Share

Pagi Berdarah

Penulis: Metathea
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-23 14:52:00

Juan masuk ke dalam mobil SUV berwarna biru yang terparkir tidak jauh darinya. Setelah menyalakan penerangan di dalam mobil, kedua tangan Juan membuka lipatan kertas dari Antonio tadi.

Bola matanya menyapu seluruh tulisan yang tertera di sana. Beberapa detik kemudian, ia menyalakan mesin mobilnya. Dering ponsel di saku Juan berbarengan dengan deru mesin mobil yang ia tumpangi.

"Ya?" Juan mendekatkan ponselnya ke telinga setelah menggeser ikon telepon berwarna hijau pada layar.

"Segera ambil barangnya sebelum Master kembali ke markas pusat sore ini," ujar seseorang dari seberang telepon.

"Tenang saja, aku sudah mendapatkan alamat dan kata sandinya dari Tuan Antonio." tukas Juan sembari melirik kertas di tangannya.

"Ah iya, jangan lupakan tugas tambahanmu, Tuan Muda."

"Hampir saja aku lupa," Juan langsung mematikan sambungan telepon sebelum lawan bicaranya menjawab.

Ia tertegun sejenak, mengamati jalanan lengang yang mulai terang karena hari hampir mencapai pagi. Juan menyimpan kertas lusuh tadi di dalam saku dan menggantikan genggamannya dengan sebuah kotak berwarna biru muda dengan ukuran sedang.

Lelaki tinggi semampai itu keluar dari mobil dan masuk ke dalam apartemen yang terletak tepat di seberang jalan. Bak mata elang, pengelihatannya selalu jeli mengawasi sekitar. Demi memuaskan hati sang Master, ia harus menjalankan tugasnya dengan mulus.

Juan naik ke lantai delapan melalui tangga darurat. Langkahnya terus melaju hingga sampai di depan sebuah pintu dengan nomor 288. Telunjuknya memencet bel beberapa kali.

'Peter benar, aku hanya perlu melakukan perintah saja.' ia bergumam di dalam hati.

Dari dalam ruangan Thea yang mendengar suara bel berjalan mendekati pintu. Ia melihat layar kecil yang menempel di tembok. Wajah asing terlihat dari layar itu. Tubuhnya urung bergerak untuk membukakan pintu. Tubuh kecil Thea kembali menuju ke kamarnya dan merebahkan diri.

Juan sudah menduga jika wanita itu tidak akan membukakan pintu. Ditambah lagi, ini masih terlalu pagi untuk seseorang bertamu. Ia memutuskan untuk duduk di sebelah pintu sambil menunggu matahari agak meninggi.

Di sisi lain, Thea masih dirundung rasa penasaran. Siapa yang memencet bel sepagi ini? Gadis itu menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran kalutnya.

"Wajahnya terlihat asing, tapi kalau aku pikir lagi sepertinya aku pernah melihat dia," pintanya.

Rasa penasaran mengalahkan pertahanan putri Antonio itu. Dengan langkah seribu ia kembali ke depan pintu dan memutar gagang pintu. Namun, Thea tidak menemukan sosok lelaki tadi.

"Akhirnya dibukakan juga," sebuah suara dari belakang pintu membuat Thea melonjak kaget.

"Si... Siapa kamu? Sepagi ini sudah memencet bel rumah orang dan juga membuat tuan rumah kaget!" suara Thea sedikit bergetar, tubuhnya nyaris terhuyung akibat terkejut.

"Maaf saya tidak bermaksud mengagetkanmu, Nona," tangan kekar Juan menangkup lengan Thea dengan sigap.

Thea yang merasa tidak aman dengan keberadaan lelaki berkaos hitam itu langsung menarik kembali tangannya dan menjauhkan diri dari jangkauan orang di depannya. Matanya mengitari sosok Juan dari ujung kepala hingga kaki.

"Saya bukan orang jahat, saya tetangga sebelah apartemenmu yang baru pindah beberapa hari yang lalu." ujar Juan yang juga member jarak antara mereka. "Dan ini bingkisan kecil untuk Anda," lanjutnya lagi.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Thea masih dengan tatapan menyelidik.

"Tentu saja, saya rasa sudah beberapa kali. Tapi Nona mungkin tidak sadar karena Anda terlihat sangat cuek," Juan tertawa kecil sambil menyodorkan kotak di tangannya.

"Berhenti memanggilku Nona dan jangan berbicara formal terus menerus," kali ini Thea mengambil kotak biru muda dari tangan Juan.

"Baiklah kalau begitu. Apakah tamu ini tidak dipersilakan untuk masuk?" ucap Juan, kini dengan badan yang sedikit condong ke arah Thea.

Thea membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan lelaki itu masuk. Juan masuk disertai Thea di belakangnya. Thea membiarkan pintu tetap terbuka untuk berjaga-jaga. Juan duduk di atas sofa abu-abu dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

"Ternyata kamu cukup ceroboh. Bahakan kamu tidak menanyakan namaku dan sudah memperbolehkan aku masuk ke dalam rumahmu?" Juan menganyam jemari tangannya dan tersenyum kecil.

