"Edward."
"Hm?"
Sepuluh detik.
"Kak Edward."
"Kenapa?"
"Peluk aku, Edward."
Meski terkekeh geli dengan sikap manja kekasihnya Edward tetap melingkarkan lengan panjangnya di pinggang Rosie dalam rangka menarik gadis-nya mendekat. Dia mengusap lengan atas Rosie supaya gadis itu lebih hangat.
***
Mereka menginap di penginapan tua dekat pantai. Suara debur ombak sayup melengkapi udara sejuk yang memenuhi kamar itu. Jendela besar sengaja dibiarkan terbuka supaya nyanyian laut bisa lebih jelas terdengar oleh sepasang kekasih.
Muda mudi tengah berpelukan sembari berbaring di ranjang. Keduanya memejamkan mata dengan damai, tangan saling terkait di perut si gadis. Sesekali Edward akan berhenti bersenandung untuk mengecup punggung lembut Rosie, terkekeh geli ketika gadisnya mengerang pelan sebagai protes karena senandungnya berhenti.
Mereka sudah
Edward yakin dia tidur setidaknya tujuh jam. Udara sudah terasa panas, mengundang keringat kecil keluar dari pori-porinya. Dengan erangan pelan Edward menggapai ke segala arah untuk menyadari tempat tidurnya kosong. Dia membuka mata, seketika langsung segar bugar karena sadar Rosie tidak di kamar itu.Mata hitamnya mengelilingi ruangan kecil yang kini terang benderang akibat cahaya matahari menerobos dari jendela besar. Pintu kamar mandi setengah terbuka, tidak ada suara air terdengar, menandakan Rosie juga tidak sedang mandi.Edward bangkit berdiri. Beberapa kali memanggil Rosie meski dia tahu hanya ada dirinya di kamar itu. Edward tetap memeriksa kamar mandi yang kosong, membuka pintu depan yang juga menunjukkan teras kosong.Jantungnya mulai memacu dalam kepanikan. Rasa takut adalah tuan yang menguasai segenap jiwa dan raganya sekarang. Dia berlari kecil sembari meneriakkan nama kekasihnya, mengelilingi pantai di belakang pengina
Si bocah berbalik dengan penuh semangat, tidak melihat ada anak kecil lain berjalan tepat di depannya hingga tabrakan antara dua bocah tidak bisa terhindar. Badan Eros jauh lebih besar dari pada bocah laki-laki lain yang di tabrak, alhasil bocah yang lain jatuh terduduk. Mata coklat si bocah yang lebih kecil berkaca-kaca, mencebik sambil memandangi Eros."Samuel! Tidak apa-apa, Sayang. Cup cup jangan menangis." Perempuan berambut panjang menyongsong si bocah kecil, jongkok di depannya lalu memeluk Samuel dengan sayang. Tangannya menepuk-nepuk pantat Samuel supaya bocah itu berhenti mencebik."Ro-Rosie?!""Kak Alice?"***Dua wanita dewasa duduk di ayunan warna warni. Gestur tubuh mereka canggung, cara bicara juga tak kalah kikuk. Sunggu berbeda dengan dua bocah lelaki di tengah kotak pasir, para bocah yang bahkan belum mengenal lebih dari satu jam sudah asyik bercengkrama sambil tertawa lepas.Rosie bisa
"Halo, Edward! Kau di mana?" itu suara David sedikit berbisik."Aku hampir sampai. Sabar-""Kau lebih baik muncul dalam satu menit atau Alice keburu menghancurkan kue ulang tahunmu. Aku sudah mencoba menenangkannya, tapi kau tahu aku juga bukan tandingan Alice."Edward memutar bola matanya dengan jengkel. "Aku sampai." Desisnya lalu memutus sambungan. Edward berdiri di depan pintu ganda kecoklatan, tangan memegangi kenop besar warna silver. Dia menghirup nafas lalu menghempaskannya sebelum mendorong pintu itu dan mulai melangkah masuk.Senyum elegan dia pasang terlepas dari kenyataan dirinya, orang yang berulang tahun, terlambat satu jam menghadiri pesta ulang tahunnya sendiri. Kalau ada hal yang Edward pelajari selama menjadi pimpinan sebuah perusahaan multi nasional, itu adalah bersikap tenang dan berwibawa dalam setiap keadaan.Edward mengitari beberapa mejabbundar tempat para tamu undangan yang
"Selamat ulang tahun, Kak Edward!"Rosie Wilkins. Gadis itu berdiri di hadapan Edward. Mencarkan senyum cerah khas miliknya. Senyum yang setiap malam Edward mimpikan. Rosie memandangnya dengan manik hazel cemerlang. Mata yang selalu dia kenang sebagai mata paling indah dan mempesona.Rosie...Rosie-nya memakai gaun putih selutut, riasan tipis, rambut hitam tergerai indah di punggungnya. Aroma parfum favorit Rosie menguar sampai ke indera penciuman Edward hingga pemuda itu ingin menampar dirinya sendiri lantaran halusinasinya terlampau nyata.Tidak mungkin Rosie ada di depannya saat ini. Tidak mungkin semua doa dan permohonan di setiap ulang tahunya terwujud. Rasanya mustahil Rosie-nya kembali.Suasana ballroom begitu sunyi. Semua orang berfokus pada dua manusia di tengah ruangan.Rosie mulai gugup. Dia mulai takut sekaligus kecewa karena reaksi Edward berbeda dengan yang dia bayangkan. Mungkin saja E
David baru menyadari kalimatnya tidak tepat. Dia mengumpati ketidakpekaan dirinya di situasi canggung ini. David meraih gelas kertas di meja, menenggak kopi hitam kesukaannya yang mulai dingin untuk mengusir rasa canggung mencekik di benaknya. Dia diam, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa lagi.Mungkinkah itu satu menit. Atau sepuluh menit. Barang kali satu jam lamanya keheningan menyelimuti dua manusia di pinggir kolam renang. David dan Alice kehilangan jejak waktu."Tanganmu," ucap Alice ketika akhirnya menyadari buku tangan David penuh luka gores. Tidak perlu penjelasan apa penyebabnya."Tak apa. Ini cuma luka kecil. Nanti juga sembuh sendiri." David angkat bahu santai."Kita harus membersihkannya. Nanti bisa infeksi. Tunggu sebentar." Alice menghilang dari area kolam, masuk ke penginapan dengan langkah tergesa."Kita?" ulang David pada dirinya sendiri. Pipinya mulai panas lagi dan dadanya
Si bocah kecil yang punya masa lalu tidak terlalu baik dengan keluarga kandungnya mengira Rosie meninggalkannya seperti ayah dan ibunya yang dulu, itu sebabnya Samuel ketakutan dan menangis kencang mencari-cari Rosie."Ibu~~~" isak si kecil sembari memeluk Rosie erat, takut sang ibu menghilang lagi."Iya sayang. Ibu di sini. Ibu tidak akan kemana-mana. Samuel jangan takut ya sayangku." Dengan kasih sayang Rosie mengelus punggung mungil anaknya. Mengecup pipi tembam bocah laki-laki itu."Maafkan aku, Ibu, Ayah. Aku lupa waktu sampai Samuel ketakutan seperti ini." Rosie berkata setelah Samuel mulai tertidur di pelukannya."Kami mengerti, Rosie. Samuel juga sepertinya belum terbiasa jauh darimu.""Rosie, kau belum cerita pada Edward?" tanya Tuan Quin mendapati Edward berdiri kebingungan menatap bocah kecil yang mulai terlelap.Pasangan suami istri akhirnya undur diri. Naik ke kam
Selain itu...Jauh, jauh di lubuk hati terdalam, Rosie pun takut. Dia gamang jikalau Edward yang dia cintai pada akhirnya akan berubah menjadi Maxy Louis kedua. Edward Quin, pemuda itu berulang kali menyatakan rasa cinta padanya, betapa dalam perasaannya untuk Rosie. Semakin Edward berkata demikian, makin ragu Rosie jadinya.Karena bagi Rosie pemuda yang sama pernah dengan yakin menyatakan sangat mencintai Alice, tidak akan mengkhianati gadis itu. Nyatanya, Edward Quin mengkhianati Alice, gadis baik hati yang telah sepuluh tahun setiabmenemani.Maka apa yang akan terjadi pada Rosie? Apakah dia juga akan bernasib sama seperti Alice? Rosie selalu gelisah ketika pertanyaan itu melintas. Sebab dia mungkin tidak akan pernah bisa bangkit jika Edwrad juga berhenti mencintainya dan membuangnya seperti yang terjadi pada Alice.Tapi sekarang dia yakin. Edward telah berhasil menghapus ketakutan Rosie sepuluh tahun lalu. Edward
"Rasanya..." Claire menggantung kalimatnya segaja untuk membuat dua wanita lain makin penasaran dan bersemangat.Tapi belum sempat dia lanjut, pintu kamar Rosie, tempat mereka melakukan 'rapat' penting terbuka dan Edward berdiri di ambang pintu. Edward menyilang kan tangannya di dada sembari berkata, "Rasanya kalian harus berhenti bergosip.""Siapa yang gosip? Kami sedang ber-dis-ku-si. Tahu?" Alice mengelak dan langsung dapat anggukan suportif dari dua kawannya."Hey! Alice Cooper John, bukannya kau minta aku beri cuti David agar kalian bisa punya quality time lebih banyak? Kenapa kau malah main ke rumah orang setiap hari?""Ini juga quality time, Edward! Menghabiskan waktu berharga bersama keluarga dan kerabat. Lagian Samuel 'kan tidak bisa jauh dari Eros. Mereka itu sabahat bagai kepompong!"Edward memutar bola matanya dengan rasa terganggu yang kentara. Tidak bisa menerima penjelasan Alice yang