Matahari belum terbit, tetapi pada pagi hari ini Aredel, Rayzeul dan Felix sudah berangkat menuju Kerajaan Cartenzeul. Mereka terbang cepat menelusuri Hutan Borneove, lalu ke Kota Boneist, dan sampai di Kerajaan Cartenzeul. Ketika sampai di gerbang ibukota, mereka turun lalu bersembunyi di celah-celah ruko kosong yang belum buka. Mereka bersembunyi dari para robot penjaga yang kini tengah berdiri di depan gerbang tersebut.
“Bagaimana ini?” tanya Aredel bingung ketika melihat robot berukuran dua meter itu.
“Kita mungkin bisa langusng masuk ke dalam, tapi bagaimana dengan Felix? Terbangnya tidak secepat kita,” ujar pria bersurai putih itu cemas.
“Kalau begitu mau tidak mau kita harus mengalihkan perhatiannya!” seru Aredel.
“Bagaimana kalau aku saja? Kau pergi duluan ke rumah sakit mengobati Irimie dan adiknya Raja … aku yang akan mengalihkan mereka,” saran Aredel.
“Tidak! Aku kan tidak tahu
“Aredel … kita harus cepat, sepertinya mereka mulai mempersiapkan diri untuk perang,” ujar Rayzeul ketika melihat segerombolan pria berbadan tinggi dengan pakaian serba hitam-hitam dan sabuk yang berisikan senjata-senjata tengah berlari, memasukkan beberapa barang ke dalam kapsul terbang.“Iyah, tapi penjara kerajaan itu jaraknya cukup jauh dan gawat sekali nantinya jika Felix terlihat oleh salah satu dari mereka,” jawab perempuan bersurai putih itu cemas.“Apa kau mau menjadi umpan lagi?” tawar Rayzeul.“Tidak bisa, kalau aku menjadi umpan lagi pasti akan ketahuan karena sebentar lagi Aredel palsu itu akan muncul,” ujar Aredel seraya memperhatihan orang-orang yang mempersiapkan perang dari balik semak-semak rumah sakit.“Kita harus bagaimana?” tanya Rayzeul bingung.“Menunggu mereka berangkat, aku rasa itu akan jauh lebih baik karena kerajaan pasti akan sepi tidak ada orang,&
“Aku kira kau benar-benar sudah tewas,” lirih pria bersurai merah itu sambil menatap pilu Aciel.“Cih … kau mengatakan itu sampai dua kali. Apa kau sebegitu takutnya jika aku mati meninggalkanmu?” ledek Rayzeul dengan senyum miringnya.“Bukan begitu! Aku sudah berpikiran buruk tadi … kalau adikku sudah tidak bisa diselamatkan lagi, karena kau tidak ada ….” Aciel menundukkan kepalanya sedih, karena memikirkan adik kesayangannya itu.“Adikmu sudah Rayzeul selamatkan, mungkin sudah siuman sekarang,” jawab Aredel dengan lembut.Aciel mendongakkan kepalanya menghadap perempuan bersurai putih di depannya. “Bagaimana kau tahu?”“Karena dia ikut saat aku mengobati adikmu di rumah sakit,” jawab Rayzeul acuh sambil mengangkat bahunya.“Kau salah paham Aciel, ternyata yang menusukku kemarin itu elf kegelapan yang menyamar menjadi Aredel.” Rayzeul me
Setelah menjenguk Tuan Owen di rumah sakit, Tuan Putri segera meluncur menuju istana kerajaan untuk segera menemui kakaknya. Dia membuka pintu istana tersebut, kemudian berlari masuk menuju ruang rapat kerajaan.“Tuan Putri jangan berlari nanti bisa jatuh!” ujar Abigail sambil mengikuti Aurora dari belakang.“Diamlah Abigail! Aku harus segera masuk ke dalam ruang rapat tersebut aku harus segera berbicara pada kakakku!” ucap Aurora dengan napasnya yang terengah-engah, menjawab pertanyaan pengawal perempuannya bersurai hitam legam.Putri Aurora pun sampai di depan pintu berwarna coklat besar, dengan pinggiran berlapis emas. Sebuah robot penjaga menghampiri Tuan Putri kemudian bertanya, “Ada yang bisa saya bantu Tuan Putri?”Putri Aurora menggelengkan kepalanya. “Tolong buka pintu ini, aku ingin masuk!” Robot penjaga tersebut menghalangi Tuan Putri, membuat putri berambut kuning tersebut terkejut. “Berani
Irimie menepuk pundak kakaknya pelan, membuat pria bersurai merah itu sadar dari lamunannya. Aciel menggelengkan kepalanya pelan, kemudian mengusap-ngusap kasar surai merahnya tersebut. “Ini bukan saatnya aku memikirkan sesuatu yang aneh, aku harus membantu mereka dengan kejeniusanku!” Irimie tertawa kecil, kemudian menggandeng kakaknya itu. “Kau pasti ingin pulang ke rumah bukan? Bolehkah aku ikut pulang ke rumah? Mungkin aku bisa membantumu nanti.” Aciel menggelengkan kepalanya, kemudian melepaskan pegangan tangan adiknya dari tangannya. “Kau harus beristirahat!” “Aku sudah terlalu banyak beristirahat! Kakak ayolah … aku ingin sekali membantumu, kali ini … saja kumohon,” ujar perempuan bersurai merah itu dengan wajahnya yang memelas sambil memeluk tangan kakaknya. Pria bersurai merah itu menghela napasnya pelan, kemudian menganggukkan kepalanya kecil. “Baiklah, ayo kita pulang ke rumah.” Irimie berteriak senang, kemudian memeluk kakak satu-satunya.
Ctarr Ctarrr Sambaran halilintar keluar dari tangan robot sebesar sepuluh meter berzirah kuning. Robot raksasa itu berjumlah sembilan, dengan baju zirah yang memiliki warna yang berbeda, melekat dimasing-masing robot tersebut. Benda besi raksasa itu tiada hentinya meluncurkan serangan pada elf-elf yang terlihat seperti kurcaci berterbangan. Ctarr Ctarr Elf-elf itu gesit menghindar serangan halilintar dari besi raksasa berzirah kuning yang menyerangnya. Para elf dengan elemen tanah, berhadapan dengan tiga robot raksasa berzirah kuning, elf dengan elemen api dan petir berhadapan dengan tiga robot raksasa berzirah hijau, dan elf elemen air dan salju berhadapan dengan tiga robot berzirah biru. Aredel menapakkan kakinya di tengah medan pertempuran, melihat sekelilingnya yang penuh dengan suara tembakan, darah, serta teriakan-teriakan dari para manusia dan elf. Aredel dan Felix bergabung bersama elf elemen air dan salju untuk mengala
Lingkaran sihir pelindung berbentuk kubah transparan itu mulai terbentuk lagi. Serangan demi serangan terus diluncurkan oleh robot raksasa yang berada di tengah tersebut. Robot sebelah kiri tadi, terlihat mulai lambat menghisap api biru yang berada di tubuh rekannya tersebut.“Sebentar lagi robot penghisap itu akan mati,” gumam Tuan Owen dengan senyuman sinisnya. Pria paruh baya dan elf lain merasa senang, seperti di atas awan.Slap Klang Kubah pelindung mereka pecah. Robot yang menyerang mereka pun kembali meluncurkan cambukan berbentuk bulan sabitnya pada sekumpulan elf kecil di hadapannya. Para elf terbang menghindari cambukan-cambukan bulan sabit tersebut dengan mudahnya.Slap SlappFelix membuka paruhnya, setelah melihat kesempatan untuk menyerang balik robot sebesar sepuluh meter itu. Burung gagah tersebut menyerang robot tersebut dengan bola api raksasa, dibantu oleh beberapa elf di belakangnya
Felix mengeluarkan suara nyaringnya, terbang di langit melewati robot-robot berzirah biru tersebut diikuti dengan beberapa elf di belakangnya. Aredel, dan para elf elemen es lainnya tersenyum senang, ketika melihat burung gagah itu membawa pasukan bantuan. Felix membuka paruhnya lebah, kemudian mengeluarkan api bersarnya, melelehkan beberapa panah es yang runcing tersebut. Para elf berelemen api tersebut menyusul mengeluarkan api dan petirnya menyerang para robot raksasa tersebut. Robot berzirah biru dengan motif gelombang air, dengan sigap mengeluarkan badai salju. Badai tersebut sangat besar dan dingin, meskipun tidak se ganas badai di Gunung Rinjanist, tetapi tetap menghambat gerakan para elf. Tumbuhan-tumbuhan hijau yang berada di dalam hutan tersebut berubah menjadi putih akibat terkena badai salju. Aredel dan Rayzeul lincah berlari kesana kemari menghindari badai tersebut, seraya mencoba membekukan tubuh besar robot tersebut. Para elf yang lain membantu Aredel
Perempuan bersurai putih itu terlihat kesal. Dia menyunggingkan senyuma sinisnya, mengeluarkan lingkaran sihir di tombak milik Aredel. Aredel terkejut, ketika melihat lingkaran hitam itu menyelimuti tombak esnya.Splah Tombak tersebut menghilang, secara cepat.“Aku penasaran dengan apa yang kau lihat tentang diriku anak kecil. Ternyata kau menarik, bisa melihat masa laluku hum,” ujarnya dengan senyuman sinis.ClingSebuah lingkaran sihir tiba-tiba saja muncul di langit. Lingaran sihir tersebut mengeluarkan tombak es aredel tadi. Benda lancip itu pun tanpa aba-aba langsung menghantam beberapa elf di bawahnya. Aredel membelakkan matanya tak percaya ketika melihat tombak es miliknya berpindah begitu saja.“Dia bisa memindahkan senjataku menggunakan sihir ruang dan waktunya,” batin Aredel.“Kenapa diam? Aku memintamu untuk menceritakannya, jadi cepatlah bercerita!” teriak Morie sambil