Clarissa baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia mau charge ponselnya. Saat dia keluarkan dari tas, ada beberapa kali telpon masuk dari Adimasta. Ada apa cowok itu telpon? Apa ada yang penting?
Clarissa mengirim chat, karena dia harus isi data ponselnya. Dia bertanya kenapa Adimasta sibuk mencarinya. Balasan Adimasta cepat datang. Dia menanyakan apakah buku agenda tugasnya terbawa Clarissa. Clarissa tidak merasa, tapi dia akan cek dulu.
Ponsel kembali diletakkan dan Clarissa membuka tasnya. Ternyata ada. Buku itu terselip dengan buku yang Clarissa pinjam. Clarissa penasaran, apa saja isi buku Adimasta. Dia duduk di meja belajarnya dan mulai membuka lembar demi lembar di buku itu.
Clarissa tersenyum. Rapi, tertata, sistematis, ya itu Adimasta. Pemuda baik, ramah, dan cerdas. Sayang, di mata Clarissa, Adimasta terlihat seperti cowok tidak tegas dan lemah. Karena itu Clarissa tidak pernah menaruh hati padanya, meskipun ada beberapa teman mereka yang naksir cowok sipit itu.
Catatan yang ada di buku itu menunjukkan seperti apa Adimasta. Tapi Clarissa merasa membosankan sekali dengan gaya seperti cowok ini. Tidak ada gregetnya, tidak ada tantangan dan petualangan seru. Datar. Catatan terhenti sampai di bagian akhir Adimasta menulis. Hari ini.
"Benar-benar tertata. Seperti rak yang licin, cantik. Adi, Adi ..." Clarissa menutup buku itu. Dia letakkan di meja, tapi karena terlalu minggir, buku itu terjatuh.
Clarissa menunduk mengambilnya. Dia balik, tepat bagian tengah buku terbuka. Mata Clarissa melotor, mulutnya menganga. Dia tidak percaya apa yang dia lihat di situ.
Nama Clarissa tertulis dengan bagus di sana. Bentuknya unik dengan ukuran lumayan besar. Danbi bawahnya ada tiga kata yang membuat Clarissa makin tak bisa berkedip.
'CLARISSA -- i love you'
"Apa ini?!" Clarissa masih menatap buku itu.
Saat itu, ponselnya berdering. Adimasta menghubungi. Dengan cepat Clarissa menerima telpon Adimasta.
"Clay, ada bukuku?" tanya Adimasta.
Clarissa berpikir dia mau bicara apa sekarang. Dia mau damprat itu cowok rasanya. Tapi, no way. Bukan begini caranya. Dia akan bertemu Adimasta besok dan selesaikan.
"Clay?!" Adi memanggil lagi karena Clarissa diam saja.
"Ya, ada." Datar, Clarissa menjawab.
"Oh, oke. Please, bawa besok ya. Penting buat aku." Adimasta memastikan buku itu akan kembali padanya.
"Ya, aku juga buat apa nyimpan buku kamu," tukas Clarissa.
"Hee ... hee ... Iya. Makasih, Clay." Adimasta lega. Lega karena bukunya ada di Clarissa. Lega, Clarissa tidak bicara apapun soal isi buku itu yang juga berisi curahan hati Adimasta untuk gadis itu.
Sebenarnya dari sejak sadar buku itu di tangan Clarissa, Adimasta sudah dag did dug. Yang dia kuatir kalau Clarissa tahu apa saja yang dia tulis di sana. Sepertinya Clarissa tidak melihat. Gadis itu memang kurang peduli. Lagian buat apa dia buka buku orang? Itu yang ada di pikiran Adimasta. Lebih tepatnya dia menenangkan dirinya.
Clarissa menutup telpon. Tangan usil makin jadi. Dia balik lagi lembar-lembar di belakang. Kembali matanya melebar, ternyata ada beberapa lembar yang juga menorehkan bagaimana perasaan Adimasta pada Clarissa.
'You are so beautiful today. Nice to see you here, Clay.'
'Wish you look at me. Coz i have a heart for you.'
Clarissa menatap tulisan itu. Sejak kapan cowok itu suka dengannya? Kenapa dia begitu rapi menyimpan perasaan sampai tak terbaca oleh Clarissa? Dan, beberapa waktu lalu, saat Clarissa minta dia pura-pura jadi pacarnya, kenapa dia menolak?
"Besok aku akan bereskan ini." Kali ini Clarissa menutup buku itu dan menyimpannya di dalam tas. Jangan sampai besok tertinggal.
*****
"Clay, buku mana?" Begitu masuk kelas, Adimasta segera meminta buku agenda itu dari Clarissa.
Clarissa yang asyik lihat postingan di sosmed, mengangkat wajahnya. Dia sudah membuat planning gimana dia akan kembalikan buku itu. Dengan tenang, Clarissa mencari-cari di tasnya.
"Ga ada. Ketinggalan." Clarissa kembali memandang Adimasta.
"Clay, serius?" tanya Adimasta. Sekarang Adimasta mulai gelisah.
"Cuma agenda doang. Catat aja di kertas, di note di laptop, ponsel, apa kek." Tetap tenang, Clarissa memainkan alisnya.
Hati Adimasta tidak tenang. Dia merasa Clarissa sengaja melakukannya. Dan sangat mungkin dia sudah menemukan isi hati Adimasta di buku itu.
"Selamat pagi semuanya!" Ibu dosen masuk kelas dan menyapa para mahasiswa.
"Pagi, Bu." Sahutan terdengar dari beberapa mahasiswa.
"Clay ..." Adimasta masih memastikan buku itu ada pada Clarissa sekarang.
"Kuliah mulai, Adi Cakra." Clarissa sedikit melotot pada Adimasta.
Dengan terpaksa cowok itu beranjak, mencari tempat duduk. Tapi sepanjang kuliah Adimasta tidak tenang. Meski dia datar, tidak berekspresi, hatinya bergejolak. Akhirnya saat jam kuliah usai, dia kembali menemui Clarissa.
"Taman belakang, sepuluh menit." Clarissa menatap Adimasta lalu dia meraih tasnya, berdiri dan meninggalkan kelas.
Adimasta kali ini sangat yakin, Clarissa tahu. Dia tampak tidak suka. Adimasta menelan ludahnya. Entah apa yang akan Clarissa katakan. Adimasta harus hadapi ini. Mungkin ini saatnya Clarissa tahu apa yang dia rasa pada cewek unik itu.
Di taman belakang, Clarissa duduk di kursi taman. Dia menunggu Adimasta dengan wajah juteknya. Adimasta mendekat, duduk di depan Clarissa.
"Mana bukuku?" Seperti biasa datar Adimasta berkata.
Clarissa tanpa berkata apa-apa mengeluarkan buku Adimasta dari dalam tasnya. Clarissa mengulurkan tangan memberikan buku itu.
"Jangan berharap apapun dariku, Adi." Tatapan dingin muncul dari mata Clarissa.
"Aku memang cinta kamu." Adimasta berkata dengan tenang, kata yang keluar satu satu, ciri khas Adimasta bicara. Dia tidak bisa lari, lebih baik selesaikan sekalian.
"Kamu bukan tipeku. Aku ga akan tertarik dengan kamu." Clarissa melipat kedua tangannya di dada. Pandangan dingin masih menghujam Adimasta.
Seperti ini rasanya menghadapi cewek angkuh ini? Bukan barang baru, kalau Clarissa dikenal paling sok jaim pada para pria yang suka dengannya. Ternyata merasakannya sendiri sangat tidak nyaman.
"Aku tidak pernah menata hatiku buat suka kamu. Aku tidak bisa menolak perasaanku." Adimasta tetap tenang.
Clarissa cukup terkejut. Cowok ini, yang begini dianm, ternyata punya nyali?
"Aku akan menganggap apa yang kulihat di buku itu tak pernah ada. Dan kamu, sekali lagi aku katakan, jangan berharap apapun. Sampai kapanpun aku tidak akan menerima kamu." Clarissa berdiri. "Buang jauh-jauh perasaan kamu. Atau pindahkan pada cewek lain yang lebih cocok buat kamu."
"Aku tidak akan melakukannya."
Clarissa menoleh mendengar kata-kata Adimasta. Cowok ini menantangnya?
"Jangan sampai kamu menyesal. Karena aku akan buktikan padamu, pria yang aku kejar, punya kualitas lebih dari kamu. Jauh lebih dari kamu." Clarissa sedikit mencondongkan badan, mendekat pada Adimasta.
"Aku akan sabar menunggu, Clay. Jika kamu perlu sesuatu aku ada, buat kamu." Tidak ada ekspresi. Tapi ucapan Adimasta membuat Clarissa makin kesal.
"Huuhhh! Konyol!!" Dengan kata itu Clarissa meninggalkan Adimasta.
Adimasta memandang Clarissa yang terus menjauh tanpa menoleh lagi. Adimasta mengusap rambutnya yang hitam dan tebal. Dia tidak akan mundur. Dia sayang Clarissa, dia mau gadis itu hidup dengan baik. Dan dia yang akan ada di sisinya, mendampingi Clarissa menemukan kehidupan yang penuh cinta. Itu tekat Adimasta.
Dengan kesal Clarissa masuk ke dalam mobilnya. Kenapa harus Adimasta?! Dia memang tidak tertarik cowok pada itu. Tapi sejauh ini, Adimasta salah satu teman cowok yang cukup menyenangkan buat Clarissa. Setelah Clarissa tahu hati Adimasta padanya, dia hanya ingin menjauh saja. Yenny yang duduk di sebelah Clarissa tahu temannya itu benar-benar kesal. Yenny pun sama, tidak menduga jika Adimasta punya rasa buat cewek yang kadang jelas kadang ngacau itu. Di mata Yenny, cowok model Adimasta akan menyukai cewek kalem, tenang, sopan, dan lembut. Tapi ternyata, dia suka Clarissa? Seperti tidak masuk di otak Yenny. "Kamu buat apa marah? Itu urusan Adi mau suka atau nggak sama kamu. Selama ini ga bikin ribet hidup kamu, biarin." Yenny menenangkan Clarissa. "Tahu, ah. Aku mau kejar Kak Diaz. Pusing amat sama yang lain." Clarissa melajukan mobilnya. Saat berada di dekat gerbang, dia lihat Adimasta di atas motornya. Dia berhenti di pinggir jalan, sedang me
"Sayang, maafkan Mama. Sudah sering bikin kamu kesal. Mama beneran kangen sama kamu." Dengan suara parau Rosita bicara. "Nya, saya ambilkan air hangat, ya?" Bu Tirah menyela perkataan Rosita. "Iya, Bu. Terima kasih," kata Rosita. Bu Tirah beranjak meninggalkan kamar. Dia menyuruh Yenny masuk dan duduk di kursi tak jauh dari pintu. Yenny manut. Clarissa menoleh pada Yenny. Dia melambai. Yenny mendekat, berdiri di sebelah tempat tidur, di dekat Clarissa. "Ini Yenny, Ma. Sahabat aku." Clarissa mengenalkan. "Yenny, kamu pasti gadis baik. Bisa tahan dengan anak Tante ini." Rosita memandang Yenny. "Mama, ihhh," Clarissa manyun. "Clarissa, Mama tahu kamu paling kesal kalau Mama pingin bicara. Apalagi soal jodoh." Rosita mengalihkan pandangan pada Clarissa lagi. Nah, kan, kondisi sakit juga ngomong soal jodoh. "Mama hanya mau kamu dapat pria baik, hidup kamu terjamin. Karena ..." Rosita tidak meneruskan kalimatnya. Dia menarik nafas dalam. Clarissa dan Yenny menunggu. "Dokt
Tiga hari Clarissa tinggal dengan Rosita. Setelah kondisi mamanya membaik, Clarissa kembali ke tempat kosnya. Tapi komunikasi dengan Rosita lebih intens. Clarissa mau memastikan mamanya tidak drop lagi.Yenny juga lega, Clarissa sekarang kembali ceria. Kembali jutek dan seenaknya. Memang bikin kesal kelakuan temannya itu. Tapi begitulah Clarissa."Gimana mama kamu? Masih maksa buat cari calon suami buat kamu?" Yenny bertanya. Mereka sedang menunggu kelas berikutnya. Kelas Diaz."Ya, tapi ga ngotot. Aku bilang sama Mama, aku pasti bisa cari calon suami sendiri. Aku akan segera kenalkan pada mama kalau sudah jadian sama dia." Clarissa menjawab sambil membuka botol minumnya."Ooh? Mama kamu sepakat?" tanya Yenny lagi."Hmm-mm. Aku bilang paling lama tiga bulan aku akan bawa calon mantu buatnya." Dengan santai Clarissa menjawab lagi. Lalu dia meneguk air di botolnya."What? Tiga bulan? Kamu yakin?" Yenny menga
Tubuh tinggi dan gagah itu menjauh. Diaz tidak menoleh lagi pada Clarissa. Dengan tatapan pilu dan hati kecewa, Clarissa masih berdiri di tempatnya. Diaz menolak cintanya. Hubungan dekat mereka selama ini, kepedulian Diaz padanya ternyata hanya sebatas kakak dan adik. Tidak lebih.Yenny benar. Diaz tidak jatuh hati padanya. Clarissa terlalu percaya diri. Sekarang, ketika dia sudah merencanakan semua dengan baik, hasilnya nihil. Clarissa ditinggalkan."Kak Diaz, kamu jahat. Aku sangat sayang sama kamu. Kamu juga menunjukkan jika kamu sayang sama aku selama ini. Nyatanya?" Clarissa mengepalkan tangannya geram.Dalam hati Clarissa sangat marah. Dia tidak dianggap. Lagi, penolakan dia terima. Papanya meninggalkan dia. Mama tidak peduli hatinya. Sekarang, pria yang Clarissa harap bisa membalut semua pedih yang selama ini dia rasa, juga mengecewakan dia. Kenapa hidup tidak ada di pihaknya sama sekali?"Tapi bukan Clarissa kalau begini saja mundur.
Yenny menatap Adimasta. Pemuda sipit dengan kacamata itu kembali menghadap ke arahnya. Adimasta tidak salah dengar yang Yenny tanyakan. Ya, Yenny pasti tahu soal dia cinta Clarissa. Clarissa tidak mungkin tidak menceritakan kejadian dia di taman belakang kampus, terpaksa mengakui hatinya pada gadis nyentrik itu. "Ya. Aku sayang dia, Yenny." Akhirnya Yenny mendengar sendiri dari bibir tipis Adimasta. Yenny mengembuskan nafasnya, masih tidak bisa percaya. Sampai sekarang, Yenny merasa aneh Adimasta bisa jatuh cinta pada Clarissa. Karena di pandangan Yenny, karakter mereka ke mana-mana dan sampai kapan juga tidak akan mungkin nyambung. "Aku juga ga tahu, gimana bisa kayak gini." Adimasta menaikkan kacamatanya ke posisi semula. "Kamu tahu dia cinta Pak Diaz." Yenny masih memandang Adimasta. "Aku tahu. Dan Pak Diaz ga mungkin cinta Clarissa. Aku mau dia baik-baik saja." Adimasta tersenyum tipis. "Kamu yakin sanggup tetap sayang Clarissa? Dia kelakuan kayak gitu," ucap Yenny. "Aku pin
Meskipun sudah dua kali Diaz dengan tegas menolaknya, Clarissa tidak mau menyerah. Dia tidak akan mundur. Dia ingin membuktikan pada mamanya kalau dia bisa mendapatkan pria yang tepat buat dirinya. Dengan begitu, dia tidak akan dipaksa untuk menerima salah satu anak teman mamanya. Selain itu, Clarissa bisa membuat mamanya lebih tenang, seandainya kondisi kesehatannya memburuk. Clarissa baru saja masuk ke dalam mobil saat mamanya menelpon. Rosita ingin bertemu putrinya. Clarissa mengurungkan niat akan ke tempat kos, dia memutar haluan menuju rumah. Belakangan Rosita lebih banyak bekerja dari rumah. Perusahaan tempatnya bekerja mengerti kondisinya dan mengalihkan tugas yang harus dia selesaikan dengan lebih leluasa, yang bisa dikerjakan tanpa harus setiap hari datang ke kantor. Rosita tersenyum melihat putrinya datang. Clarissa sudah tidak enggan pulang, meski memang dia merasa lebih nyaman di tempat kos karena kesibukan gadis itu di kampus dan di sekitarnya. Clarissa berjalan mendekat
Mata Clarissa masih memandang mama dan kakak Adimasta. Entah kenapa mereka tertawa. Yang Clarissa yakin mereka menertawakan Adimasta. "Maaf, Clarissa. Aku suka bercanda kayak gitu. Adimasta terlalu datar dan kaku. Makanya aku juluki dia kayu." Senyum lebar masih di bibir Anindita, dia menjelaskan apa maksud kata-katanya tadi. "Ohhh ..." Clarissa ikut tersenyum. "Tapi dia baik. Anaknya rajin dan tekun. Ga pernah bikin repot dari kecil. Tante bersyukur punya anak laki-laki tapi ga buat sakit kepala." Mama Adimasta sekarang ikut berkomentar. "Aihh, promosi. Mama ini!" Anindita melirik mamanya. "Hee hee ..." Mama Adimasta kembali tersenyum lepas. "Nggak maksud, Anin. Mama cuma bilang apa adanya." Clarissa kembali tersenyum, tipis. Dalam hatinya dia bicara sendiri. Apa reaksi ibu dan anak ini kalau tahu Adimasta cinta pada Clarissa? Kira-kira mereka akan senang atau marah-marah? "Tante, Kak, aku balik ke tempatku. Mari." Clarissa memilih minggir. "Ya, silakan. Kami juga balik ke mej
Tangan Diaz terulur pada Clarissa. Gadis itu hanya menatap dosen tampan pujaannya, tidak mau bergeming. "Clarissa ... please ... Kita bicara, ayo ... Ulurkan tangan kamu ..." Diaz membujuk Clarissa. Gadis itu masih nemplok di pagar, sebelah atas. Sedikit saja dia pasti melompat dan jatuh di aspal di luar pagar tinggi rumah ini.Clarissa memandang Diaz. Tatapannya terlihat begitu cemas. Clarissa mengulurkan tangannya. Begitu tangan mereka menyatu, Diaz menarik Clarissa dan gadis itu jatuh dalam dekapannya."Kenapa kamu nekat? Kenapa?" Diaz memeluk Clarissa erat. Debaran di dadanya karena cemas perlahan terurai.Adimasta dan Yenny, juga Bu Tirah lega, Clarissa akhirnya turun dari pagar tinggi itu. Mereka melihat Diaz masih memeluk Clarissa di rumah pohon itu."Syukurlah ... Dia baik-baik saja." Yenny melipat kedua tangannya seperti berdoa. Lega, lega sekali, Clarissa selamat.Adimasta tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia juga lega Clarissa tidak cidera. Tidak terlambat mereka tahu di mana
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b