"Kita sudah masuk area bandara. Bapak akan turun di terminal berapa?" tanya sang sopir Taksi.Thea menoleh ke arah Antonio dan menemukan lelaki itu sedang menatapnya dengan air wajah secerah mendung."Terminal berapa, Pa?" kali ini giliran Thea yang bertanya.Air mata Antonio hampir saja menetes tetapi tangannya bergerak lebih cepat menyekanya. "Oh iya. Tolong antar kami ke terminal tujuh.""Baik," sahut supir taksi.Thea kembali mengalihkan perhatiannya ke luar jendela dan memilih untuk tidak memperpanjang pikirannya tentang raut wajah sang ayah. Kendaraan roda empat itu berhenti tepat di titik di mana Antonio menginstruksikan sebelumnya. Gerimis turun semakin deras hingga berubah menjadi hujan ketika Antonio dan Thea sampai. Akibatnya mereka harus bergerak lebih cepat agar tubuh mereka tidak terlalu basah saat berpindah dari taksi menuju terminal bandara.Meski tidak kuyup, namun bagian kepala Antonio dan Thea menjadi basah. "Papa akan ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini ya,"
Langit sudah gelap dan tugas penerangan telah digantikan oleh lampu jalanan. Antonio mengangkat koper kecilnya untuk dibawa masuk ke dalam kafe. Mark menyambut kehadiran pelanggan yang baru saja masuk. "Selamat datang... Paman?" "Lama tidak bertemu, Mark. Apa Thea ada di sini?" Antonio berdiri di depan meja kerja Mark dan mulai membaca deretan menu yang disediakan di atas meja."Iya, Paman. Sudah hampir dua tahun." Mark menghentikan aktivitas tangannya yang baru saja selesai memasukkan tomat ceri dan selada di atas piring kemudian kembali berbicara, "Kakak ada di halaman belakang."Antonio menemukan beberapa menu minuman yang disisipi kata kopi dan langsung menentukan pesanannya. "Di sini ada kopi, kan? Tolong buatkan aku satu cangkir kopi yang pekat.""Baik, Paman. Akan saya buatkan setelah mengantarkan pesanan pelanggan," kata Mark sambil tersenyum kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi.Antonio memilih untuk duduk di depan meja kerja Mark dibandingkan kursi pelanggan yang ada di
Tak!Seorang pria berkaos hitam dan celana panjang warna senada menekan saklar hingga deretan lampu kecil yang tersebar di langit-langit ruangan menyala secara serempak. Ruangan itu dibangun di bawah permukaan tanah, berukuran lima kali tujuh meter dan dibuat tanpa sekat. Diisi dengan satu meja besar utama dan tujuh meja kerja yang dilengkapi dengan komputer."Huft...," pria itu menghela napas kemudian duduk di sebuah kursi kerja berwarna hitam.David, pria itu memeriksa lengan kirinya yang terlihat lebam dan mulai membiru. Meskipun terlihat begitu menyakitkan namun wajahnya tampak begitu datar. Tidak ada ekspresi tertentu seperti kesakitan atau semacamnya. Ia mengambil perban di saku celananya dan menutup luka lebamnya.Setelah luka itu terbalut seluruhnya, David menyalakan komputer di depannya dan berniat untuk menjalankan tahap akhir dari pekerjaannya hari ini."Kamu sudah tiba?" tanya sebuah suara yang bersumber dari dalam elevator.Seorang wanita berambut panjang dan terikat kelu
"Wah, aku disengat lebah atau apa?" Aroma pagi hari ini bagi Thea adalah aroma penyesalan. Wangi embun dan udara bersih masih kalah jika dibandingkan dengan dua mata gadis itu yang nyaris tidak bisa terbuka karena bengkak. Bagian kelopak dan kantong mata Thea membesar hingga menghambat matanya untuk terbuka sempurna."Harusnya aku tidur saja tadi malam. Kenapa harus menangis semalaman dasar bodoh!" kutuk gadis itu kepada dirinya sendiri.Mata Thea bengkak karena menangis nyaris semalaman. Bahkan ia tidak tidur sama sekali. Sesekali ia hanya beristirahat dari tangisnya dengan melamun, kemudian kembali menangis sampai beberapa belas kali.Muak dengan pantulan wajahnya di cermin yang sangat mengenaskan, Thea memutuskan untuk segera membersihkan tubuhnya agar bisa cepat-cepat mengunjungi Julie. Ia mau menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya di depan pusara ibunya.Ketika waktu untuk memilih baju tiba, Thea baru sadar bahwa yang ia masukkan ke dalam kopernya adalah baju-baju santai. Tidak a
Selesai saling serang dengan melempar godaan dan membuka aib satu sama lain, Mark memutuskan untuk memberi jarak antara dirinya dan Thea agar gadis itu bisa punya waktu berdua dengan Julie."Aku harap Kakak tidak menetap di sini sampai sore. Cuaca sedang tidak menentu akhir-akhir ini," kata Mark sebelum tubuhnya benar-benar pergi jauh dari Thea.Thea tersenyum kepada Mark lalu bertanya, "Kamu bisa menunggu beberapa menit, kan?" "Aku tunggu di tepi jalan sana. Aku pamit dulu, Bibi. Jangan lupa menjaga langkah supaya tidak masuk kubangan lumpur, Kak." Satu pesan terakhir Mark sampaikan sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Thea sendirian di depan pusara Julie.Tangan kanan Thea melambai mengantarkan badan Mark yang berjalan semakin jauh. Selanjutnya, waktunya gadis berusia dua puluh dua tahun itu mengambil beberapa menit untuk berduaan dengan tulang belulang ibunya yang terkubur beberapa meter di bawah tanah."Apa lagi, ya? Sepertinya semua yang mau aku beri tahu kepada Mama su
"Bisa-bisanya sepagi ini sudah membuat pacarmu menangis sampai seperti itu!" bentak perempuan itu sambil terus menatap Mark dengan mata yang besar. "Bukan begitu, kami cuma...," Mark memotong kalimatnya setelah melihat kepala bus yang akan ia dan Thea naiki sudah terlihat. Dengan secepat kilat Mark melepaskan peluka Thea dan menyeka air mata yang melumuri wajah gadis itu dengan ujung bawah bajunya. "Ayo bersiap, bus kita sudah datang. Berhenti menangis, ya?" minta Mark sambil menatap mata merah Thea. Gadis itu mengangguk. Tangisannya berhenti bertepatan dengan bus yang juga tiba tepat di depan halte.Mark menggenggam tangan Thea dan mereka naik bersama ke atas bus. Mark merasa beruntung karena perempuan yang salah paham tadi tidak menaiki bus yang sama dengannya dan Thea. Meskipun hingga akhir mata perempuan paruh baya itu memelototi Mark yang sudah berada di atas bus. Mereka memilih dua kursi di bagian kiri belakang untuk duduk. Mark memberikan tempat duduk di sebelah kaca kepad
"Ternyata kota ini sudah banyak berubah, ya."Dua lembar keripik kentang masuk ke dalam mulut Mark dan rasa gurih langsung menyebar ke seluruh sudut mulutnya. Saliva terproduksi cukup banyak akibat rasa yang kuat dari keripik kentang tadi.Dengan mata yang menyipit akibat rasa asin yang menyerang mulut, Mark memberikan jawaban. "Benarkah? Bagiku tetap sama saja.""Bukankah itu sudah sangat jelas? Kamu tidak pernah pergi dari sini," ujar Thea."Begitukah? Hehehe...."Mark menyerahkan satu bungkus keripik kentang yang baru ia makan dua atau tiga lembar kepada Thea. Pemuda itu mengambil makanan lainnya dari dalam kantong plastik dan pilihannya jatuh pada satu kardus kecil biskuit berisi selai cokelat.Setelah keripik kentang sampai di tangannya, Thea kembali memastikan kepada Mark dengan bertanya, "Kamu sudah tidak mau ini?" Mark menggeleng. Seleranya tidak pernah berubah sejak kecil. Camilan manis akan selalu menjadi kesukaannya."KJalau kamu tahu tidak akan menghabiskannya lalu kenapa
Cemas. Hanya satu kata itu yang terus menggelayuti pikiran Antonio sejak sampai di apartemennya hingga saat ini. Pertemuan yang dijadwalkan pukul delapan pagi nyatanya belum juga dimulai hingga matahari sudah hampir sampai di puncak kepala. Sang pembuat janji tidak kunjung datang meski keterlambatannya sudah mencapai ratusan menit. Panggilan seluler yang ia lakukan kepada sang putri semata wayang juga tidak kunjung berhasil. "Ada apa dengan orang-orang hari ini?" resah Antonio. Ruangan kecil dengan pencahayaan redup dan lembab membuat laki-laki berusia kepala lima itu semakin kehilangan kenyamanan. Tidak ada satu menit pun yang dihabiskan Antonio dengan hanya berdiam diri. Mondar-mandir kesana kemari, menarik dan membuang napas secara kasar, duduk dengan kaki yang terus bergerak, tangan yang kerap berkutat dengan telepon genggam, dan otak yang dipenuhi dengan kekhawatiran-kekhawatiran. Hampir seluruh bagian tubuhnya sungguh bekerja dengan sangat keras hari itu. Di tengah kegundahan
"Sekali lagi terima kasih banyak," kata Lilly yang akhirnya menerima pemberian laki-laki di depannya.Lukas terus berkata di dalam hati bahwa mereka hanyalah teman. Hanya teman. Tidak ada hal lain yang perlu dicemaskan. Hanya teman. Hanya teman. Lelaki itu pergi dengan sebuah mobil. Lukas menunggu mobil itu telah benar-benar jauh dan Lilly telah masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan keberadaan Lilly di dalam rumah, Lukas segera menyiapkan kue dan lilin di tempat ia bersembunyi sejak tadi. Karena tidak memerhatikan posisi kotak kue, Lukas membuat kue di dalam kotak menjadi sedikit penyok pada satu sisi. "Bagaimana ini," Lukas panik. Ia berusaha memperbaiki bentuk kuenya, tapi tidak berhasil. Pada akhirnya Lukas terpaksa membawa sebuah kue yang sedikit rusak ke dalam rumah. Lukas mulai melewati area pekarangan rumah, berhenti sejenak di depan pintu untuk mengatur napas, kemudian membuka pelan pintu rumahnya. Suara pintu yang terbuka membuat Lilly mendatanginya."Siapa yang...."
Acara kelulusan berjalan dengan meriah. Berbanding lurus dengan riuh kegembiraan dari para siswa dan orang tua mereka.Meskipun Lilly telah memberi tahu bahwa Lukas tidak akan datang, Lucas masih terus menatap bangku kosong di samping ibunya. Acara hampir berakhir namun kursi itu tetap kosong. Lucas sempat tertipu ketika tiba-tiba saja kursi itu diduduki oleh seseorang. Sayang, dia bukanlah yang Lucas nantikan. Melainkan orang tua dari siswa lain yang menyapa Lilly. Acara sudah benar-benar resmi ditutup dan para orang tua menghambur dari kursi tamu menuju anak mereka, termasuk Lilly."Selamat, Sayang. Kamu lulus dengan nilai yang sangat memuaskan!" puji Lilly yang kemudian memeluk Lucas dengan erat.Sesekali Lilly juga menyapa dan berbasa-basi dengan orang tua serta siswa lainnya. Terlebih teman-teman yang sering bermain dengan Lucas.Lucas tersenyum bahagia, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak kecewa meskipun Lukas tidak datang. Ia tid
