Clarissa benar-benar kesal dengan apa yang dia dengar dari Nena. Selama ini dia sangat yakin Adimasta cowok setia dan jujur. Dia pria yang dapat dipercaya. Karena itu Clarissa tidak lagi menahan hatinya untuk jatuh cinta pada Adimasta.
Malam ini semua terbuka di depannya. Adimasta tidak ada bedanya dengan cowok yang lain. Clarissa tidak akan bisa berada di sisinya jika dia mendua. Di belakangnya Adimasta punya rahasia yang harusnya tidak boleh dia lakukan. Jika saling sayang, dia tidak akan mempermainkan perasaan Clarissa.
Clarissa tidak mau menjadi wanita lemah dan bodoh seperti mamanya. Jika memang Adimasta tidak bisa mempertahankan hatinya untuk Clarissa lebih baik akhiri saja semuanya. Dia baik-baik saja tanpa Adimasta, kalau sekarang harus melepasnya, dia juga pasti tidak akan apa-apa.
"Cukup, cukup sudah. Aku ga mau jadi korban yang selanjutnya. Papa dan mama memang sekarang bahagia bersama pasangan mereka masing-masing, tapi aku tahu betapa sakitnya ke
Dengan hati resah, Adimasta pun menuturkan apa yang terjadi. Beberapa minggu lalu, saat awal-awal Clarissa dan Yenny sibuk dengan persoalan Stemmy, tanpa Adimasta sengaja, dia bertemu dengan Lena di pinggir jalan tidak jauh dari kampus.Gadis tampak kesakitan dan gemetar. Adimasta kebetulan membawa mobil ke kampus hari itu. Dia pakai mobil karena ada survei ke suatu lokasi dengan teman-teman. Saat pulang itulah dia bertemu Lena. Karena kasihan, Adimasta mengantar Lena pulang. Sampai di rumahnya, Lena pingsan. Dari ibu Lena, Adimasta tahu gadis itu menderita penyakit lambung yang parah. Jika lengah sedikit saja, pasti kambuh. Tapi Lena selalu bersemangat dan tidak mau menunjukkan sakitnya. Satu sisi seolah dia melawan keadaannya, tidak peduli. Di sisi lain, dia tidak mau keadaannya menjadi penghalang dia mengerjakan banyak hal yang dia inginkan. Fisik dan keinginan sering bertabrakan. Lena dan ibunya sering berselisih karena itu. "Jadi, ibunya minta
Clarissa melangkah menuju kamarnya. Badannya terasa sakit dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lelah dan penat sekali. Pasti karena perjalanan lama dan jauh yang dia tempuh kemarin, lalu dia tidur dengan posisi duduk. Masuk ke kamar, Clarissa segera mandi, membersihkan dirinya. Segar terasa menggantikan semua lesu di tubuhnya. Cukup lama Clarissa di kamar mandi, lebih dari setengah jam. Setelah puas, Clarissa memakai pakaian tidur dan naik ke atas kasur. "Ah, leganya ..." ucapnya lirih. Berbaring di kasur yang empuk, nyaman sekali. Terasa matanya kembali berat. Belum sampai -benar-benar lelap, terdengar bunyi dari perutnya. Sekarang rasa lapar yang mengganggunya. Kesal juga karena ingin tidur saja banyak penghalang. Clarissa kembali bangun, mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Dia lebih baik makan baru tidur. Dia akan memesan makanan secara online, praktis. Belum sampai dia tetapkan mau makan apa, pintu kamarnya diketuk. Clarissa m
Angin terasa berdesir di hutan kota itu. Daun-daun sedikit berguguran. Dingin menerpa wajah Clarissa. Dia tangkup kedua pipinya, menoleh pada Adimasta. Kekasihnya itu menanyakan hal yang tidak sulit, tapi tidak mudah juga dia jawab, setelah apa yang terjadi di antara mereka. "Kenapa kamu tanyakan itu, Di?" Clarissa malah bertanya balik, karena tidak tahu mau menjawab apa. Kalau Clarissa katakan Adimasta tidak perlu menolong orang lain, jahat sekali hatinya. Jika Clarissa katakan, tentu saja boleh, akan sangat mungkin Adimasta akan begini lagi. Dengan hati terbuka dia akan menolong lagi cewek yang jelas suka padanya. Adimasta memberi harapan untuk mereka mendekat dan meraih hati cowok itu. Clarissa tahu ada cewek-cewek yang tidak peduli kalaupun cowok yang dia sukai punya kekasih, dia akan berusaha mengejarnya, membuat cowok itu lupa kekasihnya. Clarissa ingat dirinya sendiri, begitu memaksa Diaz agar mau menerima cintanya. Seperti tidak ada pria lain saja. Pa
