Share

Rindu

Penulis: Metathea
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-25 23:32:06

Bangku taman sepanjang satu meter menjadi tempat Antonio merebahkan tubuhnya. Setengah bagian kakinya menggantung karena tidak tertampung oleh panjangnya kursi.

"Besok ya? Bagaimana ini, apa aku boleh melewatkan pertemuan kita lagi tahun ini?" Antonio berbicara kepada dompet di tangannya.

Lebih tepatnya kepada selembar foto perempuan berambut panjang ikal dengan warna kecokelatan yang ia simpan di dalam dompetnya. Ada beberapa bagian foto yang mulai rusak karena terlalu lama menempel pada lapisan bening pada dompet lelaki itu.

"Anak kita sudah sangat marah pagi ini. Kamu... jangan marah juga, ya? Aku tidak sanggup kalau harus menghadapi kemarahan kalian berdua...."

Beberapa pasang mata milik pejalan kaki yang kebetulan lewat di depan Antonio memberikan tatapan yang memiliki arti negatif. Menatap dengan aneh, keheranan, dan ketakutan.

Antonio tidak menggubris satupun tatapan. Kali ini ia sibuk menciumi kemudian mendekap dompetnya di dada. Air matanya meleleh kemudian mengalir semakin deras ketika lelaki itu mengatupkan matanya.

"Kita lewat jalan lain saja. Aku takut orang gila itu akan bangun lalu mengejar kita," bisik salah seorang perempuan pejalan kaki kepada rekannya.

"Kita akan terlambat kalau harus berjalan memutar. Kita jalan pelan-pelan saja," sahut rekannya.

Dua orang perempuan itu berjalan mengendap-endap selagi Antonio menutup matanya.

"Ahh...," Antonio tiba-tiba saja bangun dari rebah.

"Tidak!"

"Tolong jangan kejar kami!"

Kedua perempuan itu memekik ketakutan kemudian lari tunggang langgang karena terkejut sekaligus takut Antonio akan melakukan sesuatu yang buruk kepada mereka.

Antonio beranjak kemudian mulai berjalan di atas jalur berbatu yang membelah taman. Pria itu tidak berjalan dengan stabil karena pengaruh minuman pemabuk yang ia teguk beberapa jam yang lalu.

"Aku harus pulang," gumam Antonio.

Pepohonan tinggi yang rindang melindungi Antonio dari sinar matahari. Bintang siang hari itu sudah terbit semakin tinggi.

Perjalanan kembali menuju apartemen memakan waktu yang lebih lama dari biasanya karena tubuh Antonio yang tidak bugar. Ia mengandalkan kesadaran yang sedikit tersisa untuk mencapai tempat tinggalnya.

Antonio mengetuk pintu apartemen beberapa kali. Thea sedikit terkejut melihat sosok ayahnya yang sedang berdiri tidak tegap di depan pintu. Tidak biasanya dia pulang secepat ini.

Thea memutar kenop pintu dan menariknya.

"Putri cantik Papa. Maafkan perilaku Papa tadi pagi," kata Antonio. Tubuhnya mendekap Thea dengan erat dan kembali berkata, "aku sangat menyayangimu."

Thea tidak menjawab. Ia membiarkan Antonio memeluknya tanpa memberikan dekapan balik kepada pria itu.

Setelah beberapa menit berlalu begitu saja tanpa percakapan, Antonio melepaskan dekapannya dan masuk ke dalam ruang apartemen. Kakinya melangkah ke arah dapur untuk meraih segelas air minum dingin dari kulkas.

"Ayo mengunjungi Mama besok," ujar Antonio.

Setelah meneguk habis satu gelas penuh air dingin, ia berjalan meninggalkan dapur.

"Apa maksud Papa?" tanya Thea bingung.

"Kita sudah lama sekali ...," kalimat Antonio terhenti ketika matanya menemukan bercak darah di lantai.

Meski masih dalam pengaruh minuman keras, tapi Antonio masih punya beberapa persen kesadaran yang membuat akal sehatnya terus berjalan.

Ia menelusuri bercak merah itu hingga sampai di atas meja laci. Sebilah belati tergeletak bersimbah darah di sana. Degup jantungnya bersorak panik.

"Darah siapa ini!" sebuah seruan pertanyaan begitu keras dilontarkan dari mulut Antonio.

