Share

Ruang Bawah Tanah

Author: Metathea
last update Last Updated: 2022-05-31 15:39:44

Tak!

Seorang pria berkaos hitam dan celana panjang warna senada menekan saklar hingga deretan lampu kecil yang tersebar di langit-langit ruangan menyala secara serempak. Ruangan itu dibangun di bawah permukaan tanah, berukuran lima kali tujuh meter dan dibuat tanpa sekat. Diisi dengan satu meja besar utama dan tujuh meja kerja yang dilengkapi dengan komputer.

"Huft...," pria itu menghela napas kemudian duduk di sebuah kursi kerja berwarna hitam.

David, pria itu memeriksa lengan kirinya yang terlihat lebam dan mulai membiru. Meskipun terlihat begitu menyakitkan namun wajahnya tampak begitu datar. Tidak ada ekspresi tertentu seperti kesakitan atau semacamnya. Ia mengambil perban di saku celananya dan menutup luka lebamnya.

Setelah luka itu terbalut seluruhnya, David menyalakan komputer di depannya dan berniat untuk menjalankan tahap akhir dari pekerjaannya hari ini.

"Kamu sudah tiba?" tanya sebuah suara yang bersumber dari dalam elevator.

Seorang wanita berambut panjang dan terikat keluar dari balok elevator dan langsung berjalan menghampiri David.

"Baru lima menit lalu mungkin? Kamu datang pagi sekali," kata David dengan kedua tangan yang merentang lebar.

Wanita itu menyambut rentangan tangan David dengan sebuah pelukan. Ia membuat posisi tubuhnya lebih nyaman dengan duduk di atas pangkuan David lalu berkata, "Aku harus menyelesaikan transaksi sebelum pukul delapan. Padahal aku baru bisa tidur jam lima pagi tadi," keluh wanita itu.

"Kasihan sekali pacarku ini. Kalau begitu aku akan menyelesaikan pekerjaanku secepatnya supaya bisa menemani kamu beristirahat di rumah. Bagaimana?" ucap David sembari membelai surai kekasihnya.

"Kamu yakin tidak akan ada tugas tambahan dari Master?"

"Aku sudah mengambil tugas dadakan kemarin, Ellie. Jadi hari ini tidak akan ada pekerjaan lagi setelah pukul sembilan."

Ellie melepaskan pelukannya dan beralih duduk di kursi samping David. Ia menyentuh permukaan perban yang membalut lengan kiri David.

"Hm?" David menatap wajah kekasihnya yang tampak murung.

"Apakah ini sakit?" tanya Ellie sambil menekan lengan David yang diperban.

David meringis tanpa suara lalu berkata, "Sedikit sakit," sahut lelaki itu. Ia menahan tangan Ellie dan mendorong tangan itu menjauh. "Ayo kita kerjakan tugas masing-masing agar bisa segera selesai dan bisa beristirahat," lanjut David.

Ellie memberikan senyum palsu kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk menuju meja kerjanya.

Dua sejoli itu segera memulai pekerjaan masing-masing. Berbeda dengan atmosfer sebelumnya yang penuh cinta dan kasih, ketika memasuki mode bekerja keduanya akan sama-sama fokus. Bola mata yang bergerak tiada henti untuk membaca setiap detail tulisan di layar, jemari yang menekan tuts huruf dan angka dengan begitu cekatan, serta otak yang bekerja berkali-kali lipat untuk menghindari kesalahan yang bisa jadi mengancam nyawa mereka.

Ting!

Pintu lift terbuka setelah satu suara dentingan berbunyi. Louis keluar dari sana bersama dua orang penjaga pribadinya.

David dan Ellie seketika menghentikan pekerjaannya dan berdiri tegap untuk menyambut kedatangan bos besar mereka itu.

"Selamat pagi, Master," sapa David sembari menundukkan pandangannya.

"Lanjutkan saja pekerjaan kalian. Tidak usah hiraukan aku." Louis mengisyaratkan dengan tangannya agar mereka kembali dengan pekerjaannya.

"Baik, Master."

Louis mengingat sesuatu di kepalanya kemudian menoleh ke arah David dan bertanya, "Ah iya. Bagaimana dengan A11?"

"Dia pergi ke luar kota bersama dengan putrinya untuk mengunjungi makam istrinya. Saya sudah mengirimkan pesan kepada A11 tentang pertemuan mendadak pagi ini," jelas David kepada tuannya.

Louis mengangguk kecil kemudian melipat tangannya di depan dada. "Lalu? Dia sudah kembali ke sini?"

