Mendengar permintaan maaf darinya, laki-laki itu tampak kaget. Seolah baru pertama kali mendengarnya.
"Kamu lagi apa?" tanya Zinnia mencoba mencairkan suasana. Tak lupa ia memasang senyuman ramah yang terukir di wajah tampan Rey. Gadis itu tak segera mendapatkan jawaban dari adiknya itu. Yang terlihat laki-laki itu masih memandanginya penuh ketidakpercayaan.
"Eh i-ini lagi minum teh, Kak," balas sang adik.
"Oh." Zinnia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kak Rey mau? Aku buatin," tawar sang adik yang tak diketahui namanya itu. Ingin rasanya Zinnia menanyakan nama sang adik. Akan tetapi ia takut akan membuatnya bertambah bingung.
"Nggak usah. Biar mb-kakak buat sendiri aja," balas Zinnia masih tersenyum. Ia lalu megambil sebuah cangkir berukuran sedang dan segera membuat teh celup yang sama dengan adik Rey.
Gadis itu kemudian duduk di hadapan laki-laki itu. Sang adik masih terus menatapnya. Karena canggung, adik Rey pun memainkan ponselnya sendiri. Zinnia yang melihatnya tiba-tiba mendapatkan sebuah ide. Sedikit ragu ia menatap sang adik.
"Dek," panggil Zinnia. Laki-laki itu pun menatap sang kakak dengan wajah penuh keterkejutan.
"Mbak eh maksudku kakak boleh pinjem hapenya bentar gak?" tanya Zinnia.
"Untuk apa? Bukannya Kak Rey sudah punya hape sendiri?" tanya sang adik sedikit curiga.
"Emmm. Kakak lupa password hape kakak. Bentar aja ya? Nanti kakak balikin," pinta Zinnia dengan wajah memelas. Sunyi beberapa saat. Hingga sang adik membuka suara.
"Baiklah. Nih. Bentar aja ya, Kak?" Sang adik seperti meminta kepastian. Zinnia hanya mengangguk meyakinkan.
Dengan segera gadis itu mengambil ponsel milik adik Rey dan berjalan cepat kembali ke kamarnya. Membuat sang adik penasaran sekaligus kaget.
"Pinjem kok dibawa pergi sih? Kakak juga aneh deh hari ini? Apa lagi ada masalah ya di kantor?" gumam sang adik menatap kepergian kakaknya.
Di dalam kamar, Zinnia langsung memasukkan nomor ponselnya sendiri. Dengan segera ia menghubungi nomornya dan menunggu diangkat.
Di sisi lain, sebelum Zinnia mendapatkan ponsel adik Rey, tubuhnya yang asli tengah menelisik keadaan kamar berukuran kecil di kontrakan itu. Kasur busanya langsung berada di atas lantai tanpa dipan. Meja kayu kecil juga berada di samping kasur itu. Sebuah lemari plastik empat pintu berdiri di dekat pintu keluar kamar. Rey yang sadar berada di tempat asing mengusap wajahnya sendiri.
'Tertukar lagi?' tanya Rey dalam hati. Laki-laki itu kemudian menatap cermin di sampingnya. Cermin berukuran 30x50 senti meter yang tertempel pada tembok kamar. Ia dapati wajah gadis yang pernah ditemuinya dua hari yang lalu. Gadis kecil yang bertukar jiwa dengannya. Gadis itu mengenakan kaos pendek dan hot pant sebagai kostum tidurnya. Mungkin karena hawa panas di Jakarta. Sedangkan ruangan itu tanpa pendingin seperti kamar miliknya.
'Bagaimana bisa terjadi lagi?' tanya Rey lagi sembari menelan ludah menatap pantulan dirinya. Tak lama kemudian ponsel milik Zinnia berbunyi. Rey langsung mengambil ponsel itu dan melihat nomor yang menghubunginya. Bukan miliknya melainkan milik sang adik.
"Halo," ucap Rey dengan suara datar.
"Halo. Kamu. Apa yang kamu lakukan? Kenapa kita bisa bertukar lagi?" tanya suara yang familiar di telinga Rey, suaranya sendiri.
