“Sudah kubilang kalau jangan mudah akrab dengan orang yang baru dikenal.”Lelaki itu mengomelinya sejak tadi. Satria tiba-tiba sudah ada di sana, padahal lelaki itu mengatakan kalau akan kembali lima hari lagi paling cepat.“Ya ampun, Satria. Dia itu perempuan, kenapa kamu jadi posesif gini, sih.” Amara jelas kesal karena saat dia sedang bersama Elisha tiba-tiba ditarik masuk ke kamar mereka, dia malu apalagi baru kenal Elisha. Pas ti temannya itu berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya.Satria mengusap kasar wajahnya, bagaimana dai tidak kesal, saat dirinya panik karena Amara tidak menerima panggilan teleponnya, saat kembali istrinya itu ternyata sedang bersama orang asing.“Ra, tolong mengerti. Keadaan kita masih belum aman, jangan mudah percaya dengan orang baru.” Amara tersenyum, padahal dia baik-baik saja sejak ditinggal Satria dan soal Arlan, dia merasa hanya sedang paranoid saja. Sebenarnya apa yang dia takutkan sampai pergi dari rumah, adahal di rumah lebih aman, Abian tida
“Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Maria pada Satria dan Amara yang sudah bersiap dengan membawa koper. “Mau bulan madu, kan belum sempat,” jawab Satria. Tangan kanannya menarik koper sedang tangan kirinya menggenggam tangan Amara.“Ya sudah. Mama juga sudah pengen cepet punya cucu. Punya anak dua saja kelakuannya bikin pusing,” gerutu wanita dengan potongan rambut bob itu.“Mama doain saja biar kami segera punya anak. Kami akan berusaha keras, jadi Mama jangan ganggu kami setelah kami berangkat,” kelakar Satria dan langsung mendapatkan pukulan di lengan dari mamanya.“Sudah sana berangkat, yang penting izin dari papa sudah dapat, Mama tinggal dukung saja.”Rencana dadakan ini sebenarnya bukan ide Satria, tapi Amara yang memintanya. Bukan apa-apa, Amara hanya ingin berdua saja dengan Satria karena selama menikah ada saja masalah yang menyambangi mereka. Amara juga ingin lebih dekat lagi dengan suaminya tanpa ada masalah yang mengiringi mereka. Rasanya belum pernah dia merasakan ba
“Sayang, buruan.” Amara mengetuk pintu kamar mandi. Kebiasaan lelaki itu suka lama saat di kamar mandi, padahal dia yang wanita saja tidak membutuhkan waktu lama di kamar mandi.“Bentar.” Suara di dalam sana akhirnya terdengar mendekat dan daun pintu dibuka menampakkan tubuh bertelanjang dada dengan tetesan air dari rambut. Amara menelan ludahnya melihat pemandangan itu. Mereka memang sudah sebulan lebih menikah dan bahkan dia sudah melihat lebih dari itu, entah kenapa Satria terlihat selalu mempesona. Dia menyukai tubuh itu. Kulit bersih dengan otot yang tidak terlalu besar, tapi justru itu yang membuat Satria terlalu mempesona.Kalau Abian selalu memperhatikan bentuk tubuh dengan otot yang besar, beda dengan Satria yang tubuhnya sedikit lebih langsing, tapi tampak pas untuk ukuran lelaki itu.“Kenapa?” Satria menarik Amara memeluknya padahal tubuhnya masih basah.“Satria, basah ‘kan bajuku.” Amara mendorong tubuh itu mengibaskan bajunya yang ikut basah. “Lihatnya segitu amat. Mas
“Kamu beneran mau ke luar dari perusahaan?”“Iya, aku rasa belum waktunya aku ada di posisi itu. Ibaratnya … saat kita naik tangga harus setahap demi setahap, aku tidak pernah terjun di perusahaan dan tiba-tiba menggantikan posisi Abi rasanya tidak adil.”Amara tahu kalau Satria memang sejak dulu tidak tertarik dengan perusahaan dan juga tidak tertarik berkompetisi dengan kakaknya, dia lebih suka mengalah dan memilih mencari aman dengan menjauh, seperti saat ini. Amara tahu kalau Satria menjauh agar kehidupan pernikahan mereka akan baik-baik saja kedepannya, ikatan pernikahan mereka belum terlalu kuat dan salah satu cara adalah dengan menjauhi sumber masalah.“Kamu nggak papa ‘kan, Ra?” Amara menghentikan pergerakan tangannya yang sedang mengeluarkan pakaian dari koper. Dia menoleh lalu tersenyum.“Memangnya aku menikahi kamu karena kamu jadi Dirut?” Amara bertanya balik. Dia menarik tubuhnya lalu bergerak ke arah Satria yang sejak tadi fokus pada layar laptop yang berada di pangkuan
“Pak, tempatnya sudah siap, seperti yang Bapak inginkan. Coba Bapak cek dulu, mungkin ada yang perlu dibenahi,” kata seseorang di seberang sana lalu panggilan di tutup setelah Satria mengatakan akan ke lokasi.Dia meletakkan ponselnya di saku celana lalu menyambar kunci mobil kemudian ke luar kamar. Kepalanya celingukan mencari keberadaan Amara dan saat mendengar suara gemericik air di area dapur, dia melangkahkan kakinya menuju dapur dan benar saja, siapa lagi yang berada di dapur kalau bukan Amara karena istrinya itu tidak mau ada asisten rumah tangga di rumahnya.“Ra, ikut, yuk.” Satria berjalan mendekat ke arah Amara sembari melipat kemejanya hingga setengah lengan bawah. Terlihat otot kecil menyembul di lengan itu.“Ke mana?” Amara mematikan keran air kemudian mengelap tangannya dengan serbet.“Aku mau buka bengkel lagi, aku mau kamu ikut lihat tempatnya.”“Cepet banget. Kamu udah rencanain dari kapan?” tanya Amara. Tangannya melepas Apron lalu meletakkannya di dinding tempat beb
“Gimana kabarnya, Fel?” Lelaki bertato di lengan tangannya itu bertanya pada Felicia meski matanya tidak beralih pada anak kecil yang berada di gendongan pengasuh.“Seperti yang kamu lihat, aku bisa di sini berarti baik-baik saja.” Felicia menyandarkan tubuhnya sembari menggusah napas.Lelaki itu masih terus mengawasi bayi yang menggelihat terlihat tidak nyaman dalam gendongan suster. “Sus, coba diturunkan saja, mungkin ingin diturunkan,” kata lelaki bernama Nathan dengan atensi masih tak beralih dari bayi itu.Mereka membawa kereta bayi di sana, tapi entah kenapa justru menggendong bayi itu padahal seandainya bayi itu ditidurkan di sana, suster yang menjaga bayi itu bisa duduk tanpa harus berdiri menggoyang-goyangkan bayi yang terus saja menggeliat.Wanita berseragam putih-putih itu menoleh pada Felicia seolah meminta persetujuan. Setelah Felicia mengangguk akhirnya bayi dalam gendongan wanita itu diturunkan dan benar juga, bayi itu langsung membuka mata dan bola matanya bergerak-ger
“Stev, maaf,” kata Abian setelah Stevani selesai oprasi dan sudah di ruang perawatan. Saat dia menandatangani menjadi wali untuk Stevani, tubuhnya langsung lemas karena dia yang menyebabkan Stevani seperti itu. Dia keterlaluan menghukum Stevani hingga gadis itu berada di ruang operasi, semoga tidak ada yang menuntutnya nanti. Apa dia harus menyingkirkan CCTV kalau seandainya Stevani memperkarakan masalah ini?“Ini bukan salah Bapak. Saya yang sering jajan sembarangan. Biasa, dari dulu jadi anak kos.” Stevani tertawa saat mengingat kepanikan Abian waktu membawanya ke rumah sakit, awalnya dia tidak pingsan, dia masih sadar, tapi karena perutnya terlalu sakit dia diam saja saat Abian membopongnya dan dari jarak sedekat itu dia baru melihat kalau Abian terlalu mempesona. Sudah sejak dulu dia tahu Abian memang terlalu tampan, tapi dia tidak melihat dalam posisi sedekat kemarin. Stevani harus menyadarkan dirinya berkali-kali kalau dia sedang mengagumi suami orang. Dia kesal sendiri kenapa y
“Belum juga genap setahun, kenapa kamu jadi pesimis gini, Ra?” Satria menekuk lututnya demi agar bisa menyejajarkan tubuhnya dengan Amara yang dudu di sofa.“Tapi aku nikah sama Mas Abi lima tahun, Satria.”Lelaki itu tergelak lantas mengusap pipi Amara yang tadi banjir air mata. “Nanti kita periksa ke dokter, belum tentu juga ‘kan kamu yang bermasalah. Aku dulu suka ngerokok. Semoga nggak ada masalah dengan ini.”Amara mengangguk. Dia tahu kehidupan Satria dulu seperti apa bahkan orang tuanya dulu sering marah pada Satria hingga Satria tidak diberi akses di kantor karena kelakuan Satria yang meresahkan seluruh keluarga. Dulu Amara pun tidak suka dengan Satria, selain jutek lelaki itu terkesan tidak peduli dengan keluarganya. Itu yang Amara nilai selama menjadi ipar Satria. Namun, setelah dia berpisah dengan Abian dan kemudian dekat dengan Satria, dia akhirnya tahu kenapa Satria jadi seperti itu, ibunya yang membuatnya menjadi seperti itu.Sepulang dari kantornya, Satria langsung memb