"Dia mengambil penerbangan tengah malam dan kemungkinan sudah sampai sekitar pukul lima pagi tadi. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda A11 akan kabur," lanjut David lagi.

"Baiklah kalau begitu suruh Juan segera ke sini untuk melakukan transaksi dengan klien baru kita."

"Soal itu... dia masih belum kembali ke kota ini. A11 meninggalkan putrinya di sana, jadi saya meminta Juan untuk mengawasi putri A11 sekitar satu hari lagi."

Louis menaikkan salah satu alisnya. "Apa aku pernah memerintahkan hal semacam itu?" tanya Louis nyaris berbisik.

"Maaf karena sudah melakukan perintah diluar persetujuan Master," mohon David sembari membungkukkan tubuhnya semakin rendah.

Tangan kanan Louis menarik segenggam rambut David hingga wajah lelaki itu menghadap ke arahnya. Dengan mata yang tajam ia berkata, "Keputusan yang bagus. Beri tahu Juan untuk bersiap menjadikan gadis itu tawanan jika sewaktu-waktu A11 bertingkah diluar kendali kita," tukas Louis, diakhiri dengan sebuah senyuman.

Ellie mengepalkan kedua tangannya karena tegang. Ia khawatir David akan mendapatkan luka baru sebagai hukuman atas keputusannya untuk melangkahi perintah Master.

Louis melepaskan rambut David kemudian menepuk pundak lelaki itu dengan lembut. "Bukankah kamu sudah sangat cocok untuk menggantikan aku? Hahahaha... anak emasku yang satu ini," puji Louis. "Tapi karena Juan tidak ada di sini, jadi kamu yang akan menggantikan dia bertransaksi siang ini."

"Baik, Master."

Louis berjalan meninggalkan David untuk menduduki kursi kebesarannya di ujung ruangan. David melirik ke arah Ellie lalu tersenyum, berusaha menenangkan kekasihnya yang sudah memperlihatkan wajah yang begitu khawatir.

"Ellie, bagaimana dengan pembelian emasnya?" tanya Louis saat melewati meja kerja Ellie.

Wajah penuh kekhawatiran Ellie seketika berubah. Ia menyampaikan informasi yang diinginkan sang Master tanpa melupakan senyuman di akhir penyampaian. "Semuanya sudah beres, Master. Saya tinggal mengirimkan detail lokasi pertemuan untuk kita mengambil barangnya."

"Kerja bagus, cantik. Ah... sepertinya hari ini akan menjadi hari yang begitu menyenangkan. Anak-anak emasku menjalankan tugasnya dengan baik bahkan ketika matahari baru terbit, dan klien baru yang sangat loyal," ungkap Louis dengan wajah yang berseri-seri.

David menyeringai kecil. Bola matanya melirik ke bagian ujung ruangan tepatnya meja besar yang baru saja dilewati oleh Louis.

***

"Jadi daripada kamu mati sia-sia di jalanan lebih baik kamu mati nanti setelah membantu aku menghasilkan banyak uang. Bukan begitu?"

Lelaki dewasa berjaket kulit itu duduk di atas sebuah kursi dengan tangan kanan yang membelai lembut kepala seorang anak laki-laki yang berusia sekitar delapan tahun. Anak itu berlutut di lantai dengan tubuh yang gemetar hebat. Satu dari dua matanya bengkak dan membiru hingga sulit untuk dibuka.

"Bagaimana? Kamu terima tawaranku atau mau mati lebih cepat saja? Jika tidak mau terlalu menderita aku bisa membantu kamu agar mati lebih cepat dan tanpa rasa sakit," Louis melemparkan satu tawaran.

Bibir anak laki-laki itu turut bergetar hingga kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata. Air matanya yang justru keluar dengan deras tanpa kesulitan.

"Ja.. janga... ampun... ja... jangan....," ucap anak lelaki itu terbata-bata.

Buk!

Sebuah pukulan dari tangan Louis mendarat ke pipi anak laki-laki itu hingga tubuh kecilnya terdorong ke samping. Ia meraung kesakitan sekaligus menangis ketakutan hingga suara pria kecil itu menjadi serak.

"Aku beri satu kesempatan terakhir untuk memohon dengan benar," kata Louis dengan suara yang penuh dengan intimidasi.

Anak laki-laki itu buru-buru mengembalikan posisinya untuk berlutut, bahkan hingga bersujud di depan kaki Louis. Dua telapak tangannya menempel di atas sepatu Louis hingga sepatu mengilap itu menjadi kotor oleh keringat dan sedikit darah di beberapa bagian.

