Beranda / Romansa / Love Breaking Contract / 4. Petir di Siang Bolong

Share

4. Petir di Siang Bolong

Penulis: La Rêveuse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kantung mataku menghitam karena stres dan kurang tidur, walaupun sakit kepala yang kualami kemarin sudah mereda. Aku berterimakasih kepada Aldo karena mengizinkanku menginap di ruang tamu kamar suitenya,  karena ternyata banyak wartawan yang berjaga di halaman depan hotel. Tidak pernah kubayangkan aku akan menjadi incaran para wartawan.

Dan aku juga berterimakasih pada Aldo karena dengan sigap membelikanku obat pereda sakit kepala tanpa kuminta. Sikapnya ternyata sangat manis. Jauh berbeda dengan penampilannya.

Ting tong..

Bunyi bel terdengar pelan dari dalam kamar mandi tempatku bercermin. Apakah itu Aldo? Kenapa dia tidak langsung masuk saja?

Aku bergegas membukakan pintu untuknya.

“Kenapa…” kata-kataku terhenti ketika melihat orang yang ada di balik pintu.

Dua orang pria bertubuh besar dan memakai jas hitam berdiri di depan pintu.

“Harap ikut dengan kami, Nona Fiona,” kata salah seorang berbadan besar itu dengan singkat dan tegas.

Aku sama sekali tidak bisa membantah. Yah, aku bisa apa? Daripada tubuhku dibanting dan diseret dengan paksa.

Sejujurnya, secara mental aku juga merasa sedang tidak mampu berdebat dengan siapapun.

Aku digiring oleh dua pria itu menuju ke lantai teratas hotel. Seketika aku tahu akan dibawa kemana.

Ding!

Suara lift diikuti terbukanya pintu ketika sampai di lantai yang dituju membuatku tersadar.

“Mungkin nasibku akan berakhir di sini,” kataku dalam hati. Dari yang kulihat kemarin, Pak CEO bukanlah orang yang ramah ataupun sabar.

Salah seorang dari mereka membukakan pintu, aku merasa seperti sedang masuk ke ruangan penghakimanku.

Di dalam, Pak CEO sedang berdiri menghadap jendela. Walaupun aku tahu, beliau pasti sudah sadar akan kehadiranku.

“Sudah berapa lama kau dan Aldo berhubungan?” Katanya tiba-tiba tanpa melepaskan pandangan dari jendela.

Baru beberapa hari, pikirku.

Tapi aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.

“Beberapa lama, Pak CEO,” jawabku akhirnya.

Pria bertubuh tegap walaupun sudah berusia paruh baya tersebut membalikkan badannya untuk menghadapku, melihatku dengan tatapan jijik.

“Anak itu tidak pernah serius berhubungan, apalagi mengakui hubungan di depanku. Apa yang kalian rencanakan?” Tanyanya sambil berjalan menuju singgasananya.

“Saya tidak tahu bagaimana Aldo di mata Anda. Tapi menurut saya, dia orang yang hangat,” jawabku jujur. Walaupun aku baru mengenal Aldo kemarin, tapi aku bisa menilai dia tidak seburuk yang dikira orang-orang.

Pak CEO menghela nafas. Beliau mengaitkan jemarinya seperti sedang berpikir keras. “Kalian mungkin bisa bermain-main, tapi jangan pikir kalian bisa merusak reputasi Luxy Group.”

“Kalau yang Anda maksud adalah soal rumor yang beredar di media sosial dan internet, bukan kami yang menyebarkan semuanya,” jawabku. Ketika Pak CEO hanya diam, aku melanjutkan, “Saya juga sangat dirugikan oleh kejadian ini. Mungkin tidak sebesar kerugian atas Luxy Group milik Anda, tapi ini hidup saya. Dan saya merasa SANGAT dirugikan.”

Merasakan ketegasan dalam perkataanku, Pak CEO akhirnya menatap wajahku, kali ini tanpa pandangan jijik.

“Kau harus bertanggungjawab atas tindakan yang kau lakukan. Bagaimanapun, Aldo adalah penerusku,” katanya sambil menyentuh papan nama yang terletak di meja, bertuliskan ‘Pram Sastrajaya, CEO’.

Mendengar beliau menyebut nama Aldo entah kenapa membuatku sedikit marah. Wajah sedih dan kegetiran dalam suara Aldo ketika bercerita soal ayahnya terlintas di benakku.

“Ya, saya akan bertanggungjawab atas tindakan saya,” kataku tegas. “Dan saya mohon, Anda juga bertanggungjawab atas tindakan Anda. Termasuk tindakan putri Anda menyebarkan gosip tentang saya dan Aldo.”

Pram Sastrajaya memandangku dengan sedikit terperangah. Mungkin seumur hidupnya beliau tidak pernah merasa ditantang seperti itu.

“Kalau sudah tidak ada yang mau disampaikan, saya undur diri dulu,” kataku sambil berjalan menuju pintu.

Sebelum aku mencapai pintu, seseorang telah membuka handle pintu dari luar.

Crak!

Aldo membuka pintu kantor ayahnya dengan berang, tatapannya lurus ke arah empunya ruangan kantor ini.

Dia tampaknya hendak menumpahkan amarah kepada ayahnya, tapi kemudian tatapan kami bertemu.

“Fi.. Fiona,” Aldo tampak bingung sesaat, namun kembali menatap ayahnya dengan marah.

“Luar biasa..” kata Pak CEO sambil terkekeh. Membuat kami sedikit terkejut. Aku menatap Aldo untuk mencari jawaban, tapi tatapannya masih terpaku pada ayahnya yang duduk di singgasana.

“Baru kali ini kau datang ke kantor Papa dengan kemauanmu sendiri,” lanjut Pram Sastrajaya masih sambil terkekeh. “Sepertinya aku agak meremehkan Nona muda ini.”

“Tolong jangan sembarangan memanggil Fiona ke kantor ini. Dia bukan anak buah yang bisa Papa perlakukan seenaknya,” kata Aldo geram.

“Ha ha ha!!” Kali ini Pram Sastrajaya tertawa terbahak-bahak.

Aku melirik Aldo, kali ini dia sudah mengepalkan tangan.

“Kenapa? Tidak mungkin Papa penasaran dengan siapa aku pacaran, bukan?” Tanya Aldo dengan nada menantang.

Pram Sastrajaya beranjak dari tempat duduknya untuk berjalan mendekati Aldo.

“Papa tidak peduli kau melakukan apa pun asalkan tidak merusak reputasi perusahaan,” katanya setelah cukup dekat dengan kami. “Kau tahu, apa efek dari rumor tentang kalian?” Lanjutnya. “Luxy Group dikenal sebagai perusahaan dengan citra kekeluargaannya. Walaupun mewah, namun Grand Luxy juga menonjolkan suasana hangat keluarga. Kau tahu itu?”

Memang begitulah yang kutahu. Bagi rakyat jelata sepertiku, image 'kekeluargaan' keluarga Sastrajaya pemilik Luxy Group yang selalu ditampilkan melalui iklan televisi memang sangat meyakinkan.

“Entahlah. Kehangatan keluarga itu semacam mitos bagiku,” jawab Aldo sinis.

Pram Sastrajaya mengabaikan jawaban sinis Aldo sambil berbalik. Berjalan pelan dengan tangan di belakang.

“Image itulah yang kalian hancurkan dalam waktu semalam,” Aku hanya diam selama beliau berbicara. Takut dengan suasana tegang di antara ayah dan anak ini. Kemudian beliau melipat tangan di dada, memandang kami seolah-olah enggan dengan apa yang akan diucapkannya.

“Kalian harus segera menikah,” kata Pram Sastrajaya.

Aku yakin mulutku menganga dengan lebarnya mendengar ucapan beliau.

Tetapi Aldo tidak. Dia merespon dengan emosi.

"Apa? Menikah?" Dia berkata sambil mendengus. "Kali ini Papa sangat keterlaluan."

Aldo berjalan ke sisi ruangan sambil berkacak pinggang. Dia seperti sudah kehilangan kata-kata.

"Apa masalahnya? Kalian sudah pacaran, dan aku sudah bosan mendengar rumor mengenai anakku yang playboy," Pak CEO kelihatan lebih rileks. "Dan itu juga bisa menghilangkan rumor yang menyebar baru-baru ini."

Kalau aku dan Aldo memang betul berpacaran, maka kata-katanya memang masuk akal.

Tapi aku baru satu hari 'pacaran' dengan Aldo.

"Dan juga, nona muda ini sudah menyanggupi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," Pak CEO menatapku dengan licik.

"A.. Aku..," aku gelagapan merespon pernyataan licik dari pria tua itu.

Aldo memandang wajahku dengan tatapan tidak percaya.

Aku tidak bisa berkata apapun, jadi aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menggoyang-goyangkan telapak tangan tanda sebagai bantahan.

"Jangan bawa-bawa Fiona ke dalam tipu muslihat Papa," Aldo menyimpulkan dengan baik.

"Papa lihat kau sangat menyukai pacarmu," kata pak CEO sambil berjalan menuju mejanya kembali. "Jasmine juga sepertinya sangat mengandalkannya untuk urusan pekerjaan. Itu hal baik. Artinya dia tidak bodoh."

Apa? Dia tidak bodoh? Pria tua itu sedang membicarakanku seolah-olah aku hanya obyek tidak berarti yang sedang dipilih untuk dibeli.

"Maaf, sepertinya saya berhak berpendapat di sini," kataku meredam emosi. "Seharusnya Jasmine lah yang bertanggungjawab atas tindakannya, bukan saya. Kenapa saya yang dipaksa untuk menikah untuk menutupi rumor yang dia sebar?" Aku berharap Pak CEO memahami penjelasanku.

"Sepertinya kau salah mengerti, Nona Fiona," untuk pertama kalinya, Pak CEO menyebutkan namaku. Aku sedikit merinding. "Kau tidak berhak bersuara. Itu konsekuensi bagimu karena berani menjalin hubungan dengan orang yang tidak setara denganmu."

Ini dia. 'Kartu status sosial' sudah dikeluarkan. Aku tidak mampu menjawab lagi.

Di sebrangku, Aldo juga sudah tidak mampu berkata-kata. Dia hanya diam sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.

Bab terkait

  • Love Breaking Contract   5. Ancaman

    Aldo mengantarku ke kamarnya kemudian dia sendiri pergi entah kemana. Terdengar bunyi gebrakan dari pintu. Siapa lagi yang datang sekarang? Aku benar-benar lelah secara fisik dan emosi. Aku tidak sanggup menghadapi kejutan lagi. Aku sedikit membuka pintu untuk mengintip siapa yang menggedor pintu dengan sangat tidak sopan. Ternyata bukan pria kekar berjas hitam lagi seperti dugaanku, melainkan orang yang beberapa hari ini membuat hari-hariku serasa ada di neraka. Jasmine mendorong pintu hingga terbuka lebar, membuatku terhuyung ke belakang. “Wanita murahan..” gumam Jasmine dengan gigi gemeretak. “Sudah kuduga kau ada di sini,” lanjutnya, menatapku dengan mata nyalang. Ekspresi wajahnya, tatapan matanya, hingga nadanya dalam berbicara sungguh berbeda dengan sosok direktur Jasmine yang aku kenal selama ini. Dia bisanya bertutur kata halus dan bersorot mata lemah lembut. Hal itu membuatku terpaku. Seperti ada orang gila yang mau menyerangku. Tangannya tiba-tiba menjangka

  • Love Breaking Contract   6. Finally Married

    Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku dengan lembut. Di kejauhan sana tampak langit bewarna semburat jingga tanda sang kala akan segera beristirhat. Sangat menyenangkan. “Hei, masukkan kepalamu dan tutup jendelanya,” kata Aldo merusak suasana. “Kau jadi mirip Stella jika menjulurkan lidahmu sedikit saja.” “Siapa Stella?” Tanyaku curiga. Apakah di hari pernikahan kami ini dia sudah berani menyebut nama perempuan lain? Walaupun pernikahan kami tidak berlandaskan cinta, tapi tetap saja. “Apa dia perempuan sintal yang tempo hari kutemukan hanya terbalut sprei di kamarmu?” Sopir kami terbatuk-batuk tidak karuan mendengar omonganku. Ah, aku sungguh belum terbiasa dengan minimnya privasi para konglomerat ini. Mereka selalu saja ditemani oleh asisten atau pelayan kemana-mana. “Jangan menguping pembicaraan kami, Galih,” kata Aldo pada orang yang bertugas mengantar kami kembali ke rumah. Dan dia menjawab dengan anggukan kepala. “Perempuan waktu itu adalah teman Jasmine yang tidak waras. Dia men

  • Love Breaking Contract   7. Makan Malam dari Neraka

    Keesokan paginya, sebuah mobil box besar berhenti di depan rumah dan menurunkan sejumlah besar kado pernikahan yang aku tidak tahu pernah ada.Aku membiarkan sebagian besar kado itu tergeletak di ruang tengah agar bisa dibuka bersama Aldo malam nanti.Tadi pagi dia pergi untuk bekerja. Katanya dia menjalankan beberapa usaha kecil.Entah sekecil apa usaha yang dimiliki oleh seorang anak konglomerat.Ada satu kado yang menarik perhatianku. Kado berbentuk amplop besar berwarna keperakan yang indah.Tapi, bukan keindahan amplop itu yang menyita perhatianku. Tapi nama yang tertera di atasnya.‘Happy wedding. - Jasmine’Aku bergegas membuka amplop itu.***Aldo pulang ke rumah pada saat jam makan malam. Aku menunggunya di meja makan dengan amplop ‘kado’ pernikahan di tanganku.“Kau masak?” Tanya Aldo melihat beberapa lauk di atas meja.Aku mengangguk, “Setelah sekian lama.” Aku menyuruhn

  • Love Breaking Contract   8. Apa yang Kau Lakukan untuk Bersenang-Senang?

    Galih buru-buru membuang rokok yang sedang dihisapnya kemudian menginjak-injaknya dengan sadis.“Maaf, saya pikir Tuan dan Nyonya akan lebih lama berada di dalam,” kata Galih sambil tergopoh-gopoh membukakan pintu mobil.Aldo menahan pintu untukku dan mempersilahkan aku masuk lebih dulu. “Sepertinya kami harus makan di tempat lain,” katanya kepada Galih sambil memutari mobil untuk masuk melalui pintu satunya.“Ada yang ingin kau makan?” Tanya Aldo setelah duduk di sebelahku.“Yang sederhana saja,” jawabku setelah berpikir sebentar.“Bagaimana kalau burger?” Aldo menyarankan.“Setuju,” jawabku.“Ke tempat burger drive-thru, setelah itu kau kuberi tahu tempat selanjutnya,” kata Aldo kepada Galih.“Baik…” Galih menjawab namun segera dipotong oleh Aldo.“Jangan panggil aku ‘Tuan’ atau ‘Pak’,” katanya.“…bos?” lanjut Galih, meminta persetujuan dari balik spion tengah.“Itu lebih baik,” kata Aldo.“Baik, Bos,” Galih menyalakan mesin mobil sambil tersenyum.Kami sampai di pinggiran kota, di

  • Love Breaking Contract   9. Sarina Sastrajaya

    Aku bangun ketika matahari sudah bersinang terang. Sial, aku kan bukan anak remaja ingusan, kenapa hanya dengan satu ciuman bisa membuatku tidak bisa tidur?Setelah ciuman yang hangat itu pun, Aldo menatapku lekat-lekat lalu mengusap kepalaku. Kemudian dia mengemudikan mobil dengan tenang sampai ke rumah.Satu-satunya hal yang diucapkannya adalah ‘selamat tidur’ ketika kami menuju kamar masing-masing.Apakah hanya aku di sini yang berpikiran bahwa seharusnya ada kelanjutan dari ciuman itu?Maksudku, ciuman semalam bukan ciuman impulsif karena terdorong suasana saja. Tapi aku benar-benar merasakan ada ‘perasaan’ yang tertuang di situ.Kecuali hanya aku yang berpikir demikian.Aku menemukan beberapa potong french toast di atas meja, terbungkus rapi dengan wrapping plastic. Di dekatnya terdapat memo dengan tulisan Aldo yang rapi:‘Makanlah. Aldo-‘Aku tidak memahami kenapa dia begitu perhatian padaku, namun tetap bersyukur atas makanan yang dia siapkan untukku. Apalagi karena rasanya sung

  • Love Breaking Contract   10. Grayscale

    “Fiona? Kau di mana?!” Suara Aldo di seberang sana terdengar frustasi. Aku sampai harus sedikit menjauhkan handphone dari telinga.“Di kampung halaman,” kataku. Entah kenapa, mendengar suaranya membuatku ingin menangis.“Kirimkan lokasinya,” perintah Aldo dari sambungan telepon.“Jangan kemari, ini sudah terlalu malam,” kataku panik. Bagaimanapun, butuh waktu agak lama untuk datang kemari.“Kirimkan lokasinya,” Aldo mengulang perintahnya.Aku tidak bisa menolak, maka kukirimkan lokasi di mana aku berada saat ini. Dan sejujurnya, entah untuk alasan apa, aku menginginkan Aldo berada di sisiku.“Tunggulah di situ, jangan pergi kemana pun,” katanya dengan nada mutlak, tanpa bisa kubantah. Aldo sampai pada waktu lewat tengah malam. Ban mobilnya berdecit ketika memasuki halaman parkir penginapan kecil ini. Aku menunggunya turun dari mobil. Dia mengedarkan pandang ke sekitar untuk mencariku. Ketika mata kami bertemu, dia bergegas berjalan ke arahku dengan ekspresi marah.Aku pasti bakal di

  • Love Breaking Contract   11. Tantangan

    Apa yang harus kulakukan dengan foto ini? Aku hanya pernah bertemu dengan Rody beberapa kali dan belum pernah berbicara langsung dengannya. Jadi, orang seperti apakah dia? Aku sama sekali tidak punya jawaban.Skandal yang melibatkan keluarga Sastrajaya selalu menarik perhatian. Selama ini, gosip miring yang menerpa keluarga Sastrajaya hanyalah bahwa calon penerus Luxy Group adalah seorang playboy tukang foya-foya serta hubungan ‘rahasia’ playboy itu dengan karyawan adik tirinya. Tapi kedua gosip itu sudah hilang bagai ditelan bumi setelah pernikahan kami.Lalu, apa yang akan terjadi jika perselingkuhan menantu Luxy Group terbongkar?Kepalaku jadi pusing.Di hadapan pegawai Jasc EO, Jasmine dan suaminya selalu terlihat mesra dan saling mencintai. Jasmine khususnya, tampak sangat tergila-gila pada suaminya. Sedangkan Rody, terlihat seperti rela bahkan jika harus menjilat kaki Jasmine hanya untuk menyenangkannya.Jenis pasangan yang menyebalkan untuk dilihat. Meskipun banyak yang memuji

  • Love Breaking Contract   12. Di Tepi Pantai

    Aku lupa kalau mertuaku adalah orang yang sangat licik, bisa-bisanya aku terpancing oleh perkataannya. Bahkan Jasmine jadi mencemoohku sewaktu kami turun ke lantai bawah.“Aku sudah tahu kalau kau bermulut besar, tapi ternyata kau juga bodoh,” katanya dengan mulut berbisa. “Berkatmu, Aldo akan segera didepak dari perusahaan.”Sungguh, perkataan Jasmine membuatku terus kepikiran. Bagaimana jika aku menjerumuskan Aldo ke dalam perangkap orangtuanya? Padahal selama ini dia sudah sangat baik padaku walaupun pernikahan kami hanya pura-pura. Tapi aku malah berpotensi membuat rencana besarnya gagal total.“Sedang apa di sini?” Aldo mendapatiku sedang duduk termenung di ruangan kerja kantornya.Ah, aku hanya terpikir untuk segera memberitahu kesalahan yang aku buat tanpa banyak berpikir.“Mau pengakuan dosa,” jawabku pasrah. Entah nanti sikap Aldo akan berubah dingin padaku, memarahiku, atau bahkan membenciku, aku pasrah saja. Yang penting dia harus mendengar masalah ini terlebih dahulu.“Kau

Bab terbaru

  • Love Breaking Contract   32. Orca

    Kami berdua bersantai-santai di akhir pekan untuk pertama kali setelah Aldo menyelesaikan misinya untuk masuk ke manajemen Grand Luxy. Setelah mengetahui bahwa Aldo dapat memenuhi-bahkan melebihi-ekspektasinya, Pram Sastrajaya secara terang-terangan dan tidak tahu malu membangga-banggakan Aldo pada rekan-rekan bisnisnya.“Ini putraku yang punya banyak ide cemerlang,” ujar Pram Sastrajaya dengan suara menggelegar di pesta dua hari lalu.“Kenapa baru sekarang kau tertarik terjun untuk mengelola bisnis, Aldo? Kudengar dulu kau hanya suka bersenang-senang,” ucap seorang bapak-bapak pemilik bisnis A dengan suara tidak kalah menggelegar.Aldo pun menyunggingkan senyum bisnisnya, “Saya ingin membuat istri saya terkesan.”“Kalau begitu, seharusnya kau menikah sejak dulu,” sahut seorang ibu-ibu pemilik bisnis B, diiringi dengan suara tawa yang melengking.Secara tidak terduga ternyata Aldo cocok juga berada di lingkungan para pebisnis berlidah tajam, tidak sedikit pun dia terlihat gugup atau m

  • Love Breaking Contract   31. Mantan

    Aku mencium Aldo dengan cukup panas sehingga kupikir bibirku bisa lecet. Oh tidak. Biasanya tidak ada hal bagus yang terjadi ketika aku membiarkan naluriku mengambil alih. Aldo mengerjapkan matanya dengan bingung ketika aku melepaskan diri secara sepihak. Kupikir dia pasti sangat terhanyut pada momen barusan. Aku mencoba menutup mulutku dengan tangan. Bahkan Mary Phillips pun tidak akan bisa membuat lipstik bertahan di bibirku setelah melahap Aldo dengan ganas tadi. Mukaku pasti sudah tidak karuan. Sarina dan Alysse tidak melepaskan pandangan mereka dariku, meskipun aku sudah menghentikan pertunjukan barusan. "Memalukan..," Sarina berkata lirih. Alysse ternganga dengan takjub. Aku bersumpah sempat mendengarnya menahan tawa Aku merasa terlalu malu untuk mengucapkan apa pun, maka sebelum orang-orang yang menonton pertunjukan barusan mulai bergunjing aku memutar tumit tinggi sepatuku dan berjalan menjauh dari kerumunan. "Sayang..," Aldo mengikutiku seperti terhipnotis. Di

  • Love Breaking Contract   30. Reaksi Tubuh

    "Aku benci padamu!" Teriakku pada Aldo, melalui telfon. Galih menatapku dengan terkejut dan takut menjadi satu. Secara tidak sadar dia menjatuhkan boks yang akan diberikannya padaku. "Maafkan saya, Nyonya.. Tapi saya benar-benar berusaha mengambil pesanan sepatu ini dari toko secepat mungkin," kata Galih sambil mengambil kotak sepatu yang tidak sengaja dia jatuhkan. "Astaga, aku yang harus minta maaf. Aku tidak membentakmu," aku menunjukkan earphone yang menempel di telinga kiriku. Galih tampak lega mendengarnya. "Meskipun begitu aku akan benar-benar marah padamu kalau kita terlambat hadir di acara malam ini," kataku sambil mengambil kotak sepatu itu dari tangan Galih. Galih menyetir dengan tenang menuju Grand Luxy, kami masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum pesta pengangkatan CEO baru dimulai. Waktu yang pas karena aku tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan orang-orang di sana. "Hei, Galih," panggilku dari kursi belakang. Galih menjawab sambil melirik dari

  • Love Breaking Contract   29. Kunjungan Nyonya Besar

    Semua berjalan dengan mulus dan lancar. Seperti seorang atlet profesional menggelindingkan bola bowling dan kemudian "Strike!" sepuluh pin bowling pun jatuh bersamaan. Aldo bekerja dengan sangat baik di Grand Luxy, bahkan dapat melebihi ekspektasi Pram Satrajaya. Semua berawal dari idenya untuk meningkatkan citra "feels like home" yang mulai pudar dengan menggaet Ramoda, produsen perabot eksklusif bercita rasa seni tinggi. Yang juga terkenal tidak pernah sudi melakukan hubungan komersial dengan korporat besar mata duitan macam Luxy Group. Terimakasih kepada Genta, yang dapat mengambil hati Ramoda. Kehadirannya sebagai manajer operasional, dan bukan aku sebagai direktur (dan juga menantu Luxy Group) yang datang untuk berunding memberikan kesan bahwa kami memang berniat untuk bekerjasama, bukan untuk membajak image yang dimiliki oleh Ramoda. Begitulah, tidak lama setelah peluncuran kampanye "Gather as Family", Aldo dapat memenangkan tantangan yang diberikan ayahnya. Aku sempat

  • Love Breaking Contract   28. Chihuahua dan Pomeranian

    "Kupikir mereka sudah tidak bertemu selama berminggu-minggu," bisik Santi pada Galih, tapi suaranya masih bisa kudengar. "Tuan Aldo tidak bisa berpisah dari Nyonya sehari saja, apalagi berminggu-minggu. Itu tidak mungkin," balas Galih. Mereka berdua mencondongkan diri satu sama lain agar bisa saling mengata-ngatai kami. Aku dan Aldo jadi tidak bisa fokus membaca buku menu yang kami baca bersama karena di depan kami ada dua orang yang tiba-tiba bisa jadi akrab karena menggosipkan kami berdua. "Aku bisa mendengarmu," kata Aldo menatap tajam ke arah Galih. Galih hanya cuek berpura-pura melihat ke langit sedangkan Santi berpura-pura menekuni buku menunya. "Sudah kubilang tidak usah membawa mereka," Aldo merengut memandang buku menunya. Aku jadi merasa bersalah. "Apa jadwal Aldo setelah dari Wale's?" Tanyaku kepada Galih. "Tidak ada jadwal lain, Nyonya," jawab Galih, jari telunjuknya berhenti menelusuri menu. "Kalau begitu, bawa dia pulang begitu rapatnya selesai," aku meniru

  • Love Breaking Contract   27. Santi

    Orang itu ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik. Aku mengingatnya sebagai orang yang memiliki wajah imut yang tidak sejalan dengan sifatnya yang meledak-ledak. "Berikan pekerjaan padaku," katanya lagi, dengan nafas memburu. "Apa-ah, tenang dulu," aku memberikan kode kepada Meylia untuk melepaskan cengkraman tangannya, lalu menyuruhnya keluar, demi keamanan dirinya sendiri. Bagaimanapun, orang itu memiliki sabuk hitam taekwondo. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Semburku pada Santi, orang tidak waras yang barusan menyerbu ruangan kantorku. "Aku orang yang loyal, kau tahu itu bukan?" Matanya masih menyala-nyala karena emosi. "Mm.. Oke?" Kataku lambat-lambat. "Aku sudah begitu bersabar menghadapi Jasmine, tapi kali ini aku sudah tidak bisa toleransi lagi," rambutnya yang dipotong bob pendek bergoyang-goyang ketika dia berbicara dengan penuh semangat. Agak sulit menganggap serius ledakan amarah dari seorang perempuan bertubuh mungil dan memiliki wajah imut yang ti

  • Love Breaking Contract   26. Kembali ke Realita

    Tidak kusangka hari ini kami sudah harus meninggalkan vila ini. Tempat yang awalnya terasa menyebalkan karena tidak sesuai dengan ekspektasiku-aku mengharapkan vila di pegunungan yang dingin-tapi malah terasa seperti rumah ketika kami sudah hendak pergi. Kemarin, melalui Galih, Pram Sastrajaya menyuruh kami segera kembali. Karena berita tentang kejadian waktu itu sudah mereda, dan karena Aldo harus segera kembali bekerja. Aku pun sudah merindukan Grayscale. Walaupun bukan perusahaan besar, tapi aku menyukai atmosfer di sana. Walaupun aku belum bisa membayangkan harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Rody nanti-dan aku tidak mau membayangkan barang secuil wajahnya-aku harus tetap berani melangkahkan kakiku. Setidaknya, itu yang harus kulakukan untuk mengatasi mimpi buruk yang belakangan kualami. Mimpi buruk yang, untungnya, seringkali terlupakan berkat sentuhan-sentuhan Aldo. Walau mungkin kurang tepat menyebutnya dengan 'sentuhan'. Aku mengamati baju tidur baruku

  • Love Breaking Contract   25. Aftertaste

    Benar kata Aldo, dia memang tidak segan-segan. Dia melakukan hal-hal yang tidak pernah kubayangkan-atau kulakukan-sebelumnya. Dan, melakukan 'itu' di meja dapur adalah salah satunya. Tentu bukan hanya di situ saja Aldo menunjukkan ketidak-seganannya. Setelah membuat punggungku sakit karena berbaring di atas meja kayu jati yang keras, dia membopongku masuk ke dalam kamarnya. Saat kupikir kami seharusnya tidur, dia melanjutkan aksinya.Seharusnya dia menunjukkan belas kasih mengingat semalam adalah pertama kali kami melakukannya. Benar-benar deh. Bagaimana dia bisa menahannya selama ini? Aku berguling menjauhinya. Matahari sudah mulai tinggi dan aku ingin menutup tirai untuk mengurangi cahaya yang masuk melalui kaca jendela. "Mau ke mana?" Tanya Aldo setengah terpejam. "Sudah siang, memangnya kau tidak harus kerja?" Tanyaku sambil menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Tapi dia malah semakin melingkarkan tangannya. "Tidak. Aku kan sedang bulan madu," katanya dengan wa

  • Love Breaking Contract   24. Hasrat

    Apa gunanya ke pantai kalau tidak bermain-main di atas pasir dan bersantai sambil minum air kelapa? Aku malah menghabiskan waktu seharian dengan tiduran seperti orang sakit. "Kau memang sedang sakit. Tadi pagi kau demam, ingat?" Kata Aldo ketika aku berusaha menjelaskan bagaimana caranya menghabiskan waktu ketika sedang liburan di pantai. Dia kembali menjadi Aldo yang manis dan protektif. Aku akan dengan senang hati tinggal di dalam kamar seharian kalau saja ada kegiatan yang lebih menarik yang bisa kulakukan di sini. Tahu apa maksudku, bukan? Dengan kondisi sekarang ini-kami yang sudah berbaikan-tentu saja aku memiliki harapan besar ketika Aldo menuntunku masuk ke dalam kamar. Tapi ternyata dia hanya ingin tidur sambil berpelukan. Oh, Aldo yang manis. Aku menikmatinya, tentu saja. Tidak ada yang lebih nyaman di dunia ini selain berada di dalam rengkuhan dada bidang milik Aldo. Aku mengutuk diriku sendiri yang berharap untuk dapat tinggal di dalam pelukan Aldo untuk

DMCA.com Protection Status