"Sayang, maafkan Mama. Sudah sering bikin kamu kesal. Mama beneran kangen sama kamu." Dengan suara parau Rosita bicara.
"Nya, saya ambilkan air hangat, ya?" Bu Tirah menyela perkataan Rosita.
"Iya, Bu. Terima kasih," kata Rosita.
Bu Tirah beranjak meninggalkan kamar. Dia menyuruh Yenny masuk dan duduk di kursi tak jauh dari pintu. Yenny manut. Clarissa menoleh pada Yenny. Dia melambai. Yenny mendekat, berdiri di sebelah tempat tidur, di dekat Clarissa.
"Ini Yenny, Ma. Sahabat aku." Clarissa mengenalkan.
"Yenny, kamu pasti gadis baik. Bisa tahan dengan anak Tante ini." Rosita memandang Yenny.
"Mama, ihhh," Clarissa manyun.
"Clarissa, Mama tahu kamu paling kesal kalau Mama pingin bicara. Apalagi soal jodoh." Rosita mengalihkan pandangan pada Clarissa lagi.
Nah, kan, kondisi sakit juga ngomong soal jodoh.
"Mama hanya mau kamu dapat pria baik, hidup kamu terjamin. Karena ..." Rosita tidak meneruskan kalimatnya. Dia menarik nafas dalam. Clarissa dan Yenny menunggu.
"Dokter bilang, sakit Mama sangat sulit sembuh. Dalam waktu beberapa tahun lagi, Mama sangat mungkin ga bisa kerja. Mama sangat takut, nanti kamu akan hidup susah." Air mata Rosita menetes. Dia tidak bisa menahan lagi rasa sesak di dadanya.
Clarissa dan Yenny berpandangan. Pertanyaan sama muncul di kepala kedua gadis itu. Mama Clarissa sakit apa?
"Ma, sebenarnya Mama kenapa? Kasih tahu aku. Aku jadi bingung sekarang." Clarissa mendesak Rosita bicara.
Dengan wajah pucat, mata merah dan mulai berair, Rosita akhirnya bicara. "Lupus. Aku punya teman baru sekarang. Lupus."
"Ma ..." Mata Clarissa melebar. Genangan air di ujung matanya mulai meluncur. Mamanya menderita sakit Lupus? Benarkah? Salah satu penyakit yang tak bisa sembuh. Pengobatan hanya untuk memperlambat pertumbuhan sakitnya.
"Sayang ..." Rosita mengusap matanya. "Maafkan Mama."
Clarissa mendekat, dia peluk mamanya. Lama dia tidak melakukan ini. Sudah bertahun-tahun Clarissa merasa kesal dan kecewa pada mamanya. Karena perpisahan dengan papa, karena dia sibuk dengan dunianya, karena Clarissa merasa dia bukan yang terpenting buat orang tuanya. Hari ini, mendengar kabar ini, hati Clarissa sangat pilu. Air mata Rosita membuat Clarissa terenyuh.
"Mama tidak apa-apa. Mama akan hadapi sakit ini. Dia akan jadi temanku lama. Kamu yang Mama pikir, Sayang. Kamu ..."
"Mama, maafkan aku." Clarissa terisak-isak. Dia seperti tak mau melepas mamanya.
Bagaimanapun setelah papa pergi, hanya Rosita yang bersama dengannya. Arlon sibuk dengan hidupnya sendiri. Dia harus mengurus keluarga barunya. Dan Clarissa, hanya Rosita yang di sisinya, meski tak sedikit waktu ibu dan anak itu pakai untuk berselisih dan saling ngotot maunya sendiri.
"Mama yang minta maaf. Kamu mengerti sekarang mengapa Mama ingin segera tahu pria seperti apa yang akan membuat kamu bahagia nanti? Jangan seperti Mama. Kamu harus hidup lebih baik." Rosita mengusap pipi Clarissa.
Tangis Clarissa tak bisa berhenti rasanya. Yenny pun tak mampu menahan air matanya. Dia menunduk, mengeringkan pipi kiri dan kanan. Sahabatnya ini benar-benar malang. Tak merasa kasih sayang lengkap, hidup hanya diisi kemarahan dan kekecewaan, sekarang mendapati kenyataan mamanya menderita sakit yang berat.
