“Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Maria pada Satria dan Amara yang sudah bersiap dengan membawa koper. “Mau bulan madu, kan belum sempat,” jawab Satria. Tangan kanannya menarik koper sedang tangan kirinya menggenggam tangan Amara.“Ya sudah. Mama juga sudah pengen cepet punya cucu. Punya anak dua saja kelakuannya bikin pusing,” gerutu wanita dengan potongan rambut bob itu.“Mama doain saja biar kami segera punya anak. Kami akan berusaha keras, jadi Mama jangan ganggu kami setelah kami berangkat,” kelakar Satria dan langsung mendapatkan pukulan di lengan dari mamanya.“Sudah sana berangkat, yang penting izin dari papa sudah dapat, Mama tinggal dukung saja.”Rencana dadakan ini sebenarnya bukan ide Satria, tapi Amara yang memintanya. Bukan apa-apa, Amara hanya ingin berdua saja dengan Satria karena selama menikah ada saja masalah yang menyambangi mereka. Amara juga ingin lebih dekat lagi dengan suaminya tanpa ada masalah yang mengiringi mereka. Rasanya belum pernah dia merasakan ba
“Sayang, buruan.” Amara mengetuk pintu kamar mandi. Kebiasaan lelaki itu suka lama saat di kamar mandi, padahal dia yang wanita saja tidak membutuhkan waktu lama di kamar mandi.“Bentar.” Suara di dalam sana akhirnya terdengar mendekat dan daun pintu dibuka menampakkan tubuh bertelanjang dada dengan tetesan air dari rambut. Amara menelan ludahnya melihat pemandangan itu. Mereka memang sudah sebulan lebih menikah dan bahkan dia sudah melihat lebih dari itu, entah kenapa Satria terlihat selalu mempesona. Dia menyukai tubuh itu. Kulit bersih dengan otot yang tidak terlalu besar, tapi justru itu yang membuat Satria terlalu mempesona.Kalau Abian selalu memperhatikan bentuk tubuh dengan otot yang besar, beda dengan Satria yang tubuhnya sedikit lebih langsing, tapi tampak pas untuk ukuran lelaki itu.“Kenapa?” Satria menarik Amara memeluknya padahal tubuhnya masih basah.“Satria, basah ‘kan bajuku.” Amara mendorong tubuh itu mengibaskan bajunya yang ikut basah. “Lihatnya segitu amat. Mas
“Kamu beneran mau ke luar dari perusahaan?”“Iya, aku rasa belum waktunya aku ada di posisi itu. Ibaratnya … saat kita naik tangga harus setahap demi setahap, aku tidak pernah terjun di perusahaan dan tiba-tiba menggantikan posisi Abi rasanya tidak adil.”Amara tahu kalau Satria memang sejak dulu tidak tertarik dengan perusahaan dan juga tidak tertarik berkompetisi dengan kakaknya, dia lebih suka mengalah dan memilih mencari aman dengan menjauh, seperti saat ini. Amara tahu kalau Satria menjauh agar kehidupan pernikahan mereka akan baik-baik saja kedepannya, ikatan pernikahan mereka belum terlalu kuat dan salah satu cara adalah dengan menjauhi sumber masalah.“Kamu nggak papa ‘kan, Ra?” Amara menghentikan pergerakan tangannya yang sedang mengeluarkan pakaian dari koper. Dia menoleh lalu tersenyum.“Memangnya aku menikahi kamu karena kamu jadi Dirut?” Amara bertanya balik. Dia menarik tubuhnya lalu bergerak ke arah Satria yang sejak tadi fokus pada layar laptop yang berada di pangkuan
“Pak, tempatnya sudah siap, seperti yang Bapak inginkan. Coba Bapak cek dulu, mungkin ada yang perlu dibenahi,” kata seseorang di seberang sana lalu panggilan di tutup setelah Satria mengatakan akan ke lokasi.Dia meletakkan ponselnya di saku celana lalu menyambar kunci mobil kemudian ke luar kamar. Kepalanya celingukan mencari keberadaan Amara dan saat mendengar suara gemericik air di area dapur, dia melangkahkan kakinya menuju dapur dan benar saja, siapa lagi yang berada di dapur kalau bukan Amara karena istrinya itu tidak mau ada asisten rumah tangga di rumahnya.“Ra, ikut, yuk.” Satria berjalan mendekat ke arah Amara sembari melipat kemejanya hingga setengah lengan bawah. Terlihat otot kecil menyembul di lengan itu.“Ke mana?” Amara mematikan keran air kemudian mengelap tangannya dengan serbet.“Aku mau buka bengkel lagi, aku mau kamu ikut lihat tempatnya.”“Cepet banget. Kamu udah rencanain dari kapan?” tanya Amara. Tangannya melepas Apron lalu meletakkannya di dinding tempat beb
“Gimana kabarnya, Fel?” Lelaki bertato di lengan tangannya itu bertanya pada Felicia meski matanya tidak beralih pada anak kecil yang berada di gendongan pengasuh.“Seperti yang kamu lihat, aku bisa di sini berarti baik-baik saja.” Felicia menyandarkan tubuhnya sembari menggusah napas.Lelaki itu masih terus mengawasi bayi yang menggelihat terlihat tidak nyaman dalam gendongan suster. “Sus, coba diturunkan saja, mungkin ingin diturunkan,” kata lelaki bernama Nathan dengan atensi masih tak beralih dari bayi itu.Mereka membawa kereta bayi di sana, tapi entah kenapa justru menggendong bayi itu padahal seandainya bayi itu ditidurkan di sana, suster yang menjaga bayi itu bisa duduk tanpa harus berdiri menggoyang-goyangkan bayi yang terus saja menggeliat.Wanita berseragam putih-putih itu menoleh pada Felicia seolah meminta persetujuan. Setelah Felicia mengangguk akhirnya bayi dalam gendongan wanita itu diturunkan dan benar juga, bayi itu langsung membuka mata dan bola matanya bergerak-ger
“Stev, maaf,” kata Abian setelah Stevani selesai oprasi dan sudah di ruang perawatan. Saat dia menandatangani menjadi wali untuk Stevani, tubuhnya langsung lemas karena dia yang menyebabkan Stevani seperti itu. Dia keterlaluan menghukum Stevani hingga gadis itu berada di ruang operasi, semoga tidak ada yang menuntutnya nanti. Apa dia harus menyingkirkan CCTV kalau seandainya Stevani memperkarakan masalah ini?“Ini bukan salah Bapak. Saya yang sering jajan sembarangan. Biasa, dari dulu jadi anak kos.” Stevani tertawa saat mengingat kepanikan Abian waktu membawanya ke rumah sakit, awalnya dia tidak pingsan, dia masih sadar, tapi karena perutnya terlalu sakit dia diam saja saat Abian membopongnya dan dari jarak sedekat itu dia baru melihat kalau Abian terlalu mempesona. Sudah sejak dulu dia tahu Abian memang terlalu tampan, tapi dia tidak melihat dalam posisi sedekat kemarin. Stevani harus menyadarkan dirinya berkali-kali kalau dia sedang mengagumi suami orang. Dia kesal sendiri kenapa y
“Belum juga genap setahun, kenapa kamu jadi pesimis gini, Ra?” Satria menekuk lututnya demi agar bisa menyejajarkan tubuhnya dengan Amara yang dudu di sofa.“Tapi aku nikah sama Mas Abi lima tahun, Satria.”Lelaki itu tergelak lantas mengusap pipi Amara yang tadi banjir air mata. “Nanti kita periksa ke dokter, belum tentu juga ‘kan kamu yang bermasalah. Aku dulu suka ngerokok. Semoga nggak ada masalah dengan ini.”Amara mengangguk. Dia tahu kehidupan Satria dulu seperti apa bahkan orang tuanya dulu sering marah pada Satria hingga Satria tidak diberi akses di kantor karena kelakuan Satria yang meresahkan seluruh keluarga. Dulu Amara pun tidak suka dengan Satria, selain jutek lelaki itu terkesan tidak peduli dengan keluarganya. Itu yang Amara nilai selama menjadi ipar Satria. Namun, setelah dia berpisah dengan Abian dan kemudian dekat dengan Satria, dia akhirnya tahu kenapa Satria jadi seperti itu, ibunya yang membuatnya menjadi seperti itu.Sepulang dari kantornya, Satria langsung memb
Satria mengumpat dalam hati saat suster kembali mengingatkannya karena sudah satu jam di ruangan itu dia belum juga berhasil. Dia bersumpah ini adalah pertama dan terkhir kali dia menjalani pemeriksaan seperti ini karena ternyata tidak semudah yang dia bayangkan.“Pak, kalau masih belum bisa bisa nonton film dulu.” Terdengar suara suster dari balik pintu, entah siapa yang menyuruh suster itu dia rasa ada campur tangan Dara di sana. Memangnya ada prosedur seeprti itu, bukankah seharusnya untuk pemeriksaan ini harus ada ketenangan.Satria harus membuat perhitungan dengan Dara.“Nggak boleh, Sus, haram nonton bokep,” sahut Satria kesal.“Kamu harus tenang, kapan keluarnya kalau nggak tenang,” omel Amara mungkin kesal pada Satria atau … capek.Lelaki itu akhirnya masuk kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya karena gerah sejak tadi. Pikirannya bercabang ke mana-mana, dia menggerutu sepanjang berada di ruangan itu.Sebenarnya tidak sulit melakukannya, tapi entah kenapa kalau alasan medis rasa
Merasa tidak mendapat perlindungan dari keluarga, Felicia akhirnya memutuskan meninggalkan tempat tinggal orang tuanya. Apa yang bisa dia harapkan dari orang tuanya, sedang selama ini dia tidak pernah mendapatkan ketenangan di sana. Felicia memang pernah melakukan hubungan bebas, itu karena dia lepas dari pengawasan orang tua, orang tua tidak memberi contoh yang baik. Felicia sadar, dengan kebebasan yang dia jalani selama ini ternyata tidak membuatnya tenang, dia harusnya mengambil pelajaran setelah kejadian demi kejadian menyakitkan yang dia alami.“Tuhan itu maha pengampun, perbaiki kehidupanmu. Jika kamu manusia beragama, maka kembalikan kehidupanmu pada jalur yang benar.” Nasehat itu yang akhirnya membuat Felicia tinggal di sebuah kota kecil jauh dari kebisingan. Seorang wanita pekerja kebun memberinya tempat tinggal setelah dia sampai dan kebingungan akan tinggal di sana.Wanita paruh baya memakai jilbab panjang itu menyambutnya sangat baik, tapi rumah kecil itu hanya mempunyai s
“Pa, kenapa Satria masuk, sebegitu bencinya kah anak kita padaku?”Maria menatap sedih jejak putranya yang sesaat tadi justru meninggalkan mereka tanpa menyalami bahkan mempersilahkan masuk pun tidak. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat perlakuan anaknya seperti itu. Ego sudah diturunkan, sesal sudah dirasa. Namun, apa yang di dapat? Apa anak itu ingin membalas perbuatannya. Sungguh, jika itu benar Maria akan bersimpuh di hadapan putranya itu untuk meminta maaf.Kesalahannya memang terlalu fatal, bukan hanya pada Satria saja tetapi juga pada Amara—wanita yang seharusnya dia jaga karena dia sudah berjanji di depan pusara dua orang yang paling berjasa di hidupnya itu, dua orang yang telah mengorbankan diri agar suaminya tetap hidup sampai sekarang, dia berjanji akan menjadi orang yang selalu melindungi Amara. Namun, apa yang dia lakukan pada anak itu, dia malah menjauhkan anak itu dari keluarganya.Maria mulai menggali hatinya, bagaimana dia bisa berlaku kejam hanya karena ingin m
Setahun sudah berlalu, anak-anaknya jarang datang, lebih lagi satria, sudah setahun anak bungsunya itu tidak berkunjung. Buah-buahan di keranjang yang selalu dikirim Satria melalui kurir sebagai obat rindu. Maria merindukan anak-anaknya, dia telah menuai apa yang telah dilakukan pada anak-anaknya.Abian selalu saja sibuk, tiap kali dia menelepon agar anaknya itu datang, selalu saja beralasan sibuk. Ya, Maria yang meminta Abian untuk memperbaiki kualitas hidup agar kehidupannya lebih baik. Abian memang semakin sukses, dia juga sudah merambah usaha di berbagai bidang termasuk bidang otomotif dan usahanya yang baru beberapa bulan dirintis sudah sangat besar mengalahkan usaha Satria.Maria mempehatikan semua kegiatan kedua anaknya. Abian lebih kompetitif dan semakin gila kerja hingga setahun lebih pernikahan belum juga dikaruniai anak. Sedang Satria tidak terlalu bersemangat dengan usahanya, Satria bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Perkebunan
“Satria, kamu kenapa?” Amara langsung menghampiri lelaki berkemeja biru navi itu. Wajah yang tadi cerah berubah suram, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras.“Pergi ke rumah mama batal,” ujar lelaki itu.Amara menarik tangan suaminya membawa presensi lelaki itu untuk duduk di sofa dekat jendela. Dia tahu kalau Satria tidak sedang baik-baik saja, lelaki itu masih belum bisa mengendalikan emosinya. Yang Amara tahu emosi seseorang akan berkurang saat duduk, kalau belum juga reda maka berbaring, itu kenapa dia mengajak Satria duduk. Satria menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Embusan napas berat ke luar dari mulutnya lalu tangan besarnya meraup wajah kasar.“Kamu masih ingat beberapa kali kita gagal ke rumah Mama?” Lelaki itu menarik sudut bibirnya. “Mama memang tidak mau kita ke sana. Semua yang terjadi pada kita, musibah kecil yang kita lalui saat akan ke rumah mama hingga kita mengurungkan niat ke sana itu ulah mama. Mama yang merencanakan semuanya agar kita tidak ke sana.”
“Aku yakin Mama yang merencanakan semua ini.”“Diam kamu Abi.”Abian menggeleng melihat kelakuan ibunya yang sudah tidak bisa dia cerna dengan akal sehat. Entah kepercayaan apa yang tertanam dalam pikiran ibunya dari dulu hingga kini tetap berpikir primitive.“Makanya Mama itu belajar sama ustaz, bukan sama guru spiritual. Guru spiritual itu sama dengan dukun. Mama tahu seberapa besar dosa orang yang mendatangi dukun?”“Sudah, jangan ceramah. Salat saja bolong-bolong malah ceramahin Mama. Sana belajar agama dulu sebelum ceramah.”Abian lantas meninggalkan ibunya, dia tidak mau peduli lagi karena capek jika berdebat dengan ibunya. Sejak dulu saat dia memprotes kenapa ibunya selalu membedakannya dengan adiknya, selalu saja jawabannya bahwa Satria adalah anak pembawa sial yang harus disingkirkan.Apa mungkin ini yang dimaksud ibunya? Bukankah beberapa waktu yang lalu ibunya sudah menerima Satria?Semakin dipikir membuat Abian pusin sendiri. Biarlah itu menjadi masalah ibu dan adiknya, ya
“Kamu tahu ‘kan kalau sejak dulu Mama tidak terlalu peduli padaku?” “Bukan tidak peduli, Sayang. Orang tua itu punya cara berbeda mengungkapkan rasa sayangnya pada anak-anaknya. Mungkin bagi Mama kamu cukup mandiri hingga Mama tidak terlalu mengkhawatirkanmu dan terbukti ‘kan kamu bisa mandiri tanpa bantuan mereka.”Amara mengusap bahu suaminya lalu duduk di sebelah lelaki itu.“Itu salah satu alasan. Ada alasan lain yang membuat Mama tidak terlalu mempedulikanku. Mama yang bilang setelah kita periksa waktu itu dan aku mulai berpikir bahwa ini adalah karma yang keluargaku lakukan di masa lalu.” Lelaki itu menggusah napasnya kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.“Karma?” Amara mengerutkan keningnya lantas meraih tangan suaminya. “Dalam agama kita tidak ada yang namanya karma. Apa kamu pernah lihat orang jahat hidupnya senang terus? Itu karena balasan dari perbuatan manusia itu nanti saat manusia telah mati. Di dunia itu hanyalah ujian.”“Tapi, Ra. Kesalahan keluarga kami sa
Felicia kali ini merasa menang, entah kenapa dia merasa berkali-kali mendapat dukungan semesta andai apa yang dia lakukan mendapatkan balasan, nyatanya dia masih tetap beruntung dan Abian yang telah dia bodohi kembali masuk perangkap dan dia yang beruntung.“Fel, thanks ya, kamu sudah membantuku. Tanpa kamu aku tidak bisa membalas mereka.”“Kamu ‘kan tahu kemampuanku, makanya jangan remehkan aku.” Felicia mengerucutkan bibirnya, tangannya bersendekap.“Iya, iya. Aku tidak akan meragukan kemampuanmu. Aku akan turuti apa pun yang kamu mau. Aku puas benget melihat Ferdian sudah jadi mayat.”Felicia hanya memberi tahu keberadaan Ferdian, tapi dia mendapatkan bonus kabar kalau Ferdian sudah membusuk di tempat persembunyiannya. Dia masih ingat dulu sering dijadikan alat oleh Ferdian untuk menjebak Abian, seingatnya tiga kali dia melakukan itu dan dalam hati kecilnya dia tidak tega melihat Abian menderita karena ulahnya.Bagaimana pun juga dia punya hati. Dia pernah mencintai Abian dan tidak
"Pasti ada masalah di sana, Ferdi pasti belum ke luar dari sana." Satria berjalan mondar-mandir setelah mengetahui tidak ada penerbangan atas nama Ferdian. Mereka memperkirakan Ferdian pasti akan ke Singapura setelah ketahuan, mereka tahu ke mana Ferdian akan bersembunyi."Coba Papa tanyakan Om Antony," kata Abian.Sejak penggrebekan Ferdian di salah satu rumah persembunyian Ferdian, mereka menunggu dengan cemas lelaki itu. Bagiamana pun juga mereka tidak mau Ferdian dalam bahaya, setidaknya jika dipenjara itu lebih aman.Kabar di lapangan Ferdian kabur dan setelah ditelusuri tidak ada jejak penerbangan atas nama Ferdian dan mobil Ferdian masih berada di sana."Ommu tidak tahu kabar Ferdi, mereka juga mencari," kata Atmaja menginformasi. "Pa, apa mungkin Ferdi terjebak di dalam rumah?" Satria mulai mencurigai karena yang dia tahu dari informasi anak buahnya, ada ruangan khusus bawah tanah yang menghubungkan ke arah dekat dermaga. Kemungkinan Ferdian berlayar juga bisa dipertimbangkan
"Abi, tolong bantu aku." Sebenarnya Felicia malu meminta bantuan pada Abian, dia malu karena telah beberapa kali menyakiti lelaki itu. Mengkhianati dan juga mempermainkan lelaki itu. Entah kemana urat malunya dia tanggalkan, dia hanya tidak bisa melakukannya sendiri. Dia masih berharap Abian mau menolongnya, setidaknya meski lelaki itu kemungkinan besar akan menghardiknya, tidak mengapa, Abian tidak akan tega membiarkannya, apalagi saat ini Felicia dalam keadaan terpuruk, ada beberapa luka memar di tangannya. "Memangnya apa yang dilakukan Nathan?" tanya lelaki itu.Felicia menunduk, dia mencoba menutupi lengannya yang terbuka, ada bekas cakaran di sana, entah bagaimana Nathan melakukannya."Ini semua karena Ferdian, dia yang membuat mood Nathan jadi buruk," jawab Felicia. Lelaki itu tersenyum sinis menatap felicia, kakinya disilangkan dan kedua tangannya bersendekap. Sungguh, lelaki itu tampak puas melihat penderitaan Felicia.Meski Felicia sudah memprediksi apa yang akan dilakukan