"Satu... dua...,"

"Tolong jangan bunuh saya. Saya akan melakukan apa saja tapi jangan bunuh saya," mohon anak laki-laki itu dengan suara yang parau dan nyaris hilang. Kehabisan daya akibat telah berteriak berkali-kali hari ini.

"Kalau begitu bangun. Berdiri dari situ. Kemari," perintah Louis. Ia kemudian merentangkan kedua tangannya.

Dengan napas yang masih tersendat dan air mata yang terus mengalir anak laki-laki itu berdiri terpincang-pincang. Kepalanya masih tertunduk karena takut.

"Tidak apa-apa, lebih mendekat ke sini supaya aku bisa memelukmu," kata Louis dengan bibir yang terus tersenyum.

Anak laki-laki itu mendekat perlahan-lahan kemudian menerima pelukan dari Louis. Tangisnya kembali pecah di dada Louis.

Louis memeluk anak itu dengan penuh kasih sayang seolah tidak pernah terjadi kekerasan yang ia lakukan sebelumnya. "Berhenti menangis sebelum air matamu mengotori pakaianku lebih banyak lagi."

Seketika tangisan anak laki-laki itu berhenti. Ia menahan air mata dan suara tangisnya dengan berlandaskan ketakutan. Berusaha mati-matian agar tidak membuat Louis kesal lalu akan membunuhnya tanpa ragu-ragu saat itu juga.

"Bagus. Anakku memang harus patuh dan tumbuh menjadi laki-laki yang hebat," puji Louis yang masih terus membelai lembut tubuh bagian belakang si anak laki-laki di dekapannya. "Kamu mengerti?"

"Iya, saya mengerti," jawab anak itu. Kali ini suaranya sudah mulai stabil dari sebelumnya, meski serak masih mendominasi.

Louis melepaskan pelukannya kemudian mengangkat tubuh anak lelaki itu untuk didudukkan di atas meja. Louis menyeka sisa air mata di wajah si anak dan merapikan rambutnya yang berantakan dengan sebuah sisir kecil yang ia ambil dari saku jaket bagian dalam.

"Mulai sekarang panggil aku dengan sebutan Ayah." Louis mengangkat dagu anak itu agar mata mereka bisa bertemu.

"A...,"

"Ayo coba panggil aku. A-yah," bimbing Louis.

Si anak memberanikan diri untuk menatap Louis kemudian dengan mantap ia mengatakan, "Ayah."

Tawa bangga Louis keluar seketika ia mendengar anak di depannya memanggil dirinya dengan sebutan Ayah. "Hahaha... bagus. Begitu, aku sudah mulai menyukaimu. Ah, aku hampir lupa," Louis menarik kenop laci meja dan mencari sesuatu dari dalam sana. "Hewan apa yang kamu suka?"

"Beruang?"

Louis menatap anak itu dengan mata yang tajam. "Beruang? Kamu bercanda?"

Anak laki-laki itu langsung menundukkan pandangan dan kedua mata yang ia pejamkan. Kedua tangannya saling meremas dengan kuat, bersiap-siap untuk menahan rasa sakit jika Louis akan kembali memukulnya karena jawaban barusan.

"Bagaiman kamu bisa menyukai hewan yang sama denganku? Hahaha...," cetus Louis, kali ini ia berhasil mengambil sebuah barang dari laci dan telah menggenggamnya di tangan kanan.

Si anak membuang napas yang sebelumnya ia tahan. Ia lega karena tidak akan mendapatkan hantaman di tubuhnya.

"Kamu tahu? Waktu masih di sekolah dasar aku adalah pemilik nilai menggambar paling tinggi di kelas setiap tahunnya. Aku mungkin akan jadi seorang pelukis jika saja tidak masuk ke pekerjaan saat ini," ucap Louis sembari mengotak-atik benda di tangannya agar dapat segera ia gunakan.

Hanya anggukan yang diberikan oleh anak laki-laki itu sebagai jawaban. Perlahan-lahan perasaan takut dan terancamnya berkurang saat mendengar cerita Louis.

Louis menyambungkan alat yang ia pegang dengan saluran listrik kemudian memberikan perintah, "Aku akan menunjukkan kepada anak laki-laki tercintaku ini kemampuan menggambar yang aku punya. Buka bajumu."

Anak itu memandang Louis dan benda di tangannya dengan bingung. Ia segera menuruti perintah Louis untuk membuka bajunya.

