“BAHASA BELANDA ITU SUSAH SEKALI!” seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana panjang hitam membatalkan diri untuk menggoreskan pena di atas kertas. Kertas kekuningan itu malah dibuangnya ke ubin tegel kedai kopi milik keluarga kawan satu sekolahnya itu. Di tempat santai inilah, pemuda bernama Fadjar ini sering belajar dan menghafal pelajaran. Kesehariannya memang tak jauh dari meraih ilmu. Maklum, sebagai seorang mahasiswa, kegiatan yang dilakukan memang berkutat dengan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan. Kedai kopi milik keluarga keturunan ningrat Jawa ini jarang sekali sepi pengunjung. Mulai dari orang Eropa berkulit putih, Asia Timur, sampai pribumi kelas menengah ke atas banyak saling berjumpa, berbincang, dan menyedu kopi bersama di tempat ini. Di atas meja dekat pintu masuk kedai, terdapat selebaran media cetak harian yang dapat dibaca para pengunjung sambil menikmati kopi. Tak jarang, pembicaraan pada meja-meja di kedai ini seputar berita hari ini yang tertulis di selebar
Tok Tok Tok! Seseorang mengetuk pintu. Belum saja para murid Shitaro menanggapi ketukan, rupanya Yukiko dan Takeshi sudah menghampiri para murid Shitaro di gudang halaman belakang. Tampaknya ada sesuatu penting yang ingin dibicarakan. "Tugas pertama akan segera diberikan," tak ada basa-basi, Yukiko langsung saja sampaikan kepada kelima murid Shitaro, "kurasa kalian sudah rindu menebaskan pedang. Oleh karena itu, kuminta kalian tebaskanlah ke orang-orang Belanda itu. Waktunya bisa tengah malam seperti sekarang." "Singkat kata, bunuh orang-orang Belanda itu di tengah malam!" Takeshi mencoba melanjutkan. “Maksudmu? Membunuh orang-orang Belanda di tengah malam?” Kazumi mengulang kalimat yang dia dengar dengan nada bicara penuh keheranan. “Sebenarnya, kau suruh kami datang ke Batavia ini sebagai pelayan toko atau pembunuh berdarah dingin?” tambah Jin seraya mengernyitkan dahi. WUS! Sekelabat, ujung bilah katana sudah menyentuh kulit leher Jin. Untungnya, hanya menyentuh, belum, dan j
“Kalau kau tak masuk terus karena mengurusi pergerakan kelompok kepemudaanmu itu, aku tak ada alasan lagi untuk mempertahankanmu di sini,” Dokter Barend van Der Sluijs bangkit dari meja kerja di ruangan pengajar senior sekolah STOVIA. Dia meraih pipa dan berbalik untuk melangkah menuju jendela. Tangan kirinya dia sandarkan ke dinding dekat jendela, sedangkan tangan kanannya sibuk memegangi pipa. Di balik kaca matanya, kedua mata Dokter Barend agak menyipit memandang langit biru di luar jendela sana. Terik mentari menembus pandangan, melesak ke retina dan seluruh bagian mata. Dokter Barend memutuskan untuk menutup salah satu jendelanya. “Terang yang berlebihan juga tak terlalu baik,” dia berbicara sendiri, tetapi kedua matanya melirik ke arah Fadjar. “Bisa merusak mata,” Fadjar sedikit mengernyitkan dahi. Dia yakin jika perkataan pengajarnya barusan bukanlah perkataan biasa tanpa makna. Dia segera menoleh ke luar jendela. Daripada memperhatikan terik, dia lebih tertarik mengagumi lang
“Pasti kau yang membunuh Dokter Barend van Der Sluijs, wahai orang sok pintar selaku ketua gerakan pemuda kemerdekaan!” BRUG! Sebuah kepalan keras mendarat di pipi Fadjar. Calon dokter muda itu tersungkur di atas trotoar depan rumah sakit CBZ, tempatnya mengikuti ujian praktek. Menerima pukulan itu, kepalanya langsung sakit. Pandangannya berkunang-kunang. Kawannya sesama pelajar dokter Jawa asal Belanda bernama Michael itu memang berpostur tinggi besar. Fadjar tak terkejut ketika cairan merah keluar dari hidungnya. “Fadjar!” melihat kawan sesama pribuminya dihajar keras oleh Michael, Poernomo segera menghampiri Fadjar dan membantunya bangkit. Priai pemilik kedai kopi di Jalan Kramat ini segera mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya dan memberikannya kepada Fadjar untuk menyeka luka di hidungnya. “A…ku tidak apa-apa,” Fadjar menerima sapu tangan pemberian Poernomo dan mulai menyeka lukanya. Seolah pembuluh darah halusnya di hidung sudah pecah, Fadjar terus saja mimisan. Cai
“Saya tidak menyangka Bung Ketua Fadjar dapat senekad ini bertindak,” ucapan salah seorang peserta rapat organisasi Bapera –Barisan Pemuda Nusantara- menyita perhatian Poernomo yang tengah mempersiapkan agenda rapat organisasi pagi ini di ruang khusus kedai kopinya. Dia sebenarnya tak terlalu aktif berpendapat. Maka dari itu, dia sediakan saja tempat agar tak dituntut harus aktif berpendapat. Dia sudah cukup puas andilnya hanya sekedar penyedia tempat. “Jadi, anda percaya bahwa kematian Dokter Barend ada hubungannya dengan organisasi ini?” Sendja membalikkan pertanyaan salah satu anggota organisasi, mencoba menghindari amukan Fadjar yang dia ketahui bukanlah pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kasus kematian Dokter Barend. “Siapa….lagi?” pemuda yang seorang fotografer media cetak itu mengangkat bahu. “Bodoh jangan dipelihara di kepala! Mana mungkin Fadjar melakukan hal seperti itu kepada orang yang sudah dia anggap sebagai guru maupun ayah kandungnya sendiri!” Sendja menarik
"Orang-orang pribumi di Batavia itu, bagaikan pendatang di tanah kelahirannya sendiri,” seraya berkeliling kota dengan menaiki trem, Takeshi berbicara pada dirinya sendiri dalam Bahasa Jepang. Dia berani melontarkan kalimat seperti ini di tempat umum lantaran trem di pagi ini tak terlalu ramai. Di sebelahnya, hanya Hideyoshi seorang yang tengah duduk sambil memandang lurus ke depan. Mereka berdua baru saja mengantarkan barang pesanan toko ke kompleks rumah para kelas atas, kawasan Weltevreden. Seperti biasa, di antara kelima anak buahnya, Takeshi meminta Hideyoshi untuk menemaninya. Padahal, jika ditanya siapakah murid Shitaro yang paling dia benci, jangan-jangan jawabannya juga Hideyoshi. Karena tak ada orang lain di sekitar Hideyoshi selain Takeshi, akhirnya setiap kata yang terlontar dari mulut Takeshi menarik perhatian Hideyoshi. Pemuda bersorot mata tajam ini melirik ke arah Takeshi. Lelaki bertubuh tinggi dan kurus itu sedang memperhatikan panorama kota Batavia di luar jendela.
Hujan mengguyur bumi kala langit malam hanya membagi kilat. Tak ada suara lain yang Hina dengar selain gemuruh guntur, derasnya air hujan yang menerjang daratan atau memantul di atap-atap rumah, serta langkah kakinya sendiri. Tangan mungilnya menggenggam payung kertas, produk toko tempatnya bekerja. Sepertinya dia harus cepat sampai tujuan karena lebatnya hujan membuat Hina takut payung kertas miliknya bisa saja robek. Sepanjang jalan Harmonie, Hina tak melihat ada orang-orang yang wara-wiri di sekitarnya. Mungkin mereka lebih memilih untuk berteduh di dalam rumah. Jika Hina tak mendapatkan tugas dari Yukiko untuk mengantarkan barang pesanan ke salah satu pelanggan, mungkin dirinya kini juga akan berteduh di dalam rumah. Tentunya, bersama keempat kakak seperguruannya. Bisa jadi sambil berbincang, tertawa, atau bermain api pada lilin. Ternyata begini rasanya sendiri tanpa mereka berempat, Hina mempercepat langkah. Dia mulai mengenali perasaannya yang ingin cepat-cepat sampai rumah ini
Jalan Kramat saat tengah malam tampak berbeda dari siang hari yang begitu ramai penuh pejalan kaki maupun orang berjualan. Kendaraan tak ada satu pun yang melintasi jalan selain oplet berwarna biru yang ditumpangi Fadjar dan Hinagi. Kedua penumpang terakhir dari kendaraan umum itu pun turun tepat di depan toko Banzai yang berseberangan dengan kedai kopi milik Poernomo. “Selamat malam, Tuan Fadjar,” Hinagi menganggukan kepala, dan turun dari oplet. Dengan langkah-langkah kaki kecilnya, dia berbalik memasuki toko. Fadjar yang tadinya hanya ingin menanggapi Hinagi dengan anggukan dan membalas mengucapkan selamat malam, segera tergerak melontarkan suatu pertanyaan, “Ah, Nona! Kau tinggal di toko Jepang ini?” calon dokter muda ini menunjuk toko Banzai yang gelap gulita. Bagai tersengat listrik, Hinagi merasa bodoh detik ini juga. Dia langsung menghentikan langkah kakinya. Tak seharusnya dia turun tepat di depan toko Banzai. Seharusnya, Fadjar tak boleh mengetahui tempat tinggalnya selama
Hideyoshi Sanada dan kawan-kawan…. Dr. Fadjar Wongsotjitro dan kawan-kawan… Kang Jang Hyuk…. Mereka semua memang berdiri di titik-titik yang berbeda, tetapi sebenarnya apa yang mereka perjuangkan itu sama, yaitu…. Suatu hal yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. Sampai saat ini, entah kisah apa yang menyebar mengenai kisah para mata-mata Jepang di tanah Batavia sebelum kedatangan para tentaranya. Eksistensi mereka pun masih dipertanyakan. Satu hal yang pasti, keberadaan toko-toko Jepang di tanah Batavia zaman Hindia Belanda itu benar adanya. Caranya menarik hati pelanggan pun luar biasa hebatnya. Kelima murid Shitaro Watanabe bisa jadi memang mata-mata, bisa jadi memang pendekar pedang, atau bisa jadi memang pelayan toko.
Kang Jang Hyuk tak pernah ragu dengan penglihatannya. Deretan tentara yang berdiri di bawah sana adalah para tentara Nippon. Mereka nyata ada di tanah Batavia. Mereka berseragam lengkap dan membawa senjata. Mimpi buruk itu akhirnya datang juga. Arak-arakan para tentara Nippon mengepung kantor pemerintah Hindia Belanda. Sudah tak ada lagi harapan jika memang niat mereka adalah menjajah. “A….apa mau mereka datang ke sini?” asisten gubernur jenderal Hindia Belanda menoleh ke arah Jang Hyuk. “Kalau sudah begini, kau baru ketar-ketir mencari bantuanku!” Jang Hyuk hanyalah seorang manusia biasa. Dia akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh kawan seperjuangannya. Akan tetapi, jika dia dikhianati, dia tak segan untuk berbalik memojokkan pihak yang awalnya dia kira rekan. “Mati saja kalian di tangan Nippon!” refleks, Jang Hyuk meraih dokumen-dokumen mengenai Lima Samurai Batavia yang tergeletak di atas meja, yang menurut pemerintah Hindia Belanda tidak ada artinya. Jang Hyuk benar-benar saki
Aku tak sempat bermesraan dengan kesedihan. Dunia terasa berputar jauh lebih cepat selepas kau pergi. Berjalan pun terasa berlari. Aku terengah-engah. Sedangkan berlari? Aku merasa kehilangan dua kaki. Bukan berarti aku tak berduka. Akan tetapi, air mata ini tak punya waktu untuk menetes. Angin sudah mengeringkannya sebelum tanganku menyekanya. Waktu sudah menggerus silam sebelum benak berkompromi pada hati untuk mengenang. Mungkin ini cara semesta untuk membuatku lupa akan semua kekosongan ini. Aku yang dulu sungguh berbeda dengan aku yang sekarang. Aku yang dulu begitu dekat denganmu, sekarang sendirian. Apakah lebih baik jika aku yang dulu dan aku yang sekarang itu sama? Yaitu, sama-sama tak merasakan keberadaanmu. Kalau sudah begitu, air mata pun tak perlu repot-repot menyalahi angin yang mengeringkannya. Namun, jika memang seperti itu, berarti seumur hidup, aku tak tahu bagaimana rasanya dicintai dan mencintai. Lebih baik sempat daripada tidak sama sekali. Aku tak
Patah hati di musim semi, saat bunga-bunga Sakura merah jambu bermekaran, saat langit berwarna biru cerah dengan goresan pelangi yang ceria. Hanya angin sepoi-sepoi yang membelai lembut rambutku dan mengeringkan air mata, tetapi dia jugalah yang menjatuhkan kelopak sakura ke dalam secangkir teh hijau yang hendak kuseruput. Aku mencoba untuk tak mengutuk siapa pun. Biarlah semua rasa sakit ini kutelan di tengah dunia yang sedang penuh suka cita. Aku tak mencoba menutupi, tetapi mereka memang sedang ingin merayakan kesenangan saja. Dari kejauhan, kulihat seorang gadis mencoba menangkap beberapa sakura dari bawah pohon. Punggung tangan mungilnya katanya kedinginan, maka dari itu ada tangan kekasihnya yang menggenggamnya. Tangan yang lebih besar dan hangat. Tangan yang membuatku teringat akan genggaman erat di musim gugur lalu. Jatuh cinta pada musim gugur, saat daun-daun kering berguguran, saat ranting-ranting pohon tanpa daun mengukuhkan kesepian yang tak kumengerti dan asing rasan
"Ayame-sama, para murid Shitaro sudah sampai di ruang makan,” suara Yukiko terdengar lirih di telinga Ayame. Meski dia sedang membuka mata, tetapi apa yang dilihatnya sedari tadi seolah bukanlah apa yang ada di sekelilingnya. Pikirannya sejak tadi mengendap di perjalanan hidupnya ketika pertama kali menginjak tanah Batavia. Bukanlah suatu hal yang selalu menyenangkan jika dikenang. Peristiwa awal yang mengakibatkan dirinya berada di Batavia pun sebenarnya adalah luka yang begitu dalam. Kedua mata Ayame masih tertuju pada cermin yang ada di hadapannya. Dari pantulan cermin, dia bisa melihat tempat tidur berkelambu yang selama ini menemaninya mengarungi malam demi malam di Batavia. Tentu saja, dia tidak bisa tidur. Langit malam Batavia adalah saksi bisu dari air mata, keringat, serta keresahan yang dialami Ayame. Dia bernapas, tetapi terasa tak ada udara yang masuk dan menyegarkan pikiran dan hatinya. Dia baru menyadari bahwa sudah lama sekali dia bernapas dengan cara seperti ini. Bera
Sudah sejak tahun 1912, pemerintah Hindia Belanda melarang adanya PSK atau Pekerja Seks Komersil. Kebijakan ini sendiri dilakukan semenjak adanya konvensi dunia antiperdagangan perempuan dan anak. Sebenarnya, Jepang juga menjadi salah satu negara yang menandatanganinya. Oleh karena itulah, Ayame tak dapat meneruskan profesinya sebagai Geisha di Hindia Belanda. Berbeda dengan kebudayaan negeri Sakura yang memang mencetak Geisha tak hanya sekedar perempuan penghibur, di luar negeri, salah satunya Hindia Belanda, citra dari Geisha tentu saja memang identik dengan prostitusi. Hidup di Batavia adalah perjuangan bagi seorang Ayame Uchida. Dengan kemampuan menari, mengenakan kimono, menjahit kimono, dan memimpin upacara minum teh yang sebenarnya memang diajarkan oleh semua geisha, wanita ini menjadikan semuanya sebagai modal untuk mencari sesuap nasi. Hasilnya tak dapat dikatakan melimpah, tetapi untungnya saja cukup. “Shi….taro Watanabe?” Ayame tentu saja tak dapat menyembunyikan ekspresi
"Arigatou….. Arigatou….,” entah sudah berapa kali Ayame melontarkan ucapan terima kasih hari ini. Selama berada di Batavia, terasa kebahagiaan selalu hadir kepadanya, menghinggapi jiwanya, penawar luka di hatinya. Meski apa yang telah negaranya lakukan kepadanya di hari lalu masih berbekas di benak, keberuntungan-keberuntungan yang didapat Ayame selama di Batavia membuatnya tak terlalu memikirkan hal-hal tak enak itu. “Nona Ayame, kenalan saya ada yang ingin diperkenalkan juga dengan upacara minum teh minggu ini. Apakah nona dapat ke rumahnya di Weltevreden juga?” majikan Ayame yang memiliki bar di pinggir Batavia kembali menawarkan pekerjaan bagi Ayame. Pundi-pundi siap menyambut gadis itu. “Arigatou,” Ayame menganggukkan kepala. Ada untungnya juga dia menjadi geisha di masa lalu. Dia jadi turut mempelajari bahasa Belanda. Dia paham segala hal yang dibicarakan oleh majikannya kepadanya. Walaupun, Ayame sendiri baru bisa menjawabnya dengan Bahasa Jepang. Itulah alasan Ayame tak langs
Buat apa berhasil menjadi fantasi pikiran ribuan lelaki, tetapi memiliki kehidupan sendiri bagaikan fantasi termahal yang kelihatannya selamanya tak akan pernah terjadi. Ayame Uchida hanya bisa memperhatikan refleksi wajahnya di pantulan cermin riasnya. Kulitnya yang putih dipoles dengan bedak cair yang jauh lebih putih. Bibirnya yang ranum memerah juga dipoles dengan lipstik yang jauh lebih merah bergelora. Alis bulan sabitnya semakin ditebalkan dengan arsiran pensil hitam yang semakin gelap. “Halus dan berkilaunya rambut panjang Nona Ayame. Di kota ini, rasanya aku belum pernah menyisir rambut pelangganku seindah ini,” perias membelai lembut rambut panjang Ayame. “Te…rima kasih,” Ayame menganggukan kepala dengan senyum yang meragu. Dia sendiri menangkap keraguan di mimiknya sendiri pada refleksi cermin. Sembari itu, dia perhatikan kuku-kuku lentik perias menyisipkan jepit rambut bunga Sakura. “Sungguh cantik seperti biasa,” Nyonya pemilik penginapan termahal di kota Kyoto datang
Cinta…. Ayame Uchida tak pernah merasakannya sepanjang hidup. Bicara soal hidup, memangnya, apa sebenarnya hidup itu? Berkali-kali, dalam beberapa lipatan detik, pertanyaan yang sama memenuhi pikiran. Ayame berusaha mencari jawaban mengenai definisi dari kehidupan itu sendiri. Sampai di suatu titik, dia menyadari bahwa dia memang tak memilikinya. Sangat menyedihkan! Semakin sering Ayame memikirkan filosofi dan definisi dari kehidupan, maka akan semakin sering pula dirinya menyadari bahwa kehidupan yang dijalaninya bukanlah miliknya secara utuh. Ayame hanya mengetahui caranya bernapas, meyakini adanya peredaran darah dalam jengkal raganya, dan merasakan adanya detakan jantung. Sisanya berupa gerak tangan, langkah, senyuman, bahkan suasana hati tak bisa dia tunjukkan secara jujur. Dia tak dapat menunjukkan apa adanya kepada dunia yang luas ini. Mungkin saking luasnya, larangan demi larangan datang silih berganti. “Jika anda tak pernah merasakan cinta dalam kehidupan, apa arti Sak