutuskan pergi dan menikah lagi. Kenapa mereka bercerai, aku tidak tahu dan tidak mau tahu.
Laki-laki itu sangat menyayangi putrinya. Ini adalah satu-satunya hal positif yang aku tangkap darinya. Selebihnya, yang kutahu dia laki-laki paling menyebalkan karena sikap arogan dan pengatur. Apapun akan diberikan untuk Nadin. Jika dia mengatakan tidak bisa pada gadis kecil itu, berarti memang tidak bisa. Bukan sekedar alasan.
“Nadin masuk dulu, ya. Sama Eyang di dalam. Ayah mau bicara sama, Bu guru.” Tiba-tiba lelaki yang baru saja kupikirkan itu telah berdiri di dekat kami.
Gadis kecil yang sebenarnya sangat menggemaskan itu berlalu dengan air mata mengurai di pipi.
“Bisa 'kan, besok temani anak saya ulang tahun di sekolahnya?” tanyanya to the point, dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sorot mata tajam dan dingin. Tidak terukir satu senyum pun di bibirnya. Tidak ada raut yang menggambarkan bahwa dia sedang meminta tolong. Yang ada justru aku menangkap dia sedang memerintahku. Dasar arogan.
Aku menghela napas. Kesal. Dia memang arogan. Apa pun keinginannya harus dituruti. Seolah aku ini bawahannya. Padahal aku adalah guru anaknya. Yang seharusnya dia hormati. Bukan diperintah seenaknya.
Untung saja honor yang dia berikan lebih besar dari orang tua siswa lain. Jika tidak, aku enggan menerima Nadin sebagai bimbinganku. Aku mata duitan, ya? Ya, iya lah. Karena aku sedang bekerja, bukan sedang beramal atau menjadi sukarelawan.
“Gak bisa, Pak. Kalau pagi saya mengajar,” sahutku sambil menahan diri agar tidak terpancing emosi oleh sikap arogannya.
“Hanya satu hari, apa gak bisa ijin?” Seharusnya itu susunan kalimat tanya, tapi dia lontarkan dengan nada memerintah supaya aku ijin.
“Gak bisa seenaknya ijin, Pak. Kecuali hal darurat dan penting.”
“Kamu pikir anak saya tidak penting?” Aku tersentak. Masyaa Allah. Suaranya pelan, tapi terdengar dalam menekan. Ada nada marah atau tersinggung di dalamnya.
“Bu-bu-bukan be-gi-tu, Pak.” Nah, kan? Aku menjadi gugup, takut, dan seperti terhipnotis untuk tunduk padanya. Begitu takut ia marah, padahal dia siapa? Seharusnya dia menghormatiku. Guru anaknya. Meskipun Cuma guru les.
“Alasannya akan kurang kuat, Pak. Saya dan Nadin tidak ada hubungan apapun kecuali guru dan murid. Orang akan memandang, tidak ada kepentingan saya untuk menemaninya merayakan ulang tahun di sekolah dan meninggalkan tanggung jawab,” tuturku panjang lebar. Semoga dia mengerti.
“Kalau begitu bolos saja. Tidak usah ijin!” titahnya. Gila!
“Saya bisa dipecat nanti, Pak,” timpalku cepat.
“Ya, sudah! Berenti saja sekalian!” Dia emosi. Kenapa jadi dia yang emosi? Harusnya aku!
“Pak, pekerjaan itu penting untuk saya. Tidak mudah mencari tempat kosong untuk guru honor seperti saya,” tukasku kesal. Seenaknya dia bicara. Aku mendengkus kasar. Kalau dia mau memberiku makan, it's okay. Honor dari anaknya privat, mana cukup untuk hidup sebulan.
“Sepenting apa?” tanyanya datar. Dingin menusuk. Melihat ekspresinya membuatku emosi dan terus mengumpat, “Dasar manusia arogan!”
“Sepenting hidup saya yang butuh makan,” sahutku asal.
“Hanya masalah makan? Saya akan memberimu makan. Besok temani anak saya,” ucapnya memerintah. What? Dasar manusia arogan! Sombong! Angkuh! Pengatur! Napasku serasa ngos-ngosan menahan kesal dan emosi. Bisa-bisanya dia merendahkanku seperti itu. Memberiku makan? Walaupun sebelumnya aku bilang it’ s okay kalau dia mau memberiku makan, tapi bukan berarti itu harus jadi kenyataan. Astagfirullah ....
“Bapak tidak berhak mengatur saya seperti itu! Bapak bukan orang tua atau suami saya yang ....”
“Ya, sudah! Kalau begitu saya akan jadi suami kamu. Kita menikah malam ini!”
“Hah?”
“Orang tuamu tidak perlu datang. Yakinkan saja mereka agar mau mengalihkan hak wali kepada pihak hakim. Ini hanya peresmian agar saya berhak memintamu menemani Nadin besok. Setelah malam ini, kita akan menikah lagi nanti. Saat itu, baru membawa orang tuamu.”
Aku melongo. Ini apa, sih? Dia ingin menikahiku, tapi tidak melamarku sebagaimana harusnya orang-orang melamar.
“Will you marry me?”
“Mau kah kamu menikah denganku?”
Jadi melamar itu ada tahap menanyakan kesediaan. Kemudian ada tahap menanti jawaban. Sedangkan dia? Tidak ada pertanyaan bersedia atau tidak. Tidak ada kesepakatan.
Semua sepihak darinya. Secara sepihak dia bilang akan jadi suamiku, tidak bertanya kesediaanku apakah mau menjadi istrinya. Secara sepihak melarangku memberitahu orang tuaku. Secara sepihak pula menentukan pernikahan malam ini.
“Aku antar pulang ke kos. Ambil semua barangmu.”
Aku terdiam. Masih kesal, kaget, bingung, marah, dan entah apa lagi perasaan yang ada di dalam hati. Yang jelas aku tidak habis pikir. Benakku belum bisa mencerna.
“Ayo!” titahnya yang telah berdiri dan membawa kunci mobil. Seperti terhipnotis, aku menurut mengikuti langkahnya. Masuk ke dalam mobil ketika ia membukakan pintu. Menyebutkan alamat ketika ia bertanya di mana kosku.
Aku Anindyaswari. Seperti nama orang Jawa, tapi Melayu tulen Kalimantan Barat. Satu tahun lalu, menyelesaikan pendidikan S-1 di kota Khatulistiwa ini. Dengan alasan pekerjaan, aku memutuskan tetap tinggal di kota ini dan menunda pulang ke kampung halaman.
Barangkali, takdir akan membuatku tetap tinggal di sini selamanya.
Part 2. Setialah PadakuSore dilamar, malam menikah. Mungkin di dunia ini, akulah satu-satunya.Dia terlihat gagah dengan balutan kemeja putih dan jas hitam, berpadu celana kain berwarna hitam pula. Badannya tegap, wajah terangkat, dengan sorot mata tegas. Menyiratkan bahwa dia yakin dengan keputusannya menikahiku.Namun, berbeda denganku. Di balik balutan kebaya putih dan kain batik coklat, serta kerudung putih yang sederhana, aku lebih banyak menunduk, merasa tidak yakin dengan pernikahan ini. Wajar saja, prosesnya demikian singkat dan setengah terpaksa. Ditambah lagi, tidak ada keluargaku yang datang.Aku hanya menelepon Bapak dan meminta pengertian beliau. Kujelaskan semua. Tidak ada yang ditutupi. Beruntung Bapak kooperatif dan bersedia melimpahkan perwalianku kepada pihak hakim.“Bapak percaya bahwa kamu bisa memilih jalan terbaik untuk hidup
Part 3. Hari Pertama“Sudah bangun?” Dia tersenyum tipis. Berbaring miring dengan satu tangan menopang kepala. Matanya menatapku intens. Aku yang baru saja terjaga, mengerjapkan mata, mengumpulkan potongan informasi yang kubawa sebelum tidur.“Mas?” panggilku.Segera kuingat bahwa sekarang telah menikah. Ia masih tersenyum tipis. Barangkali pipinya yang kokoh itu kaku untuk menarik garis lengkung yang lebih lebar pada bibirnya. Sehingga senyum itu hanya sedikit sekali menggurat bibir. Akan tetapi, meskipun hanya sedikit dan tipis, senyum itu begitu menawan.“Mandilah, sebentar lagi azan. Kita shalat subuh!” titahnya. Dia sendiri telah rapi dengan baju koko dan sarung. Entah pukul berapa dia bangun dan mandi. Aroma maskulin menyeruak dari tubuhnya. Merasuk ke dalam indera penciumku. Aku tiba-tiba sangat menyukai aroma yang baru kuhidu ini. Ketika ia turut bers
Part 4. Nurin“Ayo!” Dia mendahului melangkah keluar. Langkah tegas seorang prajurit, bahkan melangkah biasa pun aku melihatnya seolah sedang gerak jalan. Sepertinya, latihan militer yang ia peroleh benar-benar sudah mendarah daging.Nadin dan Ibu sudah bersiap, sedang menunggu di teras rumah. Dia sendiri sudah menstarter mobil dan mengarahkannya keluar halaman. Aku tiba di teras bertepatan dengan seorang wanita berusia 30-an memasuki pekarangan.“Sudah mau berangkat, Bu?” tanya wanita itu pada Ibu.“Iya.” Ibu membalas dengan senyum hangat. Aura keibuan jelas terpancar dari wajahnya.“Oh.” Dia mengangguk mengerti.“Selamat ulang tahun, Nadin,” ucapnya pada gadis mungil yang saat itu berlari menyongsongku. Wanita itu tersenyum salah tingkah saat aku keluar.“Bu g
