Nara, Jepang 1939 "Berpasanganlah dua-dua di antara kalian bersepuluh! Sehingga ada lima kelompok di antara kalian!" Pertengahan abad ke-20, di bawah kaki gunung pedalaman Nara, Jepang, seorang lelaki tua memerintahkan kesepuluh murid berpedangnya untuk berpasangan dua-dua. Kesepuluh murid yang dapat dikatakan sebagai pendekar pedang, atau beberapa abad silam disebut sebagai Samurai itu segera memahami maksud sang guru. Lelaki berambut panjang penuh uban yang sudah dianggap sebagai ayah mereka bersepuluh ini pasti berteriak begini lantaran menyuruh kesepuluh muridnya untuk berburu di hutan. Seperti biasa, jika senja sudah mewarnai langit, kesepuluh anak muda yatim piatu itu harus berebut bahan pangan bersama binatang-binatang buas di semak belukar. Mereka yang senang bertarung demi merebutkan mangsa dengan para binatang itu memang lebih memilih malam untuk beraksi. Sebaliknya, sekitar pagi atau siang hari, mereka biasanya mencari kegiatan yang tak terlalu memacu adrenalin, seperti be
Angin berhembus ke arah barat, tertarik dengan pesona matahari yang mengarsir langit atas nama senja. Sungguh indah alam sekitar saat ini. Dedaunan kering kekuningan yang berjatuhan dan mendarat ke tanah pun menari-nari dengan sebelumnya dibawa angin. Semuanya bersatu padu mengikuti instruksi alam. Sebagian besar manusia percaya bahwa semua ini ada yang menciptakan. Semua ini ada yang menggerakan. Masalahnya adalah, pergerakannya bisa membawa ke arah baik atau bencana alam sekalian. Sudah lebih dari sepuluh tahun, sang guru berkawan dengan pegunungan, hutan, dan semesta sekitarnya. Dia mengumpulkan sepuluh anak kecil yatim piatu dari berbagai tempat penampungan. Dia latih semuanya agar menjadi pendekar pedang yang hebat. Tak hanya menciptakan hubungan baik antara guru dan murid, hubungan persaudaraan dan kekeluargaan menjadikannya seperti seorang ayah dengan sepuluh anak. Keputusan untuk memilih sepuluh anak kecil itu pun bukanlah perkara acak. Sang guru bisa sampai mengh
Lahir dan Mati dalam keadaan sendirian. Itulah makhluk hidup. Salah satunya adalah manusia. Lantas, jika sudah tahu seperti itu, mengapa kau biarkan diri ini ketakutan? Apa yang kau takutkan? Toh ketika hendak dilahirkan, kau juga sudah sendiri dan gelap dalam rahim. Begitu pula dengan kematian. Kesendirian dan kegelapan akan menanti lagi. Tanpa siapapun. Kelahiran dan Kematian, jangan lupakan apa yang ada di antaranya. Yaitu… Penerangan dan kebersamaan. Memang tak kekal, tetapi patut disyukuri kehadirannya. Lalu, beranggapanlah bahwa semua itu hanyalah pengantar menuju akhir. Caranya saja yang berbeda-beda. Kutahu bukan keinginanmu. Namun, Tak pernah terduga aku bisa saja berakhir di tanganmu. Tangan yang justru kugenggam dan kuanggap sebagai penerangan dan kebersamaan. Belum sempat benak dan hati ini mencerna, rerumputan dan dedaunan itu sudah dilumuri merah. Begitu pula dengan tanganku. *** Kreik! Derit pintu gubuk menyapa pendengaran. Tentu saja menghasut ked
Tahukah kamu bahwa ketika Iblis jatuh cinta, dia justru akan lebih memilih untuk memberikan hatinya pada Malaikat? Iblis enggan memilih sesamanya. Iblis sendiri punya alasan atas rasanya itu. Iblis lelah dengan prasangka yang terus dia ceritakan pada matahari dan bulan. Iblis menyerah pada pengkhianatan yang menyamar di balik gelapnya langit malam. Iblis was-was oleh kekejaman yang bersarang di setiap tanduk semua Iblis. Iblis merasa kalah karena kejahatan yang dia banggakan adalah kuku panjang nan runcingnya sendiri. Iblis bersimpuh di depan Malaikat. Iblis meminta kasih yang menyebar dari ujung kepala hingga ujung kaki Malaikat. Iblis membutuhkan ketulusan yang selalu Malaikat pamerkan lewat senyumannya pada semesta. Iblis mempercayakan raga kuatnya untuk diselimuti kedua sayap lembut Malaikat. Iblis merindukan dekapan Malaikat yang meneduhkan. Iblis berpikir, kacau pasti dirinya jika Malaikat menolak cintanya. Hingga pada akhirnya, Malaikat betul-betul menolak Iblis. T
Pelabuhan Tandjoeng Priok, Batavia, Juni 1940 Kapal uap 'KITANO MARU' buatan Mitsubishi cabang prefektur Nagasaki mendarat di Pelabuhan Tandjoeng Priok, Batavia. Asap abu-abunya menguap tak terlihat di langit hitam tak berbintang. Burung-burung merasa terusir, tak ada satu pun yang mengepakkan sayap mendekati kendaraan laut berdinding baja itu. "BERBARIS YANG RAPI! BERBARIS YANG RAPIIIII!" Dengan menggunakan Bahasa Jepang, seorang tentara Angkatan Laut Jepang berteriak memandu para saudara sebangsanya untuk menaiki kapal. Selama bertahun-tahun, mereka yang terdiri dari pedagang, PSK, seniman, dan penduduk biasa menjadi penghuni Batavia. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, para warga Jepang hidup damai sentosa di kota multikultural ini. "INI ADALAH KAPAL TERAKHIR! PASTIKAN SEMUA NAIK!" Sayangnya, semua berubah mulai pertengahan tahun 1940 ini. Jepang yang berencana untuk melakukan sesuatu pada sekutu sepakat untuk membawa semua warganya keluar dari tanah Hindia Belanda. Mereka tak
Kubangan air hujan terciprat dan membasahi kaki telanjang penuh luka seorang pemuda asal Joseon. Urat-urat tangannya menarik tali dari karung beras yang dipikulnya. Punggungnya sebenarnya sudah goyah menahan beban. Kerongkongannya sudah kering menghamba air. Jika ada kesempatan untuk mengulang hidup, dia memohon kepada Tuhan agar diberikan cerita hidup lain. Bahkan untuk menjalani hidupnya sendiri, dia sudah tak memiliki kuasa. Tanah Batavia yang kini menjadi tempat tinggal kuli pengangkut barang dari pelabuhan ini tak dapat bertindak apa-apa. Kota strategis ini pun sedang kehilangan jati dirinya. Orang-orang pribumi boleh membanggakan diri karena dilahirkan di sini, tetapi setelah itu apa? Nasib hidup mereka sama saja seperti kuli pengangkut beras ini. Mereka tak dapat merdeka di tanahnya sendiri. Tapi setidaknya, orang-orang pribumi Hindia Belanda itu masih menjalani kesehariannya di tanah kelahirannya, Jika kuli pengangkut barang itu memberikan kesempatan kepada hatinya untuk mera
Sekejap, kegelapan menghantam penglihatan Shitaro. Napas terakhirnya terhembus beberapa detik lalu. Angka sembilan puluh rupanya terlalu panjang baginya untuk melakoni hidup, atau menggenapkannya menjadi seratus. Dengan tergeletak raganya dalam keadaan perut robek, harakirinya terbukti berhasil."GURU! GURU!" Yuji, Kazumi, Jin, dan Hina menghampiri jasad mantan gurunya. Di belakang mereka berempat, Hideyoshi masih berdiri kaku dengan kedua mata terbelalak dan mulut terbuka. Dia tak menyangka semenit lalu adalah dialog terakhirnya dengan Shitaro. Diibaratkan mimpi pun, rasanya begitu cepat. Sungguh membuatnya jadi tak terlalu berharap banyak dengan sang waktu. Detik ini dia bisa menjadi kawanmu yang membagikan berita baik lagi menyenangkan, tetapi di detik lainnya, dia bisa menjadi musuh besarmu yang membagikan berita buruk menyedihkan."A....ku tak menyuruhnya mati. Aku tak menyuruhnya mati. Mengapa dia harus membunuh dirinya begitu? A....," pada akhirnya, Hide dapat mengeluarkan suara
“Luka adalah sumber kekuatan seorang ksatria, tetapi racun untuk seorang pecundang,” Yukiko mengumpulkan kelima murid Shitaro di halaman belakang. Mereka semua bersiap untuk mengunjungi rumah mantan istri Shitaro, sekaligus ibu kandung dari Sakurako. “Siapa yang pernah mendengar kata-kata itu?” Hide ingin mengangkat tangan, tetapi benaknya masih tak fokus karena belum seluruhnya memercayai bahwa Sakurako adalah anak dari Shitaro. “Kau dengar dari siapa?” timpal Takeshi. “Shitaro kepada istrinya ketika menerima berita bahwa anaknya lahir,” jawab Yukiko. “Siapa yang dimaksud Shitaro sebagai ksatria? Siapa sebagai pecundang itu?” Yukiko mengangkat bahu, “Menurutku, dua-duanya dia,” Langit hitam belum juga memunculkan corakan fajar. Malam hari ini betul-betul panjang. Kelima murid Shitaro sampai tak terlalu bersemangat menjalaninya.Tak ada malam yang menyenangkan selain berkumpul bersama para saudara seperguruan di kaki gunung Nara. *** Nara 1928 “Bakar dua ikan yang kubawa! Semua
Hideyoshi Sanada dan kawan-kawan…. Dr. Fadjar Wongsotjitro dan kawan-kawan… Kang Jang Hyuk…. Mereka semua memang berdiri di titik-titik yang berbeda, tetapi sebenarnya apa yang mereka perjuangkan itu sama, yaitu…. Suatu hal yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. Sampai saat ini, entah kisah apa yang menyebar mengenai kisah para mata-mata Jepang di tanah Batavia sebelum kedatangan para tentaranya. Eksistensi mereka pun masih dipertanyakan. Satu hal yang pasti, keberadaan toko-toko Jepang di tanah Batavia zaman Hindia Belanda itu benar adanya. Caranya menarik hati pelanggan pun luar biasa hebatnya. Kelima murid Shitaro Watanabe bisa jadi memang mata-mata, bisa jadi memang pendekar pedang, atau bisa jadi memang pelayan toko.
Kang Jang Hyuk tak pernah ragu dengan penglihatannya. Deretan tentara yang berdiri di bawah sana adalah para tentara Nippon. Mereka nyata ada di tanah Batavia. Mereka berseragam lengkap dan membawa senjata. Mimpi buruk itu akhirnya datang juga. Arak-arakan para tentara Nippon mengepung kantor pemerintah Hindia Belanda. Sudah tak ada lagi harapan jika memang niat mereka adalah menjajah. “A….apa mau mereka datang ke sini?” asisten gubernur jenderal Hindia Belanda menoleh ke arah Jang Hyuk. “Kalau sudah begini, kau baru ketar-ketir mencari bantuanku!” Jang Hyuk hanyalah seorang manusia biasa. Dia akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh kawan seperjuangannya. Akan tetapi, jika dia dikhianati, dia tak segan untuk berbalik memojokkan pihak yang awalnya dia kira rekan. “Mati saja kalian di tangan Nippon!” refleks, Jang Hyuk meraih dokumen-dokumen mengenai Lima Samurai Batavia yang tergeletak di atas meja, yang menurut pemerintah Hindia Belanda tidak ada artinya. Jang Hyuk benar-benar saki
Aku tak sempat bermesraan dengan kesedihan. Dunia terasa berputar jauh lebih cepat selepas kau pergi. Berjalan pun terasa berlari. Aku terengah-engah. Sedangkan berlari? Aku merasa kehilangan dua kaki. Bukan berarti aku tak berduka. Akan tetapi, air mata ini tak punya waktu untuk menetes. Angin sudah mengeringkannya sebelum tanganku menyekanya. Waktu sudah menggerus silam sebelum benak berkompromi pada hati untuk mengenang. Mungkin ini cara semesta untuk membuatku lupa akan semua kekosongan ini. Aku yang dulu sungguh berbeda dengan aku yang sekarang. Aku yang dulu begitu dekat denganmu, sekarang sendirian. Apakah lebih baik jika aku yang dulu dan aku yang sekarang itu sama? Yaitu, sama-sama tak merasakan keberadaanmu. Kalau sudah begitu, air mata pun tak perlu repot-repot menyalahi angin yang mengeringkannya. Namun, jika memang seperti itu, berarti seumur hidup, aku tak tahu bagaimana rasanya dicintai dan mencintai. Lebih baik sempat daripada tidak sama sekali. Aku tak
Patah hati di musim semi, saat bunga-bunga Sakura merah jambu bermekaran, saat langit berwarna biru cerah dengan goresan pelangi yang ceria. Hanya angin sepoi-sepoi yang membelai lembut rambutku dan mengeringkan air mata, tetapi dia jugalah yang menjatuhkan kelopak sakura ke dalam secangkir teh hijau yang hendak kuseruput. Aku mencoba untuk tak mengutuk siapa pun. Biarlah semua rasa sakit ini kutelan di tengah dunia yang sedang penuh suka cita. Aku tak mencoba menutupi, tetapi mereka memang sedang ingin merayakan kesenangan saja. Dari kejauhan, kulihat seorang gadis mencoba menangkap beberapa sakura dari bawah pohon. Punggung tangan mungilnya katanya kedinginan, maka dari itu ada tangan kekasihnya yang menggenggamnya. Tangan yang lebih besar dan hangat. Tangan yang membuatku teringat akan genggaman erat di musim gugur lalu. Jatuh cinta pada musim gugur, saat daun-daun kering berguguran, saat ranting-ranting pohon tanpa daun mengukuhkan kesepian yang tak kumengerti dan asing rasan
"Ayame-sama, para murid Shitaro sudah sampai di ruang makan,” suara Yukiko terdengar lirih di telinga Ayame. Meski dia sedang membuka mata, tetapi apa yang dilihatnya sedari tadi seolah bukanlah apa yang ada di sekelilingnya. Pikirannya sejak tadi mengendap di perjalanan hidupnya ketika pertama kali menginjak tanah Batavia. Bukanlah suatu hal yang selalu menyenangkan jika dikenang. Peristiwa awal yang mengakibatkan dirinya berada di Batavia pun sebenarnya adalah luka yang begitu dalam. Kedua mata Ayame masih tertuju pada cermin yang ada di hadapannya. Dari pantulan cermin, dia bisa melihat tempat tidur berkelambu yang selama ini menemaninya mengarungi malam demi malam di Batavia. Tentu saja, dia tidak bisa tidur. Langit malam Batavia adalah saksi bisu dari air mata, keringat, serta keresahan yang dialami Ayame. Dia bernapas, tetapi terasa tak ada udara yang masuk dan menyegarkan pikiran dan hatinya. Dia baru menyadari bahwa sudah lama sekali dia bernapas dengan cara seperti ini. Bera
Sudah sejak tahun 1912, pemerintah Hindia Belanda melarang adanya PSK atau Pekerja Seks Komersil. Kebijakan ini sendiri dilakukan semenjak adanya konvensi dunia antiperdagangan perempuan dan anak. Sebenarnya, Jepang juga menjadi salah satu negara yang menandatanganinya. Oleh karena itulah, Ayame tak dapat meneruskan profesinya sebagai Geisha di Hindia Belanda. Berbeda dengan kebudayaan negeri Sakura yang memang mencetak Geisha tak hanya sekedar perempuan penghibur, di luar negeri, salah satunya Hindia Belanda, citra dari Geisha tentu saja memang identik dengan prostitusi. Hidup di Batavia adalah perjuangan bagi seorang Ayame Uchida. Dengan kemampuan menari, mengenakan kimono, menjahit kimono, dan memimpin upacara minum teh yang sebenarnya memang diajarkan oleh semua geisha, wanita ini menjadikan semuanya sebagai modal untuk mencari sesuap nasi. Hasilnya tak dapat dikatakan melimpah, tetapi untungnya saja cukup. “Shi….taro Watanabe?” Ayame tentu saja tak dapat menyembunyikan ekspresi
"Arigatou….. Arigatou….,” entah sudah berapa kali Ayame melontarkan ucapan terima kasih hari ini. Selama berada di Batavia, terasa kebahagiaan selalu hadir kepadanya, menghinggapi jiwanya, penawar luka di hatinya. Meski apa yang telah negaranya lakukan kepadanya di hari lalu masih berbekas di benak, keberuntungan-keberuntungan yang didapat Ayame selama di Batavia membuatnya tak terlalu memikirkan hal-hal tak enak itu. “Nona Ayame, kenalan saya ada yang ingin diperkenalkan juga dengan upacara minum teh minggu ini. Apakah nona dapat ke rumahnya di Weltevreden juga?” majikan Ayame yang memiliki bar di pinggir Batavia kembali menawarkan pekerjaan bagi Ayame. Pundi-pundi siap menyambut gadis itu. “Arigatou,” Ayame menganggukkan kepala. Ada untungnya juga dia menjadi geisha di masa lalu. Dia jadi turut mempelajari bahasa Belanda. Dia paham segala hal yang dibicarakan oleh majikannya kepadanya. Walaupun, Ayame sendiri baru bisa menjawabnya dengan Bahasa Jepang. Itulah alasan Ayame tak langs
Buat apa berhasil menjadi fantasi pikiran ribuan lelaki, tetapi memiliki kehidupan sendiri bagaikan fantasi termahal yang kelihatannya selamanya tak akan pernah terjadi. Ayame Uchida hanya bisa memperhatikan refleksi wajahnya di pantulan cermin riasnya. Kulitnya yang putih dipoles dengan bedak cair yang jauh lebih putih. Bibirnya yang ranum memerah juga dipoles dengan lipstik yang jauh lebih merah bergelora. Alis bulan sabitnya semakin ditebalkan dengan arsiran pensil hitam yang semakin gelap. “Halus dan berkilaunya rambut panjang Nona Ayame. Di kota ini, rasanya aku belum pernah menyisir rambut pelangganku seindah ini,” perias membelai lembut rambut panjang Ayame. “Te…rima kasih,” Ayame menganggukan kepala dengan senyum yang meragu. Dia sendiri menangkap keraguan di mimiknya sendiri pada refleksi cermin. Sembari itu, dia perhatikan kuku-kuku lentik perias menyisipkan jepit rambut bunga Sakura. “Sungguh cantik seperti biasa,” Nyonya pemilik penginapan termahal di kota Kyoto datang
Cinta…. Ayame Uchida tak pernah merasakannya sepanjang hidup. Bicara soal hidup, memangnya, apa sebenarnya hidup itu? Berkali-kali, dalam beberapa lipatan detik, pertanyaan yang sama memenuhi pikiran. Ayame berusaha mencari jawaban mengenai definisi dari kehidupan itu sendiri. Sampai di suatu titik, dia menyadari bahwa dia memang tak memilikinya. Sangat menyedihkan! Semakin sering Ayame memikirkan filosofi dan definisi dari kehidupan, maka akan semakin sering pula dirinya menyadari bahwa kehidupan yang dijalaninya bukanlah miliknya secara utuh. Ayame hanya mengetahui caranya bernapas, meyakini adanya peredaran darah dalam jengkal raganya, dan merasakan adanya detakan jantung. Sisanya berupa gerak tangan, langkah, senyuman, bahkan suasana hati tak bisa dia tunjukkan secara jujur. Dia tak dapat menunjukkan apa adanya kepada dunia yang luas ini. Mungkin saking luasnya, larangan demi larangan datang silih berganti. “Jika anda tak pernah merasakan cinta dalam kehidupan, apa arti Sak