"Selamat ulang tahun, Kak Edward!"
Rosie Wilkins. Gadis itu berdiri di hadapan Edward. Mencarkan senyum cerah khas miliknya. Senyum yang setiap malam Edward mimpikan. Rosie memandangnya dengan manik hazel cemerlang. Mata yang selalu dia kenang sebagai mata paling indah dan mempesona.
Rosie...Rosie-nya memakai gaun putih selutut, riasan tipis, rambut hitam tergerai indah di punggungnya. Aroma parfum favorit Rosie menguar sampai ke indera penciuman Edward hingga pemuda itu ingin menampar dirinya sendiri lantaran halusinasinya terlampau nyata.
Tidak mungkin Rosie ada di depannya saat ini. Tidak mungkin semua doa dan permohonan di setiap ulang tahunya terwujud. Rasanya mustahil Rosie-nya kembali.
Suasana ballroom begitu sunyi. Semua orang berfokus pada dua manusia di tengah ruangan.
Rosie mulai gugup. Dia mulai takut sekaligus kecewa karena reaksi Edward berbeda dengan yang dia bayangkan. Mungkin saja E
David baru menyadari kalimatnya tidak tepat. Dia mengumpati ketidakpekaan dirinya di situasi canggung ini. David meraih gelas kertas di meja, menenggak kopi hitam kesukaannya yang mulai dingin untuk mengusir rasa canggung mencekik di benaknya. Dia diam, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa lagi.Mungkinkah itu satu menit. Atau sepuluh menit. Barang kali satu jam lamanya keheningan menyelimuti dua manusia di pinggir kolam renang. David dan Alice kehilangan jejak waktu."Tanganmu," ucap Alice ketika akhirnya menyadari buku tangan David penuh luka gores. Tidak perlu penjelasan apa penyebabnya."Tak apa. Ini cuma luka kecil. Nanti juga sembuh sendiri." David angkat bahu santai."Kita harus membersihkannya. Nanti bisa infeksi. Tunggu sebentar." Alice menghilang dari area kolam, masuk ke penginapan dengan langkah tergesa."Kita?" ulang David pada dirinya sendiri. Pipinya mulai panas lagi dan dadanya
Si bocah kecil yang punya masa lalu tidak terlalu baik dengan keluarga kandungnya mengira Rosie meninggalkannya seperti ayah dan ibunya yang dulu, itu sebabnya Samuel ketakutan dan menangis kencang mencari-cari Rosie."Ibu~~~" isak si kecil sembari memeluk Rosie erat, takut sang ibu menghilang lagi."Iya sayang. Ibu di sini. Ibu tidak akan kemana-mana. Samuel jangan takut ya sayangku." Dengan kasih sayang Rosie mengelus punggung mungil anaknya. Mengecup pipi tembam bocah laki-laki itu."Maafkan aku, Ibu, Ayah. Aku lupa waktu sampai Samuel ketakutan seperti ini." Rosie berkata setelah Samuel mulai tertidur di pelukannya."Kami mengerti, Rosie. Samuel juga sepertinya belum terbiasa jauh darimu.""Rosie, kau belum cerita pada Edward?" tanya Tuan Quin mendapati Edward berdiri kebingungan menatap bocah kecil yang mulai terlelap.Pasangan suami istri akhirnya undur diri. Naik ke kam
Selain itu...Jauh, jauh di lubuk hati terdalam, Rosie pun takut. Dia gamang jikalau Edward yang dia cintai pada akhirnya akan berubah menjadi Maxy Louis kedua. Edward Quin, pemuda itu berulang kali menyatakan rasa cinta padanya, betapa dalam perasaannya untuk Rosie. Semakin Edward berkata demikian, makin ragu Rosie jadinya.Karena bagi Rosie pemuda yang sama pernah dengan yakin menyatakan sangat mencintai Alice, tidak akan mengkhianati gadis itu. Nyatanya, Edward Quin mengkhianati Alice, gadis baik hati yang telah sepuluh tahun setiabmenemani.Maka apa yang akan terjadi pada Rosie? Apakah dia juga akan bernasib sama seperti Alice? Rosie selalu gelisah ketika pertanyaan itu melintas. Sebab dia mungkin tidak akan pernah bisa bangkit jika Edwrad juga berhenti mencintainya dan membuangnya seperti yang terjadi pada Alice.Tapi sekarang dia yakin. Edward telah berhasil menghapus ketakutan Rosie sepuluh tahun lalu. Edward
"Rasanya..." Claire menggantung kalimatnya segaja untuk membuat dua wanita lain makin penasaran dan bersemangat.Tapi belum sempat dia lanjut, pintu kamar Rosie, tempat mereka melakukan 'rapat' penting terbuka dan Edward berdiri di ambang pintu. Edward menyilang kan tangannya di dada sembari berkata, "Rasanya kalian harus berhenti bergosip.""Siapa yang gosip? Kami sedang ber-dis-ku-si. Tahu?" Alice mengelak dan langsung dapat anggukan suportif dari dua kawannya."Hey! Alice Cooper John, bukannya kau minta aku beri cuti David agar kalian bisa punya quality time lebih banyak? Kenapa kau malah main ke rumah orang setiap hari?""Ini juga quality time, Edward! Menghabiskan waktu berharga bersama keluarga dan kerabat. Lagian Samuel 'kan tidak bisa jauh dari Eros. Mereka itu sabahat bagai kepompong!"Edward memutar bola matanya dengan rasa terganggu yang kentara. Tidak bisa menerima penjelasan Alice yang