Setelah melewati malam yang menegangkan, Lukas memutuskan untuk mulai memperbaiki kualitas hubungannya lagi. Bukan dengan Lilly, melainkan dengan Lucas putranya.Pasangan suami istri itu bersandiwara dengan begitu hebat di depan Lucas. Tersenyum dan saling bertegur sapa seperti hari-hari sebelum badai menyerang. Juga memberikan kecupan satu sama lain seperti sepasang kekasih baru yang tidak pernah mengenal pertengkaran.Beberapa hari berlalu seperti biasa. Bedanya hanya Lilly dan Lukas yang saling diam kecuali Lucas sedang berada bersama mereka."Lucas, kamu sudah memasukkan bahan kerajinan tangan yang telah disiapkan semalam?" tanya Lilly yang berteriak dari dapur. Ia tengah sibuk menyiapkan dua bekal untuk suami dan anaknya."Sudah, Ma.""Papa berangkat dulu, Sayang. Semoga sekolahmu hari ini menyenangkan," Lukas berpamitan kemudian mencium kening Lucas."Tolong berhenti mencium aku, Papa! Aku sudah besar dan tidak ada teman laki-laki sekelasku yang mendapatkan ciuman setiap pagi da
"Jangan bicara omong kosong! Harusnya dia sendiri yang bilang begitu, bukan kamu," cetus Lilly.Lucas tersenyum dan berkata, "Iya, baiklah."Lilly segera melonggarkan pelukannya. "Segera mandi, makan lalu tidurlah. Jangan sampai kamu sakit."Lucas menurut. Ia segera menjalankan perintah ibunya—mandi.Sementara Lilly kembali ke dapur untuk mempersiapkan hidangan pagi yang seharusnya ia hidangkan dua jam lagi.Lucas keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah kuyup leher dan bahunya ikut basah terkena tetesan air yang terjun dari rambutnya."Lihat, lantainya jadi basah karena kamu tidak mengeringkan rambut dengan benar!"Ternyata ada yang masih tidak berubah meskipun dua puluh tahun sudah berlalu.***"Hei! Keringkan dulu badan kalian dengan handuk sebelum berjalan kemari," suruh Lilly. "lihat lantainya jadi basah karena kalian tidak mengeringkan rambut dan tubuh dengan beenar!" seru Lilly lagi. Lucas menatap ayahnya kemudian mereka sama-sama tersenyum dengan wajah bersalah.
Julie terkekeh tanpa merasa bersalah. "Lain kali jangan terlambat lagi. Ayo masuk." Satu keluarga kecil itu masuk ke dalam taksi dan meluncur ke bandara. Mereka tidak terlambat tiba di bandara dan semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Meskipun pagi mereka harus dihiasi dengan kegaduhan dan kepanikan karena terlambat bangun. "Sepasang suami istri itu sudah menikah selama delapan tahun. Putri mereka juga sudah berusia enam tahun. Tapi sepanjang perjalanan apabila salah satu tangan mereka sama-sama bebas dari tanggung jawab keduanya akan saling menggenggam satu sama lain dengan mesra. Untung saja Thea tertidur sepanjang perjalanan. Jadi ia tidak harus menyaksikan kemesraan apa saja yang kedua orang tuanya lakukan selama perjalanan. Antonio mengusap lembut pipi Thea untuk membangunkan putri kecilnya itu. "Sayang, kita sudah sampai." Mereka sudah sampai di penginapan setelah menempuh perjalanan darat selama satu jam dan satu jam perjalanan udara. "Humm...." Antonio mengecup pipi Ju
"Tiba-tiba? Malam ini juga?" Thea mengernyitkan dahi, masih belum memercayai apa yang Antonio katakan."Lebih cepat lebih baik, bukan?" Antonio merespon pertanyaan Thea kemudian berkata kepada dua karyawan yang masih berdiri canggung, "Hei kalian, ayo kita makan dulu sebelum mulai membereskan barang-barang. Lagipula tidak banyak yang harus dibawa jadi pasti akan selesai dengan cepat."Antonio menikmati makan tengah malamnya—lagi—bersama Thea, Lucas, dan dua karyawannya. "Kamu tidak mau ayamnya, Thea? Atau kentang?" Antonio menawari Thea yang hanya mengambil tumisan buatan Lucas saja tanpa menyentuh ayam ataupun kudapan lain yang Antonio telah beli."Tidak. Ini sudah cukup," tukas Thea singkat.Hanya Antonio yang makan dengan lahap. Thea menyuapkan nasi dan lauk dengan malas, sementara tiga laki-laki lainnya makan dengan canggung dan sesekali saling melirik."Aku sudah selesai," cetus Thea. Ia memang hanya mengambil sedikit sekali makanan. Meski begitu ia bahkan tidak menghabiskan is
Tangan kekar Antonio menenteng satu tas berukuran cukup besar. Dari otot yang timbul di sekujur tangan lelaki itu, sudah bisa dipastikan bahwa terdapat benda yang cukup berat di dalam tas.Setelah berjalan sekitar dua puluh meter dari mobil yang ia kendarai, pria itu tiba di depan sebuah gudang terbengkalai—tempat ia dan David bertemu tempo hari. Terlihat bekas kerusakan yang Antonio tinggalkan pada pintu gudang itu.Antonio mencengkeram kuat leher tas yang ia bawa kemudian mendorong pintu gudang dan masuk. Bukan hanya pintu, tapi hampir seluruh isi gudang kecil itu rusak berantakan."Apa lagi sekarang? Saya kira Anda akan menghabiskan hari ini dengan beristirahat dan menghabiskan waktu bersama putri kesayangan Anda," ucap Juan, Ia memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Antonio kemudian kembali berucap, "tapi Anda justru memilih untuk berkencan dengan saya?"Antonio melempar tas di tangannya hingga benturan antara lantai dan benda besar itu menciptakan suara yang menggaung di dalam
"Terima kasih banyak untuk minumannya," kata Thea yang baru saja masuk ke dalam ruangan apartemennya.Lucas memberikan satu kantong berisi kue cokelat dan macaron kemudian berkata, "Harusnya kamu lengkapi kalimatnya, tambahkan kata 'makanan' juga."Ya, Thea harus berterima kasih karena Lucas tidak hanya membelikan dua gelas minuman tapi juga satu katong makanan ringan yang manis. Dan jangan lupakan juga jasa penjemputan dari bandara hingga ke apartemen.Tangan Thea menyambut dengan gembira sekantong makanan yang diulurkan Lucas. "Jadi ini untukku? Aku kira kamu membelinya untuk diri sendiri. Terima kasih lagi, kamu sungguh tahu seleraku.""Tidak masalah," kata Lucas yang kemudian mengusap puncak kepala Thea dan melanjutkan kalimatnya, "aku pergi dulu. Masih ada pekerjaan yang harus aku lakukan setelah ini.""Iya, hati-hati di jalan. Mampirlah sesekali kalau kamu punya waktu luang. Aku akan buatkan pasta pedas yang sangat enak," lontar Thea."Aku akan menantikannya," pungkas Lucas.Luc
Terhitung hanya ada dua mobil yang melintas sepanjang Antonio menempuh perjalanan menuju apartemennya. "Terima kasih sudah menemani makan malam saya," ucap Juan yang sedari tadi berjalan di belakang Antonio.Antonio menoleh ke sumber suara. Berkat lelaki yang berusia jauh di bawahnya itu Antonio mendapatkan oleh-oleh wajah yang lebam sebelum pulang.Penutupan hari buruk yang sempurna. Saking sempurnanya keburukan yang menimpa Antonio, setidaknya tiga jam waktu tambahan harus diberikan setelah waktu pada hari itu habis. Juan memperbesar langkahnya untuk memangkas jaraknya dengan Antonio demi menyampaikan pesan terakhir sebelum mereka berpisah. "Semoga Tuan bisa beristirahat dengan lebih nyaman dan lama. Saya anggap makan malam tadi adalah pertemuan pengganti untuk agenda kita pagi ini," kata Juan tepat di telinga kiri Antonio."Iya," jawab Antonio singkat."Tersenyumlah sedikit, Tuan. Bukankah hari ini Anda akan menyambut kepulangan putri tercinta Anda?" Juan tersenyum.Sekali lagi,