"Justru aku yang harusnya bertanya seperti itu," jawab Rey masih dengan suara datar milik Zinnia.
"Ya ampun. Kamu masih di kontrakan, kan?" tanya Zinnia terdengar panik.
"Hm."
"Pokoknya jangan ke mana-mana! Jangan berbuat yang aneh-aneh juga! Dan ... dan ...." Zinnia terdengar ragu meneruskan kalimatnya.
"Dan apa?"
"Emmm. Gak usah mandi! Pokoknya jangan mandi atau ke kamar kecil!" perintah Zinnia terdengar memaksa.
"Kenapa kau maksa banget? Jangan-jangan kamu sendiri sudah ...."
"Pokoknya jangan!" sergah Zinnia memotong kalimat Rey.
"Terus kalau aku kebelet buang air aku ngompol begitu di kasur?" tanya Rey dengan sengaja.
"Euh. Emmm. Ah. Menyebalkan! Kenapa harus bertukar lagi sih?" rutuk Zinnia entah pada siapa.
TOK TOK TOK
"Kak Rey? Udah belum hapenya?" tanya adik Rey dari luar kamar.
"Sebentar," balas Zinnia terkesiap. Takut jika adik Rey mendengar pembicaraan mereka.
"Pokoknya jangan macam-macam!" perintah Zinnia lagi dengan berbisik.
"Terserah."
"Pokok! Harus! Kalau nggak awas kamu!" ancam Zinnia yang hanya dibalas senyuman sinis dari Rey di tempat lain.
"Oh iya. Adikmu namanya siapa? Dia tadi curiga padaku," ucap Zinnia.
"Chandra."
"Oke. Dek Chandra? Ya udah gitu aja. Pokoknya jangan macam-macam!" ancam Zinnia lagi lalu segera menutup panggilan itu. Gadis itu membuka pintu kamarnya dan mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik.
"I-ini Dek Chandra hapenya. Makasih ya," ucap Zinnia sembari tersenyum.
"Kak Rey aneh. Kakak sakit?" tanya Chandra sembari menerima ponselnya kembali.
"Eh? Enggak kok. Memangnya kenapa?" tanya Zinnia lagi.
"Biasanya Kak Rey cuma panggil aku Chandra atau Ndra aja. Kenapa sekarang ada embel-embel 'dek' segala?" tanya Chandra menatap aneh sang kakak.
"Ah. Maaf. Chandra ya? Emmm. Kakak cuma lagi coba pakai kata 'dek'. Eh ternyata malah kedengarannya aneh ya? Ya udah deh gak jadi," balas Zinnia sembari meringis. Sebenarnya ia merasa canggung memanggil dengan nama saja. Pasalnya usia Chandra tampak lebih tua dari gadis itu.
"Terserah Kak Rey aja deh. Yang penting kakak harus segera mandi dan ganti baju. Papah sama Mamah mau pulang jam sembilan," ucap Chandra memberi tahu.
"Memang mereka dari mana?" Dan dengan bodohnya Zinnia bertanya. Chandra menatapnya dengan tatapan aneh lagi.
"Oh. Maaf. Ya udah aku segera mandi. Dah," ucap Zinnia cepat-cepat sembari menutup pintu kamar itu.
'Bodoh. Kenapa malah keceplosan tanya?' rutuk Zinnia dalam hati.
Setelah menyalahkan kebodohannya sendiri, Zinnia sadar akan sesuatu yang penting. "Kanapa aku gak tanya password hapenya si Rey kutu kupret itu ya?"
Chandra yang berada di luar kamar Rey langsung membuka history ponselnya dan melihat nomor baru yang baru saja dihubungi sang kakak. Lalu timbullah pertanyaan, mengapa sang kakak menghubungi nomor itu dengan ponselnya?
Di sebuah kontrakan kecil, Rey masih duduk di atas kasur berukuran kecil itu. Ia masih enggan untuk beranjak meski ia tahu ia tak sedang berada di kamarnya sendiri. Pria itu masih gamang. Merasa tak nyaman jiwanya berada di dalam tubuh seorang gadis yang baru ditemuinya. Tak munafik jika ia merasa sedikit tertarik dengan gadis itu, penasaran. Jiwanya masihlah laki-laki normal yang masih tertarik dengan lawan jenis.