Thea hampir melayangkan kotak di tangannya ke arah Juan. Beruntung lelaki berkacamata itu dengan tangkas beranjak dan menahan lengan Thea.

"Tenang, Nona. Aku sungguh bukan orang jahat," kata Juan menenangkan. Ia mengambil kotak biru dari tangan Thea dan berkata, "dan jangan sembarangan melempar makanan. Nona menyukai muffin, bukan?"

Thea melepas paksa genggaman Juan dan masih menatap lekat ke arah lelaki itu. Ia perlahan melangkah menuju partisi kaca. Tangan kirinya menarik pelan laci yang telah diisi dengan berbagai macam senjata tajam hingga tumpul.

"Saya Juan. Maksud kedatangan saya hanya untuk memberikan sedikit camilan. Bentuk rasa sopan seorang tetangga baru," ekor mata Juan mengikuti pergerakan Thea, sementara bibirnya tersenyum kecil.

"Apakah aku pernah memintamu untuk membawakanku makanan?" saat ini Thea berhasil meraih sebilah belati yang kemudian ia sembunyikan di balik tubuhnya.

"Saya hanya ingin menyapa Nona sebagai tetangga baru, siapa tahu kita bisa berteman?" Juan menyunggingkan senyuman. Ia kemudian meletakkan kotak biru muda di atas meja dan membukanya.

"Tidakkah terlalu mencurigakan jika seorang asing bertamu sepagi ini dan memberikan makanan?" Thea memangkas jarak antara dirinya dan Juan.

"Saya tidak akan meracuni makanan Nona. Saya hanya menjaga sopan santun layaknya penghuni baru," tukas Juan yang tengah membelakangi Thea.

Jarak keduanya saat ini kurang dari satu meter. Gemetar tangan gadis itu menyuratkan seberapa takutnya ia saat ini. Ia menggenggam erat gagang belati dan mengarahkannya ke arah punggung Juan.

Mata Juan menangkap bayangan gadis di belakangnya. Sebilah belati sudah siap mendarat ke punggung lelaki tinggi itu.

"Bukankah sudah kubilang berhenti menyebutku Nona?" fokus Juan lebih tertuju pada gerakan Thea dibandingkan suaranya. Juan mengubah arah berdirinya enam puluh derajat ke kanan. Tangan kanannya terangkat dan menghampiri pisau yang dari awal sudah menentukan tujuan ke tubuhnya.

Sinar matahari masuk dari ventilasi dan celah lain di ruangan kecil milik Thea. Menghasilkan bayangan dua tubuh milik Thea dan Juan yang tengah berselisih paham.

Crash...

"Akhh..." lelaki itu mengagkat tangan kanannya sedetik setelah goresan pertama mendarat di lengannya.

Tubuh Thea bergetar hebat. Ia berhasil merobek baju hingga kulit milik lelaki yang ia curigai itu. Bukannya puas, ia justru bingung dengan keputusan yang baru saja ia lakukan.

'Dia orang jahat, kan? Jadi bukan salahku kalau dia terluka. Aku hanya mencoba membela diri,' ujar Thea dalam hati.

"Wah, aku tidak menyangka balasan atas sekotak muffin adalah sebuah tusukan?" Juan menutup lukanya dengan telapak tangan sembari membungkuk kesakitan.

"Kenapa? Mau membalasku? Coba saja kalau berani!" lantang Thea, masih dengan belati di tangan.

Juan tersenyum disela erangannya. Ia kembali menegakkan badan dan menghadap lurus ke arah Thea. Matanya kini menatap intens menuju mata wanita di depannya.

"A-apa?" Thea melangkah mundur sambil terus mengacungkan ujung belati ke arah Juan.

"Kau boleh menusukku sampai mati. Tapi jangan sekarang," Juan kembali memangkas jarak keduanya.

Thea terus menuntun kakinya menjauh dari Juan. Naas, tubuhnya sudah tersudut. Juan melangkah lemah ke arah Thea. Tangan sang lelaki kini melingkar di pergelangan tangan si perempuan yang wajahnya terlihat begitu pucat.

Kepala lelaki itu bergerak menuju samping wajah Thea. "Benda ini tidak cocok berada di genggaman cantikmu," Juan berbisik sembari mengambil belati dari tangan Thea.

"Jangan macam-macam," genggaman Thea pada belati masih kuat.

"Aku bersedia kau bunuh dengan belati, senjata api, ataupun racun," pinta Juan. Ia menatap lekat ke dalam mata Thea dan berkata, "tapi tolong tunda pembunuhanku, masih ada hal yang harus aku lakukan sebelum mati," pungkasnya, diakhiri dengan senyuman.

Thea melepaskan pisau dari genggamannya. Belati itupun lolos dan beralih ke tangan Juan. Lelaki itu meletakkan logam tajam bergagang kayu tadi di atas laci.

"Jadi? Bisakah Nona cantik yang tidak mau dipanggil Nona ini bertanggung jawab atas luka saya?" ujar Juan sambil terus memangkas jarak antara tubuhnya dan Thea.

