"Clay ..." Adimasta lebih dalam memandang Clarissa. Ingatannya membawa dia pada hari pertama saat dia bertemu Clarissa.
**
Hari itu Clarissa turun dari mobilnya di parkiran kampus. Dia berjalan dengan cepat karena kelas hampir mulai. Dengan wajah jutek dan muka panjang dia melangkah. Matanya menyiratkan dia kesal tetapi sedang sedih.
Hampir bertabrakan dengan Adimasta di depan kelas, Clarissa melotot pada Adimasta dengan mata berkaca-kaca. Tetapi tatapannya terlihat geram.
"Kamu baik-baik saja?" Kalimat pertama yang Adimasta katakan. Gadis di depannya ini sangat unik. Warna-warni dari kepala hingga kalinya dan begitu cantik.
"Ga usah sok kenal." Ucapan dingin itu cukup mengejutkan Adimasta. Gadis cantik itu ternyata galak dan angkuh.
**
"Kenapa kamu hari itu galak sekali? Aku hanya ingin tahu kamu baik-baik saja." Adimasta mengusap pipi Clarissa sekali lagi.
Clarissa tidak mengerti apa yang Adimasta bicarakan. "Hari apa
Ujian berlalu. Libur antar tahun ajaran tiba. Clarissa setiap hari datang ke rumah Adimasta dan menemani cowok itu. Adimasta pulih secara fisik. Semua luka-luka di tubuhnya hampir sepenuhnya hilang. Sementara otaknya belum juga kembali pada posisi semula. Ingatannya masih kabur dan ke mana-mana. Ada kalanya yang dia bicara seolah dia sudah sehat sempurna, lain waktu kembali pada tahun atau bulan-bulan yang lalu. Tetapi yang melegakan Adimasta bisa belajar dengan benar. Materi-materi perkuliahan dia bisa menyerap. Dosen memberi kelonggaran Adimasta mengerjakan tugas dan ujian pada masa liburan. Arjuna dan Alicia menghadap pihak kampus meminta kebijakan untuk kasus Adimasta. Tentu saja kampus membantu semaksimal mungkin, agar Adimasta tidak akan gugur, jika memang dia bisa mengejar. "Selesai. Gimana? Aku pintar, kan?" Adimasta tersenyum lebar pada Clarissa. Dia baru menyelesaikan satu ujian. Bagusnya, dosen mengijinkan Adimasta menyelesaikan semua dari rumah. A
Rumah Es Krim. Buat Clarissa, tempat itu adalah tempat yang juga istimewa. Saat dia masih kanak-kanak, cukup sering datang ke tempat itu bersama mama dan papanya. Setelah orang tuanya berpisah, Clarissa jarang sekali ke sana. Yang dia ingat mungkin hanya empat atau lima kali saja Clarissa pergi dengan teman-temannya. Rasanya momen manis bersama papa dan mama berganti pedih jika ingat dia tidak bersama mereka lagi. Tapi setelah Clarissa memperbaiki hubungan dengan orang tuanya, rasa tidak nyaman yang hinggap di hati seperti menguap dengan sendirinya. Duduk berdua dengan Adimasta, berhadapan sambil bicara, rasanya menyenangkan. Memandang wajah kekasihnya, meskipun masih belum pulih sepenuhnya, Clarissa makin merasa nyaman. "Cobain, enak sekali. Coklat vanila." Adimasta menyendok es krim dan mendekatkan ke mulut Clarissa. Clarissa mengarahkan wajahnya ke sendok itu, menerima suapan Adimasta. Senyum Adimasta melebar. "Sheren ..." Adima
Pertanyaan Alicia membuat Clarissa sedikit terkejut. Tetapi dia siap menjawab apa yang wanita lembut itu utarakan padanya. "Aku, aku sayang Adi, Tan. Awalnya memang tidak. Aku terima Adi karena dia baik. Setelah bersama sekian lama, aku sangat beruntung mendapat cinta dari Adi," kata Clarissa jujur. Alicia memperhatikan raut wajah Clarissa. Ada sendu, tetapi mengenai perasaannya, Alicia bisa merasakan Clarissa tulus. "Dan, saat mengenal keluarga ini ..." Clarissa melanjutkan, "... banyak hal aku belajar. Tentang sebuah keluarga yang sebenarnya. Peduli, saling dukung, mau menerima, tanpa menghakimi. Terbuka memberi kesempatan orang untuk menjadi dirinya dan berubah menjadi lebih baik." Alicia tersenyum. Dia tidak mengira ini yang Clarissa rasakan saat bersama dengan keluarganya. Alicia senang dengan pengakuan Clarissa. "Terima kasih, kamu tidak pergi dan tetap mau sabar di sisi Adi. Kita tunggu sedikit lagi pasti Adi bisa pulih, ok?" Alicia mem
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap