Saat ketukan ketiga, tiba-tiba saja lengan ini ditarik paksa oleh seseorang hingga diseretnya ke tempat sampah. Kami bersembunyi di balik tempat sampah.
"Fikri," celetukku ketika melihat sosok laki-laki yang ternyata adalah mantan kekasihku saat di bangku sekolah menengah kejuruan. Kami pacaran cukup lama, nyaris menikah tapi aku lebih memilih Mas Ari.
"Sttt, jangan berisik," timpalnya. Kami masih bersembunyi, karena dipastikan setelah ini akan ada yang keluar.
Benar saja, Mas Ari keluar dengan sudah mengenakan kolor dan kaos oblong saja. Ia tengak-tengok mencari orang yang mengetuk pintu, lalu menutupnya kembali.
Hatiku menjerit melihat ia keluar lalu masuk lagi. Ya, itu suamiku yang berani melamar dan mempersuntingku beberapa tahun yang lalu.
"Sabar ya," ucap Fikri. Aku baru tersadar bahwa apa laki-laki lain di hadapanku yang menyaksikan kepiluanku.
"Kamu kok ada di sini?" tanyaku penasaran.
"Jangan keras-keras, kamu mau dengar suamimu sedang bercinta nggak? Dia di kamar belakang, dan kamarnya satu tembok denganku, itu yang sebelah rumahku," terang Fikri sambil menunjuk rumahnya dengan jari telunjuk.
Aku terdiam, malu mendengar penuturan Fikri barusan. Ia mengetahui kelakuan suamiku, padahal dulu aku menolaknya karena perihal pekerjaan yang tidak mapan.
"Aku mau pulang aja," sahutku di depannya.
"Nggak mau mergoki suami sedang zina?" tanya Fikri lagi.
Aku menggelengkan kepala. Lalu bangkit dari duduk yang setengah jongkok. Namun, tangan ini ditarik oleh Fikri kembali. Ia memintaku untuk ikut dengannya.
"Kita mau ke mana?" tanyaku padanya.
Fikri terus menerus menyeretku paksa. Jaraknya sudah cukup jauh dari rumah yang Mas Ari tadi singgahi. Lalu ia berhenti di sebuah rumah yang bertuliskan ketua RT.
"Untuk apa ke sini?" tanyaku pada Fikri.
"Mau nyuruh kamu berikan saksi bahwa mereka bukan suami istri, tapi kamu lah istrinya," usul Fikri.
Aku terdiam, masih menimbang ucapannya. Rasanya masih bimbang melakukan hal itu, sebab aku tak mau juga aib keluarga tersebar ke mana-mana.
"Sepertinya terlalu berlebihan, aku tidak perlu bar-bar. Untuk apa? Rasanya untuk saat ini yang kuinginkan hanya berpisah," jawabku pada Fikri.
Ia menghela napas sambil tertawa. Sesekali membelah rambutnya dengan kelima jarinya.
"Sudah beberapa pekan, suamimu ada di sini, berzina. Tahukah kamu dosa zina bisa kena imbas 40 rumah di sekitarnya?" cetus Fikri membuatku terdiam. Sebenarnya perihal dosa itu hanya urusan Tuhan, dan apa yang kulakukan ini semata-mata hanya ingin meyakinkan diri ini saja bahwa aku salah memilih suami.
"Lalu aku harus melaporkan?" tanyaku padanya.
"Ya, mereka harus menanggung akibat dari perbuatannya. Kamu lapor, lalu kita liput di sosial media, bukankah itu sanksi sosial untuknya nanti?" Kata Fikri sambil mengajukan pertanyaan.
"Terlalu berlebihan kalau harus sampai ke sosial media, aku nggak mau," jawabku menolak tawaran Fikri.
Tidak lama kemudian, ada warga yang lewat, dua orang ibu-ibu. Mereka melintasi rumah RT yang kami lewati.
"Benar-benar keterlaluan itu dua orang, ke sini hanya numpang buang kotoran saja, warga sini nanti yang kena dampak sialnya, bukan hanya sekali dua kali, tiap siang selalu ke sini entah seminggu bisa tiga kali," jelasnya membuatku menelan ludah.
Apa yang dimaksudkan Mas Ari dan Rinta? Tapi kan mereka juga nggak pernah lihat mereka ngapain di dalam.
"Iya, Bu. Tiap keluar pasti yang cewek rambut basah, dan masuk mobil sambil cium bibir, ih nggak tahu malu, anak saya si Fano pernah lihat, kan mereka jadi tanya-tanya, dan mengira perbuatan itu pantas ditiru," jawab ibu yang satunya. Jadi, sebagian warga pun turut kesal di sini melihat mereka mempertontonkan kemesraannya.
"Pak Wendi pernah nanya katanya nggak ada buku nikah mereka berdua, bilang nikah siri, tapi kenapa ke sini hanya di saat waktu tertentu aja?" tanya ibu yang satunya lagi. Mereka berdua bicara dengan langkah kaki yang sesekali berhenti di depanku dan Fikri.
Sebaiknya aku ikut kata Fikri saja, melaporkan pada RT setempat dan mengakuinya bahwa aku adalah istri sah Mas Ari, dan wanita yang dibawanya ke rumah yang setengah jadi itu adalah pembantuku.
"Baiklah, Fik. Aku bersedia memberikan keterangan bahwa aku istri sah dan mereka bukan pasangan yang telah terikat pernikahan. Mereka itu pezina," ucapku dengan lantang.
Kemudian, kami masuk, lalu Fikri membantu menjelaskan maksud kedatangan kami berdua. Setelah dijelaskan panjang lebar, ketua RT setempat pun langsung mengajakku untuk memergokinya sekarang juga.
"Baiklah, kita ke rumahnya sekarang, mumpung mereka ada di sini," ajaknya. "Apalagi Mbak punya bukti foto pernikahan di ponsel," tambahnya lagi. Sebab, aku memang menunjukkan foto pernikahan kami yang tersimpan di memori telepon genggam milikku.
"Ayo, sekarang, soalnya sepuluh menit lagi biasanya mereka cabut dari rumah itu," pungkas Fikri sampai hafal betul jadwal mereka keluar.
"Kamu sampai hafal, Fik?" tanyaku sekali lagi.
"Ini jam makan siang, sepertinya suami kamu hanya memanfaatkan istirahat siangnya," jawab Fikri membuatku sesak. Tangan ini memegang dada, lalu mengatur napas dalam-dalam agar tidak tersulut emosi dan sakit hati yang terlalu dalam.
"Ya sudah, kita jangan buang-buang waktu lagi," timpalku kini semakin semangat.
Kami bertiga keluar dari rumah RT. Namun, ternyata sudah ada beberapa warga di depan pintu RT.
"Pak, itu yang penghuni baru, pengantin baru atau bukan si? Masa ke sini tiap siang? Udah gitu di depan umum kadang ciuman," ucap ibu berbaju merah pekat dengan rambut diikat. Ia tampak kesal dengan Mas Ari dan Rinta yang tak bisa menjaga sikap.
"Iya, tenang ya, kami bertiga mau menegurnya," jawab RT yang sudah bersiap ke rumah minimalis yang masih belum direnovasi bagian depannya.
"Wah, kami turut senang deh, Pak. Semoga mereka bukan pasangan zina, kalau pun sudah menikah, tolong dinasihatin untuk jaga sikap. Ini bukan luar negeri main nyosor aja ada anak-anak di bawah umur," celetuknya lagi dengan mencontohkan mimik bibir yang monyong saat bilang nyosor.
Akhirnya ibu tadi pun pergi. Sedangkan kami, bergegas menuju rumah yang disinggahi suamiku dengan pelakor.
Meskipun hati ini dihujani rasa benci padanya, tapi aku berniat untuk bicara pelan-pelan dulu.
Bersambung
Langkah Fikri tiba-tiba terhenti, ketika melihat dari sudut depan banyak segerombolan ibu-ibu membawa alat perangnya di dapur. Tangan Fikri dibentangkan seraya mencegahku untuk melanjutkan ke arah rumah yang kini sedang dibuat gelut oleh pasangan yang dimabuk asmara. "Mona, kamu ikut aku," suruh Fikri kini meraih tanganku. "Pak RT gabung sama ibu-ibu yang sudah siap membawa panci dan centong," tambah Fikri lagi.Pak RT dan istrinya mengangguk. Namun, langkah Fikri kembali terhenti lalu menyapa Pak RT kembali. "Pak, jangan bilang istrinya ada di sini, ya!" teriak Fikri lagi. Kata Fikri kamar mereka ada di belakang, jadi takkan mendengar teriakan Fikri barusan.Entahlah apa yang ingin dilakukan Fikri kepadaku, ia hanya menarikku dan meminta mengikuti saja perintahnya. Saat ini di otakku hanya ada bayangan Mas Ari yang sedang bercinta dengan wanita tak tahu malu itu.Terlintas bagaimana Fikri dan ibu-ibu yang bergosip tadi bilang bahwa mereka sering menunjukkan kemesraannya di depan umu
Aku mengangkat lengan baju dan menyuruhnya turun dari mobil sekali lagi. "Turun sekarang nggak!" teriakku sekali lagi dengan mata membulat. Namun, Mas Ari malah membunyikan klakson. Ibu-ibu yang mendengar dan melihatnya pun sontak mengepung area mobil. Tak segan-segan, ada beberapa orang yang memukul kaca mobil dengan keras.Reaksi Rinta hanya menutup wajahnya. Beberapa orang terus membantuku meneriakinya untuk keluar. Kulihat area rumah Mas Ari semakin ramai. Orang yang berlalu lalang di jalan pun singgah dan ikut menyaksikan kehebohan ini. Setelah beberapa menit dalam kepungan, Mas Ari menautkan kedua tangannya di hadapanku seraya memohon.Aku membentangkan tangan ini dan menyuruh semua yang ada di sini diam."Tolong diam dulu, kita dengarkan laki-laki itu mau bicara apa," suruhku untuk menghentikan aksi. "Jangan lupa dishoot, ya, supaya mereka tak bisa macam-macam," suruhku pada beberapa yang megang ponsel termasuk Fikri. Mas Ari membuka kaca mobilnya sedikit, ia takut dipukul
Mas Ari dan Rinta benar-benar membuat darahku naik, mendidih bahkan membuat harga diriku ini diinjak-injak. Pertama yang kulakukan memanfaatkan situasi ini adalah mengamankan kunci mobil yang masih berada di dalam. Mas Ari rela turun dari mobil demi Rinta, ia melindungi sampah itu, bukan melindungi istri sahnya, atau bahkan kata maaf saja aku tak mendengar dari mulutnya. Setelah berhasil mengamankan kuncinya, aku melangkah lagi ke arah dua sejoli itu."Kita arak sekarang!" suruhku sambil mengibaskan rambut wanita itu."Bu, tolong jangan kurang ajar," ujar Rinta. "Mas, kamu jangan diam saja, istrimu sudah keterlaluan," seru Rinta terdengar sangat membuatku terkekeh, ia yang kurang ajar tapi aku yang dibilang sudah keterlaluan. Padahal tidak ada asap kalau tidak ada yang membakar. Warga menarik tangan Mas Ari, begitu juga dengan Rinta. Sebagian ibu-ibu sangat kesal dengannya tapi memanfaatkan ini semua dengan menyoroti Rinta ke sosial media. "Ini ada hukumnya loh!" teriak Rinta. "A
Mobil polisi berhenti di depan kami. Semua warga pasang badan menghadapi petugas kepolisian. Mereka bersiap dan tak gentar dalam menghadapinya.Tidak lama kemudian beberapa motor datang. Ada dua motor dan tiga orang menghampiri juga."Ibu!" teriak Rinta. Itu orang tuanya Rinta? "Ibu-ibu sekalian, saya mohon maaf jika anak saya salah, tapi anak saya masih belia, paling ia begini terpengaruh dengan majikannya, lelaki mana yang dapat menahan nafsunya melihat wajah cantik anak saya? Di sini kalian jangan menyalahkan penuh anak saya," tuturnya seraya membela. "Huh! Ibu tuh bela tapi nggak lihat kelakuan yang dibela. Anaknya dah ngaku kok tadi, malah sempat nyuruh majikannya ikhlas. Orang gila apa ya begitu?" teriak ibu yang baju merah sangat antusias.Ibunya terdiam sambil menatap Rinta nanar. Aku yakin hati seorang ibu pun berhasil disobek-sobek oleh Rinta. "Saya mohon, sudahi ya. Rinta hanya anak yang ingin mengabdi pada ibunya. Kami orang susah, tolong jangan ditambahkan kesulitan ka
"Maaf, Bu. Saya hanya ditugaskan untuk membebaskan Bu Mona, dan menyampaikan surat ini untuk Bu Mona," sahut Pak Haris sambil menyodorkan secarik surat."Saya baca sekarang, Pak?" tanyaku padanya. Tidak lama aku bicara, deru klakson terdengar menuju ke arahku. "Itu mobil jemputan untuk Bu Mona telah datang, silakan Ibu naik mobil itu, sopir tersebut akan mengantarkan Bu Mona sampai rumah. Baca suratnya di mobil saja," papar Pak Haris semakin membuatku kebingungan. Sopir yang tadi membunyikan klakson pun turun lalu mempersilakan aku masuk.Aku menoleh ke arah Pak Haris, "Maaf, Pak, apa ini tidak membahayakan saya?" tanyaku sambil menundukkan kepala, agak sedikit sungkan bertanya dengannya. "Iya, Bu. Saya jamin sopir ini mengantarkan Bu Mona sampai ke rumah," ucap Pak Haris. "Baiklah, semoga benar-benar orang baik, terima kasih banyak, Pak. Saya berhutang budi pada Pak Haris," ujarku padanya sambil berjabat tangan. "Saya hanya bertugas, saya dibayar mahal oleh orang yang ingin melin
Mas Ari menambah kecepatannya, ia melaju dengan kencang, mobil yang ada di belakang pun terus mengikuti kami.'Semoga orang yang berada di belakang berniat baik,' gumamku dalam hati.Mas Ari memasuki area jalan yang sepi, mobil belakang pun masih mengikuti, itu artinya orang itu benar sedang membuntuti kami. Namun, Mas Ari tidak menghentikan laju mobilnya, ia tetap jalan entah ke mana tujuannya.Ponsel Mas Ari berdering, ia mengangkat telepon sambil mengendarai. "Tunggu di hotel, saya sebentar lagi sampai di lokasi, siapkan uang setengah milyar. Jangan lupakan itu, Anda bisa puas dengannya," tutur Mas Ari membuat hatiku seketika terasa diiris-iris. Bagaimana bisa seorang suami menjual sang istri demi pembantunya. Ini gila, sudah benar-benar gila, apa yang sebenarnya yang dilakukan oleh Rinta hingga Mas Ari tega begini kepadaku?Mas Ari menutup teleponnya, ia menoleh ke belakang, namun mobil itu tak ada lagi di belakang kami. Harapanku kini sirna, tidak ada lagi yang akan menolongku."
Aku terdiam, mencerna dan mengingat berkali-kali siapa laki-laki ini? Sepertinya memang tidak asing. "Rio, kok diam?" tanyanya ketika aku lama terdiam."Emm, saya bukan Rio, saya ...." Telepon pun langsung diputus olehnya. Aku mengecap bibir, lalu merebahkan tubuh ini di ranjang empuk yang disediakan. Masih agak sakit punggung ini untuk mengubah posisi tidur, butuh jahe dan minuman hangat untuk memulihkan punggung yang dipukul oleh Mas Ari.Akhirnya aku hubungi saja Rio untuk menyegerakan jahe parut dan berbentuk minuman. "Halo, Rio. Aku minta diantar ya, tolong antar jahe parut dan yang berbentuk minuman," suruhku. "Oh iya, Bu. Tadi saya sudah pesan sebentar lagi juga diantar," timpal Rio. "Emm, ngomong-ngomong tadi ada kontak yang kamu save, Bos itu siapa ya?" tanyaku padanya. "Astaga, iya saya lupa hapus, maaf Bu nanti juga Bos nya ke apartemen jemput Bu Mona untuk melaporkan kelakuan suami Bu Mona ke kantor polisi," ucap Rio. "Tunggu-tunggu, memang siapa ya Rio?" tanyaku pe
"Rio, biar saya yang ikuti dia," pintaku mencegah Rio mengikuti Fikri. Sebab, aku ingin menegurnya dengan cara sendiri. "Tapi, Bu. Bos sudah nunggu," timpal Rio."Sebentar, aku ingin tahu Fikri mau ke mana," jawabku lagi sambil meneliti ke mana perginya Fikri. Langkah kaki ini berjalan setengah berlari, supaya tidak kehilangan jejak Fikri. Terlihat jelas ia belok ke sebuah cafe. Kemudian, laki-laki yang pernah ketidak cintanya itu tengah menghampiri seorang wanita. Tangannya disodorkan ke wanita itu, aku melihatnya dari arah belakang, tidak mengetahui siapa dia. "Bu, ayo kita bertemu Bos, beliau sudah menunggu di lobi," ujar Rio tiba-tiba ada di sebelahku. Rasanya aku tidak ingin pergi dari sini, perasaanku berkata bahwa ada rencana jahat Fikri dengan wanita yang belum kuketahui. Sebab, dari belakang ia tertutup jaket dan tudungnya. "Sebentar ya," timpalku. Awalnya lebih ingin mengetahui Bos dari Rio. Namun, sekarang malah ingin mengetahui dengan siapa Fikri bicara."Bu, kita tid
"Tante, itu semua salah paham," terangku padanya."Salah paham apanya? Fikri itu keponakan aku, dia anak baik-baik yang telah kamu sia-siakan," balasnya dengan percaya diri. Terkadang seperti itu, orang mengira yang baik di depan kita akan baik juga di belakangnya, padahal banyak yang baik di depan dan jahat di belakang. "Tante, ini saya sudah memiliki bukti bahwa mobil Fikri yang menabraknya, dan ini juga ada surat laporan yang sudah saya laporkan ke polisi," kataku sambil menyodorkan handphone dan secarik kertas.Tante Ambar meraihnya, lalu membacanya, sesekali mata Tante Ambar melirik ke arahku. Terlihat di sudut matanya ada air mata yang mengembun.Sesekali bibirnya dibasahi oleh lidahnya, lalu terlihat Tante Ambar menghela napasnya. Kemudian, pipi wanita yang memiliki dua anak itu terlihat basah. Kini air mata pun banjir setelah tahu semuanya. "Fikri," isak Tante Ambar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Aku pun menghampiri dan menuntunnya untuk duduk."Tante yang sabar
Setelah kami menghampirinya, ternyata darah segar sudah mengalir di kening Rinta. Tidak ada satu pun yang berani membawanya ke rumah sakit. "Alan, kita bawa Rinta ke rumah sakit," ajakku setelah menyeruak di kerumunan. "Pak tolong bantu kami bawa dia ke rumah sakit," kata Alan juga."Kata orang sini tabrak lari, Bu. Kami takut nyentuhnya. Nanti polisi jadiin kami saksi," jawab salah seorang warga.Tabrak lari lagi? Mungkinkah ini Fikri lagi? Kalau benar, berati laki-laki itu sudah gila.Darahnya terus mengalir, Rinta terlihat meringis kesakitan. Kemudian menarik telapak tanganku."Mon, tadi Fikri, tolong cari dia ...." Ucapan Rinta terhenti napasnya tampak sulit diatur. Seketika itu juga ia pingsan tergeletak di jalan."Lan, ayo cepat kita bawa saja!" suruhku berteriak. Setelah melihat ia tergeletak, barulah yang lain ikut membantu. Tiba-tiba suara sirine ambulance terdengar. Ternyata ada yang sudah menghubungi ambulance. Petugas langsung membawa Rinta yang sudah terkapar ke dalam
Aku mengelus dada, ternyata orang yang berada di layar CCTV adalah Fikri. Ia benar-benar keterlaluan. Laki-laki itu harus rela dendamnya berakhir di jeruji besi, dan yang akan melaporkannya saudaranya sendiri. Tanganku mengepal, lalu mengembuskan napas perlahan. Sisi burukku cuma satu, menolak cintanya pada saat itu tanpa meminta maaf bahkan menganggap Fikri. Jadi, ia menilaiku benar-benar musuhnya. Seandainya pada waktu itu aku memilih Fikri pun rumah tangga takkan awet jika hatinya diselimuti dendam. "Mon, kita mau gimana?" tanya Alan mengejutkan aku. Seketika lamunanku tentang Fikri buyar, bukan menyesal, tapi aku sangat menyayangkan kalau hari-harinya akan menjadi kelam selamanya. "Kita ketemuan sama Rinta, tunjukkan CCTV ini," ajak Mona pada Alan."Jam berapa kamu janjian?" tanya Alan lagi."Tadi bilang jam 5 sore," timpalku padanya. "Coba telepon Rinta lagi, ketemu sekarang saja," saran Alan. Namun, aku tidak langsung mengindahkan ucapannya. Sebab, kalau kami keluar kantor
"Boleh lihat CCTV nya nggak, Pak?" tanya Alan pada salah seorang yang berada di hadapan kami. Sepertinya mereka tetanggaan di sini, sering kumpul bareng."Wah, kalau itu nanti tanya ke yang punya rumah dulu ya, Pak, Bu. Soalnya orangnya kerja," terang yang tadi mengembalikan dompet Alan. "Oh begitu, ya sudah, ini nomor handphone saya, Pak, kalau orangnya sudah pulang, bisa telepon saya," tutur Alan sambil menyodorkan nomor ponsel yang telah ia tulis di kertas kecil.Kemudian, aku dan Alan kembali ke mobil, setelah memberikan tips untuk orang yang telah menemukan dompet Alan. Aku memakai sabuk pengaman sambil termenung, bisa-bisanya penabrak itu dengan sengaja menabraknya. "Aku yakin ini kerjaannya Fikri, aku pastikan ia masuk ke penjara juga. Kita tidak bisa menyudutkan dengan masalah sosial media, tapi kalau masalah kriminal gini, tentu polisi akan bertindak," kata Alan dengan yakinnya. Aku sedikit menelan ludah, sebab perbuatan ini sangat di luar kepala. Kalau iya Fikri orangnya
Tadinya aku sudah mulai emosi saat Fikri bicarakan tentang aku melalui sambungan telepon. Namun, Alan mencegahku untuk jangan gegabah. Tangan Alan menahan pundakku yang berusaha keluar dari tempat persembunyian. Setelah memastikan Fikri pergi, kami pun beranjak ke mobil. Pintu mobil kututup dengan keras. Aku masih tidak percaya dendam kesumat Fikri denganku begitu mendalam. Hingga harus menyuruh Rinta, yang ternyata saudaranya sendiri sebagai pembantu, berzina pula. Aku mengelus dada, hingga napas ini mampu aku keluarkan dengan perasaan lega. "Sabar ya, Mon, mungkin ini ujianmu. Setelah ini akan ada kebahagiaan yang menghampiri, percayalah bahwa setelah gelap pasti akan datang terang."Kecewa aja, Lan, sama Fikri. Cuma gara-gara nolak cintanya sampai segitunya menghancurkan hidupku," timpalku masih menampakkan kekesalan. "Terkadang, ketika kamu kecewa, itu membuatmu lebih kuat, kamu itu wanita pilihan, Mon," ucap Alan sambil menyetir mobil. Kami memutuskan untuk menyudahi penyeli
Kemudian langkah Rinta menuju Tante Ambar dan langsung menyergap tubuhnya. Aku menoleh ke arah Alan, kami berdua beradu pandangan. "Satu persatu ketebak, Mon. Ini ulah Rinta, ya kan?" Alan sangat yakin bahwa ini adalah ulah Rinta. "Lan, kok aku penasaran ya, kenapa Rinta peluk Tante Ambar? Bukankah yang sepupuan dengan Firman itu Fikri?" Aku bertanya-tanya pada Alan. Seketika kami berdua terdiam sejenak. Ini sungguh seperti teka-teki. Kami berdua yakin bahwa Rinta yang menjadi dalangnya. Akan tetapi masih bertanya-tanya juga ada hubungan apa Rinta dan Firman."Mon, mungkin nggak kalau Firman itu pacarnya Rinta juga?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang satu belum terjawab sudah muncul pertanyaan lainnya. "Apa kita samperin ke sana?" tanyaku pada Alan. "Ya sudah, kita ke sana aja, pengen tahu si Rinta jawab apa nantinya," ajak Alan. Akhirnya kami memutuskan untuk menghampiri mereka. Langkah kakiku dan Alan sangat pelan. Kami berdua berdampingan dan jalan penuh kehati-hatian.Aku melaku
Aku ditarik olehnya ke kursi tunggu. Wanita yang belum kuingat namanya itu tampak serius ingin bicara denganku."Ini nggak apa-apa saya negur saat ada pacarmu?" tanyanya membuatku terkejut. Alan dikira pacarku, padahal ketemu saja baru beberapa hari ini."Nggak apa-apa, Tante. Rasa penasaran saya memuncak nih," ucapku lagi.Tiba-tiba saja dokter datang saat kami hendak bicara di kursi tunggu. Jadi, ia memilih menunda lebih dulu."Maaf, keluarga dari Firman?" tanya dokter."Iya, saya ibunya Firman," jawabnya dengan serius.Jadi wanita yang barusan mengenalku itu orang tuanya Firman, tapi kenapa aku tidak mengenalnya? Bukankah ia tadi juga tahu bahwa aku ini mantannya Fikri?Sederet pertanyaan muncul, Alan pun menghampiriku, bibirnya sedikit mendekat dan berbisik. "Kok aku jadi tambah penasaran ya," bisik Alan. Jangankan aku yang memiliki permasalahan, Alan pun ikut penasaran yang hanya berniat membantu.Dokter itu mengajak ibunya Firman bicara empat mata di ruangan. jadi mereka berdua
Ketika wanita itu datang ke UGD, ia langsung diarahkan ke ruangan ICU oleh suster. Sedangkan aku masih berusaha mengingat wajahnya. Namun ingatanku tidak juga muncul."Kita ke ICU, Lan. Tanya-tanya wanita itu, jujur saja aku belum mampu mengingatnya," kataku sambil memegang pelipis mata. "Memang siapa itu, Mon?" tanya Alan balik."Kalau tahu, aku nggak akan sepusing ini, Lan, aku juga penasaran kok rasanya nggak asing melihat dia," timpalku lagi. "Ayolah kita ke ICU!" ajakku lagi.Namun, ketika kami hendak melangkah, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Pak Nando. Aku melirik ke arah Alan, sebab tadi dia yang menjamin bahwa aku bebas dari omelan Pak Nando. "Lan, ini Pak Nando, kata kamu ...." Ucapanku terputus karena lebih baik mengangkat teleponnya. Akhirnya aku angkat setelah berdering beberapa kali. "Halo, Pak," ucapku dengan hati gemetar. "Iya, Mona. Sekarang kamu kembali ke kantor. Saya harap sekarang juga ya, tolong jangan membantah. Bilang sama Alan sekalian dia yang an
Bab 21Tiba-tiba saja ada suara teriakan minta tolong. Aku dan Mona sontak terkejut dan berusaha menoleh dengan sengaja ke arah ujung suara. Namun, karena kami lengah dalam sekejap laki-laki itu menepis tanganku hingga terjatuh. Buk! Ia pun lari cukup jauh. Mona yang melihatku terjatuh pun tidak fokus lagi pada lelaki yang nyaris kurang ajar padanya. Aku segera bangkit, jatuh karena tangkisan tangan lelaki tadi, jadi ia sengaja kabur setelah melihatku yang sedang lengah. "Sial dia kabur," kataku sambil melempar batu kecil di hadapanku. Sedangkan Mona mencari sumber suara yang berteriak tadi."Loh, suara nenek yang tadi di sana juga nggak ada," timpal Mona sambil mengedarkan pandangan. Kemudian ia turut membantuku dan mengekori saat aku berusaha mencari orang tadi.Kami cari laki-laki yang katanya sengaja melakukan ini, yang katanya dibayar oleh seseorang hanya untuk menjatuhkan Mona. "Kita cari laki-laki tadi, pasti belum jauh," ajak Alan sambil menarik pergelangan tanganku. Namun