Thea terkejut hingga tubuhnya nyaris jatuh. Gadis itu baru menyadari bahwa ia belum membersihkan bekas kerusuhan kecil pagi buta tadi. Berpikir bahwa Antonio baru akan pulang setelah satu minggu atau sepuluh hari sejak kepergiannya pagi itu.

"Itu... aku tida—"

Antonio menghambur ke arah Thea dan memeriksa tubuh putrinya dari kepala hingga kaki. Menggulung lengan baju Thea hingga menyibak paksa baju yang gadis itu kenakan demi memastikan tidak ada korelasi antara bercak darah dengan tubuh Thea.

Thea mendorong tubuh Antonio dengan sekuat tenaga. "Cukup, Papa! Aku tidak terluka sama sekali. Tadi ada orang asing yang masuk lalu aku...," gadis itu menggigit bibir bawahnya kencang.

"Apa dia menyusup masuk kemari? Bagaimana dia bisa...," mata Antonio menyelidik wajah Thea dengan tajam kemudian melanjutkan, "..., kamu yang membukakan pintu begitu saja?"

Kepala Thea menunduk lesu. Ia memutar tubuhnya membelakangi sang ayah dan melangkah pergi begitu saja.

"Kenapa masih ceroboh membukakan pintu untuk orang asing? Kamu mau aku kehilangan wanita lain dalam hidupku? Dasar bodoh!" teriak Antonio hingga menggema di seluruh ruangan.

"Iya aku memang bodoh," sahur Thea dengan tangan yang mengepal kuat hingga bergetar.

Nafas Antonio masih memburu akibat kemarahannya.

"Apa aku harus menunggu Papa pulang dalam kondisi mabuk atau harus melanggar perintah Papa supaya kita bisa mempunyai waktu untuk sebuah percakapan?" Thea melontarkan kalimatnya dengan suara parau dan bergetar hebat.

Perasaan bersalah mulai memenuhi tubuh Antonio. Ia memijit pelipisnya dan berusaha mencari kata-kata yang bisa menenangkan putrinya. Tetapi rasa khawatir dan marah membuat kepalanya tidak berhasil menemukan jalan keluar.

"Thea ayolah. Ini semua demi keselamatanmu sendiri," sebuah jawaban klise yang selalu menjadi andalan Antonio ketika tidak berhasil menyusun solusi.

"Aku bosan mendengar itu semua." Thea kembali memutar tubuhnya menghadap Antonio. "Tidak pernah bisa berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat. Selalu berpindah sekolah dan tempat tinggal. Tidak punya satupun teman bahkan setelah dua puluh dua tahun hidup. Aku selamat dari kematian tapi hidup seperti orang yang tidak punya nyawa."

Air muka Antonio meredup. Matanya memanas hingga mengeluarkan air mata.

"Papa tahu seberapa ingin aku menyusul Mama tetapi tidak bisa karena Papa mungkin akan gila kalau aku ikut mati?" Thea terus menghujani Antonio dengan kalimat-kalimat kekecewaan dan kehampaan.

Antonio menekan deretan gigi atas dan bawahnya sekuat mungkin hingga urat leher pria itu muncul semakin jelas. Hasil dari campuran perasaan marah, kecewa, dan sedih.

"Aku tidak tahu apakah ada bentuk kasih sayang yang seperti ini? Ahh, pasti aku saja yang tidak tahu terima kasih," pungkas Thea.

Gadis itu tertawa bersama air mata yang terus terjun dengan deras. Ia menatap sebentar Antonio yang terlihat samar akibat air mata yang mengganggu pandangannya, kemudian pergi ke kamarnya dan mengunci diri di dalam sana.

Antonio tumbang dengan kedua lututnya yang dengan keras menghantam lantai. Ia menangis tanpa suara dan tanpa menampilkan wajah yang sedih. Pria itu hanya menatap kosong ke arah lantai dengan otot wajah yang terus tegang.

Dari ruangan itu Antonio bisa mendengar isak tangis putrinya. Bahkan jarak dan sekat berupa pintu tidak bisa meredam suara kesedihan Thea.

"Tiket pesawat...," ucap Antonio yang kemudian dengan cepat menyeka air mata di wajahnya dengan kasar.

Pria itu beranjak dan mendekati pintu kamar Thea kemudian mengetuknya beberapa kali. "Papa akan cari penerbangan paling cepat hari ini. Kita akan pergi ke makam Mamamu hari ini juga, jadi cepat mandi dan siapkan beberapa baju ganti."

Tangis Thea terhenti ketika ia mendengar kata "Mamamu". Meski masih sesenggukan dan belum bisa bernapas dengan benar, gadis itu segera membuka lemari pakaiannya dan mengeluarkan beberapa potong untuk ia pakai dan ia jadikan bekal ganti.

***

Wajah lusuhku menengadah

iri kepada atap langit nun jauh di sana

yang dengan bebas memandangmu lekat.

Kaki lemahku berlutut tanpa daya

cemburu pada hembus angin itu

yang bisa membelaimu kapan saja ia mau.

Seberapa keraspun pitaku memekik

tiada mampu menembus dimensimu.

Serakahku semakin meninggi,

mau surgaku kembali tanpa menyadari

bahwa di sanalah tempat paling indah untuknya.

Maaf, aku hanya mau berbagi derita.

Padahal kau pasti sudah sangat bahagia di sana.

Teruntuk muara surga yang tak terjangkau.

Percayalah, sejati cintaku adalah kau.

Ia titipkan hidupku padamu

dan kutitipkan rindu melalui-Nya untukmu.

"Kamu sudah siap?" pekik Antonio dari balik pintu kamar Thea.

Mendengar panggilan itu Thea segera menutup buku catatannya. Ia memang sudah selesai mencurahkan rasa rindunya kepada sang ibu melalui beberapa baris tulisan.

"Iya, aku keluar sekarang."

Dengan gaun putih tulang sepanjang lutut beraksen garis-garis vertikal samar, Thea keluar dari kamar sembari menarik satu koper kecil di tangan kanannya.

Antonio terkesima dengan kecantikan putrinya. Rambut panjang yang diikat sebagian dan sapuan makeup tipis di wajah mempertegas bahwa gadis kecilnya yang lucu rupanya sudah tumbuh dewasa.

'Berapa lama waktu yang aku lewatkan hingga aku baru menyadari putri kecilku sudah tumbuh menjadi secantik ini?'

"Kita akan pergi sekarang?" tanya Thea.

"Ah, iya. Ayo kita pergi sekarang. Taksinya akan tiba di depan dalam lima menit," sahut Antonio yang sudah bangun dari renungan singkatnya.

Pria itu mengambil alih koper dari tangan putrinya dan mengangkat benda itu agar perjalanan mereka menuju lantai dasar apartemen lebih mudah.

Perjalanan menuju bandara diiringi dengan gerimis. Selama berada di dalam taksi tidak ada percakapan yang terjadi selain antara dua orang penyiar radio.

"Pada siang hari yang gerimis ini kami akan menemani para pendengar setia selama satu jam kedepan dengan lagu-lagu bertema rindu...," ucap salah seorang penyiar perempuan.

"Betul sekali. Sepertinya cuaca siang ini cukup mendukung untuk tema kita siang ini. Ailee, kapan terakhir kali kamu merindukan seseorang atau sesuatu?" penyiar lainnya, seorang pria bertanya kepada pasangan siarannya.

"Terakhir kali sepertinya tadi sebelum siaran tiba-tiba saja aku rindu dengan kucing kesayanganku, Brown. Waktu itu dia lahir siang hari saat gerimis, sama persis dengan hari ini. Brown, Mama sangat rindu kepada kamu!"

Thea sesekali tersenyum menyimak siaran siang itu. Sama seperti Brown, Thea juga lahir pada hari yang sedang gerimis. Bedanya ia turun dari rahim ibunya pada pagi hari, tepatnya pukul 06:18.

"Untuk para pendengar setia yang sedang rindu dengan seseorang yang tidak lagi bersama kalian lagi saat ini. Lagu selanjutnya datang dari Adele dengan Hello," pungkas penyiar pria sebelum lagu terputar.

Lagu milik penyanyi terkenal tingkat dunia itu mulai melantun dan memenuhi seluruh ruangan di dalam taksi termasuk telinga Antonio. Mendengarkan beberapa baris lirik membuat ingatan Antonio berlarian menuju masa ketika berbagai pertengkaran mewarnai kehidupan pernikahannya dengan Julie, sang mendiang istri.

Di pertengahan lagu Antonio menoleh ke arah Thea yang tampak menikmati lagu sembari memandang gerimis di luar kaca jendela mobil.

'Jika saja aku berkepala dingin saat itu, mungkin aku sedang bersama dengan dua orang Julie dan hidup dengan bahagia.'

Bab terkait

  • Love Between Blood and Tears   Banyak Hujan Hari Ini

    "Kita sudah masuk area bandara. Bapak akan turun di terminal berapa?" tanya sang sopir Taksi.Thea menoleh ke arah Antonio dan menemukan lelaki itu sedang menatapnya dengan air wajah secerah mendung."Terminal berapa, Pa?" kali ini giliran Thea yang bertanya.Air mata Antonio hampir saja menetes tetapi tangannya bergerak lebih cepat menyekanya. "Oh iya. Tolong antar kami ke terminal tujuh.""Baik," sahut supir taksi.Thea kembali mengalihkan perhatiannya ke luar jendela dan memilih untuk tidak memperpanjang pikirannya tentang raut wajah sang ayah. Kendaraan roda empat itu berhenti tepat di titik di mana Antonio menginstruksikan sebelumnya. Gerimis turun semakin deras hingga berubah menjadi hujan ketika Antonio dan Thea sampai. Akibatnya mereka harus bergerak lebih cepat agar tubuh mereka tidak terlalu basah saat berpindah dari taksi menuju terminal bandara.Meski tidak kuyup, namun bagian kepala Antonio dan Thea menjadi basah. "Papa akan ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini ya,"

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Love Between Blood and Tears   Ulang Tahun Kelabu

    Langit sudah gelap dan tugas penerangan telah digantikan oleh lampu jalanan. Antonio mengangkat koper kecilnya untuk dibawa masuk ke dalam kafe. Mark menyambut kehadiran pelanggan yang baru saja masuk. "Selamat datang... Paman?" "Lama tidak bertemu, Mark. Apa Thea ada di sini?" Antonio berdiri di depan meja kerja Mark dan mulai membaca deretan menu yang disediakan di atas meja."Iya, Paman. Sudah hampir dua tahun." Mark menghentikan aktivitas tangannya yang baru saja selesai memasukkan tomat ceri dan selada di atas piring kemudian kembali berbicara, "Kakak ada di halaman belakang."Antonio menemukan beberapa menu minuman yang disisipi kata kopi dan langsung menentukan pesanannya. "Di sini ada kopi, kan? Tolong buatkan aku satu cangkir kopi yang pekat.""Baik, Paman. Akan saya buatkan setelah mengantarkan pesanan pelanggan," kata Mark sambil tersenyum kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi.Antonio memilih untuk duduk di depan meja kerja Mark dibandingkan kursi pelanggan yang ada di

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Love Between Blood and Tears   Ruang Bawah Tanah

    Tak!Seorang pria berkaos hitam dan celana panjang warna senada menekan saklar hingga deretan lampu kecil yang tersebar di langit-langit ruangan menyala secara serempak. Ruangan itu dibangun di bawah permukaan tanah, berukuran lima kali tujuh meter dan dibuat tanpa sekat. Diisi dengan satu meja besar utama dan tujuh meja kerja yang dilengkapi dengan komputer."Huft...," pria itu menghela napas kemudian duduk di sebuah kursi kerja berwarna hitam.David, pria itu memeriksa lengan kirinya yang terlihat lebam dan mulai membiru. Meskipun terlihat begitu menyakitkan namun wajahnya tampak begitu datar. Tidak ada ekspresi tertentu seperti kesakitan atau semacamnya. Ia mengambil perban di saku celananya dan menutup luka lebamnya.Setelah luka itu terbalut seluruhnya, David menyalakan komputer di depannya dan berniat untuk menjalankan tahap akhir dari pekerjaannya hari ini."Kamu sudah tiba?" tanya sebuah suara yang bersumber dari dalam elevator.Seorang wanita berambut panjang dan terikat kelu

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-31
  • Love Between Blood and Tears   Adik Laki-laki

    "Wah, aku disengat lebah atau apa?" Aroma pagi hari ini bagi Thea adalah aroma penyesalan. Wangi embun dan udara bersih masih kalah jika dibandingkan dengan dua mata gadis itu yang nyaris tidak bisa terbuka karena bengkak. Bagian kelopak dan kantong mata Thea membesar hingga menghambat matanya untuk terbuka sempurna."Harusnya aku tidur saja tadi malam. Kenapa harus menangis semalaman dasar bodoh!" kutuk gadis itu kepada dirinya sendiri.Mata Thea bengkak karena menangis nyaris semalaman. Bahkan ia tidak tidur sama sekali. Sesekali ia hanya beristirahat dari tangisnya dengan melamun, kemudian kembali menangis sampai beberapa belas kali.Muak dengan pantulan wajahnya di cermin yang sangat mengenaskan, Thea memutuskan untuk segera membersihkan tubuhnya agar bisa cepat-cepat mengunjungi Julie. Ia mau menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya di depan pusara ibunya.Ketika waktu untuk memilih baju tiba, Thea baru sadar bahwa yang ia masukkan ke dalam kopernya adalah baju-baju santai. Tidak a

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Love Between Blood and Tears   Membenci Fase Menjadi Dewasa (I)

    Selesai saling serang dengan melempar godaan dan membuka aib satu sama lain, Mark memutuskan untuk memberi jarak antara dirinya dan Thea agar gadis itu bisa punya waktu berdua dengan Julie."Aku harap Kakak tidak menetap di sini sampai sore. Cuaca sedang tidak menentu akhir-akhir ini," kata Mark sebelum tubuhnya benar-benar pergi jauh dari Thea.Thea tersenyum kepada Mark lalu bertanya, "Kamu bisa menunggu beberapa menit, kan?" "Aku tunggu di tepi jalan sana. Aku pamit dulu, Bibi. Jangan lupa menjaga langkah supaya tidak masuk kubangan lumpur, Kak." Satu pesan terakhir Mark sampaikan sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Thea sendirian di depan pusara Julie.Tangan kanan Thea melambai mengantarkan badan Mark yang berjalan semakin jauh. Selanjutnya, waktunya gadis berusia dua puluh dua tahun itu mengambil beberapa menit untuk berduaan dengan tulang belulang ibunya yang terkubur beberapa meter di bawah tanah."Apa lagi, ya? Sepertinya semua yang mau aku beri tahu kepada Mama su

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-02
  • Love Between Blood and Tears   Membenci Fase Menjadi Dewasa (II)

    "Bisa-bisanya sepagi ini sudah membuat pacarmu menangis sampai seperti itu!" bentak perempuan itu sambil terus menatap Mark dengan mata yang besar. "Bukan begitu, kami cuma...," Mark memotong kalimatnya setelah melihat kepala bus yang akan ia dan Thea naiki sudah terlihat. Dengan secepat kilat Mark melepaskan peluka Thea dan menyeka air mata yang melumuri wajah gadis itu dengan ujung bawah bajunya. "Ayo bersiap, bus kita sudah datang. Berhenti menangis, ya?" minta Mark sambil menatap mata merah Thea. Gadis itu mengangguk. Tangisannya berhenti bertepatan dengan bus yang juga tiba tepat di depan halte.Mark menggenggam tangan Thea dan mereka naik bersama ke atas bus. Mark merasa beruntung karena perempuan yang salah paham tadi tidak menaiki bus yang sama dengannya dan Thea. Meskipun hingga akhir mata perempuan paruh baya itu memelototi Mark yang sudah berada di atas bus. Mereka memilih dua kursi di bagian kiri belakang untuk duduk. Mark memberikan tempat duduk di sebelah kaca kepad

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-03
  • Love Between Blood and Tears   Realita Masa Dewasa

    "Ternyata kota ini sudah banyak berubah, ya."Dua lembar keripik kentang masuk ke dalam mulut Mark dan rasa gurih langsung menyebar ke seluruh sudut mulutnya. Saliva terproduksi cukup banyak akibat rasa yang kuat dari keripik kentang tadi.Dengan mata yang menyipit akibat rasa asin yang menyerang mulut, Mark memberikan jawaban. "Benarkah? Bagiku tetap sama saja.""Bukankah itu sudah sangat jelas? Kamu tidak pernah pergi dari sini," ujar Thea."Begitukah? Hehehe...."Mark menyerahkan satu bungkus keripik kentang yang baru ia makan dua atau tiga lembar kepada Thea. Pemuda itu mengambil makanan lainnya dari dalam kantong plastik dan pilihannya jatuh pada satu kardus kecil biskuit berisi selai cokelat.Setelah keripik kentang sampai di tangannya, Thea kembali memastikan kepada Mark dengan bertanya, "Kamu sudah tidak mau ini?" Mark menggeleng. Seleranya tidak pernah berubah sejak kecil. Camilan manis akan selalu menjadi kesukaannya."KJalau kamu tahu tidak akan menghabiskannya lalu kenapa