Rumah tampak sepi. Seperti biasanya. Clarissa memarkir mobilnya dan segera masuk ke dalam mencari mamanya. Rosita ada di ruang makan, bersama Bu Tirah, menyiapkan hidangan buat acara istimewa hari itu. "Kenapa Mama ikut masak?" Clarissa tidak mengira malah di hari ulang tahunnya Rosita repot dengan berbagai menu. Harusnya dia duduk manis dan menikmati semuanya. Rosita tersenyum. Dia memeluk Clarissa dan mencium kedua pipi putrinya. "Kangen, kangen kamu, Sayang. Kalau ga ada sesuatu, kamu ga mikir pulang." "Maaf, Ma. Aku ..." Clarissa masih merangkul Rosita, sambil memandang mamanya yang kali ini terlihat segar. "Duduk yuk, kita bicara." Rosita menarik tangan Clarissa dan mengajaknya duduk. Rosita memandang Clarissa lekat-lekat. Dia tahu putrinya sedang galau. Ini kesempatan baik dia bisa bicara dengannya. Bukan hal mudah dia dan Clarissa bisa bersama, apalagi bicara dari hati ke hati. Senang sekali ketika Clarissa mulai bicara dan mengutarakan
Alicia terlihat begitu tegang. Dia mengusap matanya beberapa kali sambil bicara dengan dokter. Diaz yang ada di sebelahnya merangkul bahu Alicia menenangkan wanita itu. Clarissa memang berdiri agak jauh dan tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Hampir yakin, Clarissa merasa kondisi Adimasta cukup parah. Dokter meninggalkan tempat itu, Alicia dan Diaz menoleh pada Clarissa. Dengan cepat Clarissa mendekat. Melihat tatapan keduanya membuat hati Clarissa makin tak tenang. "Adi gimana, Tan?" Clarissa memandang Alicia. Campur aduk rasa hatinya, melihat air mata Alicia kembali menitik. "Dia ... mengalami gegar otak. Dokter masih belum tahu reaksinya seperti apa. Mereka akan pastikan lebih jauh dalam observasi lanjutan. Kita harus memastikan dia bisa mengingat dengan baik atau tidak." Alicia menjawab dengan hati carut marut. Air mata Clarissa langsung meluncur di kedua pipinya. Adimasta, cowok cupu yang sudah merebut hatinya itu kini berjuang dengan
Mata Clarissa basah, dia cepat mengusapnya, tidak ingin Adimasta melihatnya menangis. Adimasta masih bingung dengan dirinya. Ada yang dia ingat, ada yang hilang dan sama sekali dia tidak mengerti pembicaraan Clarissa. Hati Clarissa sedih sekali. Ini situasi yang sangat berat untuk Adimasta. "Kamu pacar aku, kan?" Adimasta memandang Clarissa. Tatapannya penuh cinta, senyum manis tersunggin di bibirnya. Clarissa mengangguk. Dada Clarissa rasanya penuh. Adimasta kekasihnya, dia cinta pemuda baik hati itu. Tapi dia sekarang sedang kacau karena kecelakaan yang dia alami. "Kamu udah daftar masuk PT, kan? Kamu mau kuliah di mana?" Adimasta bertanya lagi. Clarissa mengerutkan keningnya. "Masuk kuliah? Adi ... kita kenal saat sudah mahasiswa." Pikiran Adimasta benar-benar kacau. Clarissa bingung juga bagaimana menghadapi Adimasta. "Oh, masa iya?" Adimasta mengernyit, mencoba mengingat-ingat. "Aku panggil Tante Alicia, sebentar," ujar Cl
Mata Yenny memandang Clarissa lekat-lekat. Mendengar ucapan Clarissa, memaksa Yenny menajamkan telinga. Ini serius Clarissa yang bicara? "Kamu beneran, Clay?" Yenny spontan mengucapkan kata itu. Clarissa tersenyum, nyengir. Dia tahu Yenny tidak percaya padanya. "Aku kelihatan sedang bohong, ya?" Bibir Yenny tersenyum lebar. "Sorry. Bukan maksud aku ga percaya. Kamu sudah sayang Adi sepenuh hati?" Clarissa menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Yang muncul di benaknya, Adimasta datang dengan membawa makanan. Lalu Adimasta dengan buku-buku di tangan. Wajah cowok itu yang tetap tersenyum sekalipun berulang kali Clarissa sengaja ingin membuat dia kesal. "Harus. Rugi dan menyesal kalau aku ga sayang sama Adi." Ini kata-kata yang Yenny pernah ucapkan. Mendengar Clarissa mengulanginya, Yenny tersenyum lebih lebar. "Kalau bukan Adi, seperti yang kamu bilang, ga akan betah sama aku." Clarissa melanjutkan kata-katanya. Ingat tingkahnya sendiri,
"Clay ..." Adimasta lebih dalam memandang Clarissa. Ingatannya membawa dia pada hari pertama saat dia bertemu Clarissa. ** Hari itu Clarissa turun dari mobilnya di parkiran kampus. Dia berjalan dengan cepat karena kelas hampir mulai. Dengan wajah jutek dan muka panjang dia melangkah. Matanya menyiratkan dia kesal tetapi sedang sedih. Hampir bertabrakan dengan Adimasta di depan kelas, Clarissa melotot pada Adimasta dengan mata berkaca-kaca. Tetapi tatapannya terlihat geram. "Kamu baik-baik saja?" Kalimat pertama yang Adimasta katakan. Gadis di depannya ini sangat unik. Warna-warni dari kepala hingga kalinya dan begitu cantik. "Ga usah sok kenal." Ucapan dingin itu cukup mengejutkan Adimasta. Gadis cantik itu ternyata galak dan angkuh. ** "Kenapa kamu hari itu galak sekali? Aku hanya ingin tahu kamu baik-baik saja." Adimasta mengusap pipi Clarissa sekali lagi. Clarissa tidak mengerti apa yang Adimasta bicarakan. "Hari apa
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b