Wanita bermata besar di depan Juan itu akhirnya sadar dengan ruangan antara dia dan lelaki di depannya yang semakin sempit. Ia bergeser ke kanan dan meraih kotak Pertolongan Pertama (PP), membuang pandangan dari tubuh Juan.

"Uhm, aku tidak terlalu mengerti tentang merawat luka. Jadi lebih baik kamu pergi ke rumah sakit. Biar aku yang membayar ongkosnya," kata Thea yang nampak bingung dengan peralatan di depannya.

Juan yang melihat Thea hanya mengacak-acak isi kotak PP akhirnya turun tangan. Ia menepuk bahu Thea dan berkata, "Biar aku sendiri yang obati lukanya," Juan mengambil alih kotak berbahan plastik itu dari Thea.

"Tapi...."

"Sebagai gantinya jangan mencurigaiku lagi, deal?" Juan berjalan ke dapur dan menyalakan wastafel untuk membasuh lukanya.

Thea hanya diam. Memandangi tubuh lelaki yang baru saja ia lukai. Pikirannya berkecamuk, antara rasa bersalah sekaligus rasa tidak aman. Matanya bergetar basah serupa air yang hampir meluap, namun tertahan dan tak ada setetespun yang lolos.

Sementara Thea sibuk dengan pergulatan dalam hati, Juan mulai membersihkan lukanya dan mengaplikasikan obat cair di atas lukanya. Keningnya membentuk kerutan beberapa kali, berusaha menahan perih dari hasil sayatan Thea.

"Nona, sudah selesai melamunnya? Saya butuh pertolongan," Juan memecah keheningan dalam ruangan.

Thea terkesiap dan buru-buru menghampiri Juan. Matanya memandangi acak beberapa benda di atas meja. Bingung apa yang harus ia lakukan.

"Ini, tempelkan ini lalu rekatkan dengan ini." Juan menunjuk kain kasa yang telah ia potong serta segulung plester.

Wanita itu bekerja dalam diam. Ia mengikuti instruksi dari Juan dan menutup luka yang sepertinya cukup panjang dan dalam.

"Terima kasih, Nona." ucap Juan dibarengi senyuman.

"Berhenti memanggilku Nona!" Thea melirik Juan skeptis.

"Kalau begitu beri tahu namamu agar saya tidak memanggilmu Nona lagi." Juan mengulurkan tangannya.

"Theana." jawab Thea singkat tanpa menyambut tangan Juan.

Juan menarik kembali tangannya dengan agak canggung. Tangan Thea kini sibuk membereskan perlengkapan PP.

"Bolehkah saya mendapatkan secangkir teh hijau atau susu hangat?" tanya Juan berusaha menghilangkan kecanggungan.

"Berhenti berbicara formal dan silakan segera pulang," Thea berlalu meninggalkan Juan menuju dapur.

Dengan mantap Juan mengikuti tubuh Thea melangkah. Thea yang sadar bahwa lelaki itu tengah mengekor sengaja menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba.

Juan hampir saja menabrak tubuh wanita yang lebih pendek darinya itu. Beruntung refleksnya masih bagus dan berhasil berhenti sebelum mencapai kontak fisik.

Thea berbalik dan hendak mendaratkan pukulan ke arah Juan sebelum getar ponsel lelaki itu menghentikannya. Juan mengacak rambut Thea dan tersenyum sebelum mengangkat telepon yang masuk.

"Hah! Dasar tidak sopan!" Thea mati-matian menahan amarah dengan mengepalkan kedua tangannya sembari terus menatap Juan dengan tajam.

"Ambil barangnya dan bunuh target W13 dua jam dari sekarang." kata seorang pria dari seberang telepon.

Juan langsung mematikan sambungan telepon tanpa membalas ucapan orang yang baru saja menghubunginya. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku dan kembali beradu pandang dengan Thea.

"Sudah selesai? Jadi, aku bisa memukulmu sekarang?" kata Thea ketus sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Maaf sa ... maksudnya aku sudah membuatmu terkejut tadi," Juan berbalik dan kembali ke ruang tengah

"Ah, terserah saja. Yang penting kamu segera pergi dari sini," ucap Thea yang kemudian melanjutkan aktivitasnya untuk menyeduh secangkir teh hijau tanpa gula.

Sementara itu, Juan tengah berdiri tepat di depan laci yang di atasnya terletak belati yang melukainya tadi. Lelaki itu mengambil belati tadi dan memasukkannya ke dalam kantong sebelum Thea kembali.

"Kalau caramu menggunakan senjata seperti tadi, bisa-bisa kamu sendiri yang akhirnya akan terluka," kata Juan menyambut kedatangan Thea dengan secangkir teh yang masih mengepulkan asap.

"Apakah aku terlihat peduli?" Thea meletakkan cangkir berisi teh di atas meja.

"Aku serius...," Juan melangkah mendekati teh hijau yang aromanya sudah menguasai indera penciuman lelaki itu. "..., jangan sampai terluka ketika ingin melindungi diri."

Thea masih terlihat tidak peduli. Manik matanya enggan menatap Juan yang kali ini telah meraih cangkir bening yang menampilkan warna kehijauan dari teh yang Thea seduh beberapa saat lalu.

"Aku bisa mengajarimu sedikit ilmu beladiri dengan atau tanpa senjata," tukas Juan, kemudian menyesap habis teh dari dalam cangkir.

"Berhenti berbicara denganku dan segera pergi!" Suara Thea sedikit bergema di dalam ruangan itu.

Juan hanya tersenyum kecil. Ia meletakkan cangkir yang telah kosong dan menghampiri Thea yang mukanya sudah memerah padam akibat amarah.

"Aku serius. Aku hanya ingin kamu benar-benar bisa melakukan pembelaan diri tanpa harus terluka."

"Tidak perlu ikut campur dengan urusanku. Aku bisa bertahan hidup sendiri tanpa harus bergantung kepada orang asing sepertimu!" Mata Thea membulat sempurna, menatap tajam mata Juan.

"Ah, baiklah aku menyerah," Juan menganggukkan kepala.

"Sudah sepantasnya kamu menyerah dan segera pergi dari sini."

"Sesuai dengan permintaanmu. Aku pamit dulu," Juan menatap jarum jam di pergelangan tangannya. "Selamat menikmati muffin. Aku tidak meracuni makanan itu jadi jangan khawatir," lanjutnya.

Thea menatap ragu ke arah Juan. Matanya menemukan aliran kecil berwarna merah dari lengan kanan Juan. Thea menahan Juan dengan menarik bagian sudut bawah jaket yang dikenakan lelaki itu. Juan menghentikan langkahnya sebelum mencapai pintu.

"Apakah saat ini aku sedang ditahan untuk tidak pergi?" kata Juan, memiringkan kepala untuk bertemu pandang dengan perempuan yang lebih pendek darinya itu.

"Ehm, lukamu berdarah lagi. Apakah tidak sebaiknya kita ke rumah sakit?" Thea berusaha menghindari pandangan Juan.

Juan terkekeh dan berkata, "Khawatir? Hahaha, luka sekecil ini tidak terlalu berarti bagiku."

"Bukan begitu, aku sudah melukaimu. Ba-bagaimana kalau kamu tiba-tiba melaporkanku ke polisi?" Thea melepaskan tangannya dari jaket Juan dan menunduk gelisah.

"Tidak apa, No... Maksudku Theana." Juan tersenyum dan mengacak rambut Thea sekali lagi. 'Karena senjata dan darah sudah menjadi keseharianku,' batin lelaki itu.

"Ya sudah terserah saja. Silakan pergi," kata Thea sambil menepis tangan Juan.

Kaki Juan melangkah menuju pintu dan meninggalkan Thea. Ia kembali memikirkan perkataan Peter beberapa waktu lalu. Ia tidak boleh melibatkan Thea dalam urusan ini. Juga tidak boleh ikut campur dalam hal apapun—kecuali memastikan bahwa perempuan itu aman.

'Aku hanya akan melakukan semuanya sesuai instruksi.' batin Juan yang kini berhenti di ambang pintu.

"Apa lagi?"

"Ah, benar juga. Mungkin lebih baik aku melaporkanmu ke polisi," Juan berucap tanpa membalikkan badan.

"Apa maksudnya? Bukankah tadi kamu yang bilang tidak apa-apa? Dan kamu juga yang menolak untuk pergi ke rumah sakit. Ternyata kamu hanya mau mengan...,"

Juan membalikkan tubuhnya dan langsung memotong kalimat Thea. "Kecuali kamu menyetujui syarat dariku. Biarkan aku mengajarimu beladiri."

"A-apa? Jangan laporkan aku ke polisi, aku mohon!"

"Aku anggap permohonan barusan sebagai bentuk persetujuan. Aku pergi dulu."

Tanpa melanjutkan perbincangan lagi, Juan meninggalkan kediaman Thea. Raut wajah ramahnya berubah garang seketika. Langkah panjangnya terus berjalan menuju luar apartemen.

'Ya, aku tidak melanggar apapun. Aku melakukan ini demi memperlancar pekerjaanku menghadapi perempuan ini.'

Thea buru-buru menutup pintu apartemennya setelah tamu tak diundang tadi keluar. Badannya bergetar hebat dan terduduk di lantai. Nafasnya memburu, berlomba dengan pikirannya yang kalut.

"Gila, aku hampir saja membunuh orang!" rutuk Thea kesal. Dengan sedikit gontai ia bangun dari lantai dan duduk di sofa sembari mengistirahatkan punggungnya.

'Bagaimana ini? Apakah berarti aku akan bertemu lagi dengannya?' batin Thea. 

Bab terkait

  • Love Between Blood and Tears   Membereskan Sampah

    "Persetan dengan benar atau salah. Yang aku inginkan hanya fakta. Sisanya, tinggal memanipulasi fakta itu menjadi hal yang kau anggap benar." —Louis Collard, ketua kelompok Collard***Asap rokok mengepul tiada henti dari sebuah cerutu berwarna senada tanah liat. Tangan penuh suntikan tinta dengan berbagai pola itu dengan lihai memainkan cerutu di genggamannya. Sesekali menyesap ujung lain dari cerutu dan menghembuskan asap putih pekat. Wajah arogan dilengkapi dengan alis tegas dan mata tajam mengentalkan suasana tegang di dalam ruangan."Sudah berapa lama kau bekerja padaku?" tanya sang tuan pemilik cerutu."Ampuni saya, Master. Ja... jangan sakiti anak saya...," kata seorang pria berwajah pucat pasi yang berdiri di atas lututnya.Louis—tuan pemilik cerutu—mengangkat sebelah alisnya sembari mematik api, memanaskan ujung cerutu yang mulai layu. Kakinya yang dibalut sepatu hitam melangkah mendekati pria pucat tadi dan berhenti tepat di depan si pria. Telunjuk kanannya mengacung ke atas

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-24
  • Love Between Blood and Tears   Rindu

    Bangku taman sepanjang satu meter menjadi tempat Antonio merebahkan tubuhnya. Setengah bagian kakinya menggantung karena tidak tertampung oleh panjangnya kursi."Besok ya? Bagaimana ini, apa aku boleh melewatkan pertemuan kita lagi tahun ini?" Antonio berbicara kepada dompet di tangannya.Lebih tepatnya kepada selembar foto perempuan berambut panjang ikal dengan warna kecokelatan yang ia simpan di dalam dompetnya. Ada beberapa bagian foto yang mulai rusak karena terlalu lama menempel pada lapisan bening pada dompet lelaki itu."Anak kita sudah sangat marah pagi ini. Kamu... jangan marah juga, ya? Aku tidak sanggup kalau harus menghadapi kemarahan kalian berdua...."Beberapa pasang mata milik pejalan kaki yang kebetulan lewat di depan Antonio memberikan tatapan yang memiliki arti negatif. Menatap dengan aneh, keheranan, dan ketakutan.Antonio tidak menggubris satupun tatapan. Kali ini ia sibuk menciumi kemudian mendekap dompetnya di dada. Air matanya meleleh kemudian mengalir semakin d

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-25
  • Love Between Blood and Tears   Banyak Hujan Hari Ini

    "Kita sudah masuk area bandara. Bapak akan turun di terminal berapa?" tanya sang sopir Taksi.Thea menoleh ke arah Antonio dan menemukan lelaki itu sedang menatapnya dengan air wajah secerah mendung."Terminal berapa, Pa?" kali ini giliran Thea yang bertanya.Air mata Antonio hampir saja menetes tetapi tangannya bergerak lebih cepat menyekanya. "Oh iya. Tolong antar kami ke terminal tujuh.""Baik," sahut supir taksi.Thea kembali mengalihkan perhatiannya ke luar jendela dan memilih untuk tidak memperpanjang pikirannya tentang raut wajah sang ayah. Kendaraan roda empat itu berhenti tepat di titik di mana Antonio menginstruksikan sebelumnya. Gerimis turun semakin deras hingga berubah menjadi hujan ketika Antonio dan Thea sampai. Akibatnya mereka harus bergerak lebih cepat agar tubuh mereka tidak terlalu basah saat berpindah dari taksi menuju terminal bandara.Meski tidak kuyup, namun bagian kepala Antonio dan Thea menjadi basah. "Papa akan ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini ya,"

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Love Between Blood and Tears   Ulang Tahun Kelabu

    Langit sudah gelap dan tugas penerangan telah digantikan oleh lampu jalanan. Antonio mengangkat koper kecilnya untuk dibawa masuk ke dalam kafe. Mark menyambut kehadiran pelanggan yang baru saja masuk. "Selamat datang... Paman?" "Lama tidak bertemu, Mark. Apa Thea ada di sini?" Antonio berdiri di depan meja kerja Mark dan mulai membaca deretan menu yang disediakan di atas meja."Iya, Paman. Sudah hampir dua tahun." Mark menghentikan aktivitas tangannya yang baru saja selesai memasukkan tomat ceri dan selada di atas piring kemudian kembali berbicara, "Kakak ada di halaman belakang."Antonio menemukan beberapa menu minuman yang disisipi kata kopi dan langsung menentukan pesanannya. "Di sini ada kopi, kan? Tolong buatkan aku satu cangkir kopi yang pekat.""Baik, Paman. Akan saya buatkan setelah mengantarkan pesanan pelanggan," kata Mark sambil tersenyum kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi.Antonio memilih untuk duduk di depan meja kerja Mark dibandingkan kursi pelanggan yang ada di

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Love Between Blood and Tears   Ruang Bawah Tanah

    Tak!Seorang pria berkaos hitam dan celana panjang warna senada menekan saklar hingga deretan lampu kecil yang tersebar di langit-langit ruangan menyala secara serempak. Ruangan itu dibangun di bawah permukaan tanah, berukuran lima kali tujuh meter dan dibuat tanpa sekat. Diisi dengan satu meja besar utama dan tujuh meja kerja yang dilengkapi dengan komputer."Huft...," pria itu menghela napas kemudian duduk di sebuah kursi kerja berwarna hitam.David, pria itu memeriksa lengan kirinya yang terlihat lebam dan mulai membiru. Meskipun terlihat begitu menyakitkan namun wajahnya tampak begitu datar. Tidak ada ekspresi tertentu seperti kesakitan atau semacamnya. Ia mengambil perban di saku celananya dan menutup luka lebamnya.Setelah luka itu terbalut seluruhnya, David menyalakan komputer di depannya dan berniat untuk menjalankan tahap akhir dari pekerjaannya hari ini."Kamu sudah tiba?" tanya sebuah suara yang bersumber dari dalam elevator.Seorang wanita berambut panjang dan terikat kelu

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-31
  • Love Between Blood and Tears   Adik Laki-laki

    "Wah, aku disengat lebah atau apa?" Aroma pagi hari ini bagi Thea adalah aroma penyesalan. Wangi embun dan udara bersih masih kalah jika dibandingkan dengan dua mata gadis itu yang nyaris tidak bisa terbuka karena bengkak. Bagian kelopak dan kantong mata Thea membesar hingga menghambat matanya untuk terbuka sempurna."Harusnya aku tidur saja tadi malam. Kenapa harus menangis semalaman dasar bodoh!" kutuk gadis itu kepada dirinya sendiri.Mata Thea bengkak karena menangis nyaris semalaman. Bahkan ia tidak tidur sama sekali. Sesekali ia hanya beristirahat dari tangisnya dengan melamun, kemudian kembali menangis sampai beberapa belas kali.Muak dengan pantulan wajahnya di cermin yang sangat mengenaskan, Thea memutuskan untuk segera membersihkan tubuhnya agar bisa cepat-cepat mengunjungi Julie. Ia mau menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya di depan pusara ibunya.Ketika waktu untuk memilih baju tiba, Thea baru sadar bahwa yang ia masukkan ke dalam kopernya adalah baju-baju santai. Tidak a

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Love Between Blood and Tears   Membenci Fase Menjadi Dewasa (I)

    Selesai saling serang dengan melempar godaan dan membuka aib satu sama lain, Mark memutuskan untuk memberi jarak antara dirinya dan Thea agar gadis itu bisa punya waktu berdua dengan Julie."Aku harap Kakak tidak menetap di sini sampai sore. Cuaca sedang tidak menentu akhir-akhir ini," kata Mark sebelum tubuhnya benar-benar pergi jauh dari Thea.Thea tersenyum kepada Mark lalu bertanya, "Kamu bisa menunggu beberapa menit, kan?" "Aku tunggu di tepi jalan sana. Aku pamit dulu, Bibi. Jangan lupa menjaga langkah supaya tidak masuk kubangan lumpur, Kak." Satu pesan terakhir Mark sampaikan sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Thea sendirian di depan pusara Julie.Tangan kanan Thea melambai mengantarkan badan Mark yang berjalan semakin jauh. Selanjutnya, waktunya gadis berusia dua puluh dua tahun itu mengambil beberapa menit untuk berduaan dengan tulang belulang ibunya yang terkubur beberapa meter di bawah tanah."Apa lagi, ya? Sepertinya semua yang mau aku beri tahu kepada Mama su

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-02
  • Love Between Blood and Tears   Membenci Fase Menjadi Dewasa (II)

    "Bisa-bisanya sepagi ini sudah membuat pacarmu menangis sampai seperti itu!" bentak perempuan itu sambil terus menatap Mark dengan mata yang besar. "Bukan begitu, kami cuma...," Mark memotong kalimatnya setelah melihat kepala bus yang akan ia dan Thea naiki sudah terlihat. Dengan secepat kilat Mark melepaskan peluka Thea dan menyeka air mata yang melumuri wajah gadis itu dengan ujung bawah bajunya. "Ayo bersiap, bus kita sudah datang. Berhenti menangis, ya?" minta Mark sambil menatap mata merah Thea. Gadis itu mengangguk. Tangisannya berhenti bertepatan dengan bus yang juga tiba tepat di depan halte.Mark menggenggam tangan Thea dan mereka naik bersama ke atas bus. Mark merasa beruntung karena perempuan yang salah paham tadi tidak menaiki bus yang sama dengannya dan Thea. Meskipun hingga akhir mata perempuan paruh baya itu memelototi Mark yang sudah berada di atas bus. Mereka memilih dua kursi di bagian kiri belakang untuk duduk. Mark memberikan tempat duduk di sebelah kaca kepad

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-03

Bab terbaru

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (II)

    "Sekali lagi terima kasih banyak," kata Lilly yang akhirnya menerima pemberian laki-laki di depannya.Lukas terus berkata di dalam hati bahwa mereka hanyalah teman. Hanya teman. Tidak ada hal lain yang perlu dicemaskan. Hanya teman. Hanya teman. Lelaki itu pergi dengan sebuah mobil. Lukas menunggu mobil itu telah benar-benar jauh dan Lilly telah masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan keberadaan Lilly di dalam rumah, Lukas segera menyiapkan kue dan lilin di tempat ia bersembunyi sejak tadi. Karena tidak memerhatikan posisi kotak kue, Lukas membuat kue di dalam kotak menjadi sedikit penyok pada satu sisi. "Bagaimana ini," Lukas panik. Ia berusaha memperbaiki bentuk kuenya, tapi tidak berhasil. Pada akhirnya Lukas terpaksa membawa sebuah kue yang sedikit rusak ke dalam rumah. Lukas mulai melewati area pekarangan rumah, berhenti sejenak di depan pintu untuk mengatur napas, kemudian membuka pelan pintu rumahnya. Suara pintu yang terbuka membuat Lilly mendatanginya."Siapa yang...."

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (I)

    Acara kelulusan berjalan dengan meriah. Berbanding lurus dengan riuh kegembiraan dari para siswa dan orang tua mereka.Meskipun Lilly telah memberi tahu bahwa Lukas tidak akan datang, Lucas masih terus menatap bangku kosong di samping ibunya. Acara hampir berakhir namun kursi itu tetap kosong. Lucas sempat tertipu ketika tiba-tiba saja kursi itu diduduki oleh seseorang. Sayang, dia bukanlah yang Lucas nantikan. Melainkan orang tua dari siswa lain yang menyapa Lilly. Acara sudah benar-benar resmi ditutup dan para orang tua menghambur dari kursi tamu menuju anak mereka, termasuk Lilly."Selamat, Sayang. Kamu lulus dengan nilai yang sangat memuaskan!" puji Lilly yang kemudian memeluk Lucas dengan erat.Sesekali Lilly juga menyapa dan berbasa-basi dengan orang tua serta siswa lainnya. Terlebih teman-teman yang sering bermain dengan Lucas.Lucas tersenyum bahagia, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak kecewa meskipun Lukas tidak datang. Ia tid

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (II)

    Setelah melewati malam yang menegangkan, Lukas memutuskan untuk mulai memperbaiki kualitas hubungannya lagi. Bukan dengan Lilly, melainkan dengan Lucas putranya.Pasangan suami istri itu bersandiwara dengan begitu hebat di depan Lucas. Tersenyum dan saling bertegur sapa seperti hari-hari sebelum badai menyerang. Juga memberikan kecupan satu sama lain seperti sepasang kekasih baru yang tidak pernah mengenal pertengkaran.Beberapa hari berlalu seperti biasa. Bedanya hanya Lilly dan Lukas yang saling diam kecuali Lucas sedang berada bersama mereka."Lucas, kamu sudah memasukkan bahan kerajinan tangan yang telah disiapkan semalam?" tanya Lilly yang berteriak dari dapur. Ia tengah sibuk menyiapkan dua bekal untuk suami dan anaknya."Sudah, Ma.""Papa berangkat dulu, Sayang. Semoga sekolahmu hari ini menyenangkan," Lukas berpamitan kemudian mencium kening Lucas."Tolong berhenti mencium aku, Papa! Aku sudah besar dan tidak ada teman laki-laki sekelasku yang mendapatkan ciuman setiap pagi da

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (I)

    "Jangan bicara omong kosong! Harusnya dia sendiri yang bilang begitu, bukan kamu," cetus Lilly.Lucas tersenyum dan berkata, "Iya, baiklah."Lilly segera melonggarkan pelukannya. "Segera mandi, makan lalu tidurlah. Jangan sampai kamu sakit."Lucas menurut. Ia segera menjalankan perintah ibunya—mandi.Sementara Lilly kembali ke dapur untuk mempersiapkan hidangan pagi yang seharusnya ia hidangkan dua jam lagi.Lucas keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah kuyup leher dan bahunya ikut basah terkena tetesan air yang terjun dari rambutnya."Lihat, lantainya jadi basah karena kamu tidak mengeringkan rambut dengan benar!"Ternyata ada yang masih tidak berubah meskipun dua puluh tahun sudah berlalu.***"Hei! Keringkan dulu badan kalian dengan handuk sebelum berjalan kemari," suruh Lilly. "lihat lantainya jadi basah karena kalian tidak mengeringkan rambut dan tubuh dengan beenar!" seru Lilly lagi. Lucas menatap ayahnya kemudian mereka sama-sama tersenyum dengan wajah bersalah.

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (III)

    Julie terkekeh tanpa merasa bersalah. "Lain kali jangan terlambat lagi. Ayo masuk." Satu keluarga kecil itu masuk ke dalam taksi dan meluncur ke bandara. Mereka tidak terlambat tiba di bandara dan semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Meskipun pagi mereka harus dihiasi dengan kegaduhan dan kepanikan karena terlambat bangun. "Sepasang suami istri itu sudah menikah selama delapan tahun. Putri mereka juga sudah berusia enam tahun. Tapi sepanjang perjalanan apabila salah satu tangan mereka sama-sama bebas dari tanggung jawab keduanya akan saling menggenggam satu sama lain dengan mesra. Untung saja Thea tertidur sepanjang perjalanan. Jadi ia tidak harus menyaksikan kemesraan apa saja yang kedua orang tuanya lakukan selama perjalanan. Antonio mengusap lembut pipi Thea untuk membangunkan putri kecilnya itu. "Sayang, kita sudah sampai." Mereka sudah sampai di penginapan setelah menempuh perjalanan darat selama satu jam dan satu jam perjalanan udara. "Humm...." Antonio mengecup pipi Ju

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (II)

    "Tiba-tiba? Malam ini juga?" Thea mengernyitkan dahi, masih belum memercayai apa yang Antonio katakan."Lebih cepat lebih baik, bukan?" Antonio merespon pertanyaan Thea kemudian berkata kepada dua karyawan yang masih berdiri canggung, "Hei kalian, ayo kita makan dulu sebelum mulai membereskan barang-barang. Lagipula tidak banyak yang harus dibawa jadi pasti akan selesai dengan cepat."Antonio menikmati makan tengah malamnya—lagi—bersama Thea, Lucas, dan dua karyawannya. "Kamu tidak mau ayamnya, Thea? Atau kentang?" Antonio menawari Thea yang hanya mengambil tumisan buatan Lucas saja tanpa menyentuh ayam ataupun kudapan lain yang Antonio telah beli."Tidak. Ini sudah cukup," tukas Thea singkat.Hanya Antonio yang makan dengan lahap. Thea menyuapkan nasi dan lauk dengan malas, sementara tiga laki-laki lainnya makan dengan canggung dan sesekali saling melirik."Aku sudah selesai," cetus Thea. Ia memang hanya mengambil sedikit sekali makanan. Meski begitu ia bahkan tidak menghabiskan is

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (I)

    Tangan kekar Antonio menenteng satu tas berukuran cukup besar. Dari otot yang timbul di sekujur tangan lelaki itu, sudah bisa dipastikan bahwa terdapat benda yang cukup berat di dalam tas.Setelah berjalan sekitar dua puluh meter dari mobil yang ia kendarai, pria itu tiba di depan sebuah gudang terbengkalai—tempat ia dan David bertemu tempo hari. Terlihat bekas kerusakan yang Antonio tinggalkan pada pintu gudang itu.Antonio mencengkeram kuat leher tas yang ia bawa kemudian mendorong pintu gudang dan masuk. Bukan hanya pintu, tapi hampir seluruh isi gudang kecil itu rusak berantakan."Apa lagi sekarang? Saya kira Anda akan menghabiskan hari ini dengan beristirahat dan menghabiskan waktu bersama putri kesayangan Anda," ucap Juan, Ia memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Antonio kemudian kembali berucap, "tapi Anda justru memilih untuk berkencan dengan saya?"Antonio melempar tas di tangannya hingga benturan antara lantai dan benda besar itu menciptakan suara yang menggaung di dalam

  • Love Between Blood and Tears   Berbeda

    "Terima kasih banyak untuk minumannya," kata Thea yang baru saja masuk ke dalam ruangan apartemennya.Lucas memberikan satu kantong berisi kue cokelat dan macaron kemudian berkata, "Harusnya kamu lengkapi kalimatnya, tambahkan kata 'makanan' juga."Ya, Thea harus berterima kasih karena Lucas tidak hanya membelikan dua gelas minuman tapi juga satu katong makanan ringan yang manis. Dan jangan lupakan juga jasa penjemputan dari bandara hingga ke apartemen.Tangan Thea menyambut dengan gembira sekantong makanan yang diulurkan Lucas. "Jadi ini untukku? Aku kira kamu membelinya untuk diri sendiri. Terima kasih lagi, kamu sungguh tahu seleraku.""Tidak masalah," kata Lucas yang kemudian mengusap puncak kepala Thea dan melanjutkan kalimatnya, "aku pergi dulu. Masih ada pekerjaan yang harus aku lakukan setelah ini.""Iya, hati-hati di jalan. Mampirlah sesekali kalau kamu punya waktu luang. Aku akan buatkan pasta pedas yang sangat enak," lontar Thea."Aku akan menantikannya," pungkas Lucas.Luc

  • Love Between Blood and Tears   Tekad (III)

    Terhitung hanya ada dua mobil yang melintas sepanjang Antonio menempuh perjalanan menuju apartemennya. "Terima kasih sudah menemani makan malam saya," ucap Juan yang sedari tadi berjalan di belakang Antonio.Antonio menoleh ke sumber suara. Berkat lelaki yang berusia jauh di bawahnya itu Antonio mendapatkan oleh-oleh wajah yang lebam sebelum pulang.Penutupan hari buruk yang sempurna. Saking sempurnanya keburukan yang menimpa Antonio, setidaknya tiga jam waktu tambahan harus diberikan setelah waktu pada hari itu habis. Juan memperbesar langkahnya untuk memangkas jaraknya dengan Antonio demi menyampaikan pesan terakhir sebelum mereka berpisah. "Semoga Tuan bisa beristirahat dengan lebih nyaman dan lama. Saya anggap makan malam tadi adalah pertemuan pengganti untuk agenda kita pagi ini," kata Juan tepat di telinga kiri Antonio."Iya," jawab Antonio singkat."Tersenyumlah sedikit, Tuan. Bukankah hari ini Anda akan menyambut kepulangan putri tercinta Anda?" Juan tersenyum.Sekali lagi,

DMCA.com Protection Status