"Jadi, kamu harus bisa mandiri dan menjaga dirimu. Mama tidak punya banyak waktu dengan kamu. Kalau boleh, pulang. Kamu pulang, Clarissa. Mama tidak minta kamu balik ke rumah terus, Mama cuma pingin dekat kamu sekarang." Rosita meminta pada putrinya agar mereka bisa kembali dekat.
Clarissa mengangguk. Tanpa bicara, air mata mengucur lagi, Clarissa mengiyakan permintaan mamanya.
*****
Hingga lebih tiga jam kemudian, Rosita tidur. Clarissa memilih balik ke kos, mengambil barangnya sekalian mengantar Yenny. Clarissa akan tidur di rumah. Dia mau menemani mamanya. Bagaimanapun juga hatinya cemas memikirkan Rosita.
Yenny menghibur Clarissa agar temannya itu tetap kuat. Dia mengerti Clarissa makin kacau. Dalam kondisi normal saja dia tidak niat belajar, apalagi sekarang. Yenny hanya bisa menatap Clarissa dengan pandangan sendu.
Clarissa kembali mengendarai roda empat kesayangannya. Hatinya carut marut, tidak bisa dia gambarkan. Ingin sekali Clarissa menangis sekeras-kerasnya. Sepanjang jalan sambil nyetir sesekali Clarissa mengusap matanya yang basah.
Melintasi daerah tempat Diaz kos, seketika Clarissa berbelok, dia ingin menemui dosennya itu. Dengan harapan dia akan bisa bertemu dengan Diaz. Dia butuh tempat menangis sekarang.
Clarissa memarkir mobilnya. Dia turun melangkah ke arah rumah besar di depannya. Tepat saat itu, Diaz datang. Dia baru pulang dari bimbel tempat dia mengajar. Dia agak terkejut melihat Clarissa di teras.
"Clarissa!" panggil Diaz.
Clarissa berbalik. Begitu dia melihat Diaz, tanpa berpikir lagi, Clarissa lari ke arah Diaz dan memeluk Diaz sambil menangis. Tak ayal, Diaz gelagapan. Ada apa ini? Mengapa Clarissa tiba-tiba datang, menangis, tersedu-sedu. Dan gadis itu sekarang memeluk pinggangnya erat.
"Clarissa, ada apa?" Diaz melepas pelukan Clarissa dan memegang kedua bahunya.
Wajah Clarissa penuh derai air mata. Jelas gadis periang yang sekaligus jutek ini sedang sangat bersedih. Diaz mengajak Clarissa duduk di teras rumah itu. Dia tunggu hingga Clarissa tenang, lalu dia minta Clarissa bicara. Dia menceritakan kabar yang mengejutkan tentang mamanya. Begitu gadis itu bicara semua hal keluar dari mulutnya. Rasa sedih, kecewa, kuatir dan segala tanda tanya tentang hidup yang harus dia jalani meluncur dengan lancar di tengah tangisnya yang belum benar-benar berhenti.
Diaz, seperti yang lalu, dengan sabar menunggu hingga Clarissa selesai mengungkapkan semuanya. Dia tidak menyela, tidak bertanya, hanya mendengarkan saja.
"Udah," ucap Clarissa. Tangannya mengusap ujung matanya.
"Aku turut prihatin soal Mama kamu. Ini situasi yang sulit buat dia. Pasti ada kamu di sisinya dia akan lebih tenang. Kamu mengerti tentunya apa yang Mama kamu rasakan." Diaz memandang Clarissa.
Clarissa mengangguk. Karena itu dia mau pulang, setidaknya beberapa hari.
"Hidup yang berat, tidak terduga, tiba-tiba keadaan makin buruk, kita tak pernah tahu itu. Rasanya tidak adil, kenapa harus begini?" Diaz masih melihat Clarissa. Muka gadis itu merah dengan matanya sembab.
