Pelabuhan Tandjoeng Priok, Batavia, Juni 1940
Kapal uap 'KITANO MARU' buatan Mitsubishi cabang prefektur Nagasaki mendarat di Pelabuhan Tandjoeng Priok, Batavia. Asap abu-abunya menguap tak terlihat di langit hitam tak berbintang. Burung-burung merasa terusir, tak ada satu pun yang mengepakkan sayap mendekati kendaraan laut berdinding baja itu.
"BERBARIS YANG RAPI! BERBARIS YANG RAPIIIII!" Dengan menggunakan Bahasa Jepang, seorang tentara Angkatan Laut Jepang berteriak memandu para saudara sebangsanya untuk menaiki kapal. Selama bertahun-tahun, mereka yang terdiri dari pedagang, PSK, seniman, dan penduduk biasa menjadi penghuni Batavia. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, para warga Jepang hidup damai sentosa di kota multikultural ini.
"INI ADALAH KAPAL TERAKHIR! PASTIKAN SEMUA NAIK!" Sayangnya, semua berubah mulai pertengahan tahun 1940 ini. Jepang yang berencana untuk melakukan sesuatu pada sekutu sepakat untuk membawa semua warganya keluar dari tanah Hindia Belanda. Mereka takut jika perencanaan mereka telah terealisasi terhadap sekutu, orang-orang Jepang akan disiksa oleh pemerintah Belanda di tanah Batavia. Sebelum gelagat orang Belanda di Hindia Belanda menunjukkan sikap anti Jepang, pemerintah Jepang sudah mengangkut semua warganya.
"Mengapa malam-malam begini, pelabuhan ramai sekali dengan orang Cina?" seorang kuli pelabuhan asli pribumi berbisik pada seorang kawan sesama kulinya yang sedang melamun. Tatapan matanya kosong, sebenarnya bukan berarti selalu melamun. Dia sepertinya kebanyakan mengonsumsi Opium. Peredaran Opium di Tanah Jawa memang memasuki hampir semua lapisan masyarakat. Mulai dari kelas atas keturunan bangsawan atau pegawai perusahaan Belanda sampai rakyat jelata bermodalkan kulit berdaki dan tulang tanpa lapisan daging bisa menjadi pengguna Opium. "Huh! Bicara denganmu sama saja seperti bicara dengan karung goni!" kesal karena kawannya diam saja, kuli pelabuhan itu menempeleng kepala kawannya.
"Aaah," si kuli pengguna Opium membuka mulut keringnya, "yang mana Orang Cina?'
"Itu," tunjuk si kuli tak pengguna Opium. Dia menunjuk kapal uap KITANO MARU.
"Mereka itu bukan Orang Cina. Mereka itu Orang Jepang,"
"Tahu darimana kau?"
"Ada yang kukenal beberapa. Misalnya saja wanita bergaun merah itu," si kuli pengguna Opium menunjuk seseorang yang sedang mengantri berdesakan menuju kapal, "kalau tidak salah, dia adalah penghibur yang bekerja sebagai penyanyi di restoran Jepang pinggir kota. Aku sering diminta mengangkut sampah dari sana."
"Kau kenal dia?"
"Tidak,"
"Apa? Tidak? Lalu, bagaimana kau tahu kalau dia adalah Orang Jepang? Tetanggaku yang orang Jawa saja ada yang menjadi penyanyi di kedai kopi milik Orang Belanda."
Dengan tatapan nanar karena dikuasai Opium, kuli itu berkata, "Terkadang, kau sendiri tak tahu darimana asal informasi yang selama ini kau ketahui dan kau yakini kebenarannya."
Kuli bertubuh kurus itu mengangkat bahu. Saking tak mengertinya, sementara waktu dia simpulkan saja bahwa temannya ini meracau karena efek Opium.
Dua orang kuli pribumi itu tetap memperhatikan kapal uap dari jarak sekitar enam meter. Tanpa sepengetahuan mereka, sebenarnya kapal itu tak hanya menampung orang-orang Jepang dari Batavia. Sebaliknya, ada beberapa orang yang turun dari kapal secara diam-diam. Jumlahnya tak terlalu banyak. Begitu sampai di daratan, mereka langsung berlagak menjadi kuli pelabuhan. Siapa lagi kalau bukan lima murid Shitaro?
***
Rintik-rintik hujan menyapa Batavia di tengah malam ini. Para kuli pelabuhan Tandjoeng Priok mempercepat kerjanya. Sebagian dari para kuli pribumi itu berdesak-desakan dengan para orang Jepang yang hendak menaiki kapal KITANO MARU. Keramaian tengah malam di pelabuhan ini bukanlah suatu pemandangan yang sering terjadi. Akibat meletusnya perang Asia Pasifik yang sebenarnya diprakasai oleh Jepang sendiri, mereka mengembalikan rakyat sipil mereka di luar Jepang, khususnya di daerah jajahan sekutu yang merupakan lawan mereka.
Hujan turun. Sepertinya alam mendukung perencanaan kami, batin Shitaro seraya menutup wajah dengan tudung dan topi jerami. Karena hujan kian deras, dia mempercepat langkahnya keluar dari area pelabuhan. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan kelima muridnya mengekor di belakang. Memang tak terlalu kelihatan karena lautan manusia menghalangi pandangnya. Kalau jalanmu memang bertemu denganku, kau akan bertemu denganku, lagi-lagi hatinya berkata. Tugasnya memang tak sampai mengurusi keselamatan kelima muridnya di tanah Batavia. Tanah ini adalah tanah pertarungan. Semua yang datang ke sini adalah orang-orang pilihan yang kekuatan dan mentalnya sudah terseleksi. Setelah menghela napas, Shitaro mempercepat langkahnya tanpa menoleh.
"Shitaro-sama! Shitaro-sama!" Yuji yang berdiri paling depan di antara keempat saudara seperguruannya menyadari bahwa gurunya sudah berjalan cepat meninggalkannya. Dalam kondisi panik, dia menoleh ke belakang. Di saat itulah, dia melihat Hina. "Kita kehilangan jejak!" serunya.
"Bagaimana?" Hina yang kebingungan ikut-ikutan menoleh ke belakang.
"Aku tak mengerti!" Saking tak mengertinya, Jin sampai berteriak.
"Kau....!" Ingin rasanya Hina memukul Jin karena responsnya yang agak kasar. Akan tetapi, Hina membatalkan niatnya setelah melihat ada air mata menetes dari kedua mata saudara seperguruannya itu.
"Jalan saja ke depan!" Hide menerobos lautan manusia dengan kedua tangan. Dia mencoba membuka jalan agar keempat saudara perguruannya dapat menyusul gurunya dengan cepat. Intuisinya menyimpulkan bahwa situasi akan lebih parah ketika dirinya dan keempat saudara seperguruannya semakin jauh dari gurunya. Orang tua itu sudah membawanya ke kota asing dengan sebelumnya memerintahkannya untuk membunuh Sakurako, kekasih hatinya. Jika saat ini dia harus kehilangan Shitaro, dia merasa apa yang sudah dia lakukan sejauh ini sangatlah sia-sia.
"Ikuti Hide!" teriak Hina tanpa berpikir apakah di sekitarnya ada musuh yang harus dihindari.
"Jangan berteriak!" karena panik, Kazumi menutup mulut Hina dan menarik adik seperguruannya itu. Dia sendiri tahu bahwa sekitarnya sedang riuh dipenuhi lautan manusia dengan urusannya masing-masing. Dia yakin jika tak akan ada orang yang memusatkan perhatian kepada Hina. Sambil celingak-celinguk, dia yang menggandeng tangan Hina melangkah agak cepat mengikuti Hide.
***
Sesampainya di pintu gerbang pelabuhan Tandjoeng Priok, Hide dan keempat saudara seperguruannya memandang sekeliling. Hujan turun bertambah deras. Tak ada bunyi yang mereka dengar selain gemuruh guntur dan deraan air menerpa tanah.