Part 5. Ilham“Mas.”“Hmm?”“Jadi ngantar aku ke sekolah hari ini?” tanyaku sambil duduk di sisi ranjang. Memperhatikannya yang sibuk merapikan lipatan lengan baju lorengnya pagi itu. Dia benar-benar gagah dengan seragamnya. Jujur aku benar-benar terpesona memandangnya. Terpesona memandang suami sendiri boleh ‘kan?“Jadi! Saya akan ijin sehabis apel pagi,” sahutnya tetap sibuk merapikan seragam. Kali ini berganti lengan baju yang lain. Kemudian mematut diri di cermin untuk memasang baret di kepala.“Mmm, pagi ini aku mau belanja,” ucapku. Dia menoleh sejenak.“Bisa sendiri?”“Bisa.” Aku mengangguk.“Tapi ….”“Apa?” Dia mengernyitkan kening.“Ini kemari
Part 6. POV Sersan Kusuma Anindyaswari. Pertama kali bertemu, ketika aku diminta menggantikan Anggara, teman satu leting melatih paskibra di tempat ia mengajar. Dia sendiri saat itu sedang memberikan bimbingan untuk siswa yang akan mengikuti olimpiade Sains mata pelajaran IPA. Dia memukau dengan segala kesederhaannya saat melintas di depanku. Tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan. Senyumnya, entah bagaimana cara menggambarkannya. Menyejukkan sekaligus menggemaskan. Pipinya putih, terlihat halus dan kenyal bak squishy. Ingin sekali kuremas-remas gemas hingga putihnya akan memerah. Memandang wajahnya bagaikan candu. Ingin lagi, lagi, dan lagi. Aku, Kusuma. Seorang prajurit berpangkat sersan kepala di salah satu batalyon infanteri Pontianak. Telah terpikat pada seorang Anindyaswari sejak pandangan pertama. Setahun ini, aku sangat merindukan sesosok hawa untuk menemani. Bermanja keti
Matanya menatapku tajam. Wajahnya tegas. Sama sekali tidak kutemukan gurat kelembutan di sana. Bias arogan kembali menerpa.“Bukan.” Aku menggeleng.“Kamu menyukainya?”“Tidak!” Kembali aku menggeleng.“Dia menyukaimu?” Kali ini aku mengangguk. Aku merasa seperti disidang saja.“Dia pernah bilang?” Aku kembali mengangguk.“Kenapa menolak?”“Aku memintanya datang saja melamar jika memang serius.”Dia mengembuskan napas kasar mendengar jawaban terakhirku. Kemudian menyandarkan tubuh pada mobil. Menatap kosong dengan cahaya amarah pada netranya. Namun, kentara ia coba redam. Sementara aku hanya bergeming, berdiri berhadapan tidak jauh darinya. Merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi tidak nyaman.“Nurin &
Part 8. Masa LaluSenja berlalu, menyisakan kelam di langit yang perlahan semakin memekat, menghadirkan sedikit demi sedikit hening, menyiapkan waktu kepada jiwa-jiwa lelah untuk memeluk lelap.Kami masih berdua, menyusuri kembali jalan yang tadi dilewati bersama, membawa keindahan yang telah tercipta dalam setiap jengkalnya. Dia mengarahkan mobil dalam diam, tapi riak wajahnya bahagia. Senyum tipis khasnya sesekali hadir, bersama itu dia akan menatapku yang curi-curi melirik. Beberapa kali satu tangannya lepas dari kemudi, beralih menggenggam erat tanganku, mengalirkan hangat yang cepat merambat ke relung hati.“Kita mampir ke kedai dulu, ya.” Akhirnya dia memecah hening juga.“Kedai?”“Iya, kita makan dulu. Kamu lapar?” tanyanya sambil menatapku sebentar.“Lapar, sih. Tapi, apa gak sebaiknya kita pulang saja, Mas. K
Part 9. PerjalananSeperti yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini kami mengunjungi orang tuaku di kampung.Dia terlihat gagah sekali dengan balutan celana jeans birel dan jaket kulit warna hitam. Sarung tangan warna senada membungkus kedua tangannya. Hari ini kami akan menemui orang tuaku di Serimbu. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Landak. Bakda subuh, kami siap melakukan perjalanan.“Titip Nadin ya, Bu,” ucapku pamit pada ibu mertua. Semalam Mas Kusuma memberi tahu anak itu bahwa untuk dua hari ke depan kami akan pergi.“Nadin mau ikut …,” rengeknya tadi malam. Aku sempat berpikir untuk berangkat diam-diam. Namun, menurut suamiku justru itu tidak baik.“Berterus terang dan memberi pengertian meskipun sulit akan berefek positif untuk perkembangan mental seorang anak,” katanya.&ldq
"Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu
"Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia
"Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga
PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.
"Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat
Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku
Sekolah memberiku cuti menikah selama satu Minggu. Dua hari digunakan untuk persiapan, satu hari untuk pelaksanaan, tiga hari kami manfaatkan untuk masa berdua menikmati pasca resepsi, dan satu hari masa untuk beristirahat sebelum melaksanakan tugas negara kembali.Setelah satu Minggu melalui hari-hari awal penuh bahagia, hari ini aku dan Mas Farel merapat ke tempat tugas.Pukul enam pagi aku sudah rapi dengan seragam dan polesan make up tipis. Kami akan bersiap untuk sarapan ketika notifikasi pesan singkat dari aplikasi pepesanan warna hijau di ponselku berbunyi.Sebuah pesan dari Mbak Rissa masuk. "Hanum, hari ini Mbak enggak masuk. Tadi sudah ijin sama kepala sekolah. Mbak ada giat upacara pelepasan pindah Mas Cahyo. Nanti tolong sampaikan tugas-tugas Mbak ke siswa, ya," tulisnya. Om Cahyo pindah? Dahiku mengernyit. Bukankah Om Cahyo leting Mas Farel. Apakah Mas Farel juga ikut pindah? Tapi mengapa dia tidak memberitahuku?"Om Cahyo pindah, Mbak?" tanyaku meminta penegasan. Selam
Aku titipkan diaLanjutkan perjuanganku 'tuknyaBahagiakan dia, kau sayangi diaSeperti ku menyayanginya'Kan kuikhlaskan diaTak pantas ku bersanding dengannya'Kan kuterima dengan lapang dadaAku bukan jodohnyaDahiku mengernyit. Mataku sontak mencari sumber suara pada iringan musik organ tunggal yang menjadi hiburan di resepsi pernikahan kami. Aku seperti mengenal suara yang membawakan lagu Aku Bukan Jodohnya dari Tri Suaka yang sedang mengalun itu. "Mantan kamu."Mas Farel menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik pada satu arah, memberi kode agar aku melihat ke sudut yang di maksud. "Apa, sih?" Aku merengut saat melihat pada sosok yang dia sebut sebagai mantanku. Pantas saja aku seperti mengenal suara orang yang membawakan lagu itu, rupanya Hadi sedang berada di atas panggung. Dia memang terkenal dengan suara merdunya sejak kami masih kuliah. Hadi sering mengisi waktu luang dengan memetik gitar di taman kampus bersama beberapa rekannya. Suaranya itu juga yang menjadi salah satu
Aku rindu, Ayah. Rindu sebenar-benarnya rindu."Hanum." Umak yang sedang tadi memerhatikanku dirias MUA dari sofa bed yang tersedia kamar, melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Beliau mengusap punggungku lembut. Aku mengangkat wajah, menatap sendu satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini."Mak." Aku memanggil beliau lirih, ingin mengadukan perasaan yang berkecamuk di hati. Namun, aku tahu tanpa kuceritakan pun beliau sudah paham apa yang kurasakan."Jangan menangis, Hanum. Nanti riasan kamu rusak." Bukannya khawatir kondisi putrinya, Umak justru memikirkan riasanku. Walaupun, aku tahu apa yang baru saja beliau ucapkan itu hanya sekadar untuk menghiburku.Tangan tua beliau kemudian mengusap lembut butiran bening yang mulai banyak pecah di sudut mataku. Akan tetapi, semakin beliau mengusap, butiran itu justru semakin banyak. "Mak."Aku menjatuhkan diri ke dalam tubuh tua Umak, memeluk erat wanita yang telah berjasa mengantarku ke dunia itu. Tubuhku berguncang menahan tangi