Cowok di depan Clarissa itu tersenyum. Matanya yang sipit makin terlihat lebih kecil. Tangannya masih memegang buku yang juga dipegang Clarissa. Sedang sebelah tangan lagi menaikkan kacamata yang sedikit melorot.
"Lepas," ucap Clarissa dengan tatapan tajam pada cowok itu.
"Oke, lady first." Tangan cowok itu melepas pegangan dari buku yang juga dipegang Clarissa.
"Adimasta. Adimasta Cakradinata Abirawa Bertemu Buta Lima di Negeri Antah Berantah Membawa Dewa Sambil Tertawa." Mata Clarissa masih tajam melihat pada cowok itu.
Adimasta tersenyum, tipis. Panggilan istimewa dari Clarissa dia dengar lagi. Panjang, tidak bisa dijelaskan apa maksudnya, tapi Adimasta senang saja Clarissa melakukannya.
"Iya, bawa saja. Nanti dua minggu lagi kalau kamu selesai, aku yang pinjam. Kasih tahu aku, ya?" Satu satu Adimasta mengucapkan kata yang dia katakan. Kalem, tenang, ringan.
Clarissa ingin ngakak kalau mendengar Adimasta bicara. Seperti hati-hati dan takut salah. Kadang tidak sabar menunggu dia selesai mengungkapkan kalimat yang ingin dia katakan.
"Kamu yakin aku mau kasih pinjam ke kamu?" Dengan cepat Clarissa bicara dengan mata melirik pada cowok berkulit putih bersih itu.
"Iyalah. Kamu ngapain pinjam lama-lama. Dua minggu lagi berarti tanggal 24, oke?" Santai, Adimasta berucap.
"Ya, baiklah baiklah ..." Clarissa menggoyang-goyang kepalanya. Rambutnya yang merah keunguan bergerak manis di belakang kepalanya.
Adimasta menatap gadis itu. Clarissa sangat cantik. Dengan penampilan yang selalu aneh-aneh tapi buat Adimasta tetap saja menarik. Sejak awal mereka kuliah tahun lalu, Adimasta merasa ada sesuatu yang membuat dia suka dengan Clarissa. Sampai akhirnya Adimasta yakin dia jatuh cinta.
Meskipun Adimasta paham sepak terjang gadis semau gue itu. Tapi Adimasta tidak bisa menekan perasaannya. Rasa cinta di hatinya makin dalam. Hanya saja Adimasta belum berani mendekat. Dia hanya memandang Clarissa dari jauh, atau berurusan dengan gadis itu sesekali jika memang ada perlu. Adimasta sangat sadar, Clarissa tidak akan menoleh padanya, walaupun dia tetap baik dengan Adimasta selama ini.
"Dua minggu lagi ingatkan aku. Jadi waktu aku balikin ke sini, bisa langsung kamu terima. Gimana?" Clarissa melihat pada Adimasta yang lagi-lagi menaikkan kacamata.
"Ya, oke. Thank you." Adimasta mengangguk mantap sambil tersenyum tipis. Tampan. Clarissa mengakuinya, tapi bukan Adimasta tipe pria yang mempesona Clarissa.
*****
"Ngapain Mama minta aku pulang? Ga mau. Aku banyak urusan kuliah." Clarissa terlihat kesal. Dia menerima telpon dari Rosita. Dengan kaki diselonjorkan, bersilang di atas meja, Clarissa mendengar mamanya di telpon.
"Ih, Mama tuh alasan. Pasti ujung-ujungnya aku mau dikenalin sama cowok anak teman Mama. Malas aku. Mending nonton drakor, Ma," tukas Clarissa.
Yenny yang tepat muncul, mendengar itu terkikik. Dia tahu lagi ada perang antara ibu dan anak. Yenny duduk di kursi di sebelah Clarissa. Dia mencomot brownies yang ada di depannya. Sambil memakan brownies, dia mencoba mendengar keributan antara Clarissa dan ibunya.
"Udah ah, ga usah maksa aku. Itu juga acara mak-mak sosialita. Ga bakalan aku paham, Ma." Masih saja Clarissa menolak apa yang Rosita minta.
"Clarissa, sekali ini kamu nurut sama Mama. Masak yang lain datang nunjukin anak, Mama kayak janda merana ga punya siapapun." Rosita sedikit memelas membujuk anaknya.
"Emang iya, kan? Papa aja udah nikah lagi, udah punya bocil, Mama ke mana aja?!" sahut Clarissa.
Yenny tertawa mendengar itu, tapi karena ada kue di mulut, dia sampai hampir tersedak dan terbatuk-batuk. Temannya yang satu ini benar-benar, tidak ada hormat sama orang tua.
"Napa? Minum situ." Clarissa menoleh pada Yenny.
Yenny cepat meraih gelas mineral. Wajahnya merah gara-gara tersedak dan batuk. Dia minum beberapa teguk melegakan tenggorokan dan kerongkongannya.
"Clarissa, kamu kalau ngomong ga pernah mikir apa? Hargai orang tua, hah?!" Rosita rasanya habis akal menghadapi putri tunggalnya itu.
Clarissa melirik kiri kanan, pingin sekali dia tutup saja telpon dari Rosita.
"Kali ini tolong Mama. Kamu datang, langsung ke lokasi boleh. Kamu ga pulang ke rumah juga terserah, pokoknya kamu datang. Mama beneran minta tolong, Clarissa." Rosita tidak mau menyerah. Dia mau memastikan kalau Clarissa mau mengikuti kemauannya.
"Malas. Ujungnya paling gitu lagi. Mama mau kenalin aku sama anak temannya Mama. Udah capek aku, Ma." Clarissa cemberut.
"Hei ... Nggak. Kali ini ga ada urusan kenal sama cowok. Dengerin ..." Masih panjang ternyata bujukan Rosita.
Yenny memperhatikan mimik Clarissa. Wajahnya manyun, mulutnya komat kamit sok niru yang diucapkan mamanya. Lagi-lagi membuat Yenny pingin ngakak. Kali ini dia tutup mulut, takut lepas dan meledak tawanya. Dia tidak habis pikir dengan kelakuan temannya yang satu ini.
"Ihh, selalu aja bikin senewen." Akhirnya selesai sudah ceramah panjang sang mama. Clarissa meletakkan ponsel di meja.
"Jadi kamu pergi?" tanya Yenny. Udah tenang, dia melanjutkan makan brownies di tangannya uang tinggal setengah.
"Menurut kamu? Mau ga mau la. Daripada ditelpon lagi, diomelin lagi," gerutu Clarissa. Dia melipat kedua tangan di dada.
"Hee ... heee ... Lalu buat apa kamu ribut ama mama kamu? Kesimpulan sama, datang juga," tukas Yenny.
"Setidaknya berusaha membela hak pribadiku," sahut Clarissa dengan rasa kesal belum hilang.
"Kamu mau sampai kapan ga akur sama mama kamu?" Yenny kali ini sedikit serius bicara.
Clarissa menoleh, lurus-lurus memandang Yenny. Ya, sejak mama papanya bercerai, Clarissa merasa tidak nyaman dengan mamanya. Tidak nyaman dengan papanya. Dia merasa kedua orang tuanya tidak sungguh-sungguh sayang padanya. Mereka hanya memikirkan diri sendiri. Karena itu mereka memilih jalan pisah untuk mendapatkan apa yang membuat mereka bahagia. Mereka lupa ada anak yang juga perlu dibahagiakan.
"Tahu, Yen. Kamu bisa bayangin aku jauh aja sama mama kayak gini, ribut terus, gimana kalau kumpul. Bisa mati sebelum punya pacar aku," ujar Clarissa.
Tawa Yenny meledak lagi. Jawaban Clarissa selalu saja seenaknya, seperti tidak pakai filter. Di sisi lain, Yenny bisa memahami Clarissa sebenarnya protes karena tidak mendapat cinta yang dia butuhkan. Sayangnya, Rosita tidak mengerti itu. Dia menganggap Clarissa jadi bandel, tidak bisa diatur, dan cari perhatian saja. Gadis cantik yang malang.
