Irimie menepuk pundak kakaknya pelan, membuat pria bersurai merah itu sadar dari lamunannya. Aciel menggelengkan kepalanya pelan, kemudian mengusap-ngusap kasar surai merahnya tersebut. “Ini bukan saatnya aku memikirkan sesuatu yang aneh, aku harus membantu mereka dengan kejeniusanku!”
Irimie tertawa kecil, kemudian menggandeng kakaknya itu. “Kau pasti ingin pulang ke rumah bukan? Bolehkah aku ikut pulang ke rumah? Mungkin aku bisa membantumu nanti.”
Aciel menggelengkan kepalanya, kemudian melepaskan pegangan tangan adiknya dari tangannya. “Kau harus beristirahat!”
“Aku sudah terlalu banyak beristirahat! Kakak ayolah … aku ingin sekali membantumu, kali ini … saja kumohon,” ujar perempuan bersurai merah itu dengan wajahnya yang memelas sambil memeluk tangan kakaknya.
Pria bersurai merah itu menghela napasnya pelan, kemudian menganggukkan kepalanya kecil. “Baiklah, ayo kita pulang ke rumah.” Irimie berteriak senang, kemudian memeluk kakak satu-satunya. Aciel melepaskan pelukan adiknya, membuat adiknya tidak suka. “Kenapa sih kakak tidak mau dipeluk oleh ku? Takut Kak Aredel marah?” Irimie mengerucutkan bibirnya maju.
“Bukan hanya saja, malu dilihat oleh Tuan Putri. Lagi pula Aredel bukan orang yang mudah cemburu,” ujar Aciel.
“Benarkah? Kalau begitu aku akan memelukmu terus di depannya,” ujar Irimie senang dengan nada jahil.
“Ah jangan! Aku bisa mati karena panas kupingku mendengar ledekan dari kakek tua berambut putih itu,” ujar Aciel kesal.
“Rayzeul? Tapi sepertinya dia orang baik, dan wajahnya juga tampan.” Irimie memuji Rayzeul, membuat Aciel menengokkan wajahnya pada adik semata wayangnya tersebut.
“Tampan?! Tidak! Aku lebih tampan!” ucap Aciel kesal.
“Kalian jadi pulang ke rumah tidak?” tanya Tuan PutriAurora.
“Jadi Putri! Ini aku ingin berjalan mencari mini jetku!” ucap Aciel dengan nada kesalnya, akibat mendengar pujian Adiknya untuk Rayzeul. Dia meninggalkan adiknya di belakang, berdua dengan putri berambut kuning itu.
“Tunggu aku kakak!” teriaknya kemudian berlari menyusul kakaknya.
Sedangkan Tuan Putri melihat hal tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak percaya melihat kelakuan kakak beradik yang aneh itu.
“Kakak apa kau tahu di mana kapsul terbangmu?” tanya Irimie seraya mengedarkan pandangannya ke parkiran rumah sakit.
“Aku tidak ingat! Aku memarkirkannya terakhir kali di istana kerajaan,” ujar Aciel panik.
Irimie memukul lengan kakaknya yang bersurai merah tersebut dengan kencang. “Kau ini bagaimana sih katanya jenius.”
“Aduh sakit! Kenapa kau memukulku? Itukan kesalahan mereka kenapa menangkap ku ketika aku belum memarkirkan mini jetku dengan benar?” Aciel mengerucutkan bibirnya sebal, seraya mengelus pelan tangannya yang dipukul oleh Irimie.
“Mini jet?” tanya adik Aciel bingung. Sedangkan Aciel hanya tertawa-tawa tidak jelas, menatap adiknya dengan tatapan aneh. “Kakak membuat kendaraan terbang baru, namanya mini jet. Lebih besar dari kapsul terbang. Ya … meskipun kakak membuatnya bersama dengan Rayzeul, tetap saja itu benda ciptaanku.”
“Rayzeul membuat mini jet?! Wah … sudah tampan dia pun pintar.” Irimie memuji Rayzeul lagi membuat Aciel kesal.
“Kenapa sih dia malah memuji si Kakek tua terus?” batin Aciel kesal dengan bibirnya yang mengerucut.
“Hey kalian! Barangkali ingin memakai kapsul mini milikku?” tanya seseorang dari belakang.
“Tuan Putri?!”
Sedangkan di sisi lain, Aredel, Rayzeul, Felix, serta Tuan Owen sedang berada di ibukota. Mereka ingin masuk ke dalam istana kerajaan, untuk mengambil kapsul mini Tuan Owen. Karena menggendong Tuan Owen ke Hutan Borneove akan menghabiskan banyak energi sihir, dan Tuan Owen tidak bisa ditinggal begitu saja karena masih ada beberapa robot penjaga yang menjaga istana kerajaan.
“Raja ikut berperang?” bisik Tuan Owen ketika melihat istana kerajaan dari balik toko.
“Sepertinya begitu, tapi ada empat robot penjaga di sana yang menjaga kapsul mini Tuan Owen,” jawab Aredel.
“Tuan Owen tunggu di sini, biar aku yang akan mengelabui mereka … lalu ketika aku sudah selesai, Rayzeul silahkan antar Tuan Owen untuk mengambil kapsul mininya.” Aredel merubah telinga manusianya menjadi elf.
“Oke baiklah kalau su---“
Sebelum Rayzeul menyelesaikan kata-katanya, burung berbulu merