Aldo mengantarku ke kamarnya kemudian dia sendiri pergi entah kemana.
Terdengar bunyi gebrakan dari pintu. Siapa lagi yang datang sekarang? Aku benar-benar lelah secara fisik dan emosi. Aku tidak sanggup menghadapi kejutan lagi. Aku sedikit membuka pintu untuk mengintip siapa yang menggedor pintu dengan sangat tidak sopan. Ternyata bukan pria kekar berjas hitam lagi seperti dugaanku, melainkan orang yang beberapa hari ini membuat hari-hariku serasa ada di neraka. Jasmine mendorong pintu hingga terbuka lebar, membuatku terhuyung ke belakang. “Wanita murahan..” gumam Jasmine dengan gigi gemeretak. “Sudah kuduga kau ada di sini,” lanjutnya, menatapku dengan mata nyalang. Ekspresi wajahnya, tatapan matanya, hingga nadanya dalam berbicara sungguh berbeda dengan sosok direktur Jasmine yang aku kenal selama ini. Dia bisanya bertutur kata halus dan bersorot mata lemah lembut. Hal itu membuatku terpaku. Seperti ada orang gila yang mau menyerangku. Tangannya tiba-tiba menjangkau tubuhku. Apakah dia mau menamparku? Tidak. Aku merasakan tubuhku oleng dan tersentak ke belakang. Kemudian terdengar bunyi “duk” yang keras ketika kepalaku menghantam tembok belakang meja lampu. Seperti semalam, aku merasa kepalaku sakit. Tapi aku masih bisa mendengar Jasmine berteriak-teriak seperti orang gila. “Brengsek! Kau pikir siapa kau ini??” Teriaknya. “Akan kubunuh kau!" Di tengah teriakannya aku mencoba untuk membalas perkataannya, "Apa lagi yang kau mau dariku?" Sakit di kepalaku membuat tubuhku ikut lemas. Jasmine mendengus dengan keras mendengar ucapanku, “kau itu cuma budak. Budak harus diam meski dicambuk. Paham?!" Aku ingin bangkit, tapi badanku benar-benar tidak mau mengikuti kemauanku. "Kau memang pelacur. Menjual diri kepada putra konglomerat, dan sekarang kau mau berlagak jadi nyonya, hah?!" Teriakan Jasmine semakin terdengar kabur di telingaku. "Berani-beraninya kau bermimpi menikah dengan keluarga Sastrajaya!" Pandanganku semakin kabur. Aku hanya melihat tangannya yang hendak dilayangkan ke wajahku. Kemudian Aldo datang, menahan tangan Jasmine. Setelah itu, aku tidak sadarkan diri. *** Bau cairan pembersih yang asing merayap di hidungku. Butuh beberapa lama bagiku untuk membuka mata. Kepalaku terasa sangat berat. Dinding putih dengan wallpaper keemasan. Jelas ini di rumah sakit. Tapi bukan jenis ruangan yang pernah kulihat sebelumnya. "Argh!" Rasa sakit menusuk kepalaku ketika aku mencoba untuk menggerakkan kepala. "Fiona? Kau sudah sadar?" Aldo berdiri dengan tergesa-gesa. Rupanya tadi dia duduk di sofa di sisi tempat tidur. "Ada.. banyak.. yang mau aku tanyakan," kataku, sedikit kesulitan untuk bicara. "Tenanglah.. Saat ini kau harus banyak istirahat," kata Aldo menenangkanku. Setelah itu aku mendengar darinya bahwa Jasmine sudah mendapat ganjaran karena mencelakaiku. Bahwa kepalaku terbentur cukup keras sehingga ada luka robek di kulit kepala yang menyebabkan pendarahan ringan. Namun, untung saja tidak terjadi trauma atau pendarahan dalam. Aku tidak sadarkan diri seharian karena stres dan kelelahan. "Jadi, pada dasarnya kau membayar ruangan VIP yang sangat mahal ini hanya untuk aku menumpang tidur??" Tanyaku setelah mendengar cerita darinya. "Jangan pikirkan uangnya," jawab Aldo. "Tentu saja. Aku tidak akan mengganti biaya rumah sakitnya, karena sekarang aku harus berhemat," kataku sedikit mengancam. "Wah, jadi pengangguran menyebalkan juga, ya?" Aldo hanya tersenyum mendengar ucapanku. Senyumnya begitu tulus dan manis. Bagaimana bisa keluarganya begitu membencinya? Tiba-tiba sorot matanya berubah, Aldo menundukkan kepalanya. "Maafkan aku karena sudah menyeretmu ke dalam masalah keluargaku yang kacau-balau," dia meminta maaf dengan tulus. "Seharusnya aku tidak gebabah menyebutmu sebagai pacarku. Aku sangat menyesal." Rambutnya yang sedikit panjang menjuntai ke atas sprei tempat tidurku ketika menunduk. Aku harus menahan sekuat tenaga hasrat untuk membelai rambutnya. "Bagaimanapun, aku sudah setuju untuk bekerjasama denganmu, bukan?" Kataku untuk menyemangatinya. "Aku khawatir akan memberiku kabar buruk sekali lagi," Aldo masih memperlihatkan wajahnya yang merasa sangat bersalah. "Apa itu?" Tanyaku tanpa rasa penasaran. Karena sejujurnya sedari tadi aku sibuk mengamati wajahnya yang—walaupun terlihat sedih—namun masih sangat tampan. "Aku sudah mencoba segala cara agar CEO mengurungkan niatnya untuk menyuruh kita menikah. Tapi, sepertinya keputusannya sudah bulat," kali ini dia tampak tidak enak hati. Jadi itu semua bukan mimpi. CEO memang menyuruh menyuruh kami menikah untuk membungkam rumor buruk. Putra satu-satunya Pram Sastrajaya memang punya citra playboy. Tapi itu semua hanya gosip yang tidak pernah diambil pusing oleh pebisnis lain. Lain ceritanya jika gosip itu sekarang memiliki bukti. Rekaman CCTV yang memperlihatkan wanita keluar-masuk kamar pribadinya di hotel yang dikelola grup keluarganya sendiri. "Aku butuh waktu untuk berpikir," kataku. "Tentu saja. Sementara itu aku akan mencoba menghalangi CEO sebisa mungkin," jawab Aldo sepakat. *** Sehari kemudian, aku diperbolehkan pulang oleh rumah sakit. Aku sungguh merindukan apartemen studioku, yang walaupun sempit tapi sangat nyaman. Hal itu membuatku tidak sabar untuk segera masuk ke apartemenku. Satu kali.. dua kali.. Aneh, anak kunci yang berada di genggamanku sampai kubolak-balik karena tindak kunjung bisa membuka kancing pintu. Aku terus berkutat dengan kunci pintu apartemen sampai seseorang mendekatiku. Mengenakan sepatu pantofel hitam mengkilap, orang itu menyapaku dengan santun. "Nona Fiona, saya diutus Bapak CEO untuk mengantar Nona menemui beliau," kata orang bersepatu mengkilap itu. Aku memejamkan mata untuk mengumpulkan kesabaran, kemudian dengan patuh mengikuti orang tersebut menuju mobil mewah yang diparkir di bawah. Sesampainya di kantor CEO, aroma pinus langsung menyambut penciumanku. Mengingatkan pada kejadian di tempat ini tempo hari. "Kelihatannya kepalamu sudah sembuh," kata CEO begitu melihatku memasuki ruangan. Hanya ada kami berdua di ruangan ini, tapi hal jtu tidak membuatku gentar. "Kelihatannya Anda membuat saya tidak bisa masuk ke tempat tinggal saya sendiri," balasku. "Kau memang bocah kurang ajar," kata CEO. "Aku terpaksa membeli gudang yang kau sebut tempat tinggal itu." Aku tersinggung mendengarnya menyebut apartemen studioku dengan sebutan 'gudang'. "Bersyukurlah aku mengizinkanmu menikah dengan anakku. Karena dilihat dari manapun, kau tidak pantas bersanding dengan anakku." Lanjutnya. Sepertinya orang ini sangat ingin mencelaku. Walaupun tentu saja, anak yatim piatu sederhana sepertiku memang tidak mungkin akan dijadikan menantu oleh seorang konglomerat. "Oleh karena itu, tolong jangan paksa kami untuk menikah," kataku berharap ini adalah peluang untuk melepaskan hubungan dengan keluarga Sastrajaya. "Sayangnya, identitas dan bukti hubunganmu dengan anakku sudah menyebar luas," lanjut CEO. Beliau memandangku sekilas sambil menyunggingkan senyum licik. "Oh kau