*****
Dengan jumpsuit coklat susu, rambut dikuncir ekor kuda di belakang kepala, Clarissa terlihat cantik dan elegan. Sepatu putih dengan tas tangan senada membuat penampilannya lengkap. Dia masuk ke restoran tempat para mama itu mengadakan acara. Gelak tawa terdengar dari ibu-ibu berkelas itu.
Begitu Clarissa dekat, Rosita langsung berdiri. Senyumnya lebar, senang, Clarissa beneran datang sesuai permintaannya. Dia minta Clarissa mendekat dengan lambaian tangan. Dengan langkah agak berat, Clarissa mendekat, berdiri di belakang kursi mamanya.
Wajah sumringah muncul dari Rosita. Wanita hampir lima puluh tahun itu dengan bangga mengenalkan Clarissa pada teman-temannya. Clarissa tersenyum, mengangguk, memberi salam pada para mama berkelas itu. Ada yang Clarissa ingat pernah bertemu sebelumnya, ada yang baru kali ini dia melihatnya.
"Cantik sekali putrinya. Sudah kuliah? Kuliah di mana? Ambil fakultas apa? Sudah punya pacar belum?" Bertubi-tubi pertanyaan itu muncul dari para mama. Clarissa hanya senyum-senyum. Rosita dengan semangat memberikan jawaban untuk teman-temannya.
Setelah itu Rosita menunjuk ke arah meja di seberang meja para mama. Ada meja yang ditata sama cantik seperti yang di hadapan mama-mama itu. Yang duduk di sana adalah para pemuda pemudi. Clarissa paham itu anak-anak dari teman-teman Rosita.
"Oh, kali ini disiapkan meja khusus begini. Hm, oke. Kita lihat apa yang terjadi." Dalam hati Clarissa berbicara.
Dia melangkah ke arah meja itu, menarik satu kursi yang paling dekat dengannya. Di sebelah kirinya seorang gadis dengan rambut pirang duduk. Bukan bule. Rambutnya saja yang bule. Dan di sebelah kanan, Clarissa terbelalak melihat siapa yang duduk di sisi kanannya. Cowok berkulit putih, bermata sipit dan berkacamata!
Mata Clarissa tak berkedip memandang Adimasta yang duduk di sebelahnya. Ingin sekali dia tertawa! Ternyata Adimasta punya nasib yang sama dengannya, diajak ke acara sosialita, lalu diberi waktu bebas berkenalan dengan anak-anak para mama itu. Bisa jadi Adimasta juga korban paksaan untuk mendapat jodoh atau dijodohkan di momen seperti ini, bukan?"Kenapa bengong? Duduklah." Adimasta menepuk kursi di sebelahnya meminta Clarissa duduk.Clarissa manut, segera dia duduk. Dan langsung dia sodorkan wajah mendekat pada Adimasta dan berbisik, "Kamu udah berapa kali diajak ke acara kayak gini? Kenapa baru sekarang aku melihat kamu? Pernah dijodohkan sama yang mana, hmm?"Adimasta melihat Clarissa. Cantik. Sangat cantik. Kali ini rambutnya coklat terang, cocok sekali buatnya. Dengan kuncir ekor kuda, Clarissa makin menawan Adimasta.Adimasta menaikkan kacamatanya, lalu menjawab, "Maksudnya gimana? Aku nggak ngerti. Ini kali pertama aku ikut. Bukan. Mam
Siang itu Clarissa sengaja ingin menemui Diaz setelah kuliah usai. Clarissa berjalan ke arah kantor dosen berharap Diaz ada di sana. Pendekatan harus makin digencarkan.Beberapa meter sebelum sampai pintu kantor, tampak Diaz berjalan keluar dari sana. Senyum Clarissa melebar seketika. Lagi, keberuntungan sedang berada di pihaknya. Dan Diaz melihat pada Clarissa. Diaz yakin mahasiswa unik ini sedang mencarinya. Dia hafal gelagat cewek yang ingin mendekati dirinya."Selamat siang, Pak." Clarissa menyapa ramah. Dia pasang senyum manis agar dosennya memberi perhatian."Siang, Clarissa. Belum mau pulang?" tanya Diaz."Mau ketemu Pak Diaz dulu. Boleh, kan?" Clarissa bertanya balik."Soal apa? Aku sedang sedikit terburu-buru." Diaz menjawab sambil menengok jam tangannya."Ya, gitu ya?" Clarissa kecewa."Ya, ini mau pesan ojol. Kalau kamu bisa sabar, besok kamu bisa ketemu saya di atas jam dua siang." Diaz memberi
Clarissa bisa maklum jika Yenny tidak sepakat dengan dirinya. Pasti sama seperti teman yang lain, jika mereka tahu Clarissa mengejar dosen baru mereka, akan muncul cibiran dan sindiran. Tapi bukan Clarissa namanya kalau akan mundur hanya karena kata orang. "Yenny, langkah awal sudah dapat poin, tinggal meneruskan saja. Hm? Aku yakin bisa meluluhkan hati dosen kita." Clarissa menepuk pipi Yenny. "Clay, lebih baik fokus belajar, dah. Jangan macam-macam. Dosen kayak Pak Diaz pasti maunya dapat wanita elegan, bukan slengekan kadang rada ga jelas seperti kamu." Mulut ceplas ceplos Yenny mulai tak terkendali. "Terserah mau bilang apa. Hari ini langkah pertama. Semua mengarah pada tujuan yang mulia, bersanding dengan pria idaman. Kenapa aku harus mikir yang lain? Tantangan itu wajar saja, bikin perjuangan makin berarti." Clarissa pindah memencet hidung Yenny. "Hei, tangan itu dikondisikan. Jangan muka orang jadi sasaran mulu," tukas Y
"Clay ..." Suara itu, membuat Clarissa makin degdegan. Tenang, lembut, dan meneduhkan. Dulu suara seperti ini dia dengar dari papanya. "Semua yang kamu lewati, mengajar kamu untuk jadi gadis yang kuat. Yakinlah itu." Clarissa terdiam. Selama ini tidak ada yang bicara seperti ini padanya. Bahwa hal buruk yang membuat dia kecewa akan menjadikan dia orang yang kuat? "Tanpa papa, kamu sekarang jadi wanita dewasa. Itu hebat. Dan di depan ada masa depan menunggu. Banggalah dengan diri kamu." Diaz melanjutkan. Clarissa ingin menangis keras mendengar kalimat itu. Andai Diaz ada di depannya mungkin dia akan peluk kuat-kuat. Karena Clarissa merasa hatinya pilu, tapi juga ada rasa tenang menyusup di sana. Dia ingin Diaz yang di sisinya membuat dia makin tenang. "Aku ga mikir, Kak. Yang kujalani ya udahlah. Abis SMA, ya kuliah. Ntah nanti kayak gimana, aku ga tahu." Clarissa menjawab, seperti pasrah dengan hidup. Diaz bisa merasakan Clarissa hanya sekedar menjalani masa hidup, tanpa ta
Clarissa baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia mau charge ponselnya. Saat dia keluarkan dari tas, ada beberapa kali telpon masuk dari Adimasta. Ada apa cowok itu telpon? Apa ada yang penting? Clarissa mengirim chat, karena dia harus isi data ponselnya. Dia bertanya kenapa Adimasta sibuk mencarinya. Balasan Adimasta cepat datang. Dia menanyakan apakah buku agenda tugasnya terbawa Clarissa. Clarissa tidak merasa, tapi dia akan cek dulu. Ponsel kembali diletakkan dan Clarissa membuka tasnya. Ternyata ada. Buku itu terselip dengan buku yang Clarissa pinjam. Clarissa penasaran, apa saja isi buku Adimasta. Dia duduk di meja belajarnya dan mulai membuka lembar demi lembar di buku itu. Clarissa tersenyum. Rapi, tertata, sistematis, ya itu Adimasta. Pemuda baik, ramah, dan cerdas. Sayang, di mata Clarissa, Adimasta terlihat seperti cowok tidak tegas dan lemah. Karena itu Clarissa tidak pernah menaruh hati padanya, meskipun ada beberapa teman mereka yang naksir cowok sipit itu. Cat
Dengan kesal Clarissa masuk ke dalam mobilnya. Kenapa harus Adimasta?! Dia memang tidak tertarik cowok pada itu. Tapi sejauh ini, Adimasta salah satu teman cowok yang cukup menyenangkan buat Clarissa. Setelah Clarissa tahu hati Adimasta padanya, dia hanya ingin menjauh saja. Yenny yang duduk di sebelah Clarissa tahu temannya itu benar-benar kesal. Yenny pun sama, tidak menduga jika Adimasta punya rasa buat cewek yang kadang jelas kadang ngacau itu. Di mata Yenny, cowok model Adimasta akan menyukai cewek kalem, tenang, sopan, dan lembut. Tapi ternyata, dia suka Clarissa? Seperti tidak masuk di otak Yenny. "Kamu buat apa marah? Itu urusan Adi mau suka atau nggak sama kamu. Selama ini ga bikin ribet hidup kamu, biarin." Yenny menenangkan Clarissa. "Tahu, ah. Aku mau kejar Kak Diaz. Pusing amat sama yang lain." Clarissa melajukan mobilnya. Saat berada di dekat gerbang, dia lihat Adimasta di atas motornya. Dia berhenti di pinggir jalan, sedang me
"Sayang, maafkan Mama. Sudah sering bikin kamu kesal. Mama beneran kangen sama kamu." Dengan suara parau Rosita bicara. "Nya, saya ambilkan air hangat, ya?" Bu Tirah menyela perkataan Rosita. "Iya, Bu. Terima kasih," kata Rosita. Bu Tirah beranjak meninggalkan kamar. Dia menyuruh Yenny masuk dan duduk di kursi tak jauh dari pintu. Yenny manut. Clarissa menoleh pada Yenny. Dia melambai. Yenny mendekat, berdiri di sebelah tempat tidur, di dekat Clarissa. "Ini Yenny, Ma. Sahabat aku." Clarissa mengenalkan. "Yenny, kamu pasti gadis baik. Bisa tahan dengan anak Tante ini." Rosita memandang Yenny. "Mama, ihhh," Clarissa manyun. "Clarissa, Mama tahu kamu paling kesal kalau Mama pingin bicara. Apalagi soal jodoh." Rosita mengalihkan pandangan pada Clarissa lagi. Nah, kan, kondisi sakit juga ngomong soal jodoh. "Mama hanya mau kamu dapat pria baik, hidup kamu terjamin. Karena ..." Rosita tidak meneruskan kalimatnya. Dia menarik nafas dalam. Clarissa dan Yenny menunggu. "Dokt
Tiga hari Clarissa tinggal dengan Rosita. Setelah kondisi mamanya membaik, Clarissa kembali ke tempat kosnya. Tapi komunikasi dengan Rosita lebih intens. Clarissa mau memastikan mamanya tidak drop lagi.Yenny juga lega, Clarissa sekarang kembali ceria. Kembali jutek dan seenaknya. Memang bikin kesal kelakuan temannya itu. Tapi begitulah Clarissa."Gimana mama kamu? Masih maksa buat cari calon suami buat kamu?" Yenny bertanya. Mereka sedang menunggu kelas berikutnya. Kelas Diaz."Ya, tapi ga ngotot. Aku bilang sama Mama, aku pasti bisa cari calon suami sendiri. Aku akan segera kenalkan pada mama kalau sudah jadian sama dia." Clarissa menjawab sambil membuka botol minumnya."Ooh? Mama kamu sepakat?" tanya Yenny lagi."Hmm-mm. Aku bilang paling lama tiga bulan aku akan bawa calon mantu buatnya." Dengan santai Clarissa menjawab lagi. Lalu dia meneguk air di botolnya."What? Tiga bulan? Kamu yakin?" Yenny menga
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b