Yenny menatap Stemmy yang lemah, berusaha sekuat tenaga menahan sakit yang makin menyayat setiap bagian tubuhnya. Dia bergulingan di atas kasur, sambil terus mengerang. Wajahnya pucat, keringat dingin terus saja mengucur karena Stemmy berusaha bertahan dari kesakitan luar biasa. Yenny hanya bisa memegang tangan Stemmy sambil menangis. Tidak pernah dia melihat orang semenderita ini. Bahkan papanya, saat sakit yang lalu tidak seburuk ini kondisinya.
Clarissa pun tak tega melihat Stemmy. Dia cepat menelpon Adimasta, memastikan Adimasta akan segera datang. Tapi Adimasta tidak merespon panggilan Clarissa. Bingung, cemas, kalut, itu yang berkecamuk di hati dua gadis itu.
Pintu kamar diketuk. Cepat-cepat Clarissa membuka pintu, dan Adimasta masuk. Pemandangan yang memilukan tampak di mata Adimasta. Stemmy terkapar, tak berdaya di atas kasur.
"Di, aku ga tahu mau gimana? Aku ga sanggup lihat Stemmy." Clarissa menatap Adimasta dengan perasaan carut marut.
"Dok
Clarissa sampai di tempat kosnya. Adimasta dan Yenny sudah tiba lebih dulu. Stemmy sudah mendapat tempat yang tepat untuk memulihkan dirinya. Sekarang yang mereka bicarakan bagaimana tindakan selanjutnya membantu Stemmy. Adimasta meminta Yenny datang menemui orang tua Stemmy dan menjelaskan apa yang terjadi. Perlu cara tepat agar mereka tidak terlalu terkejut. Apa saja ke depan yang mungkin akan dihadapi Stemmy. Clarissa yang akan menemani Yenny bertemu orang tua Stemmy. Kemudian masalah perkuliahan Stemmy. Pasti, semester ini dia gugur. Tetapi ada cara untuk membela Stemmy di hadapan dewan kampus. Adimasta sempat berbicara dengan Diaz dan Diaz bersedia bicara ke pimpinan kampus untuk menolong Stemmy. "Apakah mungkin Stemmy tidak akan DO?" Yenny memandang Adimasta. "Kak Diaz bilang, Stemmy membuat surat pernyataan. Isinya adalah pengakuan kondisinya. Dia menyadari kesalahannya dan sedang berusaha memperbaiki diri. Dia minta kam
Suara keras Clarissa memaksa Adimasta menjauhkan ponsel dari telinganya. Sudah lama Adimasta tidak mendengar nada ketus dari gadis kesayangannya itu. "Jujur sama aku kamu ke mana, Di? Kamu udah selesai urusan di kampus dari setengah lima. Tapi kabari aku sekedar bilang lagi di mana, apa ga bisa?" Berlanjut serangan Clarissa pada Adimasta. Adimasta mengelus dadanya. Ternyata belum sepenuhnya hilang sifat yang satu ini. Bisa tiba-tiba muncul lagi. Hati-hati saja, juteknya kambuh. "Sorry, Clay. Aku ga ada maksud ga kasih tahu. Beneran. Kamu juga lagi sibuk, kan?" Adimasta berusaha setenang mungkin bicara pada Clarissa. Dia harus bisa meredakan marah kekasihnya atau momen-momen manis bersama pacarnya itu akan berubah jadi suasana macam angin puyuh mendera tiba-tiba. "Bisa kamu njawab. Biar sibuk juga kalau buka chat barang satu menit dan telpon tiga menit apa ga mungkin?" Clarissa sekarang yang kalang kabut kalau Adimasta tidak mem
Bicara hati ke hati dengan Bramantyo, Clarissa cukup lega. Pria itu memang sangat sayang pad Rosita. Dia bahkan mengatakan tidak berpikir punya anak dengan pernikahannya. Dia hanya ingin berbahagia bersama wanita yang dia cintai. Karena itu dia berjuang sekuat tenaga agar semua yang Rosita perlu terpenuhi. Rosita akan terus sehat dan selama mungkin mereka bsia bersama sebagai suami istri. "Bantu aku, Clarissa, agar mama kamu mengerti aku sungguh-sungguh sayang dia. Ga ada pikiran aneh-aneh. Serius." Bramantyo menegaskan lagi apa yang dia katakan. Clarissa tersenyum dan mengangguk. "Oke, Om. Tapi tetap atur waktu ajak mama keluar. Mungkin satu atau dua jam saja seminggu sekali. Kurasa itu cukup buat mama." "Baiklah, aku akan atur waktu. Thank you. Senang bisa bicara dengan kamu." Bramantyo juga tampak lega. Mereka menemui Rosita yang sudah masuk ke kamarnya. Adimasta dan Bu Tinah ada di sana. Terdengar tawa riang dari mereka. Adimasta pasti sedan
Wajah Adimasta memerah. Tawa Clarissa sedikit membuat dia malu. Kenapa juga tiba-tiba dia katakan soal anak pada Clarissa? Masih jauh tentu saja bayangan sebuah keluarga untuk Clarissa. Dia gadis bebas. Dia akan melakukan yang dia mau. Berpacaran dan bisa menikmati kasih sayang Clarissa saja, itu sudah sangat bagus. Tapi menikah? Oh-oh, jangan cepat-cepat memikirkannya! "Sorry ..." Adimasta menaikkan kacamatanya, meskipun tidak melorot juga. "Kamu sudah mau punya anak, Pak Adi?" Clarissa masih ingin ngakak mengingat kata-kata Adimasta. "Udah, ga usah dipikir. Aku memang ngaco," timpal Adimasta. Dan saat itu Diaz muncul. Leganya, melihat dia datang. "Di mana istriku?" Diaz bicara dengan cemas pada Clarissa dan Adimasta. Kompak, keduanya menunjuk ruangan di sebelah mereka. Diaz dengan cepat melangkah ke arah pintu, tepat pintu terbuka, seorang perawat keluar dari ruangan itu. Diaz bicara dengan perawat itu, bertanya tentang Anindit
Clarissa benar-benar kesal dengan apa yang dia dengar dari Nena. Selama ini dia sangat yakin Adimasta cowok setia dan jujur. Dia pria yang dapat dipercaya. Karena itu Clarissa tidak lagi menahan hatinya untuk jatuh cinta pada Adimasta. Malam ini semua terbuka di depannya. Adimasta tidak ada bedanya dengan cowok yang lain. Clarissa tidak akan bisa berada di sisinya jika dia mendua. Di belakangnya Adimasta punya rahasia yang harusnya tidak boleh dia lakukan. Jika saling sayang, dia tidak akan mempermainkan perasaan Clarissa. Clarissa tidak mau menjadi wanita lemah dan bodoh seperti mamanya. Jika memang Adimasta tidak bisa mempertahankan hatinya untuk Clarissa lebih baik akhiri saja semuanya. Dia baik-baik saja tanpa Adimasta, kalau sekarang harus melepasnya, dia juga pasti tidak akan apa-apa. "Cukup, cukup sudah. Aku ga mau jadi korban yang selanjutnya. Papa dan mama memang sekarang bahagia bersama pasangan mereka masing-masing, tapi aku tahu betapa sakitnya ke
Dengan hati resah, Adimasta pun menuturkan apa yang terjadi. Beberapa minggu lalu, saat awal-awal Clarissa dan Yenny sibuk dengan persoalan Stemmy, tanpa Adimasta sengaja, dia bertemu dengan Lena di pinggir jalan tidak jauh dari kampus.Gadis tampak kesakitan dan gemetar. Adimasta kebetulan membawa mobil ke kampus hari itu. Dia pakai mobil karena ada survei ke suatu lokasi dengan teman-teman. Saat pulang itulah dia bertemu Lena. Karena kasihan, Adimasta mengantar Lena pulang. Sampai di rumahnya, Lena pingsan. Dari ibu Lena, Adimasta tahu gadis itu menderita penyakit lambung yang parah. Jika lengah sedikit saja, pasti kambuh. Tapi Lena selalu bersemangat dan tidak mau menunjukkan sakitnya. Satu sisi seolah dia melawan keadaannya, tidak peduli. Di sisi lain, dia tidak mau keadaannya menjadi penghalang dia mengerjakan banyak hal yang dia inginkan. Fisik dan keinginan sering bertabrakan. Lena dan ibunya sering berselisih karena itu. "Jadi, ibunya minta
Clarissa melangkah menuju kamarnya. Badannya terasa sakit dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lelah dan penat sekali. Pasti karena perjalanan lama dan jauh yang dia tempuh kemarin, lalu dia tidur dengan posisi duduk. Masuk ke kamar, Clarissa segera mandi, membersihkan dirinya. Segar terasa menggantikan semua lesu di tubuhnya. Cukup lama Clarissa di kamar mandi, lebih dari setengah jam. Setelah puas, Clarissa memakai pakaian tidur dan naik ke atas kasur. "Ah, leganya ..." ucapnya lirih. Berbaring di kasur yang empuk, nyaman sekali. Terasa matanya kembali berat. Belum sampai -benar-benar lelap, terdengar bunyi dari perutnya. Sekarang rasa lapar yang mengganggunya. Kesal juga karena ingin tidur saja banyak penghalang. Clarissa kembali bangun, mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Dia lebih baik makan baru tidur. Dia akan memesan makanan secara online, praktis. Belum sampai dia tetapkan mau makan apa, pintu kamarnya diketuk. Clarissa m
Angin terasa berdesir di hutan kota itu. Daun-daun sedikit berguguran. Dingin menerpa wajah Clarissa. Dia tangkup kedua pipinya, menoleh pada Adimasta. Kekasihnya itu menanyakan hal yang tidak sulit, tapi tidak mudah juga dia jawab, setelah apa yang terjadi di antara mereka. "Kenapa kamu tanyakan itu, Di?" Clarissa malah bertanya balik, karena tidak tahu mau menjawab apa. Kalau Clarissa katakan Adimasta tidak perlu menolong orang lain, jahat sekali hatinya. Jika Clarissa katakan, tentu saja boleh, akan sangat mungkin Adimasta akan begini lagi. Dengan hati terbuka dia akan menolong lagi cewek yang jelas suka padanya. Adimasta memberi harapan untuk mereka mendekat dan meraih hati cowok itu. Clarissa tahu ada cewek-cewek yang tidak peduli kalaupun cowok yang dia sukai punya kekasih, dia akan berusaha mengejarnya, membuat cowok itu lupa kekasihnya. Clarissa ingat dirinya sendiri, begitu memaksa Diaz agar mau menerima cintanya. Seperti tidak ada pria lain saja. Pa
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b