Clarissa bisa maklum jika Yenny tidak sepakat dengan dirinya. Pasti sama seperti teman yang lain, jika mereka tahu Clarissa mengejar dosen baru mereka, akan muncul cibiran dan sindiran. Tapi bukan Clarissa namanya kalau akan mundur hanya karena kata orang.
"Yenny, langkah awal sudah dapat poin, tinggal meneruskan saja. Hm? Aku yakin bisa meluluhkan hati dosen kita." Clarissa menepuk pipi Yenny.
"Clay, lebih baik fokus belajar, dah. Jangan macam-macam. Dosen kayak Pak Diaz pasti maunya dapat wanita elegan, bukan slengekan kadang rada ga jelas seperti kamu." Mulut ceplas ceplos Yenny mulai tak terkendali.
"Terserah mau bilang apa. Hari ini langkah pertama. Semua mengarah pada tujuan yang mulia, bersanding dengan pria idaman. Kenapa aku harus mikir yang lain? Tantangan itu wajar saja, bikin perjuangan makin berarti." Clarissa pindah memencet hidung Yenny.
"Hei, tangan itu dikondisikan. Jangan muka orang jadi sasaran mulu," tukas Yenny kesal.
Clarissa ngakak, dia beranjak menuju ke kamarnya. Paling lega kalau sudah sampai kamar, berbaring di kasur paling menyenangkan. Segera Clarissa mandi dan berganti pakaian, lalu melompat ke atas kasur.
Seperti biasa, Clarissa menengok ke sosmed. Clarissa merasa leleh seperti menyingkir dengan melihat macam-macam yang dia temukan di sana. Postingan teman-temannya, mencari info menarik, atau melihat hal-hal unik yang kadang hanya postingan lucu yang tidak penting.
Clarissa tidak akan lupa cek juga ke akun Diaz. Sedikit kecewa karena tidak ada yang berubah. Dosen itu tidak terlalu suka sosmed tampaknya. Tidak ada postingan baru di sana. Tapi, ada satu tag dari postingan seseorang yang menyebut nama Diaz. Clarissa memperhatikan baik-baik.
Foto bersama, seperti foto keluarga. Clarissa membaca caption tentang gambar itu. 'Family is everything. Senang sekali bisa ngumpul sama-sama. Pasti segera kangen lagi bisa barengan lagi.'
Clarissa melihat yang memposting itu siapa. Seorang gadis, masih remaja. Clarissa menduga mungkin adik Diaz atau keponakannya. Dari tampang dan gayanya mungkin masih SMP atau baru SMA.
"Family is everything?" Clarissa membisikkan kalimat itu. Ada rasa tidak nyaman menyusup mengatakan itu. Yang jelas, buat Clarissa, family, keluarga, bukan segalanya. Yang dia rasa dalam keluarga hanya kecewa dan marah. Meskipun sekarang dia tidak lagi terlalu peduli, sebenarnya di dasar hatinya rasa kecewa dan marah itu belum pernah hilang.
Ingatan Clarissa terbawa pada kisah pilu di rupanya. Saat itu dia baru kelas 6 SD, tidak lama lagi dia akan lulus.
"Aku menyesal menikah dengan kamu. Dasar laki-laki hidung belang! Kenapa mataku buta ga bisa lihat kalau kamu tipe pria ga bisa tahan sama satu wanita?!" Teriakan Rosita pada Arlon, papa Clarissa.
"He! Aku bukan sembarang cari wanita. Kamu aja istri ga becus, makanya aku sampai cari yang lain. Urus rumah dan anak cuma satu ga beres, mana suami betah?!" Arlon tidak mau kalah membantah Rosita.
Pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Hingga beberapa bulan kemudian, tepat saat Clarissa dinyatakan lulus dari sekolah dasar, kedua orang tuanya berpisah.
"Papa!! Papa ga sayang aku?! Papa tega pergi tinggalin aku?!" Clarissa menangis berderai-derai. Di peluk papanya kuat-kuat, meminta papanya tidak keluar rumah. Arlon sudah siap dengan koper besar dan akan segera pergi.
Arlon pun memeluk Clarissa erat. Tentu dia sayang putrinya, tapi pernikahan tidak bisa dia pertahankan. Dia dan Rosita hanya saling menyalahkan, ga bisa bicara, terus saja saling menyakiti. Berpisah, seakan jadi jawaban terbaik.
"Hhufffhhh ..." Clarissa mengembuskan nafas berat. "Papa ..."
Di awal Arlon pergi, Clarissa masih sering ditelpon, ditengok setidaknya seminggu sekali. Sayangnya, setelah Arlon menikah lagi, dia mulai sibuk dengan istri barunya, dengan keluarga istrinya yang juga perlu support darinya. Apalagi dua tahun setelah menikah, Arlon pindah tugas ke kota lain. Makin jarang berkomunikasi. Yang pasti, uang bulanan buat Clarissa tidak pernah telat masuk rekening.
"Kadang aku kangen banget. Pingin kayak dulu, Pa. Papa main sama aku, bercanda bikin aku ngakak. Tapi papa bukan buatku sekarang."
Tangan Clarissa iseng membuka akun sosmed Arlon. Foto keluarga bahagia terpampang di depan mata Clarissa. Arlon tersenyum lebar memeluk anak laki-laki kecil usia 6 tahun. Dia tampan sekali. Terlihat bahagia dalam pelukan Arlon. Di samping mereka, seorang wanita muda, juga tersenyum riang. Cantik. Wanita sederhana. Wanita seperti itu yang Arlon dambakan. Dan jelas jauh beda dengan Rosita.
Air mata Clarissa menitik. Pipinya basah. Rasa sedih dan pilu kini merambah hati Clarissa. Dulu dia merasakan pelukan hangat dan senyum menyenangkan pria itu. Sekarang, Clarissa seperti tinggal kenangan belaka buat Arlon.
"Family is everything ... Ternyata buatmu berlaku, Pa. Aku dan mama tetap kayak gini. Sekedar menjalani hidup. Kenapa aku ga bisa merasakan happy kayak papa? Apa aku ga pantas dapat keluarga yang bahagia juga?" Clarissa mengusap pipinya yang masih belum kering.
Masa bahagia punya orang tua lengkap sudah makin lama hilang. Clarissa tak ingin mengingat lagi atau hanya akan menambah perih hatinya. Tapi jauh di dasar hati, dia tetap mengharapkan itu. Kasih sayang seorang papa, yang selalu ada saat dia butuh.
"Apa papa ga kangen aku? Apa memang punya anak laki-laki cukup dan aku tak penting lagi?" bisik hati Clarissa lagi.
Entah karena galau yang makin dalam, tangan Clarissa masih scroll asal di ponselnya. Dia mengirim pesan begitu saja.
- Aku kangen papa. Papa apa kabar?
Lalu dia letakkan ponsel, merebahkan badan dan dia pejamkan matanya.
Hampir tertidur, Clarissa mendengar getaran dari ponselnya. Dia membuka mata dan melihat siapa yang mengirim pesan padanya.
Mata Clarissa seketika melotot lebar. Pesan masuk dari Diaz. Dan Clarissa makin terkejut saat sadar, pesan yang dia kirim tadi bukan ke nomor papanya, tapi ke nomor dosen ganteng pujaannya.
"Ya Tuhan ... Clay, kamu tadi ngapain?!" ujarnya kesal dan merasa bodoh.
- Hai, Clarissa. Kamu baik-baik saja?
Itu pesan yang Diaz tuliskan. Clarissa cepat membalas pesan itu.
- Maaf, Kak, salah kirim. Maunya ke papaku. Beneran, ga sengaja.
"Aduh, Clay, bikin malu aja. Jangan bengong, iihhh ..." Clarissa merasa wajahnya panas. Malu sekali rasanya.
- Oh, oke. Serius kamu ga apa-apa?
Clarissa membaca lagi pesan Diaz. Ini dosen baik banget. Dia beneran mau tahu Clarissa kenapa? Clarissa berpikir, apa tidak masalah kalau dia bicara sama dosen itu. Tapi ini kesempatan dia makin dekat sama Diaz, bukan?
- Kalau aku cerita ga apa-apa?
Clarissa memastikan dosennya memang ingin tahu tentang dirinya.
- Ya, if you are okay to tell, it is okay.
Clarissa mulai menulis pesan panjang. Dia katakan rindu papanya, karena lama tak berkomunikasi. Sesekali itu pun hanya sekedar say hello dan memberi kabar. Papanya sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya sendiri.
Entah bagaimana, semua kesal dan kecewa akhirnya tertuang. Clarissa seolah menulis cerpen saja pada Diaz. Diaz tidak terkejut jika Clarissa punya masalah keluarga. Itu tampak dari tingkah lakunya yang ingin jadi pusat perhatian. Tapi yang Diaz tidak mengira, jika gadis cantik ini kekurangan kasih sayang. Bukan hanya dari papanya yang telah meninggalkan dia, juga dari mamanya yang tidak memahami Clarissa.
Diaz dengan sabar menunggu Clarissa menumpahkan semua. Dia ingin mengerti betul seperti apa mahasiswa istimewa ini. Setelah tulisan berderet-deret itu, Clarissa menutup dengan satu kalimat yang membuat Diaz tersenyum.
- Maafkan daku, Kak, membuat rempong karena galau yang tak kunjung padam.
Dan balasan Diaz membuat Clarissa makin dag dig dug.
"Clay ..." Suara itu, membuat Clarissa makin degdegan. Tenang, lembut, dan meneduhkan. Dulu suara seperti ini dia dengar dari papanya. "Semua yang kamu lewati, mengajar kamu untuk jadi gadis yang kuat. Yakinlah itu." Clarissa terdiam. Selama ini tidak ada yang bicara seperti ini padanya. Bahwa hal buruk yang membuat dia kecewa akan menjadikan dia orang yang kuat? "Tanpa papa, kamu sekarang jadi wanita dewasa. Itu hebat. Dan di depan ada masa depan menunggu. Banggalah dengan diri kamu." Diaz melanjutkan. Clarissa ingin menangis keras mendengar kalimat itu. Andai Diaz ada di depannya mungkin dia akan peluk kuat-kuat. Karena Clarissa merasa hatinya pilu, tapi juga ada rasa tenang menyusup di sana. Dia ingin Diaz yang di sisinya membuat dia makin tenang. "Aku ga mikir, Kak. Yang kujalani ya udahlah. Abis SMA, ya kuliah. Ntah nanti kayak gimana, aku ga tahu." Clarissa menjawab, seperti pasrah dengan hidup. Diaz bisa merasakan Clarissa hanya sekedar menjalani masa hidup, tanpa ta
Clarissa baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia mau charge ponselnya. Saat dia keluarkan dari tas, ada beberapa kali telpon masuk dari Adimasta. Ada apa cowok itu telpon? Apa ada yang penting? Clarissa mengirim chat, karena dia harus isi data ponselnya. Dia bertanya kenapa Adimasta sibuk mencarinya. Balasan Adimasta cepat datang. Dia menanyakan apakah buku agenda tugasnya terbawa Clarissa. Clarissa tidak merasa, tapi dia akan cek dulu. Ponsel kembali diletakkan dan Clarissa membuka tasnya. Ternyata ada. Buku itu terselip dengan buku yang Clarissa pinjam. Clarissa penasaran, apa saja isi buku Adimasta. Dia duduk di meja belajarnya dan mulai membuka lembar demi lembar di buku itu. Clarissa tersenyum. Rapi, tertata, sistematis, ya itu Adimasta. Pemuda baik, ramah, dan cerdas. Sayang, di mata Clarissa, Adimasta terlihat seperti cowok tidak tegas dan lemah. Karena itu Clarissa tidak pernah menaruh hati padanya, meskipun ada beberapa teman mereka yang naksir cowok sipit itu. Cat
Dengan kesal Clarissa masuk ke dalam mobilnya. Kenapa harus Adimasta?! Dia memang tidak tertarik cowok pada itu. Tapi sejauh ini, Adimasta salah satu teman cowok yang cukup menyenangkan buat Clarissa. Setelah Clarissa tahu hati Adimasta padanya, dia hanya ingin menjauh saja. Yenny yang duduk di sebelah Clarissa tahu temannya itu benar-benar kesal. Yenny pun sama, tidak menduga jika Adimasta punya rasa buat cewek yang kadang jelas kadang ngacau itu. Di mata Yenny, cowok model Adimasta akan menyukai cewek kalem, tenang, sopan, dan lembut. Tapi ternyata, dia suka Clarissa? Seperti tidak masuk di otak Yenny. "Kamu buat apa marah? Itu urusan Adi mau suka atau nggak sama kamu. Selama ini ga bikin ribet hidup kamu, biarin." Yenny menenangkan Clarissa. "Tahu, ah. Aku mau kejar Kak Diaz. Pusing amat sama yang lain." Clarissa melajukan mobilnya. Saat berada di dekat gerbang, dia lihat Adimasta di atas motornya. Dia berhenti di pinggir jalan, sedang me
"Sayang, maafkan Mama. Sudah sering bikin kamu kesal. Mama beneran kangen sama kamu." Dengan suara parau Rosita bicara. "Nya, saya ambilkan air hangat, ya?" Bu Tirah menyela perkataan Rosita. "Iya, Bu. Terima kasih," kata Rosita. Bu Tirah beranjak meninggalkan kamar. Dia menyuruh Yenny masuk dan duduk di kursi tak jauh dari pintu. Yenny manut. Clarissa menoleh pada Yenny. Dia melambai. Yenny mendekat, berdiri di sebelah tempat tidur, di dekat Clarissa. "Ini Yenny, Ma. Sahabat aku." Clarissa mengenalkan. "Yenny, kamu pasti gadis baik. Bisa tahan dengan anak Tante ini." Rosita memandang Yenny. "Mama, ihhh," Clarissa manyun. "Clarissa, Mama tahu kamu paling kesal kalau Mama pingin bicara. Apalagi soal jodoh." Rosita mengalihkan pandangan pada Clarissa lagi. Nah, kan, kondisi sakit juga ngomong soal jodoh. "Mama hanya mau kamu dapat pria baik, hidup kamu terjamin. Karena ..." Rosita tidak meneruskan kalimatnya. Dia menarik nafas dalam. Clarissa dan Yenny menunggu. "Dokt
Tiga hari Clarissa tinggal dengan Rosita. Setelah kondisi mamanya membaik, Clarissa kembali ke tempat kosnya. Tapi komunikasi dengan Rosita lebih intens. Clarissa mau memastikan mamanya tidak drop lagi.Yenny juga lega, Clarissa sekarang kembali ceria. Kembali jutek dan seenaknya. Memang bikin kesal kelakuan temannya itu. Tapi begitulah Clarissa."Gimana mama kamu? Masih maksa buat cari calon suami buat kamu?" Yenny bertanya. Mereka sedang menunggu kelas berikutnya. Kelas Diaz."Ya, tapi ga ngotot. Aku bilang sama Mama, aku pasti bisa cari calon suami sendiri. Aku akan segera kenalkan pada mama kalau sudah jadian sama dia." Clarissa menjawab sambil membuka botol minumnya."Ooh? Mama kamu sepakat?" tanya Yenny lagi."Hmm-mm. Aku bilang paling lama tiga bulan aku akan bawa calon mantu buatnya." Dengan santai Clarissa menjawab lagi. Lalu dia meneguk air di botolnya."What? Tiga bulan? Kamu yakin?" Yenny menga
Tubuh tinggi dan gagah itu menjauh. Diaz tidak menoleh lagi pada Clarissa. Dengan tatapan pilu dan hati kecewa, Clarissa masih berdiri di tempatnya. Diaz menolak cintanya. Hubungan dekat mereka selama ini, kepedulian Diaz padanya ternyata hanya sebatas kakak dan adik. Tidak lebih.Yenny benar. Diaz tidak jatuh hati padanya. Clarissa terlalu percaya diri. Sekarang, ketika dia sudah merencanakan semua dengan baik, hasilnya nihil. Clarissa ditinggalkan."Kak Diaz, kamu jahat. Aku sangat sayang sama kamu. Kamu juga menunjukkan jika kamu sayang sama aku selama ini. Nyatanya?" Clarissa mengepalkan tangannya geram.Dalam hati Clarissa sangat marah. Dia tidak dianggap. Lagi, penolakan dia terima. Papanya meninggalkan dia. Mama tidak peduli hatinya. Sekarang, pria yang Clarissa harap bisa membalut semua pedih yang selama ini dia rasa, juga mengecewakan dia. Kenapa hidup tidak ada di pihaknya sama sekali?"Tapi bukan Clarissa kalau begini saja mundur.
Yenny menatap Adimasta. Pemuda sipit dengan kacamata itu kembali menghadap ke arahnya. Adimasta tidak salah dengar yang Yenny tanyakan. Ya, Yenny pasti tahu soal dia cinta Clarissa. Clarissa tidak mungkin tidak menceritakan kejadian dia di taman belakang kampus, terpaksa mengakui hatinya pada gadis nyentrik itu. "Ya. Aku sayang dia, Yenny." Akhirnya Yenny mendengar sendiri dari bibir tipis Adimasta. Yenny mengembuskan nafasnya, masih tidak bisa percaya. Sampai sekarang, Yenny merasa aneh Adimasta bisa jatuh cinta pada Clarissa. Karena di pandangan Yenny, karakter mereka ke mana-mana dan sampai kapan juga tidak akan mungkin nyambung. "Aku juga ga tahu, gimana bisa kayak gini." Adimasta menaikkan kacamatanya ke posisi semula. "Kamu tahu dia cinta Pak Diaz." Yenny masih memandang Adimasta. "Aku tahu. Dan Pak Diaz ga mungkin cinta Clarissa. Aku mau dia baik-baik saja." Adimasta tersenyum tipis. "Kamu yakin sanggup tetap sayang Clarissa? Dia kelakuan kayak gitu," ucap Yenny. "Aku pin
Meskipun sudah dua kali Diaz dengan tegas menolaknya, Clarissa tidak mau menyerah. Dia tidak akan mundur. Dia ingin membuktikan pada mamanya kalau dia bisa mendapatkan pria yang tepat buat dirinya. Dengan begitu, dia tidak akan dipaksa untuk menerima salah satu anak teman mamanya. Selain itu, Clarissa bisa membuat mamanya lebih tenang, seandainya kondisi kesehatannya memburuk. Clarissa baru saja masuk ke dalam mobil saat mamanya menelpon. Rosita ingin bertemu putrinya. Clarissa mengurungkan niat akan ke tempat kos, dia memutar haluan menuju rumah. Belakangan Rosita lebih banyak bekerja dari rumah. Perusahaan tempatnya bekerja mengerti kondisinya dan mengalihkan tugas yang harus dia selesaikan dengan lebih leluasa, yang bisa dikerjakan tanpa harus setiap hari datang ke kantor. Rosita tersenyum melihat putrinya datang. Clarissa sudah tidak enggan pulang, meski memang dia merasa lebih nyaman di tempat kos karena kesibukan gadis itu di kampus dan di sekitarnya. Clarissa berjalan mendekat
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b