"Hewan apa tadi? Beruang? Ya, kamu memang harus bisa tumbuh seganas beruang. Jangan bergerak, ya?" ujar Louis.

Masih belum mengerti dengan apa yang akan dilakukan Louis, anak laki-laki itu hanya menurut. Louis memegang sebuah benda kecil yang mampu digenggam dengan satu tangan. Ujung benda itu begitu runcing—jarum. Louis memegang benda itu seperti sedang memegang pena kemudian perlahan mendekatkan ujung jarumnya ke bagian dada kiri anak laki-laki di depannya.

"Kamu tahu satu keahlian lain yang aku punya? Aku tidak perlu membuat sketsa atau semacamnya. Cukup langsung mulai menggambar saja...."

Suara mesin kecil itu mulai terdengar. Ia mendesis seperti siap untuk mengerjakan tugasnya. Louis mempertemukan bagian ujung jarum dengan kulit dada kiri anak laki-laki itu.

"Akh!" Anak itu memekik dengan suara yang tertahan.

Permukaan kulitnya seperti disuntik ratusan kali tanpa henti. Ia menggenggam ujung meja untuk menahan rasa sakit di permukaan dada kirinya. Rasanya jarum itu akan segera menembus hingga jantung.

"Bagus, kamu sangat patuh. Ini adalah hadiahku untukmu. Hadiah yang harus kamu jaga seumur hidup."

Related chapters

  • Love Between Blood and Tears   Adik Laki-laki

    "Wah, aku disengat lebah atau apa?" Aroma pagi hari ini bagi Thea adalah aroma penyesalan. Wangi embun dan udara bersih masih kalah jika dibandingkan dengan dua mata gadis itu yang nyaris tidak bisa terbuka karena bengkak. Bagian kelopak dan kantong mata Thea membesar hingga menghambat matanya untuk terbuka sempurna."Harusnya aku tidur saja tadi malam. Kenapa harus menangis semalaman dasar bodoh!" kutuk gadis itu kepada dirinya sendiri.Mata Thea bengkak karena menangis nyaris semalaman. Bahkan ia tidak tidur sama sekali. Sesekali ia hanya beristirahat dari tangisnya dengan melamun, kemudian kembali menangis sampai beberapa belas kali.Muak dengan pantulan wajahnya di cermin yang sangat mengenaskan, Thea memutuskan untuk segera membersihkan tubuhnya agar bisa cepat-cepat mengunjungi Julie. Ia mau menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya di depan pusara ibunya.Ketika waktu untuk memilih baju tiba, Thea baru sadar bahwa yang ia masukkan ke dalam kopernya adalah baju-baju santai. Tidak a

    Last Updated : 2022-06-01
  • Love Between Blood and Tears   Membenci Fase Menjadi Dewasa (I)

    Selesai saling serang dengan melempar godaan dan membuka aib satu sama lain, Mark memutuskan untuk memberi jarak antara dirinya dan Thea agar gadis itu bisa punya waktu berdua dengan Julie."Aku harap Kakak tidak menetap di sini sampai sore. Cuaca sedang tidak menentu akhir-akhir ini," kata Mark sebelum tubuhnya benar-benar pergi jauh dari Thea.Thea tersenyum kepada Mark lalu bertanya, "Kamu bisa menunggu beberapa menit, kan?" "Aku tunggu di tepi jalan sana. Aku pamit dulu, Bibi. Jangan lupa menjaga langkah supaya tidak masuk kubangan lumpur, Kak." Satu pesan terakhir Mark sampaikan sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Thea sendirian di depan pusara Julie.Tangan kanan Thea melambai mengantarkan badan Mark yang berjalan semakin jauh. Selanjutnya, waktunya gadis berusia dua puluh dua tahun itu mengambil beberapa menit untuk berduaan dengan tulang belulang ibunya yang terkubur beberapa meter di bawah tanah."Apa lagi, ya? Sepertinya semua yang mau aku beri tahu kepada Mama su

    Last Updated : 2022-06-02
  • Love Between Blood and Tears   Membenci Fase Menjadi Dewasa (II)