"Alice, ayo," seru Edward menarik Alice keluar ruangan.Pemuda Quin mengabaikan pertanyaan Alice dan penolakan sang calon istri. Terus saja Edward menggiring Alice ke basemen gedung hotel tempat pernikahan mereka seharusnya digelar. Edward memaksa Alice masuk ke Audi Saloon hitam miliknya lalu dia pun masuk dan mulai berkendara meninggalkan tempat acara pernikahan."Edward! Kita mau ke mana?" pekik Alice mulai histeris karena waktu pemberkatan telah berlalu setengah jam lalu.Pemuda di sebelahnya terus saja fokus pada jalanan, tidak menggubris segala pertanyaan Alice.Alice memperhatikan keluar jendela. Mereka sudah ada di luar Jakarta karena kanan dan kiri mereka hanya ada pohon tinggi menjulang. Jalanan yang mereka lalui pun sangat sepi, tidak ada mobil lain selain milik mereka."Berhenti Edward!"Masih tidak ada respon. Edward nampaknya menganggap Alice ini transparan.
Sepasang mantan kekasih menangis di dalam mobil hitam di tengah jalanan sunyi. Mereka berpelukan. Bukan pelukan antar sepasang kekasih, namun pelukan antara dua sahabat karib yang tengah patah hati. Pelukan yang tujuannya saling menguatkan.Edward membawa Alice ke salah satu penginaman milik keluarga Axel yang sudah dia persiapkan. Edward memang sudah merencanakan semua ini ketika Rosie meninggalkannya. Dia akan membawa kabur Alice dari acara pernikahan karena bagi Edward hanya itu satu-satunya waktu yang memungkinkan untuknya bicara dengan Alice. Lalu Edward akan meyakinkan Alice untuk membatalkan pernikahan mereka seperti yang barusan dia lakukan.Mereka menginap di penginapan bermaksud menghindari keluarga juga wartawan. Edward tidak mau Alice terguncang menghadapi gempuran semua orang yang pasti ingin tahu apa yang terjadi pada pasangan calon pengantin yang menghilang tepat sebelum upacara pernikahan. Hati yang patah sudah cukup membuat
Edward membuat banyak tanda cinta kemerahan di spot yang dia yakini adalah kelemahan Rosie. Tangannya bergrilya di balik gaun tidur merah menerawang hadian dari Claire, satu-satunya hal yang membuat Edward ingin berterimakasih pada super star menyebalkan itu.Dia melepaskan leher putih Rosie yang sekarang penuh tanda kemerahan. Bangkit, sembari mengagumi kecantikan istrinya, Edward menarik gaun tipis itu melalui kepala Rosie dan hanya meninggalkan pakaian dalam super seksi melekat pada tubuh ramping wanita yang dia cintai. Jantungnya memacu makin cepat, adrenalin kian meningkat, gairah Edward belum pernah sehebat ini selama sepuluh tahun terakhir. Dia masih ingat pertama dan terakhir kali hasratnya menyelubungi seluruh inderanya adalah saat dirinya dan Rosie bercinta di kamar Rosie sepuluh tahun lalu.Dalam kurun waktu sepuluh tahun Edward tak pernah sekali juga melirik lawan jenis apa lagi sampai berhubungan badan. Gairah dan nafsunya cuma be
Edward dan Rosie terpaksa menunggu di bandara sebab tidak ada tiket ke Jakarta yang tersisa mengingat waktu telah larut saat sepasang suami istri sampai. Tapi beruntung ada dua tiket untuk penerbangan pertama hari berikutnya.Rosie memaksakan menunggu pesawat yang baru berangkat empat jam lagi di ruang tunggu dari pada kembali lagi ke hotel. Kecemasannya makin meningkat saat ponsel Samuel yang selalu dikalungkan di lehernya tidak aktif.Edward mengusap punggung istrinya untuk menenangkan perempuan itu. Mata Rosie sudah nanar mengkuatirkan Samuel."Tenanglah, Rosie. Samuel pasti baik-baik saja." Edward mengecup surai hitam Rosie untuk menenangkannya meski dirinya juga sedikit panik."Aku takut Samuel kenapa-kenapa. Kami tidak pernah berpisah sejauh ini sebelumnya.""Aku janji anak kita akan baik-baik saja. Percayalah."Senyum menenangkan dari Edward mau tak mau memancing senyum kecil
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa