Clarissa melangkah menuju kamarnya. Badannya terasa sakit dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lelah dan penat sekali. Pasti karena perjalanan lama dan jauh yang dia tempuh kemarin, lalu dia tidur dengan posisi duduk.
Masuk ke kamar, Clarissa segera mandi, membersihkan dirinya. Segar terasa menggantikan semua lesu di tubuhnya. Cukup lama Clarissa di kamar mandi, lebih dari setengah jam. Setelah puas, Clarissa memakai pakaian tidur dan naik ke atas kasur.
"Ah, leganya ..." ucapnya lirih.
Berbaring di kasur yang empuk, nyaman sekali. Terasa matanya kembali berat. Belum sampai -benar-benar lelap, terdengar bunyi dari perutnya. Sekarang rasa lapar yang mengganggunya. Kesal juga karena ingin tidur saja banyak penghalang.
Clarissa kembali bangun, mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Dia lebih baik makan baru tidur. Dia akan memesan makanan secara online, praktis. Belum sampai dia tetapkan mau makan apa, pintu kamarnya diketuk.
Clarissa m
Angin terasa berdesir di hutan kota itu. Daun-daun sedikit berguguran. Dingin menerpa wajah Clarissa. Dia tangkup kedua pipinya, menoleh pada Adimasta. Kekasihnya itu menanyakan hal yang tidak sulit, tapi tidak mudah juga dia jawab, setelah apa yang terjadi di antara mereka. "Kenapa kamu tanyakan itu, Di?" Clarissa malah bertanya balik, karena tidak tahu mau menjawab apa. Kalau Clarissa katakan Adimasta tidak perlu menolong orang lain, jahat sekali hatinya. Jika Clarissa katakan, tentu saja boleh, akan sangat mungkin Adimasta akan begini lagi. Dengan hati terbuka dia akan menolong lagi cewek yang jelas suka padanya. Adimasta memberi harapan untuk mereka mendekat dan meraih hati cowok itu. Clarissa tahu ada cewek-cewek yang tidak peduli kalaupun cowok yang dia sukai punya kekasih, dia akan berusaha mengejarnya, membuat cowok itu lupa kekasihnya. Clarissa ingat dirinya sendiri, begitu memaksa Diaz agar mau menerima cintanya. Seperti tidak ada pria lain saja. Pa
Rumah tampak sepi. Seperti biasanya. Clarissa memarkir mobilnya dan segera masuk ke dalam mencari mamanya. Rosita ada di ruang makan, bersama Bu Tirah, menyiapkan hidangan buat acara istimewa hari itu. "Kenapa Mama ikut masak?" Clarissa tidak mengira malah di hari ulang tahunnya Rosita repot dengan berbagai menu. Harusnya dia duduk manis dan menikmati semuanya. Rosita tersenyum. Dia memeluk Clarissa dan mencium kedua pipi putrinya. "Kangen, kangen kamu, Sayang. Kalau ga ada sesuatu, kamu ga mikir pulang." "Maaf, Ma. Aku ..." Clarissa masih merangkul Rosita, sambil memandang mamanya yang kali ini terlihat segar. "Duduk yuk, kita bicara." Rosita menarik tangan Clarissa dan mengajaknya duduk. Rosita memandang Clarissa lekat-lekat. Dia tahu putrinya sedang galau. Ini kesempatan baik dia bisa bicara dengannya. Bukan hal mudah dia dan Clarissa bisa bersama, apalagi bicara dari hati ke hati. Senang sekali ketika Clarissa mulai bicara dan mengutarakan
Alicia terlihat begitu tegang. Dia mengusap matanya beberapa kali sambil bicara dengan dokter. Diaz yang ada di sebelahnya merangkul bahu Alicia menenangkan wanita itu. Clarissa memang berdiri agak jauh dan tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Hampir yakin, Clarissa merasa kondisi Adimasta cukup parah. Dokter meninggalkan tempat itu, Alicia dan Diaz menoleh pada Clarissa. Dengan cepat Clarissa mendekat. Melihat tatapan keduanya membuat hati Clarissa makin tak tenang. "Adi gimana, Tan?" Clarissa memandang Alicia. Campur aduk rasa hatinya, melihat air mata Alicia kembali menitik. "Dia ... mengalami gegar otak. Dokter masih belum tahu reaksinya seperti apa. Mereka akan pastikan lebih jauh dalam observasi lanjutan. Kita harus memastikan dia bisa mengingat dengan baik atau tidak." Alicia menjawab dengan hati carut marut. Air mata Clarissa langsung meluncur di kedua pipinya. Adimasta, cowok cupu yang sudah merebut hatinya itu kini berjuang dengan
Mata Clarissa basah, dia cepat mengusapnya, tidak ingin Adimasta melihatnya menangis. Adimasta masih bingung dengan dirinya. Ada yang dia ingat, ada yang hilang dan sama sekali dia tidak mengerti pembicaraan Clarissa. Hati Clarissa sedih sekali. Ini situasi yang sangat berat untuk Adimasta. "Kamu pacar aku, kan?" Adimasta memandang Clarissa. Tatapannya penuh cinta, senyum manis tersunggin di bibirnya. Clarissa mengangguk. Dada Clarissa rasanya penuh. Adimasta kekasihnya, dia cinta pemuda baik hati itu. Tapi dia sekarang sedang kacau karena kecelakaan yang dia alami. "Kamu udah daftar masuk PT, kan? Kamu mau kuliah di mana?" Adimasta bertanya lagi. Clarissa mengerutkan keningnya. "Masuk kuliah? Adi ... kita kenal saat sudah mahasiswa." Pikiran Adimasta benar-benar kacau. Clarissa bingung juga bagaimana menghadapi Adimasta. "Oh, masa iya?" Adimasta mengernyit, mencoba mengingat-ingat. "Aku panggil Tante Alicia, sebentar," ujar Cl
Mata Yenny memandang Clarissa lekat-lekat. Mendengar ucapan Clarissa, memaksa Yenny menajamkan telinga. Ini serius Clarissa yang bicara? "Kamu beneran, Clay?" Yenny spontan mengucapkan kata itu. Clarissa tersenyum, nyengir. Dia tahu Yenny tidak percaya padanya. "Aku kelihatan sedang bohong, ya?" Bibir Yenny tersenyum lebar. "Sorry. Bukan maksud aku ga percaya. Kamu sudah sayang Adi sepenuh hati?" Clarissa menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Yang muncul di benaknya, Adimasta datang dengan membawa makanan. Lalu Adimasta dengan buku-buku di tangan. Wajah cowok itu yang tetap tersenyum sekalipun berulang kali Clarissa sengaja ingin membuat dia kesal. "Harus. Rugi dan menyesal kalau aku ga sayang sama Adi." Ini kata-kata yang Yenny pernah ucapkan. Mendengar Clarissa mengulanginya, Yenny tersenyum lebih lebar. "Kalau bukan Adi, seperti yang kamu bilang, ga akan betah sama aku." Clarissa melanjutkan kata-katanya. Ingat tingkahnya sendiri,
"Clay ..." Adimasta lebih dalam memandang Clarissa. Ingatannya membawa dia pada hari pertama saat dia bertemu Clarissa. ** Hari itu Clarissa turun dari mobilnya di parkiran kampus. Dia berjalan dengan cepat karena kelas hampir mulai. Dengan wajah jutek dan muka panjang dia melangkah. Matanya menyiratkan dia kesal tetapi sedang sedih. Hampir bertabrakan dengan Adimasta di depan kelas, Clarissa melotot pada Adimasta dengan mata berkaca-kaca. Tetapi tatapannya terlihat geram. "Kamu baik-baik saja?" Kalimat pertama yang Adimasta katakan. Gadis di depannya ini sangat unik. Warna-warni dari kepala hingga kalinya dan begitu cantik. "Ga usah sok kenal." Ucapan dingin itu cukup mengejutkan Adimasta. Gadis cantik itu ternyata galak dan angkuh. ** "Kenapa kamu hari itu galak sekali? Aku hanya ingin tahu kamu baik-baik saja." Adimasta mengusap pipi Clarissa sekali lagi. Clarissa tidak mengerti apa yang Adimasta bicarakan. "Hari apa
Ujian berlalu. Libur antar tahun ajaran tiba. Clarissa setiap hari datang ke rumah Adimasta dan menemani cowok itu. Adimasta pulih secara fisik. Semua luka-luka di tubuhnya hampir sepenuhnya hilang. Sementara otaknya belum juga kembali pada posisi semula. Ingatannya masih kabur dan ke mana-mana. Ada kalanya yang dia bicara seolah dia sudah sehat sempurna, lain waktu kembali pada tahun atau bulan-bulan yang lalu. Tetapi yang melegakan Adimasta bisa belajar dengan benar. Materi-materi perkuliahan dia bisa menyerap. Dosen memberi kelonggaran Adimasta mengerjakan tugas dan ujian pada masa liburan. Arjuna dan Alicia menghadap pihak kampus meminta kebijakan untuk kasus Adimasta. Tentu saja kampus membantu semaksimal mungkin, agar Adimasta tidak akan gugur, jika memang dia bisa mengejar. "Selesai. Gimana? Aku pintar, kan?" Adimasta tersenyum lebar pada Clarissa. Dia baru menyelesaikan satu ujian. Bagusnya, dosen mengijinkan Adimasta menyelesaikan semua dari rumah. A
Rumah Es Krim. Buat Clarissa, tempat itu adalah tempat yang juga istimewa. Saat dia masih kanak-kanak, cukup sering datang ke tempat itu bersama mama dan papanya. Setelah orang tuanya berpisah, Clarissa jarang sekali ke sana. Yang dia ingat mungkin hanya empat atau lima kali saja Clarissa pergi dengan teman-temannya. Rasanya momen manis bersama papa dan mama berganti pedih jika ingat dia tidak bersama mereka lagi. Tapi setelah Clarissa memperbaiki hubungan dengan orang tuanya, rasa tidak nyaman yang hinggap di hati seperti menguap dengan sendirinya. Duduk berdua dengan Adimasta, berhadapan sambil bicara, rasanya menyenangkan. Memandang wajah kekasihnya, meskipun masih belum pulih sepenuhnya, Clarissa makin merasa nyaman. "Cobain, enak sekali. Coklat vanila." Adimasta menyendok es krim dan mendekatkan ke mulut Clarissa. Clarissa mengarahkan wajahnya ke sendok itu, menerima suapan Adimasta. Senyum Adimasta melebar. "Sheren ..." Adima