Meski sudah diperingatkan sedemikian rupa, ia tetap tak sanggup menahan panggilan alam yang tiba-tiba datang. Jiwa laki-lakinya mulai penasaran. Rey tahu bahwa ia tak boleh seperti itu. Hak Zinnia lah untuk melarangnya. Bagaimana pun juga mereka berdua hanyalah orang asing yang sialnya saling bertukar jiwa.
Rey lalu berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. Ia tak mau menyalahi permintaan Zinnia, meski rasa penasarannya cukup tinggi. Pria itu menahan segala rasa tak nyaman itu serta membuang pikiran-pikiran kotornya. Bagaimana pun juga ia merupakan seorang laki-laki terhormat. Ia tak boleh merendahkan harga dirinya bahkan di hadapan Zinnia.
"Gak ada makanan layak apa?" gumam Rey ketika menilik kulkas Zinnia. Di sana hanya ada lima butir telur ayam, satu dus susu bubuk rasa cokelat, roti tawar yang tinggal setengah bungkus, kubis, tomat, empat buah sosis ayam seharga seribuan, serta buah apel dan jeruk yang masing-masing berjumlah dua.
Rey kemudian mengambil ponsel milik Zinnia dan menelpon kembali nomor sang adik. Ia ingat bahwa ponselnya selalu ia kunci. Jadi, Zinnia tak mungkin bisa menggunakannya.
"Halo? Ini siapa ya?" Mendengar sang adiklah yang mengangkat panggilannya, Rey langsung menutup telepon itu.
"Sialan. Udah dibawa Chandra," sungut Rey menatap layar ponsel gadis itu yang terdapat wallpaper fotonya sendiri. Rey tampak tersenyum tipis melihat foto itu. Wallpaper ponsel itu tampak ceria, sedangkan ponselnya sendiri terpasang gambar dan tema berwarna gelap. Rey lalu memanggil nomornya sendiri. Ketika sudah tersambung ia langsung mematikan panggilan itu. Untuk menghilangkan jejaknya, Rey menghapus history pada ponsel Zinnia.
Rey kembali pada tujuan utamanya yaitu sarapan. Dengan terpaksa ia membuat telur ceplok dan memanggang dua potong roti tawar beserta semua sosis yang ada dengan teflon. Tak banyak memang peralatan memasak di kontrakan Zinnia, berbeda dengan rumahnya. Baru hendak menyantap makan paginya, Rey tampak mendelik melihat sesuatu berjalan cepat di lantai. Dengan gerakan cepat ia langsung berlari ke dalam kamar sembari membawa roti isi dan segelas susu. Lalu menutup pintu kamar itu. Ia tampak pucat seperti baru saja melihat hantu.
"Kenapa di sini ada kecoa?" tanya Rey masih mengatur napasnya.
Di rumah Rey sendiri, sarapan sudah disediakan beraneka ragam oleh seorang asisten rumah tangga. Jadi, tak perlu repot-repot memasak sendiri dan tinggal santap saja. Zinnia yang sudah secara terpaksa selesai mandi, duduk kagum melihat masakan di hadapannya. Gadis itu kini sudah berpakaian rapi dengan kemeja berwarna hitam dan celana panjang milik Rey yang tentu saja sudah disetrika sangat licin. Saking licinnya mungkin lalat saja akan terpeleset jika berani hinggap di baju itu.
Hingga pukul sembilan kurang seperempat, jiwa Zinnia yang masih berada di dalam tubuh Rey sudah berada di bandara bersama Chandra. Mereka tengah menunggu kedatangan kedua orangtua Rey. Zinnia tampak begitu gugup. Ia benar-benar tak tahu bagaimana kedua orangtua Rey. Apakah menyebalkan seperti pria itu? Jika saja adik Rey tak mengajaknya, ia pasti sudah menuju kontrakan miliknya untuk menemui dirinya sendiri.
"Pah, Mah. Selamat datang," ucap Chandra pada kedua orangtuanya. Ayah dan ibu Rey tersenyum melihat kedua putra mereka.
