"Memangnya kenapa, Pak?" tanya gadis itu heran.
"Aku mau makan siang."
"Iya, Pak. Silakan kalau mau makan siang. Biasanya juga pergi gitu aja," cecar Zinnia mulai dongkol.
"Kau ikut denganku!" perintah Rey kemudian dengan jeda beberapa detik.
"Eh? Kenapa? Tumben," gumam Zinnia sembari menatap tembok di sampingnya, tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan pria itu.
"Nggak usah ngomong sama arwah. Cepet!" perintah Rey lagi.
"Ba-baik, Pak," ucap Zinnia sembari berlari kecil mengekor sang direktur.
"Mau ke mana kamu, Rey?" tanya Dani yang kebetulan hendak memasuki ruangan pria itu.
"Makan."
"Ikut dong. Aku juga mau makan siang. Apalagi bareng sama Zinni," ucap Dani sembari menatap gadis di belakang kawannya itu.
"Terserah."
"Dih. Cuek amat jadi atasan," sungut Dani. "Kamu yang tabah ya, Zinni. Meski sombong dan dingin, Rey ini sebenarnya baik hati kok," imbuhnya. Zinnia hanya tersenyum simpul. Sedangkan
Hari ke tiga belas. Rey dan Zinnia kembali bertukar jiwa. Meski tubuhnya perempuan, tapi Reyner masih belum terbiasa memakai pembalut. Zinnia pun sebenarnya risih rutinitas tiap bulannya harus diketahui sang atasan. Apalagi atasannya itu seorang pria."Hari ini sakit lagi gak?" tanya pria itu dengan suara wanita. Menatap tubuhnya sendiri yang sedang sibuk mendandaninya."Enggak kok, Pak. Biasanya cuma di hari pertama saja," terang gadis itu."Syukur deh.""Duh aku cantik banget ya ternyata. Apalagi lihat diri sendiri dari dekat kaya gini," tutur Zinnia dengan percaya diri. Gadis yang berada di tubuh Rey itu melakukan gaya gemas ala perempuan."Jangan memuji diri sendiri dengan mulutku!" ucap Rey kesal. Pria itu kesal karena melihat dirinya sendiri yang bertubuh tinggi, tegap, dan kekar bertingkah kemayu."Apaan sih, Pak? Pak Rey iri? Ya udah deh bentar lagi Pak Rey juga jadi cantik," ucap gadis itu sembari tersenyum penuh arti."Ck,"
Hari telah berganti. Kedua orang yang baru kenal itu kembali pada tubuh masing-masing. Zinnia asli kembali duduk pada kursi sekretaris. Sang direktur pun duduk pada singgasana miliknya."Pak, Rey. Siang ini ada janji dengan ditektur dari divisi pemasaran," ujar Zinnia mengingatkan."Hm. Oke," jawab Rey singkat."Dan ini beberapa dokumen yang harus Bapak tandatangani," imbuh gadis itu sembari menyerahkan beberapa lembar kertas penting pada sang direktur utama."Ya." Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu membaca sekilas dan langsung menandatangani kertas-kertas itu. Untung saja Zinnia sudah tak kaget lagi dengan perlakuan dingin sang atasan."Oh ya. Nanti kamu nggak usah ikut rapat. Aku mau ditemani Dani saja," ujar Rey membuat hati Zinnia berucap syukur."Baik, Pak."Gadis itu pun sendirian di ruang direktur utama SJ Grup. Menyelesaikan beberapa laporan yang masuk serta memeriksa jadwal meeting sang atasan yang sudah ia bua
Rey membuka amplop biru yang diserahkan sang adik. Ada selembar foto beserta data diri dari seorang wanita cantik berambut panjang. Wanita itu terlihat sangat sempurna untuk ukuran fisik. Rey paham dengan apa yang dimaksud ibunya."Hahhh. Kenapa Mamah masih bersikeras?" gumam Rey. Pria itu duduk di sebelah sang adik. Pada sofa panjang di ruangan itu."Mamah hanya ingin yang terbaik buat Kakak.""Tapi aku tidak tertarik." Rey menatap tajam kedua mata adiknya."Lalu kenapa Kak Rey mempekerjakan seorang perempuan di sini? Kakak sendiri bilang kalau semua perempuan itu merepotkan. Hanya memandang fisik dan jabatan untuk mendekati Kak Rey. Jika Kakak sama sekali tak suka perempuan, kenapa malah menjadikan Zinnia sebagai sekretaris pribadi Kakak? Padahal aku sendiri tahu kalau Kakak tak pernah mau satu ruangan dengan orang lain," ucap Chandra panjang lebar. Mengungkapkan kecurigaannya."Kamu cerewet sekali, Ndra. Itu bukan urusanmu!""Itu hal yang
