“Namamu … Kelly?”
“Benar.”
Marvel mengalihkan pandangan. Ia berusaha untuk tidak terjatuh dalam pesona sang perawat ini. Setelah menghela napas dengan menahan rasa nyeri di sekujur tubuh.
“Berapa umurmu? Kau terlihat masih sangat muda untuk menjadi perawat.” Ia bertanya tanpa menatap perawat itu.
Bibir tipis tanpa polesan lipstick itu tidak lagi memamerkan senyum. “Saya hanya magang di sini. Saya belum dua puluh tahun.”
Mata Marvel menelusuri setiap lekukan seragam yang membalut kulit perawat muda ini. Ia menghela napas. Lagi-lagi meyingkirkan kecantikan dan kemolekan perawat muda di depannya ini. Lagi-lagi meskipun tidak semolek Cecilia Jung, Kelly memiliki aura sensual yang bisa menarik lelaki mana pun ke dalam pesonanya. Rasanya, ia pernah melihat wanita muda ini, tetapi di mana?
“Baikla
Marvel membuka matanya. Kamar rawatnya masih kosong. Tak ada siapa pun kecuali dirinya sendiri. Sepertinya, Dean Alvaro belum datang. Pandangan Marvel teralihkan ke luar jendela kaca. Kegelapan dan keheningan membuatnya mengerti, ini mungkin sudah sangat larut malam.Sesuatu mendesak dari balik celananya. Ia butuh kamar kecil. pria itu duduk dan menurunkan kaki dari ranjang dengan perlahan. Tangan yang tidak diperban mendorong tiang infus perlahan. Suara gesekan antara roda dan lantai terdengar. Tubuhnya menghilang di balik pintu kamar kecil.Setelah selesai, ia kembali ke tempat tidur. Alangkah terkejutnya Marvel saat melihat perawat yang pertama kali mengetahui ia telah sadar, berdiri di depan pintu.“Oh, Kelly! Kau mengagetkanku!” seloroh Marvel. Beberapa butir keringat dingin muncul di pelipis.“Apa kau mengira aku ini—hantu?” Kelly menoleh ke kiri dan
“Kau takut aku mendorong mendorongmu … Marvel?” tuduh Kelly dari belakang kursi roda Marvel. “Apa kau punya pemikiran seperti itu, Nona?” timpal Marvel. “Tidak karena aku bukan mereka,” tukas perawat itu lagi, “Mereka?” Ujung alis calon pewaris Dawson Group itu mengerut. “Orang yang sudah mencelakaimu.” Suara Kelly tegas, tetapi pelan. Sangat pelan dan jelas karena mengatakannya tepat di belakang telinga Marvel, membuat bulu kuduk lelaki itu berdiri. [Aneh, aku bukan tipikal laki-laki pengecut. Suara Kelly membuatku merinding.] “Kau—kau tahu siapa pelakunya?” Rahang pria itu mengeras, menyembunyikan kesan menakutkan dari setiap yang didengarnya. “Kau sudah membaca pesan itu?” tanya Kelly balik. Marvel mendengkus frustasi. “Jangan mempermainkanku. Ap
“Kau membuat semua orang panik, Marvel. Apa yang kau lakukan di atas sana?” Dean berdiri dengan bersedekap tangan di depan dada.“Aku hanya butuh udara segar.” Marvel menghindari tatapan Dean, manajer sekaligus sahabatnya itu. Pikirannya dipenuli oleh sentuhan Kelly di bahunya tadi malam.“Kau bisa saja mati kedinginan kalau saja pihak rumah sakit tidak menemukanmu.” Dean terdengar frustasi.“Yah, setidaknya itu tidak terjadi.” Pikiran Marvel tidak sedang di sini, di ruangan ini. Sebaliknya, ia merasa masih terjebak di atas sana, di tempat ia ditemukan pagi ini. Terbujur kedinginan.Saat terbangun, tubuhnya sudah sangat hangat. Sama hangatnya dengan tatapan gadis itu, Kelly. Wajahnya sangat mirip dengan Marshella Wood. Namun, Marshella tidak memiliki mata sehijau itu. Mata wajah yang ia ingat berwarna sebiru samudera. Setidaknya itu yang m
“Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan, tapi menghilang selama satu minggu dan memilih York sebagai tempat berlibur adalah hal yang konyol. Yorkshire adalah tempat paling mengerikan. Hanya ada kastil-kastil berhantu yang bisa saja menyeretmu ke abad pertengahan, Sayang. Katakan padaku, di mana kau menginap selama di sini?”Cecilia Jung terus saja mengoceh sejak keluar dari rumah sakit. Mengatakan hal yang sama berulang kali seperti pertama kalinya datang ke rumah sakit. Marvel sama sekali tidak mengacuhkan. Matanya melekat pada bangunan merah di antara kastil-kastil batu tua bersejarah di kota ini yang baru saja dilewati mobilnya.York—kota kecil yang tidak semegah London dan tidak begitu jauh dari Manchester—dibangun di abad pertengahan, seperti kata Cecilia. Jejak-jejak kuno masih terlihat jelas sepanjang mata memandang. Namun, bangunan merah itu sangat menyolok. Sekelebat ingatan mu
“Berhenti.” Suara pelan Marvel yang sudah cukup sadar membuat kedua mau tak mau mengakhiri debat kusir. Dean menuruti perintah Marvel.“Ada apa, Marvel?” tanya manajernya itu. Pria itu menepikan mobil dari tengah jembatan.“Ada apa, Sayang?” Cecilia ikut bertanya dan mengabaikan pandangan menghina dari Dean.“Dean, apa kau ingat aku punya wanita lain selain Cecilia? Kelly—mungkin aku punya kekasih bernama Kelly.” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir tipis Marvel.Wajah Cecilia memerah seiring senyuman penuh kemenangan yang terlihat di wajah Dean Alvaro. Pandangan mata wanita itu seperti ingin membunuhnya. “Apa maksudmu, Marvel? Memangnya—kau punya kekasih selain aku?” Suara Cecilia terdengar dipaksa bersabar dan lembut. Jemarinya membelai pipi pria itu yang justru mend
Cahaya mentari mengintip dari balik tirai putih. Marvel menutup novel Ice Flower karangan Marshella Woods. Tidak ada yang istimewa sehingga ia memutuskan untuk kembali membaca kalimat per kalimat dari novel fenomenal bertemakan kehidupan para bangsawan empat ratus tahun yang lalu. Namun, beberapa adegan di dalamnya terasa begitu nyata dalam ingatan pemuda itu. Ia sudah membolak-balikan halaman novel fantasi tersebut sejak bangun tidur tadi. Membaca tidak termasuk hobinya. Bahkan saat Steve Harrington mengusulkan untuk mengadopsi novel fantasi ini sebagai projek permainan daring selanjutnya, ia hanya mengiyakan tanpa tahu isi novel tersebut. Semuanya diserahkan pada Steve. [Steve.] Orang itu juga aneh. Kata Dean, dia sudah tidak masuk tiga hari setelah pewaris Dawson Group itu “menghilang”. Marvel memegang erat kepalanya. Kenapa ingatan ini sepotong-sepotong? Marvel melihat sekelebat
Marshella keluar dari toko berhiaskan krans khas Natal. Salju turun semakin lebat. Bulir-bulirnya menempel di mantel tebal berwarna merah tua yang dikenakannya. Seraya merapatkan mantel dan berjalan ke jalan utama Shaftesbury Avenue dan menunggu bus di halte. Smartphone gadis itu bergetar. “Ya, Angel?” sapanya setelah menggeser ikon gagang telepon berwana hijau. “Jangan pulang, Ella!” Suara adiknya terdengar penuh penekanan dan pelan. “Kenapa suaramu berbisik?” Bus merah bertingkat berhenti. Marshella memeluk goodie bag berisi pernak-pernik Natal dan bergegas masuk begitu pintu bus dibuka. “Dia datang! Dia mencarimu!” “Dia? Dia siapa?” Marshella menjatuhkan diri ke kursi. Tidak banyak penumpang di malam bersalju ini. Hanya ada dirinya dan tiga orang pria dengan mantel hitam dan top hat yang sering muncul di film berlatar abad pertengahan. “Manajer pe
“Temui aku akhir pekan ini di Hotel Castle York, Kamar 22. Jangan beritahu siapa pun. Marshella Wood.” ***/*** Undangan penuh makna. Pesan itu terselip di dalam lembaran draft kerja sama projek antara penerbit novel fantasi Ice Flower karangan Marshella Wood, Purple Publisher dan Dawson Group. Ini adalah projek penentu bagi Marvel. Jika dia berhasil, perusahaan Dawson Group akan menjadi miliknya. Itulah janji Gregory Dawson, sang kakek. Demi itu semualah Marvel rela mengambil projek di production house yang ditawarkan sang kakek. Belum tiga hari dari waktu yang sudah diberikan, penulis muda itu sudah memberikan jawaban. Lalu karena pesan singkat itu, Marvel mengendarai Porsche dari London ke York tanpa memberitahu siapa pun. “Kamar hotel?” Marvel menyunggingkan senyuman. Tidak ada ruginya juga menghabiskan waktu bers
Cahaya mentari mengintip dari balik tirai putih. Marvel menutup novel Ice Flower karangan Marshella Woods. Tidak ada yang istimewa sehingga ia memutuskan untuk kembali membaca kalimat per kalimat dari novel fenomenal bertemakan kehidupan para bangsawan empat ratus tahun yang lalu. Namun, beberapa adegan di dalamnya terasa begitu nyata dalam ingatan pemuda itu. Ia sudah membolak-balikan halaman novel fantasi tersebut sejak bangun tidur tadi. Membaca tidak termasuk hobinya. Bahkan saat Steve Harrington mengusulkan untuk mengadopsi novel fantasi ini sebagai projek permainan daring selanjutnya, ia hanya mengiyakan tanpa tahu isi novel tersebut. Semuanya diserahkan pada Steve. [Steve.] Orang itu juga aneh. Kata Dean, dia sudah tidak masuk tiga hari setelah pewaris Dawson Group itu “menghilang”. Marvel memegang erat kepalanya. Kenapa ingatan ini sepotong-sepotong? Marvel melihat sekelebat
“Berhenti.” Suara pelan Marvel yang sudah cukup sadar membuat kedua mau tak mau mengakhiri debat kusir. Dean menuruti perintah Marvel.“Ada apa, Marvel?” tanya manajernya itu. Pria itu menepikan mobil dari tengah jembatan.“Ada apa, Sayang?” Cecilia ikut bertanya dan mengabaikan pandangan menghina dari Dean.“Dean, apa kau ingat aku punya wanita lain selain Cecilia? Kelly—mungkin aku punya kekasih bernama Kelly.” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir tipis Marvel.Wajah Cecilia memerah seiring senyuman penuh kemenangan yang terlihat di wajah Dean Alvaro. Pandangan mata wanita itu seperti ingin membunuhnya. “Apa maksudmu, Marvel? Memangnya—kau punya kekasih selain aku?” Suara Cecilia terdengar dipaksa bersabar dan lembut. Jemarinya membelai pipi pria itu yang justru mend
“Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan, tapi menghilang selama satu minggu dan memilih York sebagai tempat berlibur adalah hal yang konyol. Yorkshire adalah tempat paling mengerikan. Hanya ada kastil-kastil berhantu yang bisa saja menyeretmu ke abad pertengahan, Sayang. Katakan padaku, di mana kau menginap selama di sini?”Cecilia Jung terus saja mengoceh sejak keluar dari rumah sakit. Mengatakan hal yang sama berulang kali seperti pertama kalinya datang ke rumah sakit. Marvel sama sekali tidak mengacuhkan. Matanya melekat pada bangunan merah di antara kastil-kastil batu tua bersejarah di kota ini yang baru saja dilewati mobilnya.York—kota kecil yang tidak semegah London dan tidak begitu jauh dari Manchester—dibangun di abad pertengahan, seperti kata Cecilia. Jejak-jejak kuno masih terlihat jelas sepanjang mata memandang. Namun, bangunan merah itu sangat menyolok. Sekelebat ingatan mu
“Kau membuat semua orang panik, Marvel. Apa yang kau lakukan di atas sana?” Dean berdiri dengan bersedekap tangan di depan dada.“Aku hanya butuh udara segar.” Marvel menghindari tatapan Dean, manajer sekaligus sahabatnya itu. Pikirannya dipenuli oleh sentuhan Kelly di bahunya tadi malam.“Kau bisa saja mati kedinginan kalau saja pihak rumah sakit tidak menemukanmu.” Dean terdengar frustasi.“Yah, setidaknya itu tidak terjadi.” Pikiran Marvel tidak sedang di sini, di ruangan ini. Sebaliknya, ia merasa masih terjebak di atas sana, di tempat ia ditemukan pagi ini. Terbujur kedinginan.Saat terbangun, tubuhnya sudah sangat hangat. Sama hangatnya dengan tatapan gadis itu, Kelly. Wajahnya sangat mirip dengan Marshella Wood. Namun, Marshella tidak memiliki mata sehijau itu. Mata wajah yang ia ingat berwarna sebiru samudera. Setidaknya itu yang m
“Kau takut aku mendorong mendorongmu … Marvel?” tuduh Kelly dari belakang kursi roda Marvel. “Apa kau punya pemikiran seperti itu, Nona?” timpal Marvel. “Tidak karena aku bukan mereka,” tukas perawat itu lagi, “Mereka?” Ujung alis calon pewaris Dawson Group itu mengerut. “Orang yang sudah mencelakaimu.” Suara Kelly tegas, tetapi pelan. Sangat pelan dan jelas karena mengatakannya tepat di belakang telinga Marvel, membuat bulu kuduk lelaki itu berdiri. [Aneh, aku bukan tipikal laki-laki pengecut. Suara Kelly membuatku merinding.] “Kau—kau tahu siapa pelakunya?” Rahang pria itu mengeras, menyembunyikan kesan menakutkan dari setiap yang didengarnya. “Kau sudah membaca pesan itu?” tanya Kelly balik. Marvel mendengkus frustasi. “Jangan mempermainkanku. Ap
Marvel membuka matanya. Kamar rawatnya masih kosong. Tak ada siapa pun kecuali dirinya sendiri. Sepertinya, Dean Alvaro belum datang. Pandangan Marvel teralihkan ke luar jendela kaca. Kegelapan dan keheningan membuatnya mengerti, ini mungkin sudah sangat larut malam.Sesuatu mendesak dari balik celananya. Ia butuh kamar kecil. pria itu duduk dan menurunkan kaki dari ranjang dengan perlahan. Tangan yang tidak diperban mendorong tiang infus perlahan. Suara gesekan antara roda dan lantai terdengar. Tubuhnya menghilang di balik pintu kamar kecil.Setelah selesai, ia kembali ke tempat tidur. Alangkah terkejutnya Marvel saat melihat perawat yang pertama kali mengetahui ia telah sadar, berdiri di depan pintu.“Oh, Kelly! Kau mengagetkanku!” seloroh Marvel. Beberapa butir keringat dingin muncul di pelipis.“Apa kau mengira aku ini—hantu?” Kelly menoleh ke kiri dan
“Namamu … Kelly?”“Benar.”Marvel mengalihkan pandangan. Ia berusaha untuk tidak terjatuh dalam pesona sang perawat ini. Setelah menghela napas dengan menahan rasa nyeri di sekujur tubuh.“Berapa umurmu? Kau terlihat masih sangat muda untuk menjadi perawat.” Ia bertanya tanpa menatap perawat itu.Bibir tipis tanpa polesan lipstick itu tidak lagi memamerkan senyum. “Saya hanya magang di sini. Saya belum dua puluh tahun.”Mata Marvel menelusuri setiap lekukan seragam yang membalut kulit perawat muda ini. Ia menghela napas. Lagi-lagi meyingkirkan kecantikan dan kemolekan perawat muda di depannya ini. Lagi-lagi meskipun tidak semolek Cecilia Jung, Kelly memiliki aura sensual yang bisa menarik lelaki mana pun ke dalam pesonanya. Rasanya, ia pernah melihat wanita muda ini, tetapi di mana?“Baikla
“Oh, kepalaku!”Marvel Dawson menggerakkan tangannya untuk menyentuh pelipis yang terasa sakit. Perban. Ia lantas menggerakkan tubuh. “Argh!” Seluruh sendi dan tulangnya terasa sakit.Dengan susah payah, punggung Marvel berhasil bersandar di kepala tempat tidur. Dalam pandangannya, semua benda masih berputar-putar. Pun dengan sosok yang baru saja muncul dari balik pintu.“Tuan Dawson, Anda sudah sadar.”Marvel memejamkan mata agar nuansa berputar-putarnya hilang. Saat dirasa sedikit lebih baik, seraya kembali membuka mata.Suara tadi berasal dari seorang wanita muda yang tak dikenalnya. Namun—dari pakaian wanita muda itu dan ruangan serba putih serta interior di sini—Marvel kemudian tahu bahwa ia sedang berada di rumah sakit dan wanita ini adalah perawat.“Apa yang terjadi padaku?” tanyanya dengan uj
Suasana di kafe Perky Peacock cukup ramai di hari yang dingin ini. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Marvel memilih tempat duduk yang mudah baginya melihat ke sisi Jembatan Lendal. Di antara lalu lalang, tidak ada satu pun yang ia kenal. Itu lebih baik.Pelayan beberapa kali melewatinya. Marvel merasa harus segera pergi sebelum ditegur untuk kedua kalinya karena belum memesan apa pun di sini. Ini sudah waktunya jam makan siang dan belum ada tanda-tanda Dean Alvaro muncul di Jembatan Lendal. Marvel juga tidak melihat anak buah Gale di sekitar.Ingatan Marvel kembali pada saat pertemuannya dengan Lord Frederick di ruangan itu. Saat akan keluar dari penginapa bersama Gale, ia sempat memperhatikan sekeliling ruangan dan akhirnya mencapai pada satu kesimpulan bahwa penginapan itu bukanlah tempat pertemuannya dengan Lord Frederick. Artinya, setelah “disakiti” secara tak kasat mata, pria itu dipindahkan ke tempat