"Iya, Chandra, Rey," ucap sang ibu sembari memeluk Chandra. Zinnia hanya memasang sebuah senyuman. Lalu secara tak sadar ia mencium punggung tangan ibu dan ayah Rey sebagai bentuk rasa hormatnya. Perbuatannya itu justru membuat ketiga orang itu terkejut tak percaya.
Suasana hangat mulai tercipta seiring senyuman yang terpasang di wajah tampan Rey. Membuat kedua orangtua Rey yang masih heran dengan tingkah aneh anak sulung mereka merasa sedikit senang. Tampaknya mereka senang dengan kehangatan Rey di hari itu. Hari itu pun Zinnia menghabiskan waktu bersama keluarga Rey di rumah mewahnya. Ternyata hidup jadi orang kaya enak juga.
Zinnia sudah kembali ke dalam tubuhnya sendiri di hari berikutnya. Ia bersyukur atas jiwanya yang telah kembali, eh. Satu hari sebelumnya bahkan terasa seperti mimpi. Meski ia terjebak di dalam tubuh pria menyebalkan seperti Rey, tetapi keluarga laki-laki itu benar-benar hangat. Sungguh keluarga yang bahagia di matanya. Gadis itu jadi teringat dengan kedua orangtuanya yang tinggal di desa. Rindu.Setelah terbangun dari tidurnya, Zinnia baru sadar bahwa pakaiannya telah berganti. Berbeda dengan pakaian yang ia pakai di hari sebelumnya. Ia hanya memakai tank top dan hot pant. Ternyata Rey telah melanggar janjinya. Tunggu, memangnya sejak kapan mereka membuat janji? Gadis itu bahkan tak nyaman dengan pakaian dalam yang dipakainya. Terutama bra yang ia pakai. Pengaitnya tak terpasang dengan benar."Parah tuh cowok," sungut Zinnia sembari membetulkan pakaiannya. Ia membayangkan bagaimana Rey kesusahan mengenakan pakaian wanita. Rona merah pun muncul di ked
Hari ini merupakan hari kedua Zinnia bekerja. Gadis itu selalu rutin bangun pagi. Namun, dirinya kembali dibuat heran. Gadis itu kembali bertukar jiwa dengan pria asing bernama Rey yang ia temui lima hari yang lalu. Kini ia kembali berada di atas tempat tidur besar dan mewah milik Rey."Duh Gusti. Kenapa kejadian lagi?" gumam Zinnia frustasi sembari mengusap wajah Rey dengan kedua tangannya.Gadis itu kemudian beranjak dari tempat nyaman dan empuk itu. Kembali melakukan hal yang sama saat pertama kali ia berada di tempat itu. Setelah selesai, Zinnia memeriksa ponsel mahal milik Rey."Nggak dipassword lagi?" gumamnya. Ia merasa Rey sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.Belum sempat ia memasukkan nomornya, panggilan datang. Panggilan itu dari nomor ponselnya sendiri. Ternyata Rey menghubunginya terlebih dulu."Halo?""Ternyata kamu sudah bangun ya, cewek bar-bar?" tanya Rey dengan suara wanita milik Zinnia."Ap
Mobil itu pun meninggalkan kontrakan kecil milik Zinnia. Setelah tak terlihat lagi, Zinnia yang berada di dalam tubuh Rey langsung menarik lengan kecilnya dan menutup rapat pintu kontrakan itu. Zinnia menatap dirinya sendiri dari atas ke bawah dan kebalikannya."Kamu gak macem-macem, kan?" tanya Zinnia curiga."Ngapain juga macem-macem," balas Rey tanpa menatap kedua matanya sendiri. Zinnia hanya menaikkan kedua alisnya."Mana ponselku?" tagih Rey meminta ponselnya."Nih!" Zinnia memberikan ponsel itu pada sang pemilik asli. Gadis itu pun berjalan memasuki kamarnya untuk mengambil ponsel miliknya."Jadi, sekarang kamu harus mandi! Aku udah lakuin perintah kamu, kamu harus berangkat kerja gantiin aku hari ini!" ujar Zinnia saat ia sudah kembali ke ruang tamu. Rey masih sibuk dengan ponselnya."Dengerin gak sih?" sungut Zinnia kesal."Iya denger." Rey membalas tatapan kesal Zinnia. Mereka pun saling bertatapan."Jadi cepat mandi!
Di hari ke enam, gadis itu kembali bekerja di SJ Grup. Ia sudah kembali ke tubuhnya. Pada hari sebelumnya ia terpaksa sudah berani izin tidak bekerja. Padahal ia baru saja diterima di perusahaan besar itu.'Semoga aku gak dipecat sama Pak Direktur,' batin Zinnia penuh harap."Zin. Kamu udah sembuh? Kata Pak Ketua kamu sakit," tanya Desi tatkala gadis itu duduk di kursi kerjanya. Zinnia menatap seniornya dan tersenyum tipis. Ini semua gara-gara Rey yang membuat izin palsu untuknya."Sudah sembuh kok, Mbak Des," jawab Zinnia terpaksa berbohong."Syukur deh kalau udah sembuh. Tapi lain kali kalau gak parah-parah amat jangan izin ya! Nanti kamu bisa dipecat kalau sering izin," ucap Desi memperingatkan."Ba-baik, Mbak. Akan aku usahakan. Makasih ya, Mbak," tutur Zinnia sembari menganggukkan kepalanya.Gadis itu kini kembali berkutat dengan layar monitor pada meja kerjanya. Melanjutkan pekerjaannya yang tertunda di hari sebelumnya. Hingga seorang
"Mas Rey?" gumam Zinnia. Mata gadis itu membulat saking kagetnya.Tertulis di atas meja kerja itu sebuah nama dan jabatan pria yang beberapa hari ini membuatnya kesal. Reyner Eka Sukmajaya, seorang Direktur Utama di SJ Grup. Dan nama SJ Grup diambil dari nama belakang pria itu. Zinnia tersadar bahwa selama ini ia berlaku kurang ajar pada atasannya. Dan inilah mengapa ia tak dapat bertemu pria yang bertukar jiwa dengannya. Strata mereka jauh berbeda."Kamu pasti tahu kan kenapa manajer Dani memanggilmu?" tanya Rey dengan sengaja. Zinnia hanya terdiam. Ia masih syok dengan apa yang dilihatnya."Kamu dipecat karena tidak bekerja di hari keduamu," imbuh Rey dengan suara dinginnya yang berat. Memangnya salah siapa Zinnia jadi tak berangkat kerja, Rey?"Maaf, Mas. Eh, Pak. Tapi kan yang membuat izin kemarin Pak Reyner. Bukan saya. Jadi, secara teknis itu Pak Reyner yang tidak masuk kerja," ujar Zinnia mencoba membela diri. Sebenarnya ia sangat kesal. Akan tetap
Seperti yang telah diduga sebelumnya, pada hari Kamis itu Zinnia dan Rey kembali bertukar jiwa. Dengan terpaksa Zinnia harus berpura-pura menjadi direktur utama perusahaan SJ Grup. Perusahaan besar yang bergerak di bidang properti. Hari itu juga, saat Zinnia sedang bersiap berangkat ke kantor dari rumah mewah Rey, ia melihat sang pemilik SJ Grup secara langsung. Bahkan ia dapat duduk pada satu meja makan yang sama.Berbeda dengan Rey, sosok Haris Sukmajaya begitu berwibawa. Pria yang sudah berusia enam puluh tahun lebih itu masih terlihat segar bugar. Tampaknya Haris sudah merawat tubuhnya dengan baik.Suasana begitu sunyi saat semua orang menikmati makan paginya. Hanya terdengar suara sendok logam dan piring keramik yang saling beradu. Setelah selesai, Zinnia yang terjebak di dalam tubuh Rey hanya bisa diam. Ia tak ingin membuat kesalahan di depan mata pemilik perusahaan itu. Sekarang gadis itu baru tahu, tingkatan dirinya dan sang direktur utama sangatlah berbeda.