Clarissa kembali mengangguk. Itu yang dia rasa. Sejak kecil dia tidak bahagia. Keluarga berantakan, dia tak ada pegangan. Sampai sebesar ini kerinduan akan kasih sayang utuh tak akan bisa dia dapatkan, kini dia diperhadapkan kondisi mamanya yang sakit berat. Tidak adil. Sangat tidak adil.
"Clarissa, Tuhan tidak akan melakukan yang tidak adil. Ini terjadi atas ijin-Nya, artinya ada hal baik yang akan datang. Sakit, penderitaan itu karena dunia sudah rusak akibat dosa. Tapi Tuhan bisa mengubah yang buruk menjadi baik. Aku yakin itu." Diaz mencoba memberi pengertian pada Clarissa.
Clarissa menyimpan yang Diaz katakan. Apakah benar begitu? Kapan semua akan baik? Kapan dia akan bahagia, sesungguhnya bahagia, bukan tampak bahagia semata?
"Yang penting bagian kita adalah melakukan yang terbaik dengan hidup kita, maka hal-hal baik akan muncul pada saatnya." Lagi, Diaz menasihati mahasiswanya itu.
"Kak, makasih karena mau jadi tempat aku tumpahkan semuanya. Kalau Kak Diaz ga ada, aku ga tahu mau gimana." Clarissa memandang Diaz.
Diaz tersenyum. "Sekarang baliklah. Mama kamu menunggu. Dan jadilah kuat."
"Iya. Thank you sekali lagi." Clarissa berdiri, dia mendekati Diaz dan memeluknya.
"Clarissa?!" Diaz kembali terkejut. Saat datang tadi dengan kondisi kalau, Clarissa memeluknya, Diaz bisa paham. Tapi saat pamitan ini, Clarissa sudah baikan, dia masih memeluknya lagi?
"Sorry. Aku cuma mau bilang terima kasih." Clarissa melepas pelukannya dan meninggalkan Diaz.
"Clarissa ... Kamu makin berani." Diaz merasa situasi dia dengan Clarissa akan tidak baik jika berlanjut. Tujuannya menolong Clarissa, tapi jika Clarissa seperti ini, dia tidak akan berhasil, justru hubungan yang tak semestinya akan terjadi.
*
*
Pak Diaz, kenapa ga buka hati sih?
Tiga hari Clarissa tinggal dengan Rosita. Setelah kondisi mamanya membaik, Clarissa kembali ke tempat kosnya. Tapi komunikasi dengan Rosita lebih intens. Clarissa mau memastikan mamanya tidak drop lagi.Yenny juga lega, Clarissa sekarang kembali ceria. Kembali jutek dan seenaknya. Memang bikin kesal kelakuan temannya itu. Tapi begitulah Clarissa."Gimana mama kamu? Masih maksa buat cari calon suami buat kamu?" Yenny bertanya. Mereka sedang menunggu kelas berikutnya. Kelas Diaz."Ya, tapi ga ngotot. Aku bilang sama Mama, aku pasti bisa cari calon suami sendiri. Aku akan segera kenalkan pada mama kalau sudah jadian sama dia." Clarissa menjawab sambil membuka botol minumnya."Ooh? Mama kamu sepakat?" tanya Yenny lagi."Hmm-mm. Aku bilang paling lama tiga bulan aku akan bawa calon mantu buatnya." Dengan santai Clarissa menjawab lagi. Lalu dia meneguk air di botolnya."What? Tiga bulan? Kamu yakin?" Yenny menga
Tubuh tinggi dan gagah itu menjauh. Diaz tidak menoleh lagi pada Clarissa. Dengan tatapan pilu dan hati kecewa, Clarissa masih berdiri di tempatnya. Diaz menolak cintanya. Hubungan dekat mereka selama ini, kepedulian Diaz padanya ternyata hanya sebatas kakak dan adik. Tidak lebih.Yenny benar. Diaz tidak jatuh hati padanya. Clarissa terlalu percaya diri. Sekarang, ketika dia sudah merencanakan semua dengan baik, hasilnya nihil. Clarissa ditinggalkan."Kak Diaz, kamu jahat. Aku sangat sayang sama kamu. Kamu juga menunjukkan jika kamu sayang sama aku selama ini. Nyatanya?" Clarissa mengepalkan tangannya geram.Dalam hati Clarissa sangat marah. Dia tidak dianggap. Lagi, penolakan dia terima. Papanya meninggalkan dia. Mama tidak peduli hatinya. Sekarang, pria yang Clarissa harap bisa membalut semua pedih yang selama ini dia rasa, juga mengecewakan dia. Kenapa hidup tidak ada di pihaknya sama sekali?"Tapi bukan Clarissa kalau begini saja mundur.
Yenny menatap Adimasta. Pemuda sipit dengan kacamata itu kembali menghadap ke arahnya. Adimasta tidak salah dengar yang Yenny tanyakan. Ya, Yenny pasti tahu soal dia cinta Clarissa. Clarissa tidak mungkin tidak menceritakan kejadian dia di taman belakang kampus, terpaksa mengakui hatinya pada gadis nyentrik itu. "Ya. Aku sayang dia, Yenny." Akhirnya Yenny mendengar sendiri dari bibir tipis Adimasta. Yenny mengembuskan nafasnya, masih tidak bisa percaya. Sampai sekarang, Yenny merasa aneh Adimasta bisa jatuh cinta pada Clarissa. Karena di pandangan Yenny, karakter mereka ke mana-mana dan sampai kapan juga tidak akan mungkin nyambung. "Aku juga ga tahu, gimana bisa kayak gini." Adimasta menaikkan kacamatanya ke posisi semula. "Kamu tahu dia cinta Pak Diaz." Yenny masih memandang Adimasta. "Aku tahu. Dan Pak Diaz ga mungkin cinta Clarissa. Aku mau dia baik-baik saja." Adimasta tersenyum tipis. "Kamu yakin sanggup tetap sayang Clarissa? Dia kelakuan kayak gitu," ucap Yenny. "Aku pin
Meskipun sudah dua kali Diaz dengan tegas menolaknya, Clarissa tidak mau menyerah. Dia tidak akan mundur. Dia ingin membuktikan pada mamanya kalau dia bisa mendapatkan pria yang tepat buat dirinya. Dengan begitu, dia tidak akan dipaksa untuk menerima salah satu anak teman mamanya. Selain itu, Clarissa bisa membuat mamanya lebih tenang, seandainya kondisi kesehatannya memburuk. Clarissa baru saja masuk ke dalam mobil saat mamanya menelpon. Rosita ingin bertemu putrinya. Clarissa mengurungkan niat akan ke tempat kos, dia memutar haluan menuju rumah. Belakangan Rosita lebih banyak bekerja dari rumah. Perusahaan tempatnya bekerja mengerti kondisinya dan mengalihkan tugas yang harus dia selesaikan dengan lebih leluasa, yang bisa dikerjakan tanpa harus setiap hari datang ke kantor. Rosita tersenyum melihat putrinya datang. Clarissa sudah tidak enggan pulang, meski memang dia merasa lebih nyaman di tempat kos karena kesibukan gadis itu di kampus dan di sekitarnya. Clarissa berjalan mendekat
Mata Clarissa masih memandang mama dan kakak Adimasta. Entah kenapa mereka tertawa. Yang Clarissa yakin mereka menertawakan Adimasta. "Maaf, Clarissa. Aku suka bercanda kayak gitu. Adimasta terlalu datar dan kaku. Makanya aku juluki dia kayu." Senyum lebar masih di bibir Anindita, dia menjelaskan apa maksud kata-katanya tadi. "Ohhh ..." Clarissa ikut tersenyum. "Tapi dia baik. Anaknya rajin dan tekun. Ga pernah bikin repot dari kecil. Tante bersyukur punya anak laki-laki tapi ga buat sakit kepala." Mama Adimasta sekarang ikut berkomentar. "Aihh, promosi. Mama ini!" Anindita melirik mamanya. "Hee hee ..." Mama Adimasta kembali tersenyum lepas. "Nggak maksud, Anin. Mama cuma bilang apa adanya." Clarissa kembali tersenyum, tipis. Dalam hatinya dia bicara sendiri. Apa reaksi ibu dan anak ini kalau tahu Adimasta cinta pada Clarissa? Kira-kira mereka akan senang atau marah-marah? "Tante, Kak, aku balik ke tempatku. Mari." Clarissa memilih minggir. "Ya, silakan. Kami juga balik ke mej
Tangan Diaz terulur pada Clarissa. Gadis itu hanya menatap dosen tampan pujaannya, tidak mau bergeming. "Clarissa ... please ... Kita bicara, ayo ... Ulurkan tangan kamu ..." Diaz membujuk Clarissa. Gadis itu masih nemplok di pagar, sebelah atas. Sedikit saja dia pasti melompat dan jatuh di aspal di luar pagar tinggi rumah ini.Clarissa memandang Diaz. Tatapannya terlihat begitu cemas. Clarissa mengulurkan tangannya. Begitu tangan mereka menyatu, Diaz menarik Clarissa dan gadis itu jatuh dalam dekapannya."Kenapa kamu nekat? Kenapa?" Diaz memeluk Clarissa erat. Debaran di dadanya karena cemas perlahan terurai.Adimasta dan Yenny, juga Bu Tirah lega, Clarissa akhirnya turun dari pagar tinggi itu. Mereka melihat Diaz masih memeluk Clarissa di rumah pohon itu."Syukurlah ... Dia baik-baik saja." Yenny melipat kedua tangannya seperti berdoa. Lega, lega sekali, Clarissa selamat.Adimasta tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia juga lega Clarissa tidak cidera. Tidak terlambat mereka tahu di mana
Clarissa dan Yenny melihat Bu Tirah di depan pintu kamar. Wanita tua itu terlihat sangat cemas. Tatapannya menunjukkan ada sesuatu yang mengkuatirkan terjadi. "Ada apa, Bu?" tanya Clarissa. "Nyonya ..." Satu kata itu yang Bu Tirah katakan, Clarissa langsung tahu, ada yang terjadi pada Rosita. "Mama kenapa?" Clarissa dengan cepat turun dari kasur dan menghampiri Bu Tirah. "Di rumah sakit. Tadi pingsan di kantor. Pak Bram menghubungi aku. Nyonya harus dirawat." Bu Tirah menjelaskan dengan suara sedikit gemetar. "Ya Tuhan." Clarissa mengusap kepalanya. Dia menoleh pada Yenny. "Ikut aku. Aku harus lihat mama." "Oke." Yenny mengangguk. Dengan cepat kedua gadis itu meninggalkan rumah dan meluncur menuju ke rumah sakit. Sampai di sana setengah berlari Clarissa dan Yenny mencari ruangan Rosita dirawat. Di dalam kamar ada dokter dan perawat yang menolong. Bramantyo berdiri di dekat pintu melihat apa yang terjadi di dalam. "Om," panggil Clarissa. Bramantyo menoleh dan melihat pada kedua
Yenny mengangkat telpon Adimasta, tetapi dia memilih agak menjauh dari Clarissa agar bisa bicara dengan leluasa. Adimasta menanyakan bagaimana keadaan Clarissa. Apakah gadis itu sudah tenang atau masih galau. Jawaban Yenny tentu saja membuat Adimasta terkejut. Bagaimana mungkin kejadian buruk menyusul? Mama Clarissa tiba-tiba masuk rumah sakit? Adimasta bisa membayangkan Clarissa makin sedih. "Yenny, apa Clarissa menangis?" tanya Adimasta. "Ya, sempat menangis. Tapi dia sekarang bingung tentang hal lain." Yenny menjawab dengan sedikit resah dan ragu. "Soal apa lagi? Ada masalah lain lagi?" tanya Adimasta. "Mama Clarissa memaksa Clarissa mengenalkan kekasihnya. Dia mau bertemu besok," jawab Yenny. "Apa?" Adimasta makin kaget. Astaga! Mama Clarissa ini sedang sakit tapi ada saja permintaannya. Yenny mengatakan hal yang mengejutkan kemudian pada Adimasta, yang membuat cowok itu terbelalak, meskipun tetap saja matanya tidak bisa lebar. Yenny minta Adimasta datang dan meminta Clarissa
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b