tidak usah pura-pura polos. Aku tahu isi kepala rubah haus uang sepertimu ," kata CEO. Aku jadi sedikit takut melihat senyum liciknya. Bagaimanapun beliau adalah orang yang bisa membuatku kehilangan tempat tinggal dalam waktu satu hari. "Ingat satu hal, Fiona. Berani berurusan dengan keluarga Sastrajaya berarti kau harus berani menghadapi konsekuensinya," CEO lanjut menekanku. "Dan untuk menghilangkan rumor yang menjatuhkan perusahaan kami, kau HARUS menikah dengan Aldo. Tidak ada pilihan lain." Kemarin, setelah petir menyambar di siang bolong, kali ini kurasa badai sudah menghampiri kehidupanku.Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku dengan lembut. Di kejauhan sana tampak langit bewarna semburat jingga tanda sang kala akan segera beristirhat. Sangat menyenangkan. “Hei, masukkan kepalamu dan tutup jendelanya,” kata Aldo merusak suasana. “Kau jadi mirip Stella jika menjulurkan lidahmu sedikit saja.” “Siapa Stella?” Tanyaku curiga. Apakah di hari pernikahan kami ini dia sudah berani menyebut nama perempuan lain? Walaupun pernikahan kami tidak berlandaskan cinta, tapi tetap saja. “Apa dia perempuan sintal yang tempo hari kutemukan hanya terbalut sprei di kamarmu?” Sopir kami terbatuk-batuk tidak karuan mendengar omonganku. Ah, aku sungguh belum terbiasa dengan minimnya privasi para konglomerat ini. Mereka selalu saja ditemani oleh asisten atau pelayan kemana-mana. “Jangan menguping pembicaraan kami, Galih,” kata Aldo pada orang yang bertugas mengantar kami kembali ke rumah. Dan dia menjawab dengan anggukan kepala. “Perempuan waktu itu adalah teman Jasmine yang tidak waras. Dia men
Keesokan paginya, sebuah mobil box besar berhenti di depan rumah dan menurunkan sejumlah besar kado pernikahan yang aku tidak tahu pernah ada.Aku membiarkan sebagian besar kado itu tergeletak di ruang tengah agar bisa dibuka bersama Aldo malam nanti.Tadi pagi dia pergi untuk bekerja. Katanya dia menjalankan beberapa usaha kecil.Entah sekecil apa usaha yang dimiliki oleh seorang anak konglomerat.Ada satu kado yang menarik perhatianku. Kado berbentuk amplop besar berwarna keperakan yang indah.Tapi, bukan keindahan amplop itu yang menyita perhatianku. Tapi nama yang tertera di atasnya.‘Happy wedding. - Jasmine’Aku bergegas membuka amplop itu.***Aldo pulang ke rumah pada saat jam makan malam. Aku menunggunya di meja makan dengan amplop ‘kado’ pernikahan di tanganku.“Kau masak?” Tanya Aldo melihat beberapa lauk di atas meja.Aku mengangguk, “Setelah sekian lama.” Aku menyuruhn
Galih buru-buru membuang rokok yang sedang dihisapnya kemudian menginjak-injaknya dengan sadis.“Maaf, saya pikir Tuan dan Nyonya akan lebih lama berada di dalam,” kata Galih sambil tergopoh-gopoh membukakan pintu mobil.Aldo menahan pintu untukku dan mempersilahkan aku masuk lebih dulu. “Sepertinya kami harus makan di tempat lain,” katanya kepada Galih sambil memutari mobil untuk masuk melalui pintu satunya.“Ada yang ingin kau makan?” Tanya Aldo setelah duduk di sebelahku.“Yang sederhana saja,” jawabku setelah berpikir sebentar.“Bagaimana kalau burger?” Aldo menyarankan.“Setuju,” jawabku.“Ke tempat burger drive-thru, setelah itu kau kuberi tahu tempat selanjutnya,” kata Aldo kepada Galih.“Baik…” Galih menjawab namun segera dipotong oleh Aldo.“Jangan panggil aku ‘Tuan’ atau ‘Pak’,” katanya.“…bos?” lanjut Galih, meminta persetujuan dari balik spion tengah.“Itu lebih baik,” kata Aldo.“Baik, Bos,” Galih menyalakan mesin mobil sambil tersenyum.Kami sampai di pinggiran kota, di
Aku bangun ketika matahari sudah bersinang terang. Sial, aku kan bukan anak remaja ingusan, kenapa hanya dengan satu ciuman bisa membuatku tidak bisa tidur?Setelah ciuman yang hangat itu pun, Aldo menatapku lekat-lekat lalu mengusap kepalaku. Kemudian dia mengemudikan mobil dengan tenang sampai ke rumah.Satu-satunya hal yang diucapkannya adalah ‘selamat tidur’ ketika kami menuju kamar masing-masing.Apakah hanya aku di sini yang berpikiran bahwa seharusnya ada kelanjutan dari ciuman itu?Maksudku, ciuman semalam bukan ciuman impulsif karena terdorong suasana saja. Tapi aku benar-benar merasakan ada ‘perasaan’ yang tertuang di situ.Kecuali hanya aku yang berpikir demikian.Aku menemukan beberapa potong french toast di atas meja, terbungkus rapi dengan wrapping plastic. Di dekatnya terdapat memo dengan tulisan Aldo yang rapi:‘Makanlah. Aldo-‘Aku tidak memahami kenapa dia begitu perhatian padaku, namun tetap bersyukur atas makanan yang dia siapkan untukku. Apalagi karena rasanya sung
“Fiona? Kau di mana?!” Suara Aldo di seberang sana terdengar frustasi. Aku sampai harus sedikit menjauhkan handphone dari telinga.“Di kampung halaman,” kataku. Entah kenapa, mendengar suaranya membuatku ingin menangis.“Kirimkan lokasinya,” perintah Aldo dari sambungan telepon.“Jangan kemari, ini sudah terlalu malam,” kataku panik. Bagaimanapun, butuh waktu agak lama untuk datang kemari.“Kirimkan lokasinya,” Aldo mengulang perintahnya.Aku tidak bisa menolak, maka kukirimkan lokasi di mana aku berada saat ini. Dan sejujurnya, entah untuk alasan apa, aku menginginkan Aldo berada di sisiku.“Tunggulah di situ, jangan pergi kemana pun,” katanya dengan nada mutlak, tanpa bisa kubantah. Aldo sampai pada waktu lewat tengah malam. Ban mobilnya berdecit ketika memasuki halaman parkir penginapan kecil ini. Aku menunggunya turun dari mobil. Dia mengedarkan pandang ke sekitar untuk mencariku. Ketika mata kami bertemu, dia bergegas berjalan ke arahku dengan ekspresi marah.Aku pasti bakal di
Apa yang harus kulakukan dengan foto ini? Aku hanya pernah bertemu dengan Rody beberapa kali dan belum pernah berbicara langsung dengannya. Jadi, orang seperti apakah dia? Aku sama sekali tidak punya jawaban.Skandal yang melibatkan keluarga Sastrajaya selalu menarik perhatian. Selama ini, gosip miring yang menerpa keluarga Sastrajaya hanyalah bahwa calon penerus Luxy Group adalah seorang playboy tukang foya-foya serta hubungan ‘rahasia’ playboy itu dengan karyawan adik tirinya. Tapi kedua gosip itu sudah hilang bagai ditelan bumi setelah pernikahan kami.Lalu, apa yang akan terjadi jika perselingkuhan menantu Luxy Group terbongkar?Kepalaku jadi pusing.Di hadapan pegawai Jasc EO, Jasmine dan suaminya selalu terlihat mesra dan saling mencintai. Jasmine khususnya, tampak sangat tergila-gila pada suaminya. Sedangkan Rody, terlihat seperti rela bahkan jika harus menjilat kaki Jasmine hanya untuk menyenangkannya.Jenis pasangan yang menyebalkan untuk dilihat. Meskipun banyak yang memuji
Aku lupa kalau mertuaku adalah orang yang sangat licik, bisa-bisanya aku terpancing oleh perkataannya. Bahkan Jasmine jadi mencemoohku sewaktu kami turun ke lantai bawah.“Aku sudah tahu kalau kau bermulut besar, tapi ternyata kau juga bodoh,” katanya dengan mulut berbisa. “Berkatmu, Aldo akan segera didepak dari perusahaan.”Sungguh, perkataan Jasmine membuatku terus kepikiran. Bagaimana jika aku menjerumuskan Aldo ke dalam perangkap orangtuanya? Padahal selama ini dia sudah sangat baik padaku walaupun pernikahan kami hanya pura-pura. Tapi aku malah berpotensi membuat rencana besarnya gagal total.“Sedang apa di sini?” Aldo mendapatiku sedang duduk termenung di ruangan kerja kantornya.Ah, aku hanya terpikir untuk segera memberitahu kesalahan yang aku buat tanpa banyak berpikir.“Mau pengakuan dosa,” jawabku pasrah. Entah nanti sikap Aldo akan berubah dingin padaku, memarahiku, atau bahkan membenciku, aku pasrah saja. Yang penting dia harus mendengar masalah ini terlebih dahulu.“Kau
Setelah matahari terbit cukup tinggi, Aldo menggulingkan tubuhnya untuk memelukku.“Aku akan memejamkan mata sebentar sebelum menyetir pulang,” katanya dengan mata terpejam.Rambutnya yang sedikit panjang jatuh menutupi kelopak matanya. Aku menggerakkan tangan untuk merapikan rambutnya ke belakang.Dia benar-benar tampan, aku membatin.“Kau juga cantik,” kata Aldo masih terpejam. Aku sedikit menarik rambutnya yang masih kubelai. Dasar, dia masih saja membaca pikiranku.“Tidurlah, nanti kubangunkan,” kataku. Aldo menggerakkan tubuhnya semakin dekat denganku, kemudian aku mendengar nafasnya yang teratur. Dia sudah tidur.Sebaliknya, aku tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Semalam, Aldo sukses membuat jantungku berdebar-debar tidak karuan.Setelah pernyataan itu, dia menciumku. Dan tubuhku sepertinya mengingat ciuman Aldo. Aku membalas ciumannya yang hangat dan tanpa tuntutan.Kami melakukannya cukup lama sampai angin laut yang berhembus mulai terasa dingin.“Tunggulah di sini, aku a
Kami berdua bersantai-santai di akhir pekan untuk pertama kali setelah Aldo menyelesaikan misinya untuk masuk ke manajemen Grand Luxy. Setelah mengetahui bahwa Aldo dapat memenuhi-bahkan melebihi-ekspektasinya, Pram Sastrajaya secara terang-terangan dan tidak tahu malu membangga-banggakan Aldo pada rekan-rekan bisnisnya.“Ini putraku yang punya banyak ide cemerlang,” ujar Pram Sastrajaya dengan suara menggelegar di pesta dua hari lalu.“Kenapa baru sekarang kau tertarik terjun untuk mengelola bisnis, Aldo? Kudengar dulu kau hanya suka bersenang-senang,” ucap seorang bapak-bapak pemilik bisnis A dengan suara tidak kalah menggelegar.Aldo pun menyunggingkan senyum bisnisnya, “Saya ingin membuat istri saya terkesan.”“Kalau begitu, seharusnya kau menikah sejak dulu,” sahut seorang ibu-ibu pemilik bisnis B, diiringi dengan suara tawa yang melengking.Secara tidak terduga ternyata Aldo cocok juga berada di lingkungan para pebisnis berlidah tajam, tidak sedikit pun dia terlihat gugup atau m
Aku mencium Aldo dengan cukup panas sehingga kupikir bibirku bisa lecet. Oh tidak. Biasanya tidak ada hal bagus yang terjadi ketika aku membiarkan naluriku mengambil alih. Aldo mengerjapkan matanya dengan bingung ketika aku melepaskan diri secara sepihak. Kupikir dia pasti sangat terhanyut pada momen barusan. Aku mencoba menutup mulutku dengan tangan. Bahkan Mary Phillips pun tidak akan bisa membuat lipstik bertahan di bibirku setelah melahap Aldo dengan ganas tadi. Mukaku pasti sudah tidak karuan. Sarina dan Alysse tidak melepaskan pandangan mereka dariku, meskipun aku sudah menghentikan pertunjukan barusan. "Memalukan..," Sarina berkata lirih. Alysse ternganga dengan takjub. Aku bersumpah sempat mendengarnya menahan tawa Aku merasa terlalu malu untuk mengucapkan apa pun, maka sebelum orang-orang yang menonton pertunjukan barusan mulai bergunjing aku memutar tumit tinggi sepatuku dan berjalan menjauh dari kerumunan. "Sayang..," Aldo mengikutiku seperti terhipnotis. Di
"Aku benci padamu!" Teriakku pada Aldo, melalui telfon. Galih menatapku dengan terkejut dan takut menjadi satu. Secara tidak sadar dia menjatuhkan boks yang akan diberikannya padaku. "Maafkan saya, Nyonya.. Tapi saya benar-benar berusaha mengambil pesanan sepatu ini dari toko secepat mungkin," kata Galih sambil mengambil kotak sepatu yang tidak sengaja dia jatuhkan. "Astaga, aku yang harus minta maaf. Aku tidak membentakmu," aku menunjukkan earphone yang menempel di telinga kiriku. Galih tampak lega mendengarnya. "Meskipun begitu aku akan benar-benar marah padamu kalau kita terlambat hadir di acara malam ini," kataku sambil mengambil kotak sepatu itu dari tangan Galih. Galih menyetir dengan tenang menuju Grand Luxy, kami masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum pesta pengangkatan CEO baru dimulai. Waktu yang pas karena aku tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan orang-orang di sana. "Hei, Galih," panggilku dari kursi belakang. Galih menjawab sambil melirik dari
Semua berjalan dengan mulus dan lancar. Seperti seorang atlet profesional menggelindingkan bola bowling dan kemudian "Strike!" sepuluh pin bowling pun jatuh bersamaan. Aldo bekerja dengan sangat baik di Grand Luxy, bahkan dapat melebihi ekspektasi Pram Satrajaya. Semua berawal dari idenya untuk meningkatkan citra "feels like home" yang mulai pudar dengan menggaet Ramoda, produsen perabot eksklusif bercita rasa seni tinggi. Yang juga terkenal tidak pernah sudi melakukan hubungan komersial dengan korporat besar mata duitan macam Luxy Group. Terimakasih kepada Genta, yang dapat mengambil hati Ramoda. Kehadirannya sebagai manajer operasional, dan bukan aku sebagai direktur (dan juga menantu Luxy Group) yang datang untuk berunding memberikan kesan bahwa kami memang berniat untuk bekerjasama, bukan untuk membajak image yang dimiliki oleh Ramoda. Begitulah, tidak lama setelah peluncuran kampanye "Gather as Family", Aldo dapat memenangkan tantangan yang diberikan ayahnya. Aku sempat
"Kupikir mereka sudah tidak bertemu selama berminggu-minggu," bisik Santi pada Galih, tapi suaranya masih bisa kudengar. "Tuan Aldo tidak bisa berpisah dari Nyonya sehari saja, apalagi berminggu-minggu. Itu tidak mungkin," balas Galih. Mereka berdua mencondongkan diri satu sama lain agar bisa saling mengata-ngatai kami. Aku dan Aldo jadi tidak bisa fokus membaca buku menu yang kami baca bersama karena di depan kami ada dua orang yang tiba-tiba bisa jadi akrab karena menggosipkan kami berdua. "Aku bisa mendengarmu," kata Aldo menatap tajam ke arah Galih. Galih hanya cuek berpura-pura melihat ke langit sedangkan Santi berpura-pura menekuni buku menunya. "Sudah kubilang tidak usah membawa mereka," Aldo merengut memandang buku menunya. Aku jadi merasa bersalah. "Apa jadwal Aldo setelah dari Wale's?" Tanyaku kepada Galih. "Tidak ada jadwal lain, Nyonya," jawab Galih, jari telunjuknya berhenti menelusuri menu. "Kalau begitu, bawa dia pulang begitu rapatnya selesai," aku meniru
Orang itu ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik. Aku mengingatnya sebagai orang yang memiliki wajah imut yang tidak sejalan dengan sifatnya yang meledak-ledak. "Berikan pekerjaan padaku," katanya lagi, dengan nafas memburu. "Apa-ah, tenang dulu," aku memberikan kode kepada Meylia untuk melepaskan cengkraman tangannya, lalu menyuruhnya keluar, demi keamanan dirinya sendiri. Bagaimanapun, orang itu memiliki sabuk hitam taekwondo. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Semburku pada Santi, orang tidak waras yang barusan menyerbu ruangan kantorku. "Aku orang yang loyal, kau tahu itu bukan?" Matanya masih menyala-nyala karena emosi. "Mm.. Oke?" Kataku lambat-lambat. "Aku sudah begitu bersabar menghadapi Jasmine, tapi kali ini aku sudah tidak bisa toleransi lagi," rambutnya yang dipotong bob pendek bergoyang-goyang ketika dia berbicara dengan penuh semangat. Agak sulit menganggap serius ledakan amarah dari seorang perempuan bertubuh mungil dan memiliki wajah imut yang ti
Tidak kusangka hari ini kami sudah harus meninggalkan vila ini. Tempat yang awalnya terasa menyebalkan karena tidak sesuai dengan ekspektasiku-aku mengharapkan vila di pegunungan yang dingin-tapi malah terasa seperti rumah ketika kami sudah hendak pergi. Kemarin, melalui Galih, Pram Sastrajaya menyuruh kami segera kembali. Karena berita tentang kejadian waktu itu sudah mereda, dan karena Aldo harus segera kembali bekerja. Aku pun sudah merindukan Grayscale. Walaupun bukan perusahaan besar, tapi aku menyukai atmosfer di sana. Walaupun aku belum bisa membayangkan harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Rody nanti-dan aku tidak mau membayangkan barang secuil wajahnya-aku harus tetap berani melangkahkan kakiku. Setidaknya, itu yang harus kulakukan untuk mengatasi mimpi buruk yang belakangan kualami. Mimpi buruk yang, untungnya, seringkali terlupakan berkat sentuhan-sentuhan Aldo. Walau mungkin kurang tepat menyebutnya dengan 'sentuhan'. Aku mengamati baju tidur baruku
Benar kata Aldo, dia memang tidak segan-segan. Dia melakukan hal-hal yang tidak pernah kubayangkan-atau kulakukan-sebelumnya. Dan, melakukan 'itu' di meja dapur adalah salah satunya. Tentu bukan hanya di situ saja Aldo menunjukkan ketidak-seganannya. Setelah membuat punggungku sakit karena berbaring di atas meja kayu jati yang keras, dia membopongku masuk ke dalam kamarnya. Saat kupikir kami seharusnya tidur, dia melanjutkan aksinya.Seharusnya dia menunjukkan belas kasih mengingat semalam adalah pertama kali kami melakukannya. Benar-benar deh. Bagaimana dia bisa menahannya selama ini? Aku berguling menjauhinya. Matahari sudah mulai tinggi dan aku ingin menutup tirai untuk mengurangi cahaya yang masuk melalui kaca jendela. "Mau ke mana?" Tanya Aldo setengah terpejam. "Sudah siang, memangnya kau tidak harus kerja?" Tanyaku sambil menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Tapi dia malah semakin melingkarkan tangannya. "Tidak. Aku kan sedang bulan madu," katanya dengan wa
Apa gunanya ke pantai kalau tidak bermain-main di atas pasir dan bersantai sambil minum air kelapa? Aku malah menghabiskan waktu seharian dengan tiduran seperti orang sakit. "Kau memang sedang sakit. Tadi pagi kau demam, ingat?" Kata Aldo ketika aku berusaha menjelaskan bagaimana caranya menghabiskan waktu ketika sedang liburan di pantai. Dia kembali menjadi Aldo yang manis dan protektif. Aku akan dengan senang hati tinggal di dalam kamar seharian kalau saja ada kegiatan yang lebih menarik yang bisa kulakukan di sini. Tahu apa maksudku, bukan? Dengan kondisi sekarang ini-kami yang sudah berbaikan-tentu saja aku memiliki harapan besar ketika Aldo menuntunku masuk ke dalam kamar. Tapi ternyata dia hanya ingin tidur sambil berpelukan. Oh, Aldo yang manis. Aku menikmatinya, tentu saja. Tidak ada yang lebih nyaman di dunia ini selain berada di dalam rengkuhan dada bidang milik Aldo. Aku mengutuk diriku sendiri yang berharap untuk dapat tinggal di dalam pelukan Aldo untuk