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-05
  • Love Between Blood and Tears   Jerat

    Cemas. Hanya satu kata itu yang terus menggelayuti pikiran Antonio sejak sampai di apartemennya hingga saat ini. Pertemuan yang dijadwalkan pukul delapan pagi nyatanya belum juga dimulai hingga matahari sudah hampir sampai di puncak kepala. Sang pembuat janji tidak kunjung datang meski keterlambatannya sudah mencapai ratusan menit. Panggilan seluler yang ia lakukan kepada sang putri semata wayang juga tidak kunjung berhasil. "Ada apa dengan orang-orang hari ini?" resah Antonio. Ruangan kecil dengan pencahayaan redup dan lembab membuat laki-laki berusia kepala lima itu semakin kehilangan kenyamanan. Tidak ada satu menit pun yang dihabiskan Antonio dengan hanya berdiam diri. Mondar-mandir kesana kemari, menarik dan membuang napas secara kasar, duduk dengan kaki yang terus bergerak, tangan yang kerap berkutat dengan telepon genggam, dan otak yang dipenuhi dengan kekhawatiran-kekhawatiran. Hampir seluruh bagian tubuhnya sungguh bekerja dengan sangat keras hari itu. Di tengah kegundahan

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-06

Bab terbaru

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (II)

    "Sekali lagi terima kasih banyak," kata Lilly yang akhirnya menerima pemberian laki-laki di depannya.Lukas terus berkata di dalam hati bahwa mereka hanyalah teman. Hanya teman. Tidak ada hal lain yang perlu dicemaskan. Hanya teman. Hanya teman. Lelaki itu pergi dengan sebuah mobil. Lukas menunggu mobil itu telah benar-benar jauh dan Lilly telah masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan keberadaan Lilly di dalam rumah, Lukas segera menyiapkan kue dan lilin di tempat ia bersembunyi sejak tadi. Karena tidak memerhatikan posisi kotak kue, Lukas membuat kue di dalam kotak menjadi sedikit penyok pada satu sisi. "Bagaimana ini," Lukas panik. Ia berusaha memperbaiki bentuk kuenya, tapi tidak berhasil. Pada akhirnya Lukas terpaksa membawa sebuah kue yang sedikit rusak ke dalam rumah. Lukas mulai melewati area pekarangan rumah, berhenti sejenak di depan pintu untuk mengatur napas, kemudian membuka pelan pintu rumahnya. Suara pintu yang terbuka membuat Lilly mendatanginya."Siapa yang...."

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (I)

    Acara kelulusan berjalan dengan meriah. Berbanding lurus dengan riuh kegembiraan dari para siswa dan orang tua mereka.Meskipun Lilly telah memberi tahu bahwa Lukas tidak akan datang, Lucas masih terus menatap bangku kosong di samping ibunya. Acara hampir berakhir namun kursi itu tetap kosong. Lucas sempat tertipu ketika tiba-tiba saja kursi itu diduduki oleh seseorang. Sayang, dia bukanlah yang Lucas nantikan. Melainkan orang tua dari siswa lain yang menyapa Lilly. Acara sudah benar-benar resmi ditutup dan para orang tua menghambur dari kursi tamu menuju anak mereka, termasuk Lilly."Selamat, Sayang. Kamu lulus dengan nilai yang sangat memuaskan!" puji Lilly yang kemudian memeluk Lucas dengan erat.Sesekali Lilly juga menyapa dan berbasa-basi dengan orang tua serta siswa lainnya. Terlebih teman-teman yang sering bermain dengan Lucas.Lucas tersenyum bahagia, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak kecewa meskipun Lukas tidak datang. Ia tid

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (II)

    Setelah melewati malam yang menegangkan, Lukas memutuskan untuk mulai memperbaiki kualitas hubungannya lagi. Bukan dengan Lilly, melainkan dengan Lucas putranya.Pasangan suami istri itu bersandiwara dengan begitu hebat di depan Lucas. Tersenyum dan saling bertegur sapa seperti hari-hari sebelum badai menyerang. Juga memberikan kecupan satu sama lain seperti sepasang kekasih baru yang tidak pernah mengenal pertengkaran.Beberapa hari berlalu seperti biasa. Bedanya hanya Lilly dan Lukas yang saling diam kecuali Lucas sedang berada bersama mereka."Lucas, kamu sudah memasukkan bahan kerajinan tangan yang telah disiapkan semalam?" tanya Lilly yang berteriak dari dapur. Ia tengah sibuk menyiapkan dua bekal untuk suami dan anaknya."Sudah, Ma.""Papa berangkat dulu, Sayang. Semoga sekolahmu hari ini menyenangkan," Lukas berpamitan kemudian mencium kening Lucas."Tolong berhenti mencium aku, Papa! Aku sudah besar dan tidak ada teman laki-laki sekelasku yang mendapatkan ciuman setiap pagi da

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (I)

    "Jangan bicara omong kosong! Harusnya dia sendiri yang bilang begitu, bukan kamu," cetus Lilly.Lucas tersenyum dan berkata, "Iya, baiklah."Lilly segera melonggarkan pelukannya. "Segera mandi, makan lalu tidurlah. Jangan sampai kamu sakit."Lucas menurut. Ia segera menjalankan perintah ibunya—mandi.Sementara Lilly kembali ke dapur untuk mempersiapkan hidangan pagi yang seharusnya ia hidangkan dua jam lagi.Lucas keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah kuyup leher dan bahunya ikut basah terkena tetesan air yang terjun dari rambutnya."Lihat, lantainya jadi basah karena kamu tidak mengeringkan rambut dengan benar!"Ternyata ada yang masih tidak berubah meskipun dua puluh tahun sudah berlalu.***"Hei! Keringkan dulu badan kalian dengan handuk sebelum berjalan kemari," suruh Lilly. "lihat lantainya jadi basah karena kalian tidak mengeringkan rambut dan tubuh dengan beenar!" seru Lilly lagi. Lucas menatap ayahnya kemudian mereka sama-sama tersenyum dengan wajah bersalah.

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (III)

    Julie terkekeh tanpa merasa bersalah. "Lain kali jangan terlambat lagi. Ayo masuk." Satu keluarga kecil itu masuk ke dalam taksi dan meluncur ke bandara. Mereka tidak terlambat tiba di bandara dan semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Meskipun pagi mereka harus dihiasi dengan kegaduhan dan kepanikan karena terlambat bangun. "Sepasang suami istri itu sudah menikah selama delapan tahun. Putri mereka juga sudah berusia enam tahun. Tapi sepanjang perjalanan apabila salah satu tangan mereka sama-sama bebas dari tanggung jawab keduanya akan saling menggenggam satu sama lain dengan mesra. Untung saja Thea tertidur sepanjang perjalanan. Jadi ia tidak harus menyaksikan kemesraan apa saja yang kedua orang tuanya lakukan selama perjalanan. Antonio mengusap lembut pipi Thea untuk membangunkan putri kecilnya itu. "Sayang, kita sudah sampai." Mereka sudah sampai di penginapan setelah menempuh perjalanan darat selama satu jam dan satu jam perjalanan udara. "Humm...." Antonio mengecup pipi Ju

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (II)

    "Tiba-tiba? Malam ini juga?" Thea mengernyitkan dahi, masih belum memercayai apa yang Antonio katakan."Lebih cepat lebih baik, bukan?" Antonio merespon pertanyaan Thea kemudian berkata kepada dua karyawan yang masih berdiri canggung, "Hei kalian, ayo kita makan dulu sebelum mulai membereskan barang-barang. Lagipula tidak banyak yang harus dibawa jadi pasti akan selesai dengan cepat."Antonio menikmati makan tengah malamnya—lagi—bersama Thea, Lucas, dan dua karyawannya. "Kamu tidak mau ayamnya, Thea? Atau kentang?" Antonio menawari Thea yang hanya mengambil tumisan buatan Lucas saja tanpa menyentuh ayam ataupun kudapan lain yang Antonio telah beli."Tidak. Ini sudah cukup," tukas Thea singkat.Hanya Antonio yang makan dengan lahap. Thea menyuapkan nasi dan lauk dengan malas, sementara tiga laki-laki lainnya makan dengan canggung dan sesekali saling melirik."Aku sudah selesai," cetus Thea. Ia memang hanya mengambil sedikit sekali makanan. Meski begitu ia bahkan tidak menghabiskan is

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (I)

    Tangan kekar Antonio menenteng satu tas berukuran cukup besar. Dari otot yang timbul di sekujur tangan lelaki itu, sudah bisa dipastikan bahwa terdapat benda yang cukup berat di dalam tas.Setelah berjalan sekitar dua puluh meter dari mobil yang ia kendarai, pria itu tiba di depan sebuah gudang terbengkalai—tempat ia dan David bertemu tempo hari. Terlihat bekas kerusakan yang Antonio tinggalkan pada pintu gudang itu.Antonio mencengkeram kuat leher tas yang ia bawa kemudian mendorong pintu gudang dan masuk. Bukan hanya pintu, tapi hampir seluruh isi gudang kecil itu rusak berantakan."Apa lagi sekarang? Saya kira Anda akan menghabiskan hari ini dengan beristirahat dan menghabiskan waktu bersama putri kesayangan Anda," ucap Juan, Ia memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Antonio kemudian kembali berucap, "tapi Anda justru memilih untuk berkencan dengan saya?"Antonio melempar tas di tangannya hingga benturan antara lantai dan benda besar itu menciptakan suara yang menggaung di dalam

  • Love Between Blood and Tears   Berbeda

    "Terima kasih banyak untuk minumannya," kata Thea yang baru saja masuk ke dalam ruangan apartemennya.Lucas memberikan satu kantong berisi kue cokelat dan macaron kemudian berkata, "Harusnya kamu lengkapi kalimatnya, tambahkan kata 'makanan' juga."Ya, Thea harus berterima kasih karena Lucas tidak hanya membelikan dua gelas minuman tapi juga satu katong makanan ringan yang manis. Dan jangan lupakan juga jasa penjemputan dari bandara hingga ke apartemen.Tangan Thea menyambut dengan gembira sekantong makanan yang diulurkan Lucas. "Jadi ini untukku? Aku kira kamu membelinya untuk diri sendiri. Terima kasih lagi, kamu sungguh tahu seleraku.""Tidak masalah," kata Lucas yang kemudian mengusap puncak kepala Thea dan melanjutkan kalimatnya, "aku pergi dulu. Masih ada pekerjaan yang harus aku lakukan setelah ini.""Iya, hati-hati di jalan. Mampirlah sesekali kalau kamu punya waktu luang. Aku akan buatkan pasta pedas yang sangat enak," lontar Thea."Aku akan menantikannya," pungkas Lucas.Luc

  • Love Between Blood and Tears   Tekad (III)

    Terhitung hanya ada dua mobil yang melintas sepanjang Antonio menempuh perjalanan menuju apartemennya. "Terima kasih sudah menemani makan malam saya," ucap Juan yang sedari tadi berjalan di belakang Antonio.Antonio menoleh ke sumber suara. Berkat lelaki yang berusia jauh di bawahnya itu Antonio mendapatkan oleh-oleh wajah yang lebam sebelum pulang.Penutupan hari buruk yang sempurna. Saking sempurnanya keburukan yang menimpa Antonio, setidaknya tiga jam waktu tambahan harus diberikan setelah waktu pada hari itu habis. Juan memperbesar langkahnya untuk memangkas jaraknya dengan Antonio demi menyampaikan pesan terakhir sebelum mereka berpisah. "Semoga Tuan bisa beristirahat dengan lebih nyaman dan lama. Saya anggap makan malam tadi adalah pertemuan pengganti untuk agenda kita pagi ini," kata Juan tepat di telinga kiri Antonio."Iya," jawab Antonio singkat."Tersenyumlah sedikit, Tuan. Bukankah hari ini Anda akan menyambut kepulangan putri tercinta Anda?" Juan tersenyum.Sekali lagi,

DMCA.com Protection Status