Tiga hari Clarissa tinggal dengan Rosita. Setelah kondisi mamanya membaik, Clarissa kembali ke tempat kosnya. Tapi komunikasi dengan Rosita lebih intens. Clarissa mau memastikan mamanya tidak drop lagi.
Yenny juga lega, Clarissa sekarang kembali ceria. Kembali jutek dan seenaknya. Memang bikin kesal kelakuan temannya itu. Tapi begitulah Clarissa.
"Gimana mama kamu? Masih maksa buat cari calon suami buat kamu?" Yenny bertanya. Mereka sedang menunggu kelas berikutnya. Kelas Diaz.
"Ya, tapi ga ngotot. Aku bilang sama Mama, aku pasti bisa cari calon suami sendiri. Aku akan segera kenalkan pada mama kalau sudah jadian sama dia." Clarissa menjawab sambil membuka botol minumnya.
"Ooh? Mama kamu sepakat?" tanya Yenny lagi.
"Hmm-mm. Aku bilang paling lama tiga bulan aku akan bawa calon mantu buatnya." Dengan santai Clarissa menjawab lagi. Lalu dia meneguk air di botolnya.
"What? Tiga bulan? Kamu yakin?" Yenny mengangkat kedua alisnya. Heran, kenapa Clarissa bisa bilang seperti itu?
"Yalah. Pasti bisa. Aku sudah makin dekat sama Kak Diaz. Tinggal selangkah lagi aku pasti jadi sama dia." Dengan penuh percaya diri Clarissa mengatakannya.
"Clay, kamu jangan sembarangan. Pak Diaz itu dosen kita." Yenny mengingatkan Clarissa.
"Terus, kenapa? Dia pria yang baik, juga tampan. Pintar, cerdas, punya masa depan bagus. Ini dia lanjut studi, ga lama lagi jadi profesor. Kurang apa coba?" sahut Clarissa yakin.
Yenny menepok jidatnya. Clarissa masih saja berusaha mengejar dosen itu. Padahal jelas, Diaz baik pada semua mahasiswanya. Bukan hanya Clarissa, bukan hanya yang cewek. Semua dia perhatikan. Sudah jadi rahasia umum, dosen itu seperti teman buat mahasiswa jika di luar kelas. Kalau karena itu Clarissa merasa Diaz juga ada hati padanya, menurut Yenny, Clarissa kepedean.
"Iya. Itu benar. Tapi, Clay, sadar diri. Ih, kamu jangan sampai nyesel karena maksa sesuatu yang bukan buat kamu." Yenny tak bisa berusaha menyadarkan temannya yang mulai buta karena tertarik pada Diaz.
"Kamu bukannya mendukung sahabat kamu biar hidup bahagia mendapatkan cinta sejatinya. Gimana, sih?" Clarissa mencibir.
Dari pintu masuk Diaz muncul. Di belakangnya Adimasta mengikuti. Keduanya bicara sebentar, lalu Adimasta meneruskan langkah menuju ke salah satu bangku di depan.
"Kalau aku, mending sama Adi." Yenny berbisik.
"Hm?" Clarissa melirik Yenny.
"Tapi terus terang aja, kasihan Adi kalau sama kamu." Yenny melanjutkan.
"Kenapa?" Clarissa menatap dengan ekor matanya.
"Merana ngladeni cewek aneh kayak kamu." Yenny memajukan bibirnya.
"Kalau ngomong, penghinaan," tukas Clarissa.
"Selamat pagi semuanya!" Diaz membuka kelas
Semua mata memandang padanya. Penasaran, dosen itu akan buat apa di kelas hari ini. Karena Diaz selalu saja membawa hal yang baru, menarik, membuat kelas menyenangkan.
Waktu berjalan dengan laju. Clarissa selalu punya waktu bisa bersama Diaz. Bahkan seminggu sekali dia minta waktu bertemu untuk bimbingan belajar, meskipun itu hanya alasan saja, agar dia bisa lebih dekat dan kenal dosennya. Diaz melakukan itu tidak lebih karena dia peduli pada mahasiswa yang dia ajar. Dan bukan hanya Clarissa. Ada beberapa yang lain yang dia perhatikan khusus.
Baginya, dia tidak akan melebihi batas dalam kontak fisik atau bicara hal pribadinya. Jika mahasiswa curhat, itu kesempatan dia membantu mereka kuat menghadapi masalah hidup. Dia akan membimbing mereka mengambil sikap benar saat menyelesaikan masalah.
Bagi Clarissa, semakin dia yakin dia bisa merebut hati pria tampan yang mampu membuat dia takluk. Dan Clarissa sudah menyiapkan waktu khusus dia akan mengungkapkan isi hatinya. Saat akhir semester usai ujian dia akan minta bertemu Diaz. Alasannya ingin mengucapkan terima kasih atas semua bimbingan dosennya itu.
"Lumayan kamu semester ini. Sedikit lebih semangat." Yenny tersenyum pada Clarissa. Tetap perlu diakui, ada Diaz membuat Clarissa lumayan giat belajar, meski motivasiya kurang tepat. Demi cinta.
"Iya, dong. Harus." Clarissa bertepuk tangan senang. "Tuntas sudah, bentar lagi libur. Leganya."
"Aku juga udah kangen rumah. Lumayan hampir sebulan nanti bisa kumpul keluarga." Yenny tersenyum lebar. Sudah terbayang di mata, dia bisa bersama orang tua dan dua adiknya.
"Suka ngiri kalau lihat keluarga lengkap. Ada ayah ibu dan juga saudara. Aku anak semata wayang saja ortu sampai pisah. Ketemu juga ga bisa gitu akur. Ajaib, kan?" Clarissa merasa ada rasa miris di dada Clarissa.
"Clay, sorry ... Bukan maksud aku ..."
"Nggak. Kamu ga salah. Aku aja yang baperan. Ah, aku siap-siap dulu." Clarissa meninggalkan Yenny di ruang depan. Clarissa memilih masuk ke kamar dan menyiapkan diri buat kejutan yang dia sudah rencanakan buat Diaz.
Dia menghubungi Diaz. Ternyata dia masih di bimbel. Clarissa bilang akan nyusul ke sana. Diaz bertanya balik ada perlu apa, dengan pintar Clarissa bilang ga bisa ngomong, mesti ketemu. Akhirnya Diaz yang memutuskan jam berapa mereka akan ketemu dan Clarissa yang menetapkan tempatnya. Clarissa tersenyum senang. Rasanya dewi keberuntungan seperti terus di pihak dia kali ini.
Satu jam kemudian Clarissa sudah berada di sebuah kafe yang dia tetapkan sebagai tempat bertemu Diaz. Dia yakin ini akan jadi momen paling mengasyikkan buat hidupnya. Diaz, dosen tampan itu akan jadi kekasihnya. Dengan bangga dia akan ajak Diaz menemui mamanya, menunjukkan dia bisa mendapatkan calon pendamping hidup yang berkualitas.
Jam tujuh lewat lima, Clarissa makin berdebar. Diaz belum juga muncul. Dia mengeluarkan cermin kecil, memastikan wajahnya masih berbinar, tidak kusam. Ya, cantik dan segar. Clarissa menarik nafas dalam, menyimpan lagi cermin dalam tasnya.
Diaz berjalan ke arah Clarissa. Clarissa menyewa tempat khusus untuk pertemuan malam ini. Rumah VIP di kafe berkelas. Gadis itu berdiri dengan anggunnya menunggu Diaz mendekat.
"Malam, Clarissa." Diaz menyapa ramah.
"Malam, Kak. Terima kasih Kakak mau datang menemuiku." Clarissa duduk. Diaz mengambil tempat di depan Clarissa.
"Sedang merayakan sesuatu? Ruangan ini kamu pesan khusus?" Diaz melihat sekeliling, lalu memandang Clarissa.
"Ya, aku menyiapkan semuanya buat Kakak." Clarissa tersenyum, cantik.
"Oh? Terima kasih." Diaz mengangkat kedua alisnya.
"Sejak bertemu Kak Diaz di kelas, aku merasa ada sesuatu yang mendorong aku ingin dekat Kak Diaz. Dan semakin kenal Kakak, aku merasakan hidup aku jadi lengkap." Clarissa memandang Diaz.
Diaz sekarang mulai bisa membaca, apa yang akan Clarissa katakan padanya.
"Aku ga pernah merasa seperti ini dengan seorang pria. Kak Diaz telah merebut hatiku." Clarissa makin lekat menatap Diaz.
"Clarissa ..." Diaz tidak menduga Clarissa benar-benar berani.
"Aku, dengan sepenuh hati aku mau bilang, aku cinta Kakak." Mata bulat dan indah itu menatap Diaz.
Jujur, Clarissa memang sangat cantik dan menarik. Penampilannya unik tapi cocok dengan dirinya. Tapi tentu bukan Clarissa yang bisa membuat Diaz jatuh hati.
"Clarissa, aku berterima kasih untuk perhatian kamu. Tapi aku menganggap kamu adikku. Sama seperti yang lain, jika di luar kelas. Tidak lebih." Dengan tenang, tapi mantap Diaz bicara.
"Kak, beri aku kesempatan. Aku perlu pria seperti Kakak untuk mendampingi aku. Kakak tahu seperti apa hidupku. Dan, mama, dia ..."
"Clarissa, aku tahu yang kamu maksud. Mama kamu ingin segera kamu mendapatkan seorang pria yang tepat untuk mendampingi kamu kelak. Tapi maaf, aku tidak bisa. Kamu adikku. Sampai di situ batasnya. Oke?" Diaz berdiri.
"Kak!" Clarissa ikut berdiri menatap Diaz dengan rasa marah dan kecewa.
"Ada seseorang yang sangat cinta kamu. Dan dia yang bisa menjadi pendamping kamu. Terima kasih. Selamat malam, Clarissa." Diaz menepuk bahu Clarissa dan melangkah meninggalkan gadis itu dengan hati hampa.
Tubuh tinggi dan gagah itu menjauh. Diaz tidak menoleh lagi pada Clarissa. Dengan tatapan pilu dan hati kecewa, Clarissa masih berdiri di tempatnya. Diaz menolak cintanya. Hubungan dekat mereka selama ini, kepedulian Diaz padanya ternyata hanya sebatas kakak dan adik. Tidak lebih.Yenny benar. Diaz tidak jatuh hati padanya. Clarissa terlalu percaya diri. Sekarang, ketika dia sudah merencanakan semua dengan baik, hasilnya nihil. Clarissa ditinggalkan."Kak Diaz, kamu jahat. Aku sangat sayang sama kamu. Kamu juga menunjukkan jika kamu sayang sama aku selama ini. Nyatanya?" Clarissa mengepalkan tangannya geram.Dalam hati Clarissa sangat marah. Dia tidak dianggap. Lagi, penolakan dia terima. Papanya meninggalkan dia. Mama tidak peduli hatinya. Sekarang, pria yang Clarissa harap bisa membalut semua pedih yang selama ini dia rasa, juga mengecewakan dia. Kenapa hidup tidak ada di pihaknya sama sekali?"Tapi bukan Clarissa kalau begini saja mundur.
Yenny menatap Adimasta. Pemuda sipit dengan kacamata itu kembali menghadap ke arahnya. Adimasta tidak salah dengar yang Yenny tanyakan. Ya, Yenny pasti tahu soal dia cinta Clarissa. Clarissa tidak mungkin tidak menceritakan kejadian dia di taman belakang kampus, terpaksa mengakui hatinya pada gadis nyentrik itu. "Ya. Aku sayang dia, Yenny." Akhirnya Yenny mendengar sendiri dari bibir tipis Adimasta. Yenny mengembuskan nafasnya, masih tidak bisa percaya. Sampai sekarang, Yenny merasa aneh Adimasta bisa jatuh cinta pada Clarissa. Karena di pandangan Yenny, karakter mereka ke mana-mana dan sampai kapan juga tidak akan mungkin nyambung. "Aku juga ga tahu, gimana bisa kayak gini." Adimasta menaikkan kacamatanya ke posisi semula. "Kamu tahu dia cinta Pak Diaz." Yenny masih memandang Adimasta. "Aku tahu. Dan Pak Diaz ga mungkin cinta Clarissa. Aku mau dia baik-baik saja." Adimasta tersenyum tipis. "Kamu yakin sanggup tetap sayang Clarissa? Dia kelakuan kayak gitu," ucap Yenny. "Aku pin
Meskipun sudah dua kali Diaz dengan tegas menolaknya, Clarissa tidak mau menyerah. Dia tidak akan mundur. Dia ingin membuktikan pada mamanya kalau dia bisa mendapatkan pria yang tepat buat dirinya. Dengan begitu, dia tidak akan dipaksa untuk menerima salah satu anak teman mamanya. Selain itu, Clarissa bisa membuat mamanya lebih tenang, seandainya kondisi kesehatannya memburuk. Clarissa baru saja masuk ke dalam mobil saat mamanya menelpon. Rosita ingin bertemu putrinya. Clarissa mengurungkan niat akan ke tempat kos, dia memutar haluan menuju rumah. Belakangan Rosita lebih banyak bekerja dari rumah. Perusahaan tempatnya bekerja mengerti kondisinya dan mengalihkan tugas yang harus dia selesaikan dengan lebih leluasa, yang bisa dikerjakan tanpa harus setiap hari datang ke kantor. Rosita tersenyum melihat putrinya datang. Clarissa sudah tidak enggan pulang, meski memang dia merasa lebih nyaman di tempat kos karena kesibukan gadis itu di kampus dan di sekitarnya. Clarissa berjalan mendekat
Mata Clarissa masih memandang mama dan kakak Adimasta. Entah kenapa mereka tertawa. Yang Clarissa yakin mereka menertawakan Adimasta. "Maaf, Clarissa. Aku suka bercanda kayak gitu. Adimasta terlalu datar dan kaku. Makanya aku juluki dia kayu." Senyum lebar masih di bibir Anindita, dia menjelaskan apa maksud kata-katanya tadi. "Ohhh ..." Clarissa ikut tersenyum. "Tapi dia baik. Anaknya rajin dan tekun. Ga pernah bikin repot dari kecil. Tante bersyukur punya anak laki-laki tapi ga buat sakit kepala." Mama Adimasta sekarang ikut berkomentar. "Aihh, promosi. Mama ini!" Anindita melirik mamanya. "Hee hee ..." Mama Adimasta kembali tersenyum lepas. "Nggak maksud, Anin. Mama cuma bilang apa adanya." Clarissa kembali tersenyum, tipis. Dalam hatinya dia bicara sendiri. Apa reaksi ibu dan anak ini kalau tahu Adimasta cinta pada Clarissa? Kira-kira mereka akan senang atau marah-marah? "Tante, Kak, aku balik ke tempatku. Mari." Clarissa memilih minggir. "Ya, silakan. Kami juga balik ke mej
Tangan Diaz terulur pada Clarissa. Gadis itu hanya menatap dosen tampan pujaannya, tidak mau bergeming. "Clarissa ... please ... Kita bicara, ayo ... Ulurkan tangan kamu ..." Diaz membujuk Clarissa. Gadis itu masih nemplok di pagar, sebelah atas. Sedikit saja dia pasti melompat dan jatuh di aspal di luar pagar tinggi rumah ini.Clarissa memandang Diaz. Tatapannya terlihat begitu cemas. Clarissa mengulurkan tangannya. Begitu tangan mereka menyatu, Diaz menarik Clarissa dan gadis itu jatuh dalam dekapannya."Kenapa kamu nekat? Kenapa?" Diaz memeluk Clarissa erat. Debaran di dadanya karena cemas perlahan terurai.Adimasta dan Yenny, juga Bu Tirah lega, Clarissa akhirnya turun dari pagar tinggi itu. Mereka melihat Diaz masih memeluk Clarissa di rumah pohon itu."Syukurlah ... Dia baik-baik saja." Yenny melipat kedua tangannya seperti berdoa. Lega, lega sekali, Clarissa selamat.Adimasta tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia juga lega Clarissa tidak cidera. Tidak terlambat mereka tahu di mana
Clarissa dan Yenny melihat Bu Tirah di depan pintu kamar. Wanita tua itu terlihat sangat cemas. Tatapannya menunjukkan ada sesuatu yang mengkuatirkan terjadi. "Ada apa, Bu?" tanya Clarissa. "Nyonya ..." Satu kata itu yang Bu Tirah katakan, Clarissa langsung tahu, ada yang terjadi pada Rosita. "Mama kenapa?" Clarissa dengan cepat turun dari kasur dan menghampiri Bu Tirah. "Di rumah sakit. Tadi pingsan di kantor. Pak Bram menghubungi aku. Nyonya harus dirawat." Bu Tirah menjelaskan dengan suara sedikit gemetar. "Ya Tuhan." Clarissa mengusap kepalanya. Dia menoleh pada Yenny. "Ikut aku. Aku harus lihat mama." "Oke." Yenny mengangguk. Dengan cepat kedua gadis itu meninggalkan rumah dan meluncur menuju ke rumah sakit. Sampai di sana setengah berlari Clarissa dan Yenny mencari ruangan Rosita dirawat. Di dalam kamar ada dokter dan perawat yang menolong. Bramantyo berdiri di dekat pintu melihat apa yang terjadi di dalam. "Om," panggil Clarissa. Bramantyo menoleh dan melihat pada kedua
Yenny mengangkat telpon Adimasta, tetapi dia memilih agak menjauh dari Clarissa agar bisa bicara dengan leluasa. Adimasta menanyakan bagaimana keadaan Clarissa. Apakah gadis itu sudah tenang atau masih galau. Jawaban Yenny tentu saja membuat Adimasta terkejut. Bagaimana mungkin kejadian buruk menyusul? Mama Clarissa tiba-tiba masuk rumah sakit? Adimasta bisa membayangkan Clarissa makin sedih. "Yenny, apa Clarissa menangis?" tanya Adimasta. "Ya, sempat menangis. Tapi dia sekarang bingung tentang hal lain." Yenny menjawab dengan sedikit resah dan ragu. "Soal apa lagi? Ada masalah lain lagi?" tanya Adimasta. "Mama Clarissa memaksa Clarissa mengenalkan kekasihnya. Dia mau bertemu besok," jawab Yenny. "Apa?" Adimasta makin kaget. Astaga! Mama Clarissa ini sedang sakit tapi ada saja permintaannya. Yenny mengatakan hal yang mengejutkan kemudian pada Adimasta, yang membuat cowok itu terbelalak, meskipun tetap saja matanya tidak bisa lebar. Yenny minta Adimasta datang dan meminta Clarissa
Rosita dan Bramantyo memandang dua anak muda tampan dan cantik yang berjalan ke arah mereka. Adimasta, tampan, berkulit putih bersih, rapi, dan keren. Dari sikapnya sopan dan terlihat seorang pria cerdas. Rosita menyunggingkan senyum kepada keduanya yang sudah ada di dekat ranjang. Clarissa berdiri di sebelah Adimasta memandang pada Clarissa. Dia menunggu putrinya bicara. "Selamat sore, Tante, Om. Aku Adimasta." Adimasta memperkenalkan diri, mengulurkan tangan pada Rosita dan Bramantyo, bergantian menyalami mereka. Clarissa menoleh pada Adimasta. Belum dikenalkan, dia sudah langsung berinisiatif mengenalkan dirinya. "Sepede itu nih cowok?!" batin Clarissa. "Sore, Adi." Bramantyo tersenyum pada Adimasta, ramah. Dia memperhatikan wajah Adimasta yang tenang. Lalu ke Clarissa yang justru terlihat tidak begitu nyaman. Entah kenapa Bramantyo merasa Clarissa tidak beneran cinta pada cowok ganteng ini. "Aku minta Clarissa ajak kekasihnya kemari besok. Kaget juga, kamu datang hari ini," k
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b