"Astaghfirullahal'azim. Pak Rey!" seru Zinnia dengan suara pria. Gadis itu langsung keluar dari kamarnya sembari menatap layar ponselnya. Rey tersenyum penuh kemenangan."Apa-apaan ini, Pak? Nggak sopan tahu! Saya sendiri nggak pernah foto kaya gini," sungut Zinnia sembari mendelik pada dirinya sendiri yang masih duduk santai menikmati emosi."Ya Allah. Ada banyak sekali fotonya. Bapak bener-bener ya!" ucap gadis itu lagi sembari menghapus semua foto dirinya."Itu sebagai balasan atas perbuatanmu kemarin. Jadi kita impas," balas Rey santai. Zinnia memicingkan kedua matanya."Apa? Mau melawanku? Aku bisa membalas lebih dari ini," ujar Rey menaikkan dagunya."Ish. Ngeselin banget sih jadi cowok! Itu lagi. Benerin kancing baju saya!" perintah Zinnia saat ia sadar dengan penampilan dirinya."Kau berani memerintahku?" Pria itu malah menaikkan sebelah alisnya."Pak Rey!" sungut gadis itu lagi."Sudahlah aku mau mandi. Yang penting ki
Mentari kembali menyapa langit kota Jakarta. Cahayanya menerobos masuk ke celah-celah gorden berwarna kuning keemasan. Sang penunggu kamar pun menggeliatkan tubuhnya. Bangun sembari mengucek kedua kelopak matanya. Pria itu sudah kembali ke tubuh aslinya. Merasa senang karena jiwanya sudah tak berada di tubuh Zinnia. Hari itu hari Sabtu, jadi Rey menghabiskan waktunya di rumah. Ponselnya pun tiba-tiba berdering. "Assalamu'alaikum," sapa Rey pada orang yang menghubunginya. "Wa'alaikumussalam, Rey. Nanti sore kamu harus pulang ke rumah! Chandra sudah memberitahumu tapi kamu malah tak mengindahkannya. Ini perintah Mamah jadi kamu harus pulang sore ini!" ujar wanita yang merupakan ibu kandung dari sang direktur. "Iya, Mah. Nanti sore Rey pulang ke rumah." Pria itu menjawab sembari membayangkan wajah sang adik yang mengadukannya pada sang ibu. "Bagus. Pokoknya harus pulang. Ada yang mau Mamah omongin sama kamu," tutur sang ibu. "Iya, Mah. Iy
"Ck. Dasar. Siapa juga yang mau malam mingguan? Pacar aja nggak punya. Memangnya malam mingguan harus gitu sama pacar? Kan bisa nonton dorama kesukaan sambil makan," gerutu gadis itu sembari menutup pintu. "Dasar direktur sableng. Suka ngatur. Sombong. Ngeselin."Tak ingin terlarut dalam emosi, Zinnia mengeluarkan laptopnya. Malam itu ia akan menonton serial drama favoritnya. Melihat para ikemen beraksi. Dari serial itulah Zinnia belajar bela diri. Bukan. Belajar berkelahi lebih tepatnya. Karena tak ada sang direktur dan pekerjaan yang mengganggu, gadis itu bisa puas menikmati malam minggunya.Sekarang kita menilik Reyner. Pria itu sudah sampai di rumah utama. Sang ibu sudah menunggunya. Wanita itu pun menyambut kedatangan putra sulungnya. Mereka kini duduk di ruang makan. Menikmati makan malam mereka."Syukur kamu bisa datang malam ini, Rey. Gimana pilihan Mamah nggak salah, kan?" tanya wanita paruh baya yang bernama lengkap Nurmala Sukmajaya."