"Kapal yang kita naiki tadi sepertinya akan berangkat!" sempat menoleh ke belakang, Yuji menyadari jika kapal KITANO MARU bergeser dari posisi semula. Kapal itu semakin jauh dari pandangnya. Semula dia kira mungkin karena dirinya yang memang telah menjauhi pelabuhan, tetapi lama-lama dia sadar kalau memang kapal itu sudah berjalan perlahan meninggalkan pelabuhan.
"Cepat sekali kapal itu berlabuh di sini," bisik Hide yang belum dapat membaca situasi sekitar, "apakah untuk menghindari pasukan sekutu di Batavia ini?"
Pertanyaan Hide yang mengandung banyak kebingungan tak dijawab baik oleh Kazumi, "Alangkah bodohnya kalau kita sedang luntang-lantung tanpa arah begini malah tertangkap oleh sekutu yang sedang berpatroli,"
"Jangan putus asa seperti itu!" seru Yuji. "Kita sudah sejauh ini, bahkan sudah sampai membunuh saudara seperguruan kita sendiri," dia melirik Hide yang begitu diyakininya memendam kesedihan mendalam akibat kehilangan kekasihnya, Sakurako, "masa kita mati di sini?"
"Tapi, guru benar-benar tidak ada," Hina menoleh ke kiri dan ke kanan, "aku takut kita berlima malah dimarahi karena tak mengikutinya,"
"Aku rasa, memang sampai di sini tugasnya sebagai guru," timpal Hide.
"Maksudmu?" Hina agak terkejut dengan pernyataan Hide barusan yang menurutnya bisa jadi benar.
"Sekarang, kita lihat saja apa yang akan terjadi," Hide menghela napas seraya melangkah ke depan.
"Tunggu! Apakah kalian orang-orang Nara?" tiba-tiba terdengar suara berbahasa Jepang di samping kanan mereka. Tentunya bukanlah suara Shitaro karena terdengar seperti seorang perempuan lemah lembut.
Hide menoleh ke kanan, ke arah sumber suara itu berasal. Tampak di depan matanya, seorang wanita beryukata hitam dan bertopi hitam menyapa mereka berlima. Topi bundar itu menutupi mata wanita itu.
Sesungguhnya, Hide dan keempat saudara seperguruannya ini bisa saja mencurigai wanita beryukata hitam ini. Akan tetapi, karena ini di Batavia dan musuh yang sama-sama harus dihadapi adalah pemerintah Hindia Belanda, kadar kecurigaan mereka berlima agak menurun kepada wanita beryukata hitam ini.
"Yukiko Abe," Wanita beryukata hitam itu membungkukkan badannya sedikit.
Hide dan keempat saudara seperguruannya saling menoleh. Tak ada satu pun dari mereka yang berinisiatif memperkenalkan diri. Meski wanita yang mengaku bernama Yukiko ini sama-sama orang Jepang seperti mereka, tetapi mereka berlima belum mengerti siapa kawan dan lawan yang sesungguhnya.
Wanita Jepang misterius itu berbalik. Dia berjalan dengan langkah kaki yang penuh keyakinan. Meski tetap ragu, Hide dan keempat saudara seperguruannya mencoba mengikuti si wanita misterius. Jangan-jangan, dia akan membawa mereka kepada Shitaro.
Yukiko memang tak menoleh ke belakang, tetapi dia yakin betul jika Hide dan keempat murid Shitaro lainnya mengikutinya. Sampai akhirnya, dia melewati lorong dekat pembuangan sampah yang membawa mereka semua ke lapangan kosong yang sepi.
Hanya ada sebuah tronton dan puing-puing kayu di pojokan lapangan kosong ini. Hide dan keempat saudara seperguruannya pun menghentikan langkah di tepian lapangan kosong begitu Yukiko menghentikan langkah dan membalikkan badan ke hadapan Hide dan lainnya.
"Cepat naik!" Yukiko menunjuk sebuah tronton berisi kotak-kotak kayu dan beberapa karung yang sepertinya berisi beras.
Tak ada reaksi apapun yang dilakukan oleh Hide dan keempat saudara seperguruannya. Rasa takut membuncah. Sekuat-kuatnya dan sepandai-pandainya kelima murid Shitaro ini bermain pedang, mereka berlima belum dapat membaca situasi. Siapa sebenarnya wanita bernama Yukiko ini? Apakah dia dapat dipercaya atau tidak?
Kelima murid Shitaro perlahan menjaga jarak dengan Yukiko. Mereka saling merapatkan kaki dan membentuk formasi melingkar, wujud saling menjaga satu sama lain.
"Ah! Sudah kuduga kalian akan seperti ini! Sungguh percayalah kepadaku, orang-orang Nara," Yukiko membaca bahwa Hide dan keempat saudara seperguruannya belum memercayainya. Meski begitu, wanita ini tampak tak panik. Dia sudah mengantisipasi situasi seperti ini. Dia segera membuka payung kertas. Kemudian, dia putar payung itu hingga gagang kayunya terlepas dan menjadi sebilah pedang kayu. "Kubilang, percayalah padaku!" dia memasang kuda-kuda, seolah siap bertarung dengan Hide dan keempat saudara seperguruannya.
"Hiyaaaaat!" tanpa ragu, Hide mengeluarkan pedangnya. Baru saja dia ingin menghajar Yukiko, seseorang menyerang pedang Hide.
"TAAANG!" pedang Hide patah jadi dua akibat serangan seseorang. Dia sendiri tak percaya senjatanya itu ditumbangkan seseorang dalam hitungan detik.
"Guru!" belum saja Hide menggeser pandangannya ke wajah lawan, kedua telinganya mendengar seruan Yuji, Hina, Jin, dan Kazumi.
"Sudah dibawa sampai sini, ternyata muridku masih bodoh!" seru Shitaro yang ternyata sudah berdiri di hadapannya.
"Gu....ru?" Hide berbisik lirih.
"Beginilah kalau kau bertarung dalam keadaan belum merelakan hal kemarin. Intuisimu tak tajam. Dia ini akan membantumu. Mengerti?"
"TIDAK! AKU TIDAK MENGERTI!" tiba-tiba Hide berteriak. "Aku tidak mengerti sebenarnya siapa yang kulawan! Siapa itu sekutu? Aku tidak peduli dan tak mau tahu! Yang aku tahu, di hadapanku berdirilah seorang pria kejam yang menyuruh anak-anak angkatnya saling bunuh! Yang mati jasadnya dimakan serigala hutan! Yang hidup dijual ke Batavia!"
"Hai! Jaga mulutmu! Dia gurumu yang merawat dan mendidikmu sejak kecil!" Yukiko bersiap menyerang Hide dengan pedang kayunya.
"Hey! Beraninya kau menyerang orang yang sudah tak bersenjata!" teriak Shitaro pada Yukiko. Dengan tangan besarnya, dia menggenggam pedang kayu itu.
"Tapi, Shitaro-Sama, muridmu ini begitu kurang ajar padamu!" Yukiko begitu terkejut dengan reaksi Shitaro pada dirinya. Sebenarnya, begitu juga dengan Hide dan keempat saudara seperguruannya. Tindakan gurunya ini tak bisa ditebak.
"Ini urusanku! Ini muridku!" seru Shitaro pada Yukiko. Kemudian, dia menoleh ke arah Hide, "Sampai kapan kau mau mendendam seperti ini? Hatimu yang lemah membuat intuisimu dangkal dan mudah dikalahkan, meski otak dan pedangmu tajam. Hide, kalau sejak awal kau tak suka dengan perintahku untuk duel sampai mati dengan sesama saudara seperguruan, mengapa kau tak melawanku sejak awal?" dia menoleh ke arah keempat murid yang lain, "kalian juga mendendam? Kalau begitu, mengapa kalian bersepuluh tak mengeroyokku kemarin sampai mati?"
Keempat murid menundukan kepala.
"Seorang Samurai bukanlah seorang yang tak punya pendirian. Lebih baik salah daripada menyesal atas kesalahan yang telah dilakukan," tambah Shitaro.
"Kita sudah tak punya banyak waktu! Naiklah!" Yukiko kembali memerintahkan para murid Shitaro untuk menaiki tronton.
Tak ada pilihan lain, Hide dan keempat saudara seperguruannya mengikuti perintah Yukiko.
Di dalam tronton itu, ada lima buah Yukata berwarna hitam yang sepertinya sama dengan milik Yukiko.
"Ganti pakaian kalian dengan Yukata hitam itu. Kalau gelap, nyalakan lentera di ujung sana. Mengerti? Tronton ini akan berjalan. Kalian ganti bajulah selama perjalanan." ucap Yukiko seraya menuju ke kursi kemudi.
Tanpa menunggu lama, tronton pun berjalan.
"Nyalakan lentera!" seru Kazumi.
Hide tak langsung mengganti pakaian yang berbekas darah Sakurako itu dengan Yukata hitam seperti milik Yukiko. Sudah berkali-kali dicuci pun dalam perjalanan menuju Batavia, atau bahkan noda darah Sakurako mulai menghilang di serat kain yukata milik Hide, laki-laki ini merasa masih ada saja bau anyirnya. Mungkin halusinasi atas dasar sebongkah perasaan bersalah.
Ketika cahaya lentera menerangi sekitar, perhatian Hide mengacu pada kaligrafi aksara Jepang keabu-abuan yang tertera di bagian punggung Yukata. Dia mengernyitkan dahi dan berniat membacanya. Sepertinya, kata itu mengandung banyak informasi.
"Banzai?" bisik Hide saat membaca tulisan pada punggung Yukata itu.
"Di karung ini juga tertulis Banzai," ucap Jin.
"Di sini juga," tunjuk Yuji pada kotak kayu buah-buahan.
"Apa sebenarnya Banzai itu?" Hina tampak kebingungan.
"Toko beras kami, tempat kerja baru kalian selama di Batavia," ucap Shitaro seraya terdengar bunyi mesin tronton dinyalakan.
"Guru membuka toko beras di Batavia?" tanya Jin dengan nada bicara yang ragu.
"Mulai sekarang, aku bukan guru kalian lagi," Shitaro melempar patahan pedang Hide ke dalam tronton, sehingga terdengar bunyi besi yang bersinggungan dengan bagian bawah tronton yang berupa kayu.
Kelima murid Shitaro memandang ke arah bawah, posisi pedang Hide dilempar oleh Shitaro. Tentu saja wujud senjata itu tak terlalu jelas karena sinar dalam area ini hanya berasal dari lentera minyak tanah. Setelah itu, kendaraan pun berjalan meninggalkan pelabuhan.
***
Seorang pemuda bermata sipit dan bertubuh tinggi besar memincingkan mata di bawah lampu kecil ruangan persegi. Ada selembar kertas yang dia temukan di saku celana hijau tentara Belanda. Senyum refleks tersungging.
Kertas dibuka oleh kedua tangan pemuda itu. Senyum sekejap menyusut. Rupanya, terdapat tulisan lima sate ayam dan lima nasi putih di sana. Tentunya bukan sesuatu hal yang penting.
"KREEEIT!" derit pintu kayu terdengar di kedua telinga pemuda itu. Seorang wanita bertudung hitam muncul di ambang pintu. Tangan kirinya menenteng lentera.
"Ah! Yukiko? Sudah pulang kau? Aku hampir gila di sini!" pemuda itu melempar kertas yang tadi dia temukan di kantung celana tentara Belanda.
Yukiko mengangkat tangan kirinya, sehingga lentera yang dibawanya menyorot bagian dinding atas ruangan. Ada tulisan bercat merah "BINAT" di atas sana. "Takeshi! Sepertinya, besok kita harus membeli cat merah dan menambahkan huruf 'U' di belakang huruf 'T'. Cat yang kemarin kau beli kualitasnya tak bagus. Dinding basah sedikit karena terkena bocoran air hujan, warna catnya langsung luntur,"
Pemuda bernama Takeshi itu menghela napas panjang, "Aku rindu memegang senjata. Sampai kapan aku harus berurusan dengan seragam, baju, celana, kaus dalam, bahkan celana dalam para warga Belanda bodoh itu? Oh, ya?" dia memegang kepalanya, sepertinya teringat dengan sesuatu, "aku bahkan lupa mengantar beras ke rumah Tuan Stanley. Sejak pengasuh anaknya bertambah dua, dia jadi lebih sering memesan beras,"
"Kau dengar perkataanku? Besok, beli cat merah untuk huruf 'U'," Yukiko mengulang perkataannya.
Takeshi yang seharian ini merasa jemu dengan pekerjaannya merasa sudah habis kesabarannya, "Kau juga tak dengar perkataanku?!"
"Iya! Aku dengar! Kau bilang kalau kau bosan jadi tukang cuci baju setiap hari?! Kau kira aku tak bosan menjadi kasir toko beras?!" Yukiko melempar lentera yang digenggamnya. Bunyinya keras sekali. Sampai-sampai, tikus di pojok ruangan refleks bersembunyi dan kembali ke lubang kediamannya.
"Huh!" meski kesal, Takeshi tetap menunduk dan memungut lentera yang tadi dilempar Yukiko. "Kau sudah sampai di sini. Berarti, begitu pula dengan Shitaro dan para muridnya,"
"Tentu," Yukiko melipat kedua tangan di depan dada, "mereka masih di dalam tronton,"
"Baiklah!" Takeshi menganggukan kepala, "kita mulai!"
"Tentu saja!" Yukiko menepuk pundak Takeshi. Kalau dilihat dari usia, sebenarnya Yukiko lebih muda tiga tahun dari Takeshi. Seharusnya, gadis berusia dua puluh tahun ini lebih menghargai Takeshi. Hanya saja, karena Takeshi adalah mantan anak buah almarhum ayahnya di angkatan darat Jepang, dia merasa lelaki ini juga harus mengikuti perintahnya. Apalagi, Yukiko sendiri adalah seorang anggota Angkatan Darat. Dia merasa melanjutkan saja jabatan almarhum ayahnya.
Lalu, jika Yukiko dan Takeshi adalah seorang tentara Angkatan Darat Jepang, untuk apa mereka berdua mengurusi binatu dan toko beras di Batavia? Pertanyaan inilah yang kini memenuhi pikiran Hideyoshi dan keempat saudara seperguruannya. Hujan di malam hari yang dingin tetap tak membuat kantuk menyapa Hideyoshi dan keempat saudara seperguruannya. Masih di dalam tronton, kelima pendekar pedang ini masih duduk terdiam. Seorang yang duduk paling dekat dengan udara luar, sekaligus tempat turun dari kendaraan adalah Shitaro, guru mereka.
"Hmm...., guru, sebenarnya, kita ini ada di mana dan mau dibawa ke mana?" di antara kelima muridnya, ternyata si bungsu Hina yang berani melontarkan kata.
"Kau tunggu saja sampai Yukiko kembali. Nanti dia yang akan menjelaskannya," ucap Shitaro.
Suara rintik hujan yang mendera terpal di bagian atas tronton membuat Hide tergerak untuk memandang ke atas. Sumber cahaya yang berupa lentera kecil yang menggantung membuat Hide bisa membaca huruf hiragana di terpal bagian atas.
"Banzai?" bisik Hide seraya mengerutkan dahi. Dari tadi, dia banyak menemukan kata ini. Salah satunya, ternyata kata itu terdapat di jubah hitam yang dikenakan oleh Yukiko. Hide yakin betul.
"Shitaro-sama, silahkan turun," baru saja pikiran Hide tertuju pada Yukiko, gadis itu datang mendatangi tronton. Penampilannya berubah seratus persen. Dia mengenakan yukata putih dan payung kertas berwarna merah. Rambutnya yang panjang disanggul kecil dan ditusuk dengan riasan rambut yang menyerupai sumpit, tetapi terbuat dari emas.
Shitaro menganggukan kepala. Setelah itu, Yukiko memberikan sebuah payung kertas untuk lelaki tua itu. Payung yang dibawanya hanya tiga, sehingga dua payung lagi dia lempar begitu saja ke dalam tronton.
Salah satu payung kertas itu menggelinding di kaki Hide.
"Hide, kau ingin memakai payungnya?" Tanya Yuji. "Payung yang diberikan Yukiko cuma ada dua. Satu biar Hina yang memakainya. Yang satu lagi, kau saja. Kita bertiga biar menerobos hujan," dia menganggukan kepala setelah menerima ancungan jempol dan Kazumi dan Jin.
"Ka, lian saja yang pakai payung. Biar aku yang menerobos hujan," Hide malah bergegas turun. Sekilas, penawaran Yuji untuk memakai payung terlihat sebagai niat baik untuk mendahului Hide. Akan tetapi, Hide justru merasa kesal. Dia merasa Yuji dan lainnya menganggap dirinya butuh perhatian lebih. Mungkin karena sejak meninggalkan Nara, Hide adalah orang yang kelihatan paling diam. Sebenarnya menurut Hide, sifat aslinya memang diam. Dia bertambah kesal karena meyakini bahwa tawaran Yuji barusan sebagai bentuk iba karena Hide baru kehilangan Sakurako. Di antara kelima murid yang kemarin bertarung sampai mati dengan saudara seperguruannya sendiri, memang yang memiliki hubungan paling kuat dan dalam adalah Hide dan Sakurako.
"Hide, ayo kita berdua pakai payung ini," ketika Hide berniat menerobos hujan, Hina menarik tangan kakak seperguruannya itu dan membagi payungnya.
Hide memandangi tangan kirinya yang digenggam oleh Hina. Tangan adik seperguruannya ini pasti sedingin tangannya karena sama-sama basah oleh air hujan. Anehnya, Hide malah merasakan ada sesuatu yang hangat.
"Aku tak mengharapkan kau segera tersenyum kembali," mata bulat Hina tak takut memandangi sorot mata Hide yang tajam, "hanya saja kau harus tahu bahwa saat ini bukan hanya kau seorang yang merasakan kesedihan. Kau tak bisa menebak kan air yang ada di bawah mataku ini air hujan atau air mata?"
Mulut Hide terbuka sedikit, tetapi tak ada suara yang dia keluarkan. Kedua matanya malah berkaca-kaca. Pikirnya baru menyadari bahwa sudah lama dia tak memandang mata polos adik bungsu seperguruannya ini dalam waktu yang lama. Terakhir kali adalah ketika gadis ini bersikeras ingin memandang mata Hide untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.
Pertanyaan seputar perasaan Hide pada Sakurako.
"Hide! Lihat mataku dan katakan dengan keras bahwa kau tak mencintai Sakurako! Hahaha!" sewaktu itu, Hina yang sedang mencari kayu bakar di hutan merasa kesal karena ikan yang didapat Hide tadi pagi dari usahanya memancing hanya diberikan kepada Sakurako. Dia merasa Hide yang selalu mengutamakan kepentingan Sakurako adalah wujud dari rasa sukanya.
"Aku tak suka pada Sakurako! Tolong! Jangan bikin berita bohong! Hahaha!" Hide yang tak ingin rasanya pada Sakurako diketahui oleh siapapun hanya bisa memejamkan mata. "Anak kecil! Sudah bantu Sakurako memasak saja! Hahaha!" ledeknya agar Hina kesal dan berhenti menerornya untuk jujur.
"Apa yang mau dimasak? Kau memberikan semua ikannya kepada Sakurako!" Hina malah mengelitiki pinggang Hide.
"Aduh! Aduh!" Hide sampai tersandung akar pohon. "Hahahahahaaaaaaa," dan tertawa kegelian.
"Makanya, jawab! Kau naksir Sakurako, kan? Hahaha!" Karena masih remaja tanggung, Hina selalu senang mengerjai semua kakak seperguruannya.
"Iya! Iya! Aku mengaku! Iya! Aku suka Sakurako! Hahahahaaaa!" Hide memang pendekar pedang yang paling hebat di antara kesembilan saudara seperguruannya, tetapi kelemahannya dia paling tak kuat dengan kelitikan di sekujur tubuhnya.
"Hahahaaaaa!" Hina ikut tertawa cekikikan. Dia berhenti mengelitiki kakak seperguruannya. "Hahaha! Sudah kuduga! Kau sering curi pandang ke Sakurako!"
"Diam!" Hide meletakkan jari ke bibirnya, "aku tak mau dia tahu perasaanku. Tidak boleh!"
"Kenapa? Malu?" tanya Hina masih cekikikan.
Hide menggelengkan kepala, "Bukan, kurasa dia juga sudah bisa menebak dari gelegatku,"
"Lho? Jadi apa?" tanya Hina lagi.
Sewaktu itu, Hide tak menjawab pertanyaan Hina. Dia merasa enggan membicarakan praduganya. Kalau dia pikir-pikir lagi, sebenarnya sudah sejak lama dia merasa perasaan dan kisahnya dengan Hina tak berjalan dengan baik. Selain mereka berdua adalah saudara seperguruan yang mungkin diharapkan hanya sebatas saudara, dia merasa hidupnya dan hidup Sakurako bukan seratus persen milik mereka masing-masing. Mungkin, sewaktu itu, semesta membisikkan kepada Hide bahwa ada masanya nanti, kisah mereka berdua akan berakhir di hutan itu.
"Hide? Kau melamun?" Hina menjentikkan jari di hadapan pandangan Hide.
Suara hujan kembali terdengar di kedua telinga Hide. Jiwanya yang seolah baru terbang kembali ke Nara, kini telah kembali ke Batavia, di sebelah rumah bertuliskan 'Banzai' di salah satu dindingnya. Dia menghela napas. Lagi-lagi, dia membaca kata itu.
"Tidak apa-apa," Hide menggelengkan kepala. Dia tak jujur mengatakan bahwa pandangan Hina kepadanya mengingatkannya akan masa lalu. Dia merasa tak penting disampaikan. Apalagi, Hina memiliki sifat yang mudah bersedih.
Namun, karena mengingat sifat Hina yang mudah terbawa perasaan tetapi saat ini gadis ini tak menangis, Hide jadi berpikir betapa kuatnya adik bungsu seperguruannya ini menahan kesedihan. Maka dari itu, seharusnya, Hide harus lebih kuat.
"Ayo, kita ke rumah sana," Hina menggenggam tangan Hide lebih erat. Sebenarnya dia juga sedang berusaha keras menahan air mata. Tatapan mata Hide kepadanya mengingatkannya pada sosok Sakurako. Kata wanita cantik yang mungkin kini sudah berada di surga itu, dia begitu suka menatap sorot mata Hide yang tajam, tetapi meneduhkan.
Setelah mengangguk kecil, Hide dan Hina melangkah menuju rumah kecil Yukiko. Di belakang mereka berdua, Yuji, Kazumi, dan Jin menerobos hujan tanpa satu pun ada yang memakai payung kertas. Mereka berlima pun masuk ke rumah itu.
"Selamat datang di tempat cuci binatu dan gudang beras toko kami, Banzai," Yukiko mempersilahkan kelima murid Shitaro untuk masuk ke rumah minim pencahayaan ini.
Ruang pertama yang dimasuki kelima pendekar pedang ini adalah sebuah ruangan yang penuh dengan tumpukan karung beras. Tiap karung beras tersebut tertulis kata 'Banzai'. Entah sudah berapa kali Hide membaca kata itu. Rupanya, itu adalah nama toko beras dan binatu milik Yukiko.
"Silahkan duduk," Yukiko menunjuk ubin, kode agar para tamunya duduk di bawah. Sepertinya bukan pilihan yang baik karena ubin semen itu tampak kotor.
"Cepat! Duduk!" seru Shitaro membantu Yukiko. Nyatanya, kelima muridnya memang lebih menurut kepada dirinya dibandingkan Yukiko.
Kelima murid Shitaro duduk di ubin semen. Hide sempat memandang sekeliling. Karena banyak tumpukan karung beras, dia yakin sekali bahwa ruangan ini adalah gudang penyimpanan beras. Dia masih belum mengerti mengapa dirinya dan lainnya berada di sini. Dia adalah seorang pendekar pedang yang tak ada hubungannya dengan toko beras.
Dalam keheningan, Hide mendengar helaan napas Jin yang terdengar berat. Kelihatannya, lelaki itu mulai tak nyaman. Hide tahu persis bahwa saudara seperguruannya ini akan mulai takut jika sudah tak bisa membaca situasi.
"Seharusnya, aku sudah tak berada di sini," Shitaro memulai perbincangan. Dia berdiri di hadapan kelima muridnya yang duduk. Tak ada satu pun dari mereka yang memandang mata Shitaro. Mereka semua lebih memilih menunduk. "Tapi, berhubung kalian semua bodoh, aku harus mengarahkan kalian terlebih dahulu sebelum meninggalkan kalian,"
"Meninggalkan kami?" Hina mengangkat kepala.
"Jangan memotong pembicaraanku!" Shitaro refleks mengeluarkan pedangnya. Ujung dari pedang itu hampir menyentuh wajah polos Hina.
"Ah!" seru Jin refleks turut mengangkat kepala. "Maafkan kami!" setelah itu, dia kembali menundukkan kepala.
Gemuruh petir masih terdengar dari luar. Hujan belum juga berhenti. Angin sepertinya juga cukup kencang. Hide melihat dari jendela, ranting dari pepohonan berayun-ayun.
"Seperti yang sudah aku katakan, kalian berlima terpilih untuk menjadi pasukan di Batavia!" suara Shitaro begitu keras dan tegas, mengalahkan derasnya hujan, "Tugasku hanya sampai di sini! Selanjutnya, kalian adalah anak buah dari Yukiko. Dia yang akan bertanggung jawab atas kalian selama bertugas di Batavia,"
"Gu...ru akan meninggalkan kami?" tanya Jin masih dalam keadaan menunduk.
"Aku bukan gurumu!" timpal Shitaro. "Aku hanya diperintahkan untuk membesarkan beberapa anak yatim piatu dan melatihnya sebagai petarung hebat!" perlahan, dia membukukkan badan, "tugasku pura-pura sebagai guru kalian selama ini selesai,"
"Maksud guru?" meski tadi sempat tergores pedang, Hina tetap memberanikan diri mendongakkan kepala.
"Mengapa masih memanggilnya dengan sebutan guru?! Dia itu bukan gurumu!" Yukiko angkat bicara. Suaranya menggema. "Coba kalian pikir baik-baik! Mana ada guru yang menyuruh kalian saling membunuh?! Dia hanya petarung yang ditugaskan untuk membesarkan kalian! Kalian ditantang mentalnya agar tak menjadi manusia lemah yang dikuasai perasaan! Makanya, kalian diperintahkan untuk memilih yang paling dekat dengan kalian dan bertarung sampai mati!"
Hide masih menundukkan kepala. Tangannya yang dikepalkan di atas lututnya merenggut kain celana yang dikenakannya. Dia merasa benar-benar marah saat ini. Sayangnya, amarahnya tak berani dia keluarkan. Dia sendiri tak punya waktu untuk merenungkan suasana hatinya saat ini.
"Biarkan aku melanjutkan kata-katamu," Yukiko melirik Shitaro. Lelaki tua itu menganggukan kepala. "sekarang, kalian berlima sudah sampai sini. Lakukan tugas kalian selanjutnya!" Yukiko membuka selembar kertas. Suaranya berubah mengecil, "lupakan tugas kalian sebagai pendekar pedang! Mulai sekarang, kalian semua akan membantuku untuk menjadi pelayan toko dan binatu,"
"A....ku tak bisa mencuci," Lagi-lagi, Jin menimpali dengan wajah masih menunduk.
"Aku belum selesai bicara," Yukiko berjalan pelan mendekati Jin. Sampai-sampai, lelaki itu bisa melihat kedua kaki Yukiko yang berdiri di hadapannya. Jin yang masih menunduk hanya bisa menelan ludah. "kalian bukan menjadi pelayan toko dan binatu sungguhan, tetapi kalian ditugaskan untuk menjadi mata-mata yang mengawasi gerak-gerik pemerintah Hindia Belanda maupun masyarakat pribumi. Karena kalian berlima, kubagi menjadi dua kelompok. Dua orang yang dari tadi banyak bicara," dia melirik Jin dan Hina, "kelihatannya kalian cocok membantuku di toko beras. Tiga orang lainnya, bantu kawanku yang bernama Takeshi untuk urusan binatu. Jika ada barang yang tertinggal di saku pakaian mereka, harap diperiksa! Kita berharap bahwa kertas itu adalah dokumen yang bisa memberikan info penting,"
"Kami tak mengerti bagaimana menjadi mata-mata. Kami hanya petarung," Jin kembali berkata. Ada yang aneh dengan dia yang hari ini. Dia kelewat berani.
"Itu urusan nanti! Aku yang akan mengajarkan kalian bagaimana menjadi mata-mata!" Di belakang Yukiko, Takeshi sudah berdiri seraya menenteng lima pedang. Kelima pedang itu bukanlah pedang kelima petarung pedang ini. Semua senjata mereka ditinggal di tronton. Mungkin karena sekarang tak berpedang, mereka berlima kini tak bisa berbuat banyak. "Tangkap pedang ini!" kemudian, pemuda ini melempar kelima pedang secara satu per satu kepada kelima petarung pedang ini.
"TEP!" refleks, kelima petarung menangkap pedang pemberian Takeshi.
"Kuulangi sekali lagi," kini Takeshi yang menguasai percakapan, "Hinagi Ode dan Jin Matsunaga, kalian berdua menjadi pelayan toko kelontong dan toko beras yang melayani dan menjalin hubungan baik dengan para pembeli pribumi maupun Eropa yang berbelanja di toko. Tebarkan senyum ramah dan percakapan basa-basi yang sebenarnya menggali info. Lalu, Hideyoshi Sanada, Yuji Fujiyama, dan Kazumi Tsukushi, kalian menjadi tukang cuci di binatu dan mengecek persediaan karung beras di gudang ini. Untuk binatu, periksa semua kantong, apalagi kantong seragam tentara Hindia Belanda. Kalau ada dokumen penting, sebelum dikembalikan, pastikan semuanya sudah ditulis. Namun, bisa juga ujung-ujungnya, kalian kadang-kadang di toko atau binatu. Mengerti?"
"Untuk kertas bertuliskan lima sate yang kau temukan di kantong tentara Belanda saja, sudah memberikan informasi," Yukiko menyeletuk.
Takeshi sadar jika para murid Shitaro saling beradu pandang dalam kebingungan. Dia langsung saja berkata, "Berarti, malam itu ada lima orang tentara yang bertugas,"
"Sebentar! Sebenarnya, kita mau apa dengan penduduk Batavia? Menolong mereka dari jajahan bangsa Eropa?" Kini Yuji memberanikan diri untuk bertanya.
"Heh," Takeshi terkekeh, "apa kau bilang? Menolong? Kami tak sebaik itu,"
"Menjajah juga?" Kazumi berani menyimpulkan, "Maksudku, suatu hari nanti, kita akan menggantikan posisi bangsa Eropa di tanah Batavia?"
"Tidak juga," Takeshi masih menggelengkan kepala.
"Jadi, apa?" Kazumi terus mengejar jawaban pasti.
"Kami adalah saudara tua para penduduk asli Batavia," Shitaro mencoba menjelaskan, "Nantinya, kita bukan menjajah, tetapi, melatih para penduduknya untuk lebih kuat dan tak lagi diinjak bangsa Eropa!" lanjutnya berapi-api.
"Heh, melatih agar lebih kuat?" suara Hide membuat semua orang melirik ke arahnya, "Mengapa aku jadi ingin tertawa?"
Shitaro mengernyitkan dahi.
"Mengapa kau jadi ingin tertawa?" Takeshi memandang Hide dari atas ke bawah. Dia merasakan suatu firasat tak enak.
"Melatih lebih kuat, ya?" perlahan, Hide berdiri dari duduknya. Dia genggam pedang pemberian Takeshi dengan kedua tangannya. "Setelah lebih kuat, lalu mau apa? Mau diadu untuk saling bertarung sampai mati?"
"Kau masih dendam padaku?" Shitaro melirik Hide.
Hide berteriak, "Katanya kau bukan guru, kan? Buat apa aku menahan dendamku padamu? Hiyaaaaat!" dia mengeluarkan pedangnya.
"AAAH!" Hina yang duduk di samping Hide agak terkejut dengan sikap kakak seperguruannya itu.
"TIIIIING!" bilah pedang Hide berdenting karena bersinggungan dengan pedang Shitaro. Lelaki tua ini refleks mengeluarkan pedangnya. Karena gerakan Hide cepat, lelaki tua ini baru mengeluarkan setengah pedang dari sarungnya. Posisi pedangnya berdiri tegak.
Shitaro berusaha keras menahan kekuatan pedang Hide. Tiba-tiba, pikirannya berputar. Dia merasa bahwa dendam Hide padanya hanya mengulur-ngulur rencana bangsanya untuk bergerak sebagai mata-mata. Kalaupun malam ini dia bisa mengalahkan Hide, tak ada cara lain selain membunuhnya. Akan tetapi, Shitaro tak bisa melakukan itu. Dia tahu pasti kemampuan Hide. Dia merasa bahwa Hide dapat berperan besar dalam perencanaan mata-mata ini.
"Guru! Hide! Huwaaaaa," tangis Hina melihat kakak seperguruannya bertarung dengan Shitaro.
"Dia bukan gurumu!" Teriak Yukiko seraya mengeluarkan pedang pula.
Mendengar tangis Hina dan melihat Yukiko menarik pedangnya, Shitaro bertambah kesal dengan dirinya sendiri. Dia merasa sudah mengatakan yang sejujurnya, tetapi Hina masih memanggilnya dengan sebutan 'guru'.
"AAAAAH!" Hide yang berteriak masih terus berusaha mendorong pedangnya, menghancurkan posisi pertahanan Shitaro.
"Dzing!" di sisi kanan, Shitaro mendengar bunyi pedang yang baru dikeluarkan. Yukiko dan Takeshi rupanya sedang berhadapan dengan keempat muridnya.
Merasa kekacauan ini semakin memperlambat rencana panjang mengenai mata-mata, Shitaro seketika mempunyai ide.
"DUAG!" refleks, Shitaro mendorong balik Hide, sehingga petarung muda itu terbentur tumpukan karung beras.
"Hide, hilangkan dendammu! Sudah kubilang berkali-kali, intuisimu jadi tak tajam kalau kau bertarung dengan dendam!" ujung pedang Shitaro kini berada di dekat wajah Hide. "Aku tak menyesal dan tak akan minta maaf atas apa yang sudah kulakukan kepada kalian berlima! Memang harus begitu," ucap Shitaro, "tapi, untuk apa meyakinkan orang yang hatinya sudah terbungkus dendam?" seketika, dia membalikkan pedangnya. "Selamat bertugas, wahai kelima samurai Batavia!"
"ZLEP!" dalam hitungan detik, Shitaro menusukkan perutnya sendiri dengan pedang yang digenggamnya.
"Hi...langkan... dendammu.... Karena itu... menumpulkan intuisimu," seperti Bushido yang mampu berdiri tegap meski tubuhnya sudah tertusuk, Shitaro pun demikian.
"HAH?!" Hide terkejut bukan main. Di hadapan matanya, Shitaro merobek perutnya sendiri. Memang beberapa detik mampu berdiri tegap. Akan tetapi, setelah itu,
jatuh!
***
Kubangan air hujan terciprat dan membasahi kaki telanjang penuh luka seorang pemuda asal Joseon. Urat-urat tangannya menarik tali dari karung beras yang dipikulnya. Punggungnya sebenarnya sudah goyah menahan beban. Kerongkongannya sudah kering menghamba air. Jika ada kesempatan untuk mengulang hidup, dia memohon kepada Tuhan agar diberikan cerita hidup lain. Bahkan untuk menjalani hidupnya sendiri, dia sudah tak memiliki kuasa. Tanah Batavia yang kini menjadi tempat tinggal kuli pengangkut barang dari pelabuhan ini tak dapat bertindak apa-apa. Kota strategis ini pun sedang kehilangan jati dirinya. Orang-orang pribumi boleh membanggakan diri karena dilahirkan di sini, tetapi setelah itu apa? Nasib hidup mereka sama saja seperti kuli pengangkut beras ini. Mereka tak dapat merdeka di tanahnya sendiri. Tapi setidaknya, orang-orang pribumi Hindia Belanda itu masih menjalani kesehariannya di tanah kelahirannya, Jika kuli pengangkut barang itu memberikan kesempatan kepada hatinya untuk mera
Sekejap, kegelapan menghantam penglihatan Shitaro. Napas terakhirnya terhembus beberapa detik lalu. Angka sembilan puluh rupanya terlalu panjang baginya untuk melakoni hidup, atau menggenapkannya menjadi seratus. Dengan tergeletak raganya dalam keadaan perut robek, harakirinya terbukti berhasil."GURU! GURU!" Yuji, Kazumi, Jin, dan Hina menghampiri jasad mantan gurunya. Di belakang mereka berempat, Hideyoshi masih berdiri kaku dengan kedua mata terbelalak dan mulut terbuka. Dia tak menyangka semenit lalu adalah dialog terakhirnya dengan Shitaro. Diibaratkan mimpi pun, rasanya begitu cepat. Sungguh membuatnya jadi tak terlalu berharap banyak dengan sang waktu. Detik ini dia bisa menjadi kawanmu yang membagikan berita baik lagi menyenangkan, tetapi di detik lainnya, dia bisa menjadi musuh besarmu yang membagikan berita buruk menyedihkan."A....ku tak menyuruhnya mati. Aku tak menyuruhnya mati. Mengapa dia harus membunuh dirinya begitu? A....," pada akhirnya, Hide dapat mengeluarkan suara
“Luka adalah sumber kekuatan seorang ksatria, tetapi racun untuk seorang pecundang,” Yukiko mengumpulkan kelima murid Shitaro di halaman belakang. Mereka semua bersiap untuk mengunjungi rumah mantan istri Shitaro, sekaligus ibu kandung dari Sakurako. “Siapa yang pernah mendengar kata-kata itu?” Hide ingin mengangkat tangan, tetapi benaknya masih tak fokus karena belum seluruhnya memercayai bahwa Sakurako adalah anak dari Shitaro. “Kau dengar dari siapa?” timpal Takeshi. “Shitaro kepada istrinya ketika menerima berita bahwa anaknya lahir,” jawab Yukiko. “Siapa yang dimaksud Shitaro sebagai ksatria? Siapa sebagai pecundang itu?” Yukiko mengangkat bahu, “Menurutku, dua-duanya dia,” Langit hitam belum juga memunculkan corakan fajar. Malam hari ini betul-betul panjang. Kelima murid Shitaro sampai tak terlalu bersemangat menjalaninya.Tak ada malam yang menyenangkan selain berkumpul bersama para saudara seperguruan di kaki gunung Nara. *** Nara 1928 “Bakar dua ikan yang kubawa! Semua
"Ayame-sama adalah mantan seorang Karayuki-san pemilik toko kelontong Banzai di Batavia. Secara tidak langsung, Ayame-sama adalah majikan kalian. Jadi, tolong hormat dan jaga sikap kalian!" Yukiko duduk di samping Takeshi yang mengemudikan mobil. Dia memberikan arahan kepada kelima anak buah barunya yang duduk bersila di belakang bersama beberapa karung beras. Volume suaranya terkadang kalah dengan deru mesin mobil."Apa sebenarnya tujuan manusia itu dilahirkan di muka bumi ini?" Hide mendengar Yuji berbicara sendiri. Tatapan matanya kosong. Badannya tergoncang-goncang ke kiri dan ke kanan, mengikuti gerakan mobil melaju.Mendengar Yuji mengatakan hal aneh, Hide hanya mampu mengernyitkan dahi. Di sisi lain, dia tahu bahwa jika saudara seperguruannya itu mulai berfilosofi yang tidak-tidak, suasana hatinya sebenarnya sedang kalut."Yu...ji," Kazumi memejamkan mata, "bukan saatnya," segala sesuatu yang terjadi dengan begitu cepat di sekitarnya membuatnya merasa bukan saatnya mempertanyaka
Bayangan api dari lilin di atas meja menari-nari di bola mata Ayame yang menyorot tajam. Hide baru sadar bahwa dia pernah memandang lama pandangan mata model begitu di hari-hari lalunya. Sakurako memang tak hanya mewarisi sifat keras kepala kedua orang tuanya, tetapi juga sorot mata tajamnya yang mengandung seribu arti. "Apa kemampuanmu?" Rupanya Ayame masih menunggu jawaban Hina untuk kedelapan kalinya. Nada bicara, gestur badan, dan volume suaranya serupa seperti pada pertanyaan pertama. Tak ada satu penekanan pun. Tak ingin menerima pertanyaan sama untuk kesembilan kalinya, Hina tergerak untuk membuka mulut, "Kemampuanku," dia menoleh Hide. Kakak seperguruannya itu memberikan anggukan sedikit, petunjuk agar tak perlu takut dengan apapun. "Kemampuanku mungkin seperti yang dikatakan oleh Hide," "Apa yang dikatakan Hide?" potong Yukiko, mengantisipasi pertanyaan sama dari Ayame. "A," Hina menurunkan pandangnya sedikit. Ketakutan sungguh menguasai batin, "aku penyanyang saudara-saud
Roda sepeda ontel berhenti berputar. Pemiliknya baru saja menarik rem. Karena agak mendadak, si pengendara sepeda sampai hampir terjatuh dari kendaraannya sendiri. “TIN! TIN! TIN!” di belakang sepeda ontel itu, sebuah mobil VW kodok cokelat tua ikut mengerem mendadak. Kalau saja si pengemudi tak sigap menginjak rem, mungkin si pengendara sepeda ontel di depannya bisa mental ke depan. Suasana pagi kota Batavia sebenarnya tak terlalu riuh. Beberapa polisi pengatur lalu lintas tak pernah terlalu pusing menertibkan para pengguna jalan. Trem yang lewat membelah jalan besar juga jarang bersinggungan dengan pejalan kaki atau pengendara mobil. Belum lagi penjual jamu gendong, penjaja makanan, atau pemusik jalanan. Mulai dari pribumi, warga Asia, bahkan Eropa berdampingan hidup di ibukota Hindia Belanda ini. Akan tetapi, jangan tanya para penduduk luar Batavia yang sering berperang melawan pasukan Hindia Belanda! Mereka memandang Batavia justru sebagai kota yang tak dapat melawan dominasi Hin
“BAHASA BELANDA ITU SUSAH SEKALI!” seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana panjang hitam membatalkan diri untuk menggoreskan pena di atas kertas. Kertas kekuningan itu malah dibuangnya ke ubin tegel kedai kopi milik keluarga kawan satu sekolahnya itu. Di tempat santai inilah, pemuda bernama Fadjar ini sering belajar dan menghafal pelajaran. Kesehariannya memang tak jauh dari meraih ilmu. Maklum, sebagai seorang mahasiswa, kegiatan yang dilakukan memang berkutat dengan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan. Kedai kopi milik keluarga keturunan ningrat Jawa ini jarang sekali sepi pengunjung. Mulai dari orang Eropa berkulit putih, Asia Timur, sampai pribumi kelas menengah ke atas banyak saling berjumpa, berbincang, dan menyedu kopi bersama di tempat ini. Di atas meja dekat pintu masuk kedai, terdapat selebaran media cetak harian yang dapat dibaca para pengunjung sambil menikmati kopi. Tak jarang, pembicaraan pada meja-meja di kedai ini seputar berita hari ini yang tertulis di selebar
Tok Tok Tok! Seseorang mengetuk pintu. Belum saja para murid Shitaro menanggapi ketukan, rupanya Yukiko dan Takeshi sudah menghampiri para murid Shitaro di gudang halaman belakang. Tampaknya ada sesuatu penting yang ingin dibicarakan. "Tugas pertama akan segera diberikan," tak ada basa-basi, Yukiko langsung saja sampaikan kepada kelima murid Shitaro, "kurasa kalian sudah rindu menebaskan pedang. Oleh karena itu, kuminta kalian tebaskanlah ke orang-orang Belanda itu. Waktunya bisa tengah malam seperti sekarang." "Singkat kata, bunuh orang-orang Belanda itu di tengah malam!" Takeshi mencoba melanjutkan. “Maksudmu? Membunuh orang-orang Belanda di tengah malam?” Kazumi mengulang kalimat yang dia dengar dengan nada bicara penuh keheranan. “Sebenarnya, kau suruh kami datang ke Batavia ini sebagai pelayan toko atau pembunuh berdarah dingin?” tambah Jin seraya mengernyitkan dahi. WUS! Sekelabat, ujung bilah katana sudah menyentuh kulit leher Jin. Untungnya, hanya menyentuh, belum, dan j
Hideyoshi Sanada dan kawan-kawan…. Dr. Fadjar Wongsotjitro dan kawan-kawan… Kang Jang Hyuk…. Mereka semua memang berdiri di titik-titik yang berbeda, tetapi sebenarnya apa yang mereka perjuangkan itu sama, yaitu…. Suatu hal yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. Sampai saat ini, entah kisah apa yang menyebar mengenai kisah para mata-mata Jepang di tanah Batavia sebelum kedatangan para tentaranya. Eksistensi mereka pun masih dipertanyakan. Satu hal yang pasti, keberadaan toko-toko Jepang di tanah Batavia zaman Hindia Belanda itu benar adanya. Caranya menarik hati pelanggan pun luar biasa hebatnya. Kelima murid Shitaro Watanabe bisa jadi memang mata-mata, bisa jadi memang pendekar pedang, atau bisa jadi memang pelayan toko.
Kang Jang Hyuk tak pernah ragu dengan penglihatannya. Deretan tentara yang berdiri di bawah sana adalah para tentara Nippon. Mereka nyata ada di tanah Batavia. Mereka berseragam lengkap dan membawa senjata. Mimpi buruk itu akhirnya datang juga. Arak-arakan para tentara Nippon mengepung kantor pemerintah Hindia Belanda. Sudah tak ada lagi harapan jika memang niat mereka adalah menjajah. “A….apa mau mereka datang ke sini?” asisten gubernur jenderal Hindia Belanda menoleh ke arah Jang Hyuk. “Kalau sudah begini, kau baru ketar-ketir mencari bantuanku!” Jang Hyuk hanyalah seorang manusia biasa. Dia akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh kawan seperjuangannya. Akan tetapi, jika dia dikhianati, dia tak segan untuk berbalik memojokkan pihak yang awalnya dia kira rekan. “Mati saja kalian di tangan Nippon!” refleks, Jang Hyuk meraih dokumen-dokumen mengenai Lima Samurai Batavia yang tergeletak di atas meja, yang menurut pemerintah Hindia Belanda tidak ada artinya. Jang Hyuk benar-benar saki
Aku tak sempat bermesraan dengan kesedihan. Dunia terasa berputar jauh lebih cepat selepas kau pergi. Berjalan pun terasa berlari. Aku terengah-engah. Sedangkan berlari? Aku merasa kehilangan dua kaki. Bukan berarti aku tak berduka. Akan tetapi, air mata ini tak punya waktu untuk menetes. Angin sudah mengeringkannya sebelum tanganku menyekanya. Waktu sudah menggerus silam sebelum benak berkompromi pada hati untuk mengenang. Mungkin ini cara semesta untuk membuatku lupa akan semua kekosongan ini. Aku yang dulu sungguh berbeda dengan aku yang sekarang. Aku yang dulu begitu dekat denganmu, sekarang sendirian. Apakah lebih baik jika aku yang dulu dan aku yang sekarang itu sama? Yaitu, sama-sama tak merasakan keberadaanmu. Kalau sudah begitu, air mata pun tak perlu repot-repot menyalahi angin yang mengeringkannya. Namun, jika memang seperti itu, berarti seumur hidup, aku tak tahu bagaimana rasanya dicintai dan mencintai. Lebih baik sempat daripada tidak sama sekali. Aku tak
Patah hati di musim semi, saat bunga-bunga Sakura merah jambu bermekaran, saat langit berwarna biru cerah dengan goresan pelangi yang ceria. Hanya angin sepoi-sepoi yang membelai lembut rambutku dan mengeringkan air mata, tetapi dia jugalah yang menjatuhkan kelopak sakura ke dalam secangkir teh hijau yang hendak kuseruput. Aku mencoba untuk tak mengutuk siapa pun. Biarlah semua rasa sakit ini kutelan di tengah dunia yang sedang penuh suka cita. Aku tak mencoba menutupi, tetapi mereka memang sedang ingin merayakan kesenangan saja. Dari kejauhan, kulihat seorang gadis mencoba menangkap beberapa sakura dari bawah pohon. Punggung tangan mungilnya katanya kedinginan, maka dari itu ada tangan kekasihnya yang menggenggamnya. Tangan yang lebih besar dan hangat. Tangan yang membuatku teringat akan genggaman erat di musim gugur lalu. Jatuh cinta pada musim gugur, saat daun-daun kering berguguran, saat ranting-ranting pohon tanpa daun mengukuhkan kesepian yang tak kumengerti dan asing rasan
"Ayame-sama, para murid Shitaro sudah sampai di ruang makan,” suara Yukiko terdengar lirih di telinga Ayame. Meski dia sedang membuka mata, tetapi apa yang dilihatnya sedari tadi seolah bukanlah apa yang ada di sekelilingnya. Pikirannya sejak tadi mengendap di perjalanan hidupnya ketika pertama kali menginjak tanah Batavia. Bukanlah suatu hal yang selalu menyenangkan jika dikenang. Peristiwa awal yang mengakibatkan dirinya berada di Batavia pun sebenarnya adalah luka yang begitu dalam. Kedua mata Ayame masih tertuju pada cermin yang ada di hadapannya. Dari pantulan cermin, dia bisa melihat tempat tidur berkelambu yang selama ini menemaninya mengarungi malam demi malam di Batavia. Tentu saja, dia tidak bisa tidur. Langit malam Batavia adalah saksi bisu dari air mata, keringat, serta keresahan yang dialami Ayame. Dia bernapas, tetapi terasa tak ada udara yang masuk dan menyegarkan pikiran dan hatinya. Dia baru menyadari bahwa sudah lama sekali dia bernapas dengan cara seperti ini. Bera
Sudah sejak tahun 1912, pemerintah Hindia Belanda melarang adanya PSK atau Pekerja Seks Komersil. Kebijakan ini sendiri dilakukan semenjak adanya konvensi dunia antiperdagangan perempuan dan anak. Sebenarnya, Jepang juga menjadi salah satu negara yang menandatanganinya. Oleh karena itulah, Ayame tak dapat meneruskan profesinya sebagai Geisha di Hindia Belanda. Berbeda dengan kebudayaan negeri Sakura yang memang mencetak Geisha tak hanya sekedar perempuan penghibur, di luar negeri, salah satunya Hindia Belanda, citra dari Geisha tentu saja memang identik dengan prostitusi. Hidup di Batavia adalah perjuangan bagi seorang Ayame Uchida. Dengan kemampuan menari, mengenakan kimono, menjahit kimono, dan memimpin upacara minum teh yang sebenarnya memang diajarkan oleh semua geisha, wanita ini menjadikan semuanya sebagai modal untuk mencari sesuap nasi. Hasilnya tak dapat dikatakan melimpah, tetapi untungnya saja cukup. “Shi….taro Watanabe?” Ayame tentu saja tak dapat menyembunyikan ekspresi
"Arigatou….. Arigatou….,” entah sudah berapa kali Ayame melontarkan ucapan terima kasih hari ini. Selama berada di Batavia, terasa kebahagiaan selalu hadir kepadanya, menghinggapi jiwanya, penawar luka di hatinya. Meski apa yang telah negaranya lakukan kepadanya di hari lalu masih berbekas di benak, keberuntungan-keberuntungan yang didapat Ayame selama di Batavia membuatnya tak terlalu memikirkan hal-hal tak enak itu. “Nona Ayame, kenalan saya ada yang ingin diperkenalkan juga dengan upacara minum teh minggu ini. Apakah nona dapat ke rumahnya di Weltevreden juga?” majikan Ayame yang memiliki bar di pinggir Batavia kembali menawarkan pekerjaan bagi Ayame. Pundi-pundi siap menyambut gadis itu. “Arigatou,” Ayame menganggukkan kepala. Ada untungnya juga dia menjadi geisha di masa lalu. Dia jadi turut mempelajari bahasa Belanda. Dia paham segala hal yang dibicarakan oleh majikannya kepadanya. Walaupun, Ayame sendiri baru bisa menjawabnya dengan Bahasa Jepang. Itulah alasan Ayame tak langs
Buat apa berhasil menjadi fantasi pikiran ribuan lelaki, tetapi memiliki kehidupan sendiri bagaikan fantasi termahal yang kelihatannya selamanya tak akan pernah terjadi. Ayame Uchida hanya bisa memperhatikan refleksi wajahnya di pantulan cermin riasnya. Kulitnya yang putih dipoles dengan bedak cair yang jauh lebih putih. Bibirnya yang ranum memerah juga dipoles dengan lipstik yang jauh lebih merah bergelora. Alis bulan sabitnya semakin ditebalkan dengan arsiran pensil hitam yang semakin gelap. “Halus dan berkilaunya rambut panjang Nona Ayame. Di kota ini, rasanya aku belum pernah menyisir rambut pelangganku seindah ini,” perias membelai lembut rambut panjang Ayame. “Te…rima kasih,” Ayame menganggukan kepala dengan senyum yang meragu. Dia sendiri menangkap keraguan di mimiknya sendiri pada refleksi cermin. Sembari itu, dia perhatikan kuku-kuku lentik perias menyisipkan jepit rambut bunga Sakura. “Sungguh cantik seperti biasa,” Nyonya pemilik penginapan termahal di kota Kyoto datang
Cinta…. Ayame Uchida tak pernah merasakannya sepanjang hidup. Bicara soal hidup, memangnya, apa sebenarnya hidup itu? Berkali-kali, dalam beberapa lipatan detik, pertanyaan yang sama memenuhi pikiran. Ayame berusaha mencari jawaban mengenai definisi dari kehidupan itu sendiri. Sampai di suatu titik, dia menyadari bahwa dia memang tak memilikinya. Sangat menyedihkan! Semakin sering Ayame memikirkan filosofi dan definisi dari kehidupan, maka akan semakin sering pula dirinya menyadari bahwa kehidupan yang dijalaninya bukanlah miliknya secara utuh. Ayame hanya mengetahui caranya bernapas, meyakini adanya peredaran darah dalam jengkal raganya, dan merasakan adanya detakan jantung. Sisanya berupa gerak tangan, langkah, senyuman, bahkan suasana hati tak bisa dia tunjukkan secara jujur. Dia tak dapat menunjukkan apa adanya kepada dunia yang luas ini. Mungkin saking luasnya, larangan demi larangan datang silih berganti. “Jika anda tak pernah merasakan cinta dalam kehidupan, apa arti Sak