    "Bisa-bisanya sepagi ini sudah membuat pacarmu menangis sampai seperti itu!" bentak perempuan itu sambil terus menatap Mark dengan mata yang besar. "Bukan begitu, kami cuma...," Mark memotong kalimatnya setelah melihat kepala bus yang akan ia dan Thea naiki sudah terlihat. Dengan secepat kilat Mark melepaskan peluka Thea dan menyeka air mata yang melumuri wajah gadis itu dengan ujung bawah bajunya. "Ayo bersiap, bus kita sudah datang. Berhenti menangis, ya?" minta Mark sambil menatap mata merah Thea. Gadis itu mengangguk. Tangisannya berhenti bertepatan dengan bus yang juga tiba tepat di depan halte.Mark menggenggam tangan Thea dan mereka naik bersama ke atas bus. Mark merasa beruntung karena perempuan yang salah paham tadi tidak menaiki bus yang sama dengannya dan Thea. Meskipun hingga akhir mata perempuan paruh baya itu memelototi Mark yang sudah berada di atas bus. Mereka memilih dua kursi di bagian kiri belakang untuk duduk. Mark memberikan tempat duduk di sebelah kaca kepad

    Last Updated : 2022-06-03
  • Love Between Blood and Tears   Realita Masa Dewasa

    "Ternyata kota ini sudah banyak berubah, ya."Dua lembar keripik kentang masuk ke dalam mulut Mark dan rasa gurih langsung menyebar ke seluruh sudut mulutnya. Saliva terproduksi cukup banyak akibat rasa yang kuat dari keripik kentang tadi.Dengan mata yang menyipit akibat rasa asin yang menyerang mulut, Mark memberikan jawaban. "Benarkah? Bagiku tetap sama saja.""Bukankah itu sudah sangat jelas? Kamu tidak pernah pergi dari sini," ujar Thea."Begitukah? Hehehe...."Mark menyerahkan satu bungkus keripik kentang yang baru ia makan dua atau tiga lembar kepada Thea. Pemuda itu mengambil makanan lainnya dari dalam kantong plastik dan pilihannya jatuh pada satu kardus kecil biskuit berisi selai cokelat.Setelah keripik kentang sampai di tangannya, Thea kembali memastikan kepada Mark dengan bertanya, "Kamu sudah tidak mau ini?" Mark menggeleng. Seleranya tidak pernah berubah sejak kecil. Camilan manis akan selalu menjadi kesukaannya."KJalau kamu tahu tidak akan menghabiskannya lalu kenapa

    Last Updated : 2022-06-05
  • Love Between Blood and Tears   Jerat

    Cemas. Hanya satu kata itu yang terus menggelayuti pikiran Antonio sejak sampai di apartemennya hingga saat ini. Pertemuan yang dijadwalkan pukul delapan pagi nyatanya belum juga dimulai hingga matahari sudah hampir sampai di puncak kepala. Sang pembuat janji tidak kunjung datang meski keterlambatannya sudah mencapai ratusan menit. Panggilan seluler yang ia lakukan kepada sang putri semata wayang juga tidak kunjung berhasil. "Ada apa dengan orang-orang hari ini?" resah Antonio. Ruangan kecil dengan pencahayaan redup dan lembab membuat laki-laki berusia kepala lima itu semakin kehilangan kenyamanan. Tidak ada satu menit pun yang dihabiskan Antonio dengan hanya berdiam diri. Mondar-mandir kesana kemari, menarik dan membuang napas secara kasar, duduk dengan kaki yang terus bergerak, tangan yang kerap berkutat dengan telepon genggam, dan otak yang dipenuhi dengan kekhawatiran-kekhawatiran. Hampir seluruh bagian tubuhnya sungguh bekerja dengan sangat keras hari itu. Di tengah kegundahan

    Last Updated : 2022-06-06
  • Love Between Blood and Tears   Orang Baru (I)

    Salah seorang pramusaji menghampiri meja Thea dengan sebuah nampan yang penuh dengan makanan dan minuman. "Permisi, pesanan atas nama Theana?" "Oh? Ah... iya, betul," jawab Thea sedikit terbata-bata.Thea melihat isi nampan yang begitu banyak hingga sedikit ruangan yang tersisa. Ia berpikir, pasti itu pesanan dari beberapa meja."Satu kentang goreng ukuran besar, satu burger dengan ekstra keju dan tanpa tomat, satu pasta," ucap sang pramusaji sembari menurunkan satu demi satu piring dari nampan yang ia bawa. "dan satu lemonade. Pesanan lainnya masih kami buat, mohon ditunggu," pungkasnya setelah mengosongkan nampan.Mata Thea masih terheran-heran melihat meja yang tadinya hanya diduduki oleh dua gelas kini tiba-tiba penuh."Masih ada lagi?" tanya Thea kepada pramusaji perempuan di depannya."Iya. Yang belum datang... ada iced lemongrass tea, chocolate ice cream cake dan hot lava," papar sang pramusaji sambil mengecek daftar pesanan yang tertera pada kertas nota di tangannya.Mark mun

    Last Updated : 2022-06-08
  • Love Between Blood and Tears   Orang Baru (II)

    Thea membungkus tubuhnya dengan selimut hingga menyisakan bagian kepala saja. Beberapa saat yang lalu ia telah memutuskan untuk mengakhiri liburan singkat di kota kelahirannya besok. Satu hari lebih cepat dari rencana awal. Oleh karena itu, ia harus segera tidur agar tidak terlambat esok hari.Ponselnya bergetar. Padahal baru beberapa detik saja ia memejamkan mata. Mark. Nama itu tertera di layar ponsel Thea. "Halo?" "Kakak sudah tidur?" tanya Mark."Aku masih mengangkat telpon dari kamu. Menurutmu aku sudah tidur atau belum?" Thea mendengus."Itu... aku ada di depan pintu. Boleh Kakak buka sebentar?"Thea melonjak dari rebahnya. "Sedang apa kamu di depan?"Thea menghentakkan kakinya cukup keras ketika berjalan menuju pintu depan untuk menyambut kedatangan Mark yang tidak diduga.Dengan saluran telepon yang masih terhubung, Thea melihat Mark berdiri di depan pintu. Ponsel mereka masih sama-sama menempel di telinga masing-masing."Aku butuh bantuan Kakak, hehehe," Mark meringis.Thea

    Last Updated : 2022-06-10
  • Love Between Blood and Tears   Tekad (I)

    Terhitung sudah dua batang rokok yang habis dihisap oleh Antonio. Angin meniup asap rokok yang Antonio hembuskan ke luar jendela kembali masuk dan mengisi ruangan. Bahkan Lucas yang sedari tadi hanya duduk turut terkena aroma khas dari asap itu. Mereka mudah menempel di baju.Antonio menekan ujung rokok yang masih membara hingga sinar merah dari sana hilang kemudian membalikkan badan. "Ayo pulang sekarang. Tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan lagi malam ini, kan?" ucap Antonio kepada Lucas.Lucas berdiri dan memberi jawaban, "Iya, Pak. Mari pulang."Antonio dan Lucas meninggalkan ruangan tempat mereka menikmati minuman serta rokok—hanya Antonio—untuk pulang. Ada ratusan anak tangga yang harus dilalui dari lantai lima hingga dasar. Elevator sudah tidak beroperasi di atas pukul sepuluh malam."Berapa usiamu sekarang?" tanya Antonio ketika mereka telah turun dua lantai dari tempat mereka berangkat pulang."Dua bulan lagi saya akan berumur 29 tahun.""Yang benar? Seingatku kamu mas

    Last Updated : 2022-06-12

Latest chapter

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (II)

    "Sekali lagi terima kasih banyak," kata Lilly yang akhirnya menerima pemberian laki-laki di depannya.Lukas terus berkata di dalam hati bahwa mereka hanyalah teman. Hanya teman. Tidak ada hal lain yang perlu dicemaskan. Hanya teman. Hanya teman. Lelaki itu pergi dengan sebuah mobil. Lukas menunggu mobil itu telah benar-benar jauh dan Lilly telah masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan keberadaan Lilly di dalam rumah, Lukas segera menyiapkan kue dan lilin di tempat ia bersembunyi sejak tadi. Karena tidak memerhatikan posisi kotak kue, Lukas membuat kue di dalam kotak menjadi sedikit penyok pada satu sisi. "Bagaimana ini," Lukas panik. Ia berusaha memperbaiki bentuk kuenya, tapi tidak berhasil. Pada akhirnya Lukas terpaksa membawa sebuah kue yang sedikit rusak ke dalam rumah. Lukas mulai melewati area pekarangan rumah, berhenti sejenak di depan pintu untuk mengatur napas, kemudian membuka pelan pintu rumahnya. Suara pintu yang terbuka membuat Lilly mendatanginya."Siapa yang...."

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (I)

    Acara kelulusan berjalan dengan meriah. Berbanding lurus dengan riuh kegembiraan dari para siswa dan orang tua mereka.Meskipun Lilly telah memberi tahu bahwa Lukas tidak akan datang, Lucas masih terus menatap bangku kosong di samping ibunya. Acara hampir berakhir namun kursi itu tetap kosong. Lucas sempat tertipu ketika tiba-tiba saja kursi itu diduduki oleh seseorang. Sayang, dia bukanlah yang Lucas nantikan. Melainkan orang tua dari siswa lain yang menyapa Lilly. Acara sudah benar-benar resmi ditutup dan para orang tua menghambur dari kursi tamu menuju anak mereka, termasuk Lilly."Selamat, Sayang. Kamu lulus dengan nilai yang sangat memuaskan!" puji Lilly yang kemudian memeluk Lucas dengan erat.Sesekali Lilly juga menyapa dan berbasa-basi dengan orang tua serta siswa lainnya. Terlebih teman-teman yang sering bermain dengan Lucas.Lucas tersenyum bahagia, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak kecewa meskipun Lukas tidak datang. Ia tid

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (II)

    Setelah melewati malam yang menegangkan, Lukas memutuskan untuk mulai memperbaiki kualitas hubungannya lagi. Bukan dengan Lilly, melainkan dengan Lucas putranya.Pasangan suami istri itu bersandiwara dengan begitu hebat di depan Lucas. Tersenyum dan saling bertegur sapa seperti hari-hari sebelum badai menyerang. Juga memberikan kecupan satu sama lain seperti sepasang kekasih baru yang tidak pernah mengenal pertengkaran.Beberapa hari berlalu seperti biasa. Bedanya hanya Lilly dan Lukas yang saling diam kecuali Lucas sedang berada bersama mereka."Lucas, kamu sudah memasukkan bahan kerajinan tangan yang telah disiapkan semalam?" tanya Lilly yang berteriak dari dapur. Ia tengah sibuk menyiapkan dua bekal untuk suami dan anaknya."Sudah, Ma.""Papa berangkat dulu, Sayang. Semoga sekolahmu hari ini menyenangkan," Lukas berpamitan kemudian mencium kening Lucas."Tolong berhenti mencium aku, Papa! Aku sudah besar dan tidak ada teman laki-laki sekelasku yang mendapatkan ciuman setiap pagi da

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (I)

    "Jangan bicara omong kosong! Harusnya dia sendiri yang bilang begitu, bukan kamu," cetus Lilly.Lucas tersenyum dan berkata, "Iya, baiklah."Lilly segera melonggarkan pelukannya. "Segera mandi, makan lalu tidurlah. Jangan sampai kamu sakit."Lucas menurut. Ia segera menjalankan perintah ibunya—mandi.Sementara Lilly kembali ke dapur untuk mempersiapkan hidangan pagi yang seharusnya ia hidangkan dua jam lagi.Lucas keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah kuyup leher dan bahunya ikut basah terkena tetesan air yang terjun dari rambutnya."Lihat, lantainya jadi basah karena kamu tidak mengeringkan rambut dengan benar!"Ternyata ada yang masih tidak berubah meskipun dua puluh tahun sudah berlalu.***"Hei! Keringkan dulu badan kalian dengan handuk sebelum berjalan kemari," suruh Lilly. "lihat lantainya jadi basah karena kalian tidak mengeringkan rambut dan tubuh dengan beenar!" seru Lilly lagi. Lucas menatap ayahnya kemudian mereka sama-sama tersenyum dengan wajah bersalah.

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (III)

    Julie terkekeh tanpa merasa bersalah. "Lain kali jangan terlambat lagi. Ayo masuk." Satu keluarga kecil itu masuk ke dalam taksi dan meluncur ke bandara. Mereka tidak terlambat tiba di bandara dan semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Meskipun pagi mereka harus dihiasi dengan kegaduhan dan kepanikan karena terlambat bangun. "Sepasang suami istri itu sudah menikah selama delapan tahun. Putri mereka juga sudah berusia enam tahun. Tapi sepanjang perjalanan apabila salah satu tangan mereka sama-sama bebas dari tanggung jawab keduanya akan saling menggenggam satu sama lain dengan mesra. Untung saja Thea tertidur sepanjang perjalanan. Jadi ia tidak harus menyaksikan kemesraan apa saja yang kedua orang tuanya lakukan selama perjalanan. Antonio mengusap lembut pipi Thea untuk membangunkan putri kecilnya itu. "Sayang, kita sudah sampai." Mereka sudah sampai di penginapan setelah menempuh perjalanan darat selama satu jam dan satu jam perjalanan udara. "Humm...." Antonio mengecup pipi Ju

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (II)

    "Tiba-tiba? Malam ini juga?" Thea mengernyitkan dahi, masih belum memercayai apa yang Antonio katakan."Lebih cepat lebih baik, bukan?" Antonio merespon pertanyaan Thea kemudian berkata kepada dua karyawan yang masih berdiri canggung, "Hei kalian, ayo kita makan dulu sebelum mulai membereskan barang-barang. Lagipula tidak banyak yang harus dibawa jadi pasti akan selesai dengan cepat."Antonio menikmati makan tengah malamnya—lagi—bersama Thea, Lucas, dan dua karyawannya. "Kamu tidak mau ayamnya, Thea? Atau kentang?" Antonio menawari Thea yang hanya mengambil tumisan buatan Lucas saja tanpa menyentuh ayam ataupun kudapan lain yang Antonio telah beli."Tidak. Ini sudah cukup," tukas Thea singkat.Hanya Antonio yang makan dengan lahap. Thea menyuapkan nasi dan lauk dengan malas, sementara tiga laki-laki lainnya makan dengan canggung dan sesekali saling melirik."Aku sudah selesai," cetus Thea. Ia memang hanya mengambil sedikit sekali makanan. Meski begitu ia bahkan tidak menghabiskan is

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (I)

    Tangan kekar Antonio menenteng satu tas berukuran cukup besar. Dari otot yang timbul di sekujur tangan lelaki itu, sudah bisa dipastikan bahwa terdapat benda yang cukup berat di dalam tas.Setelah berjalan sekitar dua puluh meter dari mobil yang ia kendarai, pria itu tiba di depan sebuah gudang terbengkalai—tempat ia dan David bertemu tempo hari. Terlihat bekas kerusakan yang Antonio tinggalkan pada pintu gudang itu.Antonio mencengkeram kuat leher tas yang ia bawa kemudian mendorong pintu gudang dan masuk. Bukan hanya pintu, tapi hampir seluruh isi gudang kecil itu rusak berantakan."Apa lagi sekarang? Saya kira Anda akan menghabiskan hari ini dengan beristirahat dan menghabiskan waktu bersama putri kesayangan Anda," ucap Juan, Ia memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Antonio kemudian kembali berucap, "tapi Anda justru memilih untuk berkencan dengan saya?"Antonio melempar tas di tangannya hingga benturan antara lantai dan benda besar itu menciptakan suara yang menggaung di dalam

  • Love Between Blood and Tears   Berbeda

    "Terima kasih banyak untuk minumannya," kata Thea yang baru saja masuk ke dalam ruangan apartemennya.Lucas memberikan satu kantong berisi kue cokelat dan macaron kemudian berkata, "Harusnya kamu lengkapi kalimatnya, tambahkan kata 'makanan' juga."Ya, Thea harus berterima kasih karena Lucas tidak hanya membelikan dua gelas minuman tapi juga satu katong makanan ringan yang manis. Dan jangan lupakan juga jasa penjemputan dari bandara hingga ke apartemen.Tangan Thea menyambut dengan gembira sekantong makanan yang diulurkan Lucas. "Jadi ini untukku? Aku kira kamu membelinya untuk diri sendiri. Terima kasih lagi, kamu sungguh tahu seleraku.""Tidak masalah," kata Lucas yang kemudian mengusap puncak kepala Thea dan melanjutkan kalimatnya, "aku pergi dulu. Masih ada pekerjaan yang harus aku lakukan setelah ini.""Iya, hati-hati di jalan. Mampirlah sesekali kalau kamu punya waktu luang. Aku akan buatkan pasta pedas yang sangat enak," lontar Thea."Aku akan menantikannya," pungkas Lucas.Luc

  • Love Between Blood and Tears   Tekad (III)

    Terhitung hanya ada dua mobil yang melintas sepanjang Antonio menempuh perjalanan menuju apartemennya. "Terima kasih sudah menemani makan malam saya," ucap Juan yang sedari tadi berjalan di belakang Antonio.Antonio menoleh ke sumber suara. Berkat lelaki yang berusia jauh di bawahnya itu Antonio mendapatkan oleh-oleh wajah yang lebam sebelum pulang.Penutupan hari buruk yang sempurna. Saking sempurnanya keburukan yang menimpa Antonio, setidaknya tiga jam waktu tambahan harus diberikan setelah waktu pada hari itu habis. Juan memperbesar langkahnya untuk memangkas jaraknya dengan Antonio demi menyampaikan pesan terakhir sebelum mereka berpisah. "Semoga Tuan bisa beristirahat dengan lebih nyaman dan lama. Saya anggap makan malam tadi adalah pertemuan pengganti untuk agenda kita pagi ini," kata Juan tepat di telinga kiri Antonio."Iya," jawab Antonio singkat."Tersenyumlah sedikit, Tuan. Bukankah hari ini Anda akan menyambut kepulangan putri tercinta Anda?" Juan tersenyum.Sekali lagi,

DMCA.com Protection Status