TOK TOK TOKSuara ketukan pintu membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya. Kedua matanya mengerjap untuk menelisik tempatnya berada, di kamar Reyner. Sontak gadis itu langsung duduk dan mengucek kedua matanya. Ia lupa bahwa hari Minggu itu ia harus menemani ibu dari sang direktur untuk liburan."Iya," seru gadis itu sembari membukakan pintu. Chandra sudah berdiri di depan pintu kamar sang kakak. Pria itu memandangi sang kakak."Kak Rey nggak lupa kan kalau sekarang kita mau liburan?" tanya Chandra menatap kakaknya yang baru bangun dari tidur."Eng ... Enggak kok." Zinnia tersenyum karena kelalaiannya."Ya udah. Sekarang Kak Rey mandi! Sudah ditunggu sama Mamah," jelas sang adik yang sudah siap berangkat. Zinnia yang berada di tubuh Rey hanya mengangguk. Lalu segera menutup pintu kamar itu."Duh. Lupa kalau sekarang harus nemenin Mamahnya direktur sableng," gumam gadis itu sembari menilik layar ponsel mahal milik Re
Di hari itu, tampak Reyner dan Chandra yang begitu akrab. Nurmala yang melihat pemandangan itu tersenyum senang. Baru kali itu ia melihat kedua anaknya saling bertukar senyuman. Meski terlihat aneh dan mustahil, tapi wanita itu benar-benar bahagia.Hingga pukul sembilan malam, keluarga Sukmajaya beristirahat di villa besar itu. Mereka kelelahan karena kegiatan mereka di tempat itu. Dari kegiatan memetik buah stroberi, jalan-jalan keliling kampung, bertegur sapa dan bermain bersama anak-anak yang tinggal di pemukiman sekitar villa."Kak. Hari ini Kakak benar-benar berbeda dari biasanya," ujar Chandra ketika duduk di samping sang kakak."Be-berbeda gimana maksudmu?" tanya Zinnia khawatir jika perbuatannya membuat curiga."Kakak jadi lebih ramah dari biasanya. Tapi aku suka Kakak yang seperti ini." Chandra tersenyum menatap sang kakak. Pria itu pun merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur."Aku juga seneng karena Kak Rey mau bercanda denganku. Kukira
Setelah kepergian putra mereka, Reyner menatap sang istri yang sedang membereskan piring dan gelas kotor. "Kenapa Mas?" tanya Zinnia curiga.Reyner memeluk sang istri dari belakang. "Mumpung Kenang pergi, kita ke atas yuk!" ajak Reyner sembari menempelkan hidungnya pada leher sang istri."Ih. Geli, Mas," ucap Zinnia."Tapi aku pengen, Sayang," bisik Reyner lagi."Tapi ini masih siang, Mas," balas Zinnia menatap kedua mata Reyner."Nggak papa. Ya?" rengek Reyner dengan wajah memohon."Hahhh. Ya udah deh. Tapi aku selesaiin cuci piring dulu, ya?""Nanti aja! Aku cuciin deh," rengek Reyner tak sabar. "Ah lama," sambungnya sembari menggendong Zinnia menuju ke lantai dua.Pintu kembali ditutup rapat dari dalam kamar. Tak lupa Reyner menguncinya. Kembali ia mencumbui sang istri dengan mesra. Meski usia mereka sudah tak muda lagi. Namun, rasa cinta mereka masih ada. Reyner benar-benar menepati janjinya. Akan selalu mencintai Zinnia sa
Reyner dan Zinnia mendapati televisi yang masih menyala. Kemudian mereka melihat anak semata wayangnya tengah tertidur pulas sembari memeluk makanan ringan. Reyner pun dengan hati-hati menggendong putranya. Berniat memindahkannya ke dalam kamar."Emhh. Papi?" gumam Kenang kembali membuka matanya. "Kok Papi sama Mami lama sih di kamar?" tanya anak kecil itu sembari duduk dan mengucek kedua matanya."Maaf ya kalau lama, Sayang." Zinnia mendekati putranya."Mami sama Papi ngapain sih di kamar? Ken kan lapar," protes sang anak menatap wajah kedua orang tuanya."Emmm. Papi habis kasih huku-""Mami sama Papi habis main monopoli," ucap Zinnia memotong kalimat Reyner. Tak ingin anaknya bertanya yang aneh-aneh tentang hukuman dari suaminya."Yah. Kok Ken nggak diajak?" sungut Kenang."Lain kali aja, ya? Kalau Ken udah besar," balas Zinnia sembari mengelus rambut Kenang."Iya deh. Terus yang menang Mami apa Papi?" tanya anak kecil itu pe
Zinnia langsung terkesiap. Sepertinya Reyner kesal padanya."Tapi Ken belum mau bobok, Pi.""Sudah. Kamu masuk kamar dulu. Nanti kalau udah mau makan malam, baru deh Papi panggil," bujuk Reyner pada putranya."Emmmm. Iya deh. Ya udah. Ken mau baca buku cerita yang kemarin dibeliin Papi dulu," ujar Kenang menurut. Anak itu kemudian berjalan memasuki kamarnya.Kini tinggal Zinnia dan Reyner. Pria itu mendekati istrinya. "Apa, Mas?" tanya Zinnia mulai takut."Kau kan yang nyuruh Ken buat kasih serangga ke aku?" tanya Reyner menatap tajam istrinya."Hehe. Iya," balas Zinnia sembari meringis."Kalau begitu sekarang juga kamu aku hukum. Dasar istri kurang ajar!" seru Reyner sembari tersenyum lebar."Ih. Nggak mau," balas Zinnia sembari berlari meninggalkan suaminya. Naik ke lantai dua.Reyner pun mengejar sang istri. Karena kakinya yang panjang, ia mampu menyusul Zinnia. Segera saja pria itu membawa sang istri masuk ke dalam k
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Zinnia pun mulai mempersiapkan keperluan suami dan putranya. Wanita itu kini tengah menata barang bawaan untuk pergi karyawisata dengan sang anak."Kenang udah siap?" tanya Zinnia menatap putranya yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Anak laki-laki itu sudah siap dengan kaos seragam TKnya."Sudah, Mi," jawab Kenang semangat.Beberapa menit kemudian, Kenang dan ibunya pergi berangkat karyawisata bersama anak-anak TK yang lainnya. Zinnia senang melihat keceriaan putranya bersenda gurau dengan anak-anak lain. Mereka pun pergi ke beberapa tempat wisata. Dari melihat sapi yang diperah hingga menghasilkan susu yang berkualitas, hingga ke perkebunan sayur mayur. Ya. Konsep karyawisata kali ini adalah kembali ke alam. Zinnia pun mengambil setiap momen dengan putranya. Mengabadikannya ke dalam gambar."Seneng nggak piknik kaya gini?" tanya Zinnia pada putranya."Seneng banget dong, Mi. Besok kapan-kapan kita ajak Pap
Sudah hampir tiga tahun usia pernikahan Reyner dan Zinnia. Bahkan sekarang putra pertama mereka sudah menginjak usia dua tahun. Perkembangan kognitifnya terhitung cepat. Bahkan di usianya yang masih kecil, ia sudah bisa menghafalkan doa sehari-hari dan surat-surat pendek dalam Al-Quran. Zinnia sangat bangga pada kemampuan menghafal putranya. Ternyata kecerdasan sang ayah telah menurun padanya.Malam itu Kenang sudah mulai tidur sendiri. Entah mengapa sejak beberapa hari terakhir anak kecil itu ingin memiliki kamarnya sendiri. Kamar berisi buku-buku cerita, mainan, dan tentu saja poster bergambar ikan."Beneran Ken mau bobok sendiri?" tanya Zinnia memastikan. Ia tengah mengantar putranya ke dalam kamar pada lantai satu."Iya, Mi. Ken mau bobok sendili," jawab sang anak sembari menganggukkan kepala dengan yakin."Ya udah kalau gitu. Sini bobok! Mami selimuti," ujar Zinnia sembari menepuk-nepuk kasur berukuran besar dengan seperei bergambar nemo.Kena
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela