“Apa maksudmu?”“Aku sudah menyebar berita itu dan sudah menyelamatkan reputasi perusahaan, jadi kamu harus membayarnya.” Felicia meletakkan bayinya di stroller.Abiyan akhirnya tahu kalau Felica memang benar-benar licik, ingin sekali dia mengumpat wanita itu tapi kini dia butuh Felicia untuk menyalamatkan dirinya. Kalau sampai Arlan membuka kejahatannya pada keluarganya, habis sudah riwayatnya.“Kamu harus mengklarifikasi berita itu.”“Apa maskudnya? Apa kamu mau perusahaan orang tuamu hancur.” Ini bukan dalam prediksi Felicia, dia tidak mengerti dengan pemikiran Abiyan, dia sudah menjatuhkan namanya dan kini apa yang dia dapat.“Arlan memegang kartuku, kalau kamu tidak mengklarifikasi, dia akan membongkar kartuku pada keluargaku.”Felicia tersenyum, kenapa bodoh sekali Abian, pantas saja dia sangat mudah mengelabuhinya. Ini adalah kesempatan yang baik untuk Felicia.“Aku akan mengklarifikasinya, tapi dengan syarat.” “Apa? Uang? Aku akan berikan berapa pun yang kamu minta.” Abiyan s
Wanita itu mendengus saat Abian mengabaikannya, padahal dia sudah menunggu lelaki itu selama satu bulan setelah menikah kembali dengan Abian."Bi, kenapa kamu?" tanya Falicia lalu membuang tubuhnya tepat disamping suaminya."Aku lelah," jawab Abian menghalau tangan Felicia."Kita sudah lama tidak melakukannya,kamu menikahiku untuk apa?""Kamu 'kan yang memintanya, lagian mereka sudah tahu aku kalau aku yang mencelakai mereka. Sekarang aku tidak butuh kamu, terserah kamu mau melanjutkan pernikahan ini atau tidak aku tidak peduli." Abian lantas meninggalkan Felicia yang sudah sejak tadi dalam mode siap siaga. Dia tidak tertarik dengan wanita itu, menikahi Felicia adalah kesalahan dan perasaanya kini entah.Wanita itu menarik selimut, pendingin ruangan semakin membuatnya kedinginan, dia butuh kehangatan dan apa yang diadapatkan dari suaminya. Dia diabaikan. Ingin menerima kalau ini adalah hukuman, tapi dia tidak bisa seikhlas itu."Apa dulu Amara merasakan hal seperti aku? Diabaikan tern
Amara mengadukan pada orang tuanya tentang kehidupannya yang sepertinya masih banyak hal belum terselesaikan. Dia masih belum bisa menapaki kehidupan barunya, Pernikahannya dengan Satria terlalu buru-buru, dia tidak berpikir sejauh ini dampaknya.Mungkin apa yang dikatakan Abian benar bahwa Satria menikahinya karena kasihan. Mereka lima tahun satu rumah sudah pasti Satria tahu bagaimana kehidupannya bersama Abian. “Apa keputusanku menikahi Satria salah?” Dia bertanya pada diri sendiri, tangannya mengusap-usap pusara kedua orang tuanya yang basah akibat hujan semalam.“Iya, kamu terlalu buru-buru, seharusnya kamu berpikir dulu sebelum mengambil keputusan, kalau sudah begini kamu yang nyesel.” Suara di belakangnya membuat Amara mendongak, lelaki itu menjulang di sampingnya kemudian lelaki itu ikut berjongkok di dekat Amara. “Maaf, saya telah mengecewakan kalian. Saya yang bodoh telah mengabaikan Amara.” Abian ikut mengusap pusara di depannya dengan mengucapkan kata penyesalan.“Kenapa
Saat masih menimang melihat pesan masuk itu atau tidak, dia dikejutkan oleh pintu kamar mandi. Entah berapa lama dia melamun sampai tidak menyadari kalau suaminya sudah selesai mandi."Buruan bersih-bersih, aku masih kangen, pengen cuddle lagi." Satria mengerling lalu mengambilkan pakaian Amara yang di lempar tadi. Amara memakai pakaiannya dan bergerak malas ke kamar mandi karena pikirannya masih pada pesan masuk di ponsel Satria. Dia takut itu foto yang sama yang dikirim ke ponselnya. Setelah membersihkan diri, dia ke luar dengan perasaan tidak tenang. Kakinya enggan bergerak saat melihat Satria sedang melihat ponselnya yang mungkin juga membaca pesan yang dikirim nomor tak dikenal itu."Ra, sini." Satria menepuk tempat di sampingnya setelah meletakkan ponselnya.Amara pasrah jika suaminya menanyakan tentang foto itu. Dia harus siap apa pun yang akan dilakukan Satria padanya.Amara mendekat lalu Satria melingkarkan tangannya di pinggangnya. Lelaki itu mendekatkan wajahnya di leher
Lelaki berkemeja hitam itu tersenyum setelah menerima teleponnya, dia membuka kaca matanya menatap ke arah pintu kamar hotel lalu berjalan beberapa langkah kemudian membuka pintu salah satu kamar hotel itu. Sebelum memasuki kamar hotel itu dia sempat melirik ke arah pintu kamar hotel di seberang kamarnya.“Sudah ke luar suaminya.” Lelaki itu disambut seorang wanita yang langsung memberi informasi padanya.“Iya, aku tahu, anak buahku sudah mengabari. Tugas kamu hanya dekati wanita itu.” Lelaki itu mengalungkan lengannya di leher wanita yang kini menghuni kamar hotel dengannya.Satu bulan yang lalu dia bebas dengan syarat, tidak ada yang tahu tentang kebebasannya. Dia akan memastikan keluarga Atmaja akan makin bercerai berai, dia ingin ada pertumpahan darah antara saudara. Cukup dia manfaatkan wanita itu.“Sebenarnya ada masalah apa, sih, dengan mereka?” tanya wanita itu.“Mereka telah membuat hidupku menderita, seharusnya mereka tidak bahagia.” Lelaki bernama Arlan itu mengepalkan tan
“Selamat, malam. Boleh saya duduk di sini?” Seorang wanita dengan membawa piring dan juga gelas menghampirinya.Amara yang tengah menikmati makan malamnya mendongak lalu tersenyum dan mempersilahkan wanita itu untuk duduk satu meja dengannya. “Sendirian?” tanya wanita itu. Gerakannya anggun menyuap makannya ke mulut, dengan pelan kunyahan mulai terlihat teratur dan itu benar-benar indah dilihat. Amara masih memperhatikan wajah ramah wanita itu.“Iya, Mbak sendiri juga?” Amara balik bertanya karena tidak melihat ada yang menyusul wanita itu.Wanita itu mengangguk kemudian tidak terjadi obrolan lagi karena mereka masih sibuk menyuapkan makanan. Tidak pantas rasanya berbincang di saat makan.Setelah selesai, masing-masing menggeser piring kotor itu ke samping lalu berlanjut meminum minuman yang mereka bawa.“Mbak ada acara di sini juga?” Wanita itu bertanya dengan menunjuk beberapa orang yang berkumpul dalam beberapa tempat tampak saling membalas obrolan. Ada acara kantor di sana, Amara
Satria tidak bisa fokus dengan pekerjaannya, dia yang biasanya mudah saja menghandle pekerjaan, dia yang paling bisa diandalkan jika berhubungan dengan masyarakat. “Ada apa?” Atmaja peka saat melihat putranya yang terlihat gelisah.“Tadi Dara telepon, katanya Amara melihat Arlan. Aku lagi nunggu Marco buat cari tahu Arlan,” jawab Satria.Setelah perdebatan dengan ayahnya akhirnya dia mau bicara dengan ayahnya. Masalah ini bukan masalah main-main, dia yakin keanehan yang terjadi ada hubungannya dengan Arlan. Yang dia takutkan adalah Abian terlibat dalam permainan ini. Dia tidak tahu tujuan sebenarnya arlan apa, tapi dia rasa Amara adalah salah satu alat untuk memuluskan rencana lelaki itu.“Kamu telepon Amara agar tidak ke luar dari kamar hotel, Papa takut Arlan nekat. Kita nggak tahu dia di sana atau tidak,” kata ayahnya dan seketika dia ingat istrinya itu belum dia telepon karena sibuk mencari tahu tentang keberadaan Arlan.Satria segera menghubungi Amara, tapi teleponnya tidak dite
“Sudah kubilang kalau jangan mudah akrab dengan orang yang baru dikenal.”Lelaki itu mengomelinya sejak tadi. Satria tiba-tiba sudah ada di sana, padahal lelaki itu mengatakan kalau akan kembali lima hari lagi paling cepat.“Ya ampun, Satria. Dia itu perempuan, kenapa kamu jadi posesif gini, sih.” Amara jelas kesal karena saat dia sedang bersama Elisha tiba-tiba ditarik masuk ke kamar mereka, dia malu apalagi baru kenal Elisha. Pas ti temannya itu berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya.Satria mengusap kasar wajahnya, bagaimana dai tidak kesal, saat dirinya panik karena Amara tidak menerima panggilan teleponnya, saat kembali istrinya itu ternyata sedang bersama orang asing.“Ra, tolong mengerti. Keadaan kita masih belum aman, jangan mudah percaya dengan orang baru.” Amara tersenyum, padahal dia baik-baik saja sejak ditinggal Satria dan soal Arlan, dia merasa hanya sedang paranoid saja. Sebenarnya apa yang dia takutkan sampai pergi dari rumah, adahal di rumah lebih aman, Abian tida
Merasa tidak mendapat perlindungan dari keluarga, Felicia akhirnya memutuskan meninggalkan tempat tinggal orang tuanya. Apa yang bisa dia harapkan dari orang tuanya, sedang selama ini dia tidak pernah mendapatkan ketenangan di sana. Felicia memang pernah melakukan hubungan bebas, itu karena dia lepas dari pengawasan orang tua, orang tua tidak memberi contoh yang baik. Felicia sadar, dengan kebebasan yang dia jalani selama ini ternyata tidak membuatnya tenang, dia harusnya mengambil pelajaran setelah kejadian demi kejadian menyakitkan yang dia alami.“Tuhan itu maha pengampun, perbaiki kehidupanmu. Jika kamu manusia beragama, maka kembalikan kehidupanmu pada jalur yang benar.” Nasehat itu yang akhirnya membuat Felicia tinggal di sebuah kota kecil jauh dari kebisingan. Seorang wanita pekerja kebun memberinya tempat tinggal setelah dia sampai dan kebingungan akan tinggal di sana.Wanita paruh baya memakai jilbab panjang itu menyambutnya sangat baik, tapi rumah kecil itu hanya mempunyai s
“Pa, kenapa Satria masuk, sebegitu bencinya kah anak kita padaku?”Maria menatap sedih jejak putranya yang sesaat tadi justru meninggalkan mereka tanpa menyalami bahkan mempersilahkan masuk pun tidak. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat perlakuan anaknya seperti itu. Ego sudah diturunkan, sesal sudah dirasa. Namun, apa yang di dapat? Apa anak itu ingin membalas perbuatannya. Sungguh, jika itu benar Maria akan bersimpuh di hadapan putranya itu untuk meminta maaf.Kesalahannya memang terlalu fatal, bukan hanya pada Satria saja tetapi juga pada Amara—wanita yang seharusnya dia jaga karena dia sudah berjanji di depan pusara dua orang yang paling berjasa di hidupnya itu, dua orang yang telah mengorbankan diri agar suaminya tetap hidup sampai sekarang, dia berjanji akan menjadi orang yang selalu melindungi Amara. Namun, apa yang dia lakukan pada anak itu, dia malah menjauhkan anak itu dari keluarganya.Maria mulai menggali hatinya, bagaimana dia bisa berlaku kejam hanya karena ingin m
Setahun sudah berlalu, anak-anaknya jarang datang, lebih lagi satria, sudah setahun anak bungsunya itu tidak berkunjung. Buah-buahan di keranjang yang selalu dikirim Satria melalui kurir sebagai obat rindu. Maria merindukan anak-anaknya, dia telah menuai apa yang telah dilakukan pada anak-anaknya.Abian selalu saja sibuk, tiap kali dia menelepon agar anaknya itu datang, selalu saja beralasan sibuk. Ya, Maria yang meminta Abian untuk memperbaiki kualitas hidup agar kehidupannya lebih baik. Abian memang semakin sukses, dia juga sudah merambah usaha di berbagai bidang termasuk bidang otomotif dan usahanya yang baru beberapa bulan dirintis sudah sangat besar mengalahkan usaha Satria.Maria mempehatikan semua kegiatan kedua anaknya. Abian lebih kompetitif dan semakin gila kerja hingga setahun lebih pernikahan belum juga dikaruniai anak. Sedang Satria tidak terlalu bersemangat dengan usahanya, Satria bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Perkebunan
“Satria, kamu kenapa?” Amara langsung menghampiri lelaki berkemeja biru navi itu. Wajah yang tadi cerah berubah suram, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras.“Pergi ke rumah mama batal,” ujar lelaki itu.Amara menarik tangan suaminya membawa presensi lelaki itu untuk duduk di sofa dekat jendela. Dia tahu kalau Satria tidak sedang baik-baik saja, lelaki itu masih belum bisa mengendalikan emosinya. Yang Amara tahu emosi seseorang akan berkurang saat duduk, kalau belum juga reda maka berbaring, itu kenapa dia mengajak Satria duduk. Satria menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Embusan napas berat ke luar dari mulutnya lalu tangan besarnya meraup wajah kasar.“Kamu masih ingat beberapa kali kita gagal ke rumah Mama?” Lelaki itu menarik sudut bibirnya. “Mama memang tidak mau kita ke sana. Semua yang terjadi pada kita, musibah kecil yang kita lalui saat akan ke rumah mama hingga kita mengurungkan niat ke sana itu ulah mama. Mama yang merencanakan semuanya agar kita tidak ke sana.”
“Aku yakin Mama yang merencanakan semua ini.”“Diam kamu Abi.”Abian menggeleng melihat kelakuan ibunya yang sudah tidak bisa dia cerna dengan akal sehat. Entah kepercayaan apa yang tertanam dalam pikiran ibunya dari dulu hingga kini tetap berpikir primitive.“Makanya Mama itu belajar sama ustaz, bukan sama guru spiritual. Guru spiritual itu sama dengan dukun. Mama tahu seberapa besar dosa orang yang mendatangi dukun?”“Sudah, jangan ceramah. Salat saja bolong-bolong malah ceramahin Mama. Sana belajar agama dulu sebelum ceramah.”Abian lantas meninggalkan ibunya, dia tidak mau peduli lagi karena capek jika berdebat dengan ibunya. Sejak dulu saat dia memprotes kenapa ibunya selalu membedakannya dengan adiknya, selalu saja jawabannya bahwa Satria adalah anak pembawa sial yang harus disingkirkan.Apa mungkin ini yang dimaksud ibunya? Bukankah beberapa waktu yang lalu ibunya sudah menerima Satria?Semakin dipikir membuat Abian pusin sendiri. Biarlah itu menjadi masalah ibu dan adiknya, ya
“Kamu tahu ‘kan kalau sejak dulu Mama tidak terlalu peduli padaku?” “Bukan tidak peduli, Sayang. Orang tua itu punya cara berbeda mengungkapkan rasa sayangnya pada anak-anaknya. Mungkin bagi Mama kamu cukup mandiri hingga Mama tidak terlalu mengkhawatirkanmu dan terbukti ‘kan kamu bisa mandiri tanpa bantuan mereka.”Amara mengusap bahu suaminya lalu duduk di sebelah lelaki itu.“Itu salah satu alasan. Ada alasan lain yang membuat Mama tidak terlalu mempedulikanku. Mama yang bilang setelah kita periksa waktu itu dan aku mulai berpikir bahwa ini adalah karma yang keluargaku lakukan di masa lalu.” Lelaki itu menggusah napasnya kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.“Karma?” Amara mengerutkan keningnya lantas meraih tangan suaminya. “Dalam agama kita tidak ada yang namanya karma. Apa kamu pernah lihat orang jahat hidupnya senang terus? Itu karena balasan dari perbuatan manusia itu nanti saat manusia telah mati. Di dunia itu hanyalah ujian.”“Tapi, Ra. Kesalahan keluarga kami sa
Felicia kali ini merasa menang, entah kenapa dia merasa berkali-kali mendapat dukungan semesta andai apa yang dia lakukan mendapatkan balasan, nyatanya dia masih tetap beruntung dan Abian yang telah dia bodohi kembali masuk perangkap dan dia yang beruntung.“Fel, thanks ya, kamu sudah membantuku. Tanpa kamu aku tidak bisa membalas mereka.”“Kamu ‘kan tahu kemampuanku, makanya jangan remehkan aku.” Felicia mengerucutkan bibirnya, tangannya bersendekap.“Iya, iya. Aku tidak akan meragukan kemampuanmu. Aku akan turuti apa pun yang kamu mau. Aku puas benget melihat Ferdian sudah jadi mayat.”Felicia hanya memberi tahu keberadaan Ferdian, tapi dia mendapatkan bonus kabar kalau Ferdian sudah membusuk di tempat persembunyiannya. Dia masih ingat dulu sering dijadikan alat oleh Ferdian untuk menjebak Abian, seingatnya tiga kali dia melakukan itu dan dalam hati kecilnya dia tidak tega melihat Abian menderita karena ulahnya.Bagaimana pun juga dia punya hati. Dia pernah mencintai Abian dan tidak
"Pasti ada masalah di sana, Ferdi pasti belum ke luar dari sana." Satria berjalan mondar-mandir setelah mengetahui tidak ada penerbangan atas nama Ferdian. Mereka memperkirakan Ferdian pasti akan ke Singapura setelah ketahuan, mereka tahu ke mana Ferdian akan bersembunyi."Coba Papa tanyakan Om Antony," kata Abian.Sejak penggrebekan Ferdian di salah satu rumah persembunyian Ferdian, mereka menunggu dengan cemas lelaki itu. Bagiamana pun juga mereka tidak mau Ferdian dalam bahaya, setidaknya jika dipenjara itu lebih aman.Kabar di lapangan Ferdian kabur dan setelah ditelusuri tidak ada jejak penerbangan atas nama Ferdian dan mobil Ferdian masih berada di sana."Ommu tidak tahu kabar Ferdi, mereka juga mencari," kata Atmaja menginformasi. "Pa, apa mungkin Ferdi terjebak di dalam rumah?" Satria mulai mencurigai karena yang dia tahu dari informasi anak buahnya, ada ruangan khusus bawah tanah yang menghubungkan ke arah dekat dermaga. Kemungkinan Ferdian berlayar juga bisa dipertimbangkan
"Abi, tolong bantu aku." Sebenarnya Felicia malu meminta bantuan pada Abian, dia malu karena telah beberapa kali menyakiti lelaki itu. Mengkhianati dan juga mempermainkan lelaki itu. Entah kemana urat malunya dia tanggalkan, dia hanya tidak bisa melakukannya sendiri. Dia masih berharap Abian mau menolongnya, setidaknya meski lelaki itu kemungkinan besar akan menghardiknya, tidak mengapa, Abian tidak akan tega membiarkannya, apalagi saat ini Felicia dalam keadaan terpuruk, ada beberapa luka memar di tangannya. "Memangnya apa yang dilakukan Nathan?" tanya lelaki itu.Felicia menunduk, dia mencoba menutupi lengannya yang terbuka, ada bekas cakaran di sana, entah bagaimana Nathan melakukannya."Ini semua karena Ferdian, dia yang membuat mood Nathan jadi buruk," jawab Felicia. Lelaki itu tersenyum sinis menatap felicia, kakinya disilangkan dan kedua tangannya bersendekap. Sungguh, lelaki itu tampak puas melihat penderitaan Felicia.Meski Felicia sudah memprediksi apa yang akan dilakukan