Reyner menatap tajam wajahnya sendiri. Zinnia pun membalas tatapannya itu dengan wajah kesal. Gadis itu mencoba untuk menahan amarahnya agar tak mencakar wajahnya sendiri."Dengar! Aku juga tak mau bertukar jiwa dengan karyawan biasa sepertimu. Dan asalkan kamu tahu, jika masalah ini sudah selesai aku akan langsung memecatmu," ancam Rey dengan sinisnya. Pria itu menarik dasi miliknya yang dipakai oleh Zinnia. Gadis itu hanya bisa terdiam mendengarkan ancaman direktur dingin itu.‘Memangnya kapan masalah ini akan selesai? Sok tahu banget nih si bos rese,' umpat Zinnia tentunya dalam hati. Bisa gawat jika ia mengutarakannya secara terang-terangan."Jadi, apa Pak Rey punya rencana?" tanya Zinnia mencoba memberanikan diri."Sampai saatnya tiba. Setidaknya kita akan mencari tahu bagaimana pun caranya," tegas Rey."Dan kita harus sepakat bahwa hal ini tak boleh diketahui oleh siapa pun. Aku tak mau mendapat kesulitan dan diremehkan oleh orang perus
Memasuki hari kedelapan, Zinnia kembali pada tubuh aslinya. Gadis itu bersiap untuk berangkat kerja. Dengan setelan kemeja berwarna biru muda serta rok panjang hingga ke betis menambah sempurna penampilannya. Tak lupa Zinnia memoleskan sedikit make up pada wajah manisnya. Ia sangat senang karena dapat memakai liptint yang baru saja dibeli. Jika ia adalah Rey, ia tak bisa mencobanya pada hari itu."Sip. Sekarang tinggal berangkat. Satu hari bersabar bersama bos sombong," gumam Zinnia di depan cermin kamarnya.Gadis itu kemudian mengambil tas kerja dan berjalan keluar kamar. Kemudian mengambil sepatu pantopel dan hendak berjalan keluar kontrakan sebelum ia mendengarkan sebuah ketukan pada pintunya. Siapa gerangan yang datang di pagi itu? Apakah Reyner sudah berbaik hati mau menjemputnya?"Permisi, Mbak. Apakah benar Mbak yang namanya Zinnia Shafira?" tanya seorang pria berkaos hitam dengan topi berwarna sama saat gadis itu membuka pintu kontrakan
Setelah kepergian putra mereka, Reyner menatap sang istri yang sedang membereskan piring dan gelas kotor. "Kenapa Mas?" tanya Zinnia curiga.Reyner memeluk sang istri dari belakang. "Mumpung Kenang pergi, kita ke atas yuk!" ajak Reyner sembari menempelkan hidungnya pada leher sang istri."Ih. Geli, Mas," ucap Zinnia."Tapi aku pengen, Sayang," bisik Reyner lagi."Tapi ini masih siang, Mas," balas Zinnia menatap kedua mata Reyner."Nggak papa. Ya?" rengek Reyner dengan wajah memohon."Hahhh. Ya udah deh. Tapi aku selesaiin cuci piring dulu, ya?""Nanti aja! Aku cuciin deh," rengek Reyner tak sabar. "Ah lama," sambungnya sembari menggendong Zinnia menuju ke lantai dua.Pintu kembali ditutup rapat dari dalam kamar. Tak lupa Reyner menguncinya. Kembali ia mencumbui sang istri dengan mesra. Meski usia mereka sudah tak muda lagi. Namun, rasa cinta mereka masih ada. Reyner benar-benar menepati janjinya. Akan selalu mencintai Zinnia sa
Reyner dan Zinnia mendapati televisi yang masih menyala. Kemudian mereka melihat anak semata wayangnya tengah tertidur pulas sembari memeluk makanan ringan. Reyner pun dengan hati-hati menggendong putranya. Berniat memindahkannya ke dalam kamar."Emhh. Papi?" gumam Kenang kembali membuka matanya. "Kok Papi sama Mami lama sih di kamar?" tanya anak kecil itu sembari duduk dan mengucek kedua matanya."Maaf ya kalau lama, Sayang." Zinnia mendekati putranya."Mami sama Papi ngapain sih di kamar? Ken kan lapar," protes sang anak menatap wajah kedua orang tuanya."Emmm. Papi habis kasih huku-""Mami sama Papi habis main monopoli," ucap Zinnia memotong kalimat Reyner. Tak ingin anaknya bertanya yang aneh-aneh tentang hukuman dari suaminya."Yah. Kok Ken nggak diajak?" sungut Kenang."Lain kali aja, ya? Kalau Ken udah besar," balas Zinnia sembari mengelus rambut Kenang."Iya deh. Terus yang menang Mami apa Papi?" tanya anak kecil itu pe
Zinnia langsung terkesiap. Sepertinya Reyner kesal padanya."Tapi Ken belum mau bobok, Pi.""Sudah. Kamu masuk kamar dulu. Nanti kalau udah mau makan malam, baru deh Papi panggil," bujuk Reyner pada putranya."Emmmm. Iya deh. Ya udah. Ken mau baca buku cerita yang kemarin dibeliin Papi dulu," ujar Kenang menurut. Anak itu kemudian berjalan memasuki kamarnya.Kini tinggal Zinnia dan Reyner. Pria itu mendekati istrinya. "Apa, Mas?" tanya Zinnia mulai takut."Kau kan yang nyuruh Ken buat kasih serangga ke aku?" tanya Reyner menatap tajam istrinya."Hehe. Iya," balas Zinnia sembari meringis."Kalau begitu sekarang juga kamu aku hukum. Dasar istri kurang ajar!" seru Reyner sembari tersenyum lebar."Ih. Nggak mau," balas Zinnia sembari berlari meninggalkan suaminya. Naik ke lantai dua.Reyner pun mengejar sang istri. Karena kakinya yang panjang, ia mampu menyusul Zinnia. Segera saja pria itu membawa sang istri masuk ke dalam k
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Zinnia pun mulai mempersiapkan keperluan suami dan putranya. Wanita itu kini tengah menata barang bawaan untuk pergi karyawisata dengan sang anak."Kenang udah siap?" tanya Zinnia menatap putranya yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Anak laki-laki itu sudah siap dengan kaos seragam TKnya."Sudah, Mi," jawab Kenang semangat.Beberapa menit kemudian, Kenang dan ibunya pergi berangkat karyawisata bersama anak-anak TK yang lainnya. Zinnia senang melihat keceriaan putranya bersenda gurau dengan anak-anak lain. Mereka pun pergi ke beberapa tempat wisata. Dari melihat sapi yang diperah hingga menghasilkan susu yang berkualitas, hingga ke perkebunan sayur mayur. Ya. Konsep karyawisata kali ini adalah kembali ke alam. Zinnia pun mengambil setiap momen dengan putranya. Mengabadikannya ke dalam gambar."Seneng nggak piknik kaya gini?" tanya Zinnia pada putranya."Seneng banget dong, Mi. Besok kapan-kapan kita ajak Pap
Sudah hampir tiga tahun usia pernikahan Reyner dan Zinnia. Bahkan sekarang putra pertama mereka sudah menginjak usia dua tahun. Perkembangan kognitifnya terhitung cepat. Bahkan di usianya yang masih kecil, ia sudah bisa menghafalkan doa sehari-hari dan surat-surat pendek dalam Al-Quran. Zinnia sangat bangga pada kemampuan menghafal putranya. Ternyata kecerdasan sang ayah telah menurun padanya.Malam itu Kenang sudah mulai tidur sendiri. Entah mengapa sejak beberapa hari terakhir anak kecil itu ingin memiliki kamarnya sendiri. Kamar berisi buku-buku cerita, mainan, dan tentu saja poster bergambar ikan."Beneran Ken mau bobok sendiri?" tanya Zinnia memastikan. Ia tengah mengantar putranya ke dalam kamar pada lantai satu."Iya, Mi. Ken mau bobok sendili," jawab sang anak sembari menganggukkan kepala dengan yakin."Ya udah kalau gitu. Sini bobok! Mami selimuti," ujar Zinnia sembari menepuk-nepuk kasur berukuran besar dengan seperei bergambar nemo.Kena
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela