“Lalu bagaimana dengan hidup dan matimu?” tukas Marshella.
“Apa aku mati di dalam mimpimu itu?” tukas Marvel dengan intonasi mengejek.
Marshella mengerutkan dahi. Gadis itu lantas berjalan ke sisi tempat tidur dan meraih jaket tebalnya. Seraya memperbaiki letak syal merah di leher. “Baiklah, kalau begitu anggap saja kita tidak pernah bertemu dan kerja sama adaptasi novelku untuk film itu … ditolak.”
“Hei, kau tidak bisa menolak begitu saja! Hanya karena aku tidak mau mendengarkan dongengmu itu?” protes Marvel.
“Kau tidak mempercayaiku,” ralat Marshella. Ia meraih tas dan berjalan ke pintu kamar.
Marvel hendak mencegah, tetapi urung begitu melihat isyarat dari Marshella. Gadis itu meletakkan jari telunjuk ke depan bibir, menyuruhnya diam.
“Apa?” tanya Marvel.
Firasat buruk menghinggapi.
“Tolong kecilkan suaramu!” desis Marshella. Ia melirik ke arah pintu hotel. Marvel mengikuti pandangan gadis berambut pirang sebahu itu. Tak ada suara apa pun. Hanya keheningan.
“Kenapa?” Marvel menggerakkan bibirnya perlahan dengan suara sepelan mungkin.
Marshella melangkah mundur. Kini ia sejajar dengan lelaki itu. “Aku rasa ada seseorang di balik pintu itu.” Ia berbisik pada Marvel. Tangannya menunjuk bayangan di bagian bawah pintu yang memiliki sedikit rongga.
Sementara jantung berdebar-debar kencang, matanya masih menatap pintu kayu yang dipernis cokelat tua mengkilat.
“Ya sudah, kenapa tidak kau buka? Mungkin saja pelayan. Barangkali menawarkan anggur untuk lebih menghangatkan tubuh kita berdua. Kau memesannya, bukan? Kamar ini terlalu dingin untuk pria dan wanita, sementara tidak ada pelukan yang menghangatkan, bukan begitu?” tanya pria berusia dua puluh tujuh tahun itu dengan santai meskipun tetap dengan suara sama berbisiknya. Ia merasa konyol karena mengikuti gadis ini.
“Dia akan mengetuk kalau memang begitu,” tukas Marshella.
Tok tok tok!
“Dia mengetuk,” kata Marvel dengan senyum mengejek. Marshella berusaha untuk tidak menghiraukannya.
“Room service!” Suara dari balik pintu terdengar berat.
Marshella bergeming.
“Apa yang kau tunggu?” Marvel bertanya.
Marshella menoleh pada lelaki itu. Wajah pucatnya semakin terlihat pucat. “Aku tidak memesannya.”
Keduanya terdiam. Marshella memeluk erat tas di depan dada. Marvel melihat gadis itu ketakutan. Bahkan, keringat mulai terlihat di pelipisnya, sementara kamar ini justru terlalu dingin dengan salju yang masih turun di luar sana.
“Kau … baik-baik saja?” tanya Marvel dengan wajah kebingungan.
Pandangan mata Marshella masih tertuju pada pintu kamar. Ia mematung, menahan napas sebisa mungkin seolah bernapas akan membuatnya berada dalam situasi yang berbahaya.
“Room service!”
Suara pengurus hotel kembali terdengar.
Sekali lagi, Marvel mengamati Marshella. Saat melihat gadis itu masih tak bergerak, ia berjalan ke pintu.
“Jangan!” cegah Marshella dengan suara tertahan.
Marvel tidak menghiraukannya. Ia membuka pintu dan mendapati seorang pelayan berdiri sambil membawa tumpukan selimut.
“Anda meminta tambahan selimut, Tuan?” tanya pelayan itu dengan aksen Inggris Utara yang sangat kental.
Marvel memiringkan badan dan menoleh pada Marshella. “Kau berniat menginap?” tanyanya.
Marshella tergagap menjawab. “Ti … tidak.”
Marvel mengangkat kedua bahunya dan kembali menoleh pada pelayan. “Kami tidak memintanya. Kau salah kamar.”
Pelayan itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi Marvel sudah lebih dulu menutup pintu. “Lihat? Hanya pelayan hotel.” Ia berjalan mendekati Marshella yang masih pucat.
“Kau terlalu mudah takut untuk seseorang yang berani mengundang laki-laki ke kamar hotel,” celetuknya mengejek.
“Sudah kubilang, aku hanya mencari tempat yang aman untuk bertemu denganmu.” Suara Marshella masih bergetar.
“Dari apa? Satu-satunya orang yang berbahaya di sini sedang berdiri di depanmu, Nona Wood.” Marvel sedikit merentangkan kedua tangan. “Barangkali bisa menginspirasimu menulis cerita … hm, cerita romantis?” godanya.
“Aku benar-benar hanya ingin bicara denganmu, Marvel.”
“Dan menceritakan kalau kau dan aku adalah reinkarnasi seseorang berabad-abad yang lalu, seperti yang kau tulis di novelmu itu?” potong Marvel dengan muak. “Aku seharusnya tidak berhubungan denganmu, Nona Wood. Kau … tidak waras.”
Marvel mengambil jaket tebal yang tergantung di balik pintu dan memakainya. “Kalau kau mau menghentikan kerja sama kita, baik. Kerja sama itu tidak perlu terjadi. Aku tidak ingin berbisnis dengan orang yang tidak waras … sekalipun orang yang tidak waras itu begitu menggoda sepertimu.”
“Kau harus percaya padaku, kita berdua dalam bahaya.”
“Kau yang akan dalam bahaya kalau aku terlalu lama di sini, Nona Wood.”
Marvel membuka pintu kamar hotel dan membantingnya.
***
Marvel membanting pintu mobil dengan kesal. Rasa penyesalan muncul. Seharusnya ia tidak gegabah menyetujui pembatalan kerja sama ini. Bagaimana kalau Marshella Wood benar-benar membatalkannya?
Untuk sesaat—sejak pertama kali bertemu dengan Marshella—ia merasakan ketertarikan pada penulis misterius itu. Matanya yang sebiru samudera dibingkai dengan bulu mata nan lentik.
Bibir penuh dipoles lipstick merah muda. Rambut yang pirang, kontras dengan warna kulit pucat pun berhasil memikatnya. Lalu wajah jelita itu. Semua membuat jantungnya berdebar-debar saat mereka pertama kali bertemu di hotel ini.
Namun, begitu mendengar cerita tidak masuk akal yang keluar dari bibir indah itu, Marvel merasa dipermainkan. “Apa dia bilang? Reinkarnasi seorang prajurit ratusan tahun yang lalu? Kenapa tidak sekalian membual kalau aku reinkarnasi dari raja Inggris Raya? Rasa-rasanya, posisiku jauh lebih tinggi dari sekadar menjadi prajurit!”
Marvel menyandarkan punggung dengan perasaan yang masih bercampur aduk.
“Kau harus percaya padaku. Kita berdua dalam bahaya.”
Ucapan Marshella kembali terngiang-ngiang dalam benak lelaki itu. Marvel menyingkirkan wajah yang terlihat jujur dan penuh harap itu.
“Aku harus berhati-hati dengan gadis itu.” Marvel mengeluarkan gawai dari dalam saku jaketnya. Seraya mencari nama seseorang dan menghubunginya. Tak lama kemudian, panggilan pun terjawab.
“Dean. Batalkan kerja sama dengan Purple Publisher. Kita tidak akan mengadaptasi novel Marshella Wood untuk film.”
“Apa? Sebentar! Tapi kita sudah mendapatkan investornya, Marvel.” Suara serak Dean terdengar di seberang. Marvel menebak, manajer perusahaannya itu baru saja terbangun dari tidur nyenyak.
“Cari cerita lain untuk projek itu. Masih banyak penulis baru yang novelnya juga booming di pasaran.”
“Waktunya sudah terlalu mepet, Marvel! Kita sudah mengincar novel ini sejak awal. Production House kita terlalu kecil untuk nama besar perusahaan kakekmu. Ingat, kau tidak akan mendapatkan posisi CEO kalau gagal di sini. Bayangkan apa yang akan dikatakan oleh Albert, pamanmu. Kau bilang, dia saingan terberatmu, kan?” Kini, suara Dean terdengar frustasi.
“Lalu kau memintaku percaya dengan cerita omong kosong penulis itu?” tukas Marvel dengan hati gondok.
“Apa maksudmu? Cerita omong kosong apa?”
Marvel menggelengkan kepala beberapa kali. “Tidak. Lupakan saja! Intinya, batalkan kerja sama itu. Masalah investor akan kuurus segera.”
“Marvel, kita harus bicara. Kau tidak bisa mendadak membatalkan sepihak begini.”
Marvel mengusap pelipisnya. “Ini bukan sepihak. Penulisnya juga tidak mau bekerja sama.”
“Kau … bertemu dengan Nona Marshella Wood? Larut malam begini? Sebentar! Kau di mana?”
“Kenapa kau jadi sangat cerewet, Dean?” keluh Marvel.
“Kakekmu tadi ke kantor. Kau tidak ada dan tidak bisa dihubungi. Jangan mentang-mentang cucunya lalu kau ….”
“Ya, ya, ya, berhentilah mengoceh, sahabatku. Aku tidak akan menghancurkan projek kita. Projek ini bisa membuatku memiliki Dawson Group.” Marvel memasang sabuk pengaman. “Aku sedang dalam perjalanan ke London. Mungkin baru sampai menjelang pagi. Kita bicarakan besok di kantor.”
“Memangnya kau di mana?”
Belum sempat menjawab, seseorang muncul tiba-tiba di depan mobil Marvel.
Nona Wood?
***
“Nona Wood?” Gadis itu terlihat ketakutan dan mengetuk—sedikit lebih keras dan tergesa-gesa—kaca jendela mobil Marvel. Pria itu segera menurunkan kaca mobil, mematikan koneksi panggilannya dengan Dean begitu saja. “Apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat … berantakan?” tanya Marvel dengan penuh keheranan melihat penampilan acak-acakan Marshella Wood. Belum sampai lima belas menit yang lalu mereka bersama dan penampilan penulis itu sudah sedemikian berbeda. “Tolong aku, Tuan Dawson!” Bibir Marshella bergetar. Berkali-kali ia menoleh ke sekeliling, seakan-akan sesuatu akan muncul dan menerkam. Marvel memang merasa kesal sejak meninggalkan kamar hotel tadi. Namun, ia kesal dengan kisah “reinkarnasi” Marshella, bukan pada gadis itu. Ia pun turun dari mobil dan berusaha menenangkannya. “Hei, lihat aku! Aku di sini. Apa yang membuatmu ketakutan?” Marvel memegang kedua bahu Marshella. Wajah penulis itu pucat pasi.
Pemberontakan York, Tahun 1489 [Marshella menyentuh kepalanya yang sakit. Seraya membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat yang tidak asing. Mimpi itu datang lagi. Gadis itu berdiri dan melihat dirinya masih mengenakan pakaian seperti yang biasanya, bukan tipikal pakaian yang dikenakan wanita di abad pertengahan. Artinya, ia tidak akan terlihat oleh siapa pun. Marshella mengamati sekeliling ruangan. Tidak ada siapa-siapa di sini. Perlahan, gadis berambut ikal sebahu itu meraih kenop pintu dan membukanya. Suara hiruk pikuk terdengar dari segala penjuru. Marshella menuruni tangga dan berjalan kea rah sebuah papan pengumuman di pinggir jalan, dekat keramaian. Papan pengumuman itu mengingatkannya pada majalah dinding saat sekolah dulu. Seraya membaca baris huruf yang tertulis di perkamen berwarna kecokelatan.
“Aku tidak mau menikahi Lord Frederick!” [Marshella terkejut.] Kelly nyaris berteriak pada ibunya. Ia tidak bisa menerima saat Lyana membahas surat lamaran itu setiba di benteng menara yang sudah tidak digunakan. Mereka memilih untuk beristirahat di sini sebelum melanjutkan pelarian menuju biara di kaki gunung atau memutuskan untuk kembali dan menerima lamaran itu. [Marshella sendiri bisa merasakan kegundahan Kelly.] “Kau akan aman di sana, Kelly. Lord Frederick menawarkan pengampunan atas apa yang telah dilakukan oleh ayahmu jika kau menerima lamarannya!” tekan Lyana. “Jadi, Ibu juga menuduh ayah berkhianat? Ibu tidak percaya ayah?” Kelly tidak percaya dengan sikap ibunya. “Kecilkan suaramu!” perintah ibunya berbisik. Kelly membuang muka. Lyana menghela napas. “Bu
[Marshella melihat Kelly menghampiri Keith yang berdiri di samping sumur tua. Selain pemuda itu, tak ada orang lain. Rider mengikuti dari belakang Kelly untuk berjaga-jaga.] “Apa yang kau inginkan?” tanya Kelly tidak ramah. Ia sedikit menyipitkan mata. “Jawaban, Nona.” Pemuda itu menjawab singkat. “Tuan Frederick menyuruhmu menunggu jawabanku?” tanya Kelly lagi. Pemuda itu kembali mengangguk. “Siapa namamu?” “Orang-orang memanggilku Keith, si penunggang kuda.” Pemuda bernama Keith itu tidak menunjukan ekspresi apa pun. “Baiklah, Keith si Penunggang Kuda. Sampaikan pada Tuan Frederick kalau aku mengajukan syarat untuk pernikahan ini.” “Kau tidak bisa melakukannya, Nona.” Keith menatap lurus pada Kelly. “Kenapa?” Keith diam sejenak. Kali ini, wajah dinginnya menunjukkan emosi. “Karena ini lamaran untuk menyelamatkan semua
“Mereka penjahat yang bodoh,” gumam Marshella setelah berhasil membuka semua rantai. Seraya lantas mencoba mendengar suara dari balik pintu. Hening.Marshella semakin menempelkan telinganya ke daun pintu. Lagi-lagi tidak mendengar suara apa pun. Lalu tiba-tiba kenop pintu diputas dari luar.Mata Marshella membola, tubuhnya menegang. Pintu pun dibuka seseorang dan orang itu adalah pria yang ia temui saat turun dari bus di malam sebelum Natal.“Oh, bagaimana kau bisa melepaskan diri?” Ia menoleh ke rantai di tempat tidur dan melihat kunci tergeletak di sana. “Ah, aku ke sini karena ketinggalan kunci itu,” lirihnya lalu kembali menatap Marshella.“Otakmu berpikir cepat juga, Nona Wood.” Seraya mendekat dan membuat wanita itu terdorong mundur. “Begitu sadar, kau benar-benar memanfaatkan kesempatan.” Matanya menatap tajam.&n
Siapa? Marshella menebak siapa pemilik suara itu. “Tenanglah. Saluran pembuangan ini punya banyak cabang. Kita berada di sisi tebing. Di bawah sana adalah mulut gua. Jangan bersuara jika tidak ingin suaramu menggema dan mereka tahu posisi kita.” Marshella mendengus. Siapa yang bicara di antara kita saat ini? Ingin rasanya melontarkan kalimat itu. Akan tetapi, mulutnya masih dibekap oleh orang di belakangnya. Suaranya sangat familiar, tetapi tidak mungkin orang ini adalah dia. Marshella memberikan isyarat agar pria itu melepaskan bungkaman di mulutnya. Pria itu mengerti dan segera menyingkirkan tangannya. Marshella bernapas lega. Ia pun menoleh dengan susah payah. Matanya membola. “Marvel?” Marvel meletakkan jari di bibirnya. Marshella segera menutup mulutnya sendiri. Pria itu lantas
“Don'ttrust everyoneyou meet, evensaltlooks likesugar.” -Anonymously- *** “Jadi, sekarang kau percaya padaku?” tanya Marshella setelah mereka berada cukup jauh dari kastil. “Sama sekali.” Marvel membaca papan petunjuk jalan yang baru saja mereka lewati. “Sepertinya jalan ini menuju Whitby.” “Benarkah?” Marshella ikut menoleh keluar. Namun, papan petunjuk arah sudah terlewati. “Yah, setidaknya lebih baik bertemu drakula daripada komplotan itu lagi.” Whitby memang terkenal sebagai tempat untuk ‘bertemu’ drakula atau vampire sejak sebuah novel klasik berlatar tempat itu tentang makhluk itu karangan Bram Stoker muncul tahun 1897. Marshella hanya memutar kedua bola matanya. Ada hal lebih penting yang ingin ia ketahui. “Lalu, ken
“Don'ttrust everyoneyou meet, evensaltlooks likesugar.” -Anonymously- ***** “Dari mana kau tahu ada tempat seperti ini?” Marvel mengedarkan pandangangannya ke sekeliling tebing yang mengarah langsung pada dermaga. “Apa tempat ini juga muncul dalam mimpimu?” Ada nada mengejek yang disuarakannya. Marshella menahan diri untuk tidak membalas ejekan itu. “Aku tahu dari pramuniaga di toko sepatu tadi,” jawabnya singkat. Seraya menjatuhkan diri ke atas sofa dan merapatkan jumper musim dingin yang dicuri Marvel dari wagon. Sejujurnya, dia merasa bersalah karena mengenakan jumper ini. Ia berjanji akan kembali ke toko itu dan membayarnya. “Orang tadi mengatakan kalau ada pub di atas bukit ini yang sudah tutup karena merugi. Pemiliknya sedang mencari pembeli. Ide ke sini
Cahaya mentari mengintip dari balik tirai putih. Marvel menutup novel Ice Flower karangan Marshella Woods. Tidak ada yang istimewa sehingga ia memutuskan untuk kembali membaca kalimat per kalimat dari novel fenomenal bertemakan kehidupan para bangsawan empat ratus tahun yang lalu. Namun, beberapa adegan di dalamnya terasa begitu nyata dalam ingatan pemuda itu. Ia sudah membolak-balikan halaman novel fantasi tersebut sejak bangun tidur tadi. Membaca tidak termasuk hobinya. Bahkan saat Steve Harrington mengusulkan untuk mengadopsi novel fantasi ini sebagai projek permainan daring selanjutnya, ia hanya mengiyakan tanpa tahu isi novel tersebut. Semuanya diserahkan pada Steve. [Steve.] Orang itu juga aneh. Kata Dean, dia sudah tidak masuk tiga hari setelah pewaris Dawson Group itu “menghilang”. Marvel memegang erat kepalanya. Kenapa ingatan ini sepotong-sepotong? Marvel melihat sekelebat
“Berhenti.” Suara pelan Marvel yang sudah cukup sadar membuat kedua mau tak mau mengakhiri debat kusir. Dean menuruti perintah Marvel.“Ada apa, Marvel?” tanya manajernya itu. Pria itu menepikan mobil dari tengah jembatan.“Ada apa, Sayang?” Cecilia ikut bertanya dan mengabaikan pandangan menghina dari Dean.“Dean, apa kau ingat aku punya wanita lain selain Cecilia? Kelly—mungkin aku punya kekasih bernama Kelly.” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir tipis Marvel.Wajah Cecilia memerah seiring senyuman penuh kemenangan yang terlihat di wajah Dean Alvaro. Pandangan mata wanita itu seperti ingin membunuhnya. “Apa maksudmu, Marvel? Memangnya—kau punya kekasih selain aku?” Suara Cecilia terdengar dipaksa bersabar dan lembut. Jemarinya membelai pipi pria itu yang justru mend
“Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan, tapi menghilang selama satu minggu dan memilih York sebagai tempat berlibur adalah hal yang konyol. Yorkshire adalah tempat paling mengerikan. Hanya ada kastil-kastil berhantu yang bisa saja menyeretmu ke abad pertengahan, Sayang. Katakan padaku, di mana kau menginap selama di sini?”Cecilia Jung terus saja mengoceh sejak keluar dari rumah sakit. Mengatakan hal yang sama berulang kali seperti pertama kalinya datang ke rumah sakit. Marvel sama sekali tidak mengacuhkan. Matanya melekat pada bangunan merah di antara kastil-kastil batu tua bersejarah di kota ini yang baru saja dilewati mobilnya.York—kota kecil yang tidak semegah London dan tidak begitu jauh dari Manchester—dibangun di abad pertengahan, seperti kata Cecilia. Jejak-jejak kuno masih terlihat jelas sepanjang mata memandang. Namun, bangunan merah itu sangat menyolok. Sekelebat ingatan mu
“Kau membuat semua orang panik, Marvel. Apa yang kau lakukan di atas sana?” Dean berdiri dengan bersedekap tangan di depan dada.“Aku hanya butuh udara segar.” Marvel menghindari tatapan Dean, manajer sekaligus sahabatnya itu. Pikirannya dipenuli oleh sentuhan Kelly di bahunya tadi malam.“Kau bisa saja mati kedinginan kalau saja pihak rumah sakit tidak menemukanmu.” Dean terdengar frustasi.“Yah, setidaknya itu tidak terjadi.” Pikiran Marvel tidak sedang di sini, di ruangan ini. Sebaliknya, ia merasa masih terjebak di atas sana, di tempat ia ditemukan pagi ini. Terbujur kedinginan.Saat terbangun, tubuhnya sudah sangat hangat. Sama hangatnya dengan tatapan gadis itu, Kelly. Wajahnya sangat mirip dengan Marshella Wood. Namun, Marshella tidak memiliki mata sehijau itu. Mata wajah yang ia ingat berwarna sebiru samudera. Setidaknya itu yang m
“Kau takut aku mendorong mendorongmu … Marvel?” tuduh Kelly dari belakang kursi roda Marvel. “Apa kau punya pemikiran seperti itu, Nona?” timpal Marvel. “Tidak karena aku bukan mereka,” tukas perawat itu lagi, “Mereka?” Ujung alis calon pewaris Dawson Group itu mengerut. “Orang yang sudah mencelakaimu.” Suara Kelly tegas, tetapi pelan. Sangat pelan dan jelas karena mengatakannya tepat di belakang telinga Marvel, membuat bulu kuduk lelaki itu berdiri. [Aneh, aku bukan tipikal laki-laki pengecut. Suara Kelly membuatku merinding.] “Kau—kau tahu siapa pelakunya?” Rahang pria itu mengeras, menyembunyikan kesan menakutkan dari setiap yang didengarnya. “Kau sudah membaca pesan itu?” tanya Kelly balik. Marvel mendengkus frustasi. “Jangan mempermainkanku. Ap
Marvel membuka matanya. Kamar rawatnya masih kosong. Tak ada siapa pun kecuali dirinya sendiri. Sepertinya, Dean Alvaro belum datang. Pandangan Marvel teralihkan ke luar jendela kaca. Kegelapan dan keheningan membuatnya mengerti, ini mungkin sudah sangat larut malam.Sesuatu mendesak dari balik celananya. Ia butuh kamar kecil. pria itu duduk dan menurunkan kaki dari ranjang dengan perlahan. Tangan yang tidak diperban mendorong tiang infus perlahan. Suara gesekan antara roda dan lantai terdengar. Tubuhnya menghilang di balik pintu kamar kecil.Setelah selesai, ia kembali ke tempat tidur. Alangkah terkejutnya Marvel saat melihat perawat yang pertama kali mengetahui ia telah sadar, berdiri di depan pintu.“Oh, Kelly! Kau mengagetkanku!” seloroh Marvel. Beberapa butir keringat dingin muncul di pelipis.“Apa kau mengira aku ini—hantu?” Kelly menoleh ke kiri dan
“Namamu … Kelly?”“Benar.”Marvel mengalihkan pandangan. Ia berusaha untuk tidak terjatuh dalam pesona sang perawat ini. Setelah menghela napas dengan menahan rasa nyeri di sekujur tubuh.“Berapa umurmu? Kau terlihat masih sangat muda untuk menjadi perawat.” Ia bertanya tanpa menatap perawat itu.Bibir tipis tanpa polesan lipstick itu tidak lagi memamerkan senyum. “Saya hanya magang di sini. Saya belum dua puluh tahun.”Mata Marvel menelusuri setiap lekukan seragam yang membalut kulit perawat muda ini. Ia menghela napas. Lagi-lagi meyingkirkan kecantikan dan kemolekan perawat muda di depannya ini. Lagi-lagi meskipun tidak semolek Cecilia Jung, Kelly memiliki aura sensual yang bisa menarik lelaki mana pun ke dalam pesonanya. Rasanya, ia pernah melihat wanita muda ini, tetapi di mana?“Baikla
“Oh, kepalaku!”Marvel Dawson menggerakkan tangannya untuk menyentuh pelipis yang terasa sakit. Perban. Ia lantas menggerakkan tubuh. “Argh!” Seluruh sendi dan tulangnya terasa sakit.Dengan susah payah, punggung Marvel berhasil bersandar di kepala tempat tidur. Dalam pandangannya, semua benda masih berputar-putar. Pun dengan sosok yang baru saja muncul dari balik pintu.“Tuan Dawson, Anda sudah sadar.”Marvel memejamkan mata agar nuansa berputar-putarnya hilang. Saat dirasa sedikit lebih baik, seraya kembali membuka mata.Suara tadi berasal dari seorang wanita muda yang tak dikenalnya. Namun—dari pakaian wanita muda itu dan ruangan serba putih serta interior di sini—Marvel kemudian tahu bahwa ia sedang berada di rumah sakit dan wanita ini adalah perawat.“Apa yang terjadi padaku?” tanyanya dengan uj
Suasana di kafe Perky Peacock cukup ramai di hari yang dingin ini. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Marvel memilih tempat duduk yang mudah baginya melihat ke sisi Jembatan Lendal. Di antara lalu lalang, tidak ada satu pun yang ia kenal. Itu lebih baik.Pelayan beberapa kali melewatinya. Marvel merasa harus segera pergi sebelum ditegur untuk kedua kalinya karena belum memesan apa pun di sini. Ini sudah waktunya jam makan siang dan belum ada tanda-tanda Dean Alvaro muncul di Jembatan Lendal. Marvel juga tidak melihat anak buah Gale di sekitar.Ingatan Marvel kembali pada saat pertemuannya dengan Lord Frederick di ruangan itu. Saat akan keluar dari penginapa bersama Gale, ia sempat memperhatikan sekeliling ruangan dan akhirnya mencapai pada satu kesimpulan bahwa penginapan itu bukanlah tempat pertemuannya dengan Lord Frederick. Artinya, setelah “disakiti” secara tak kasat mata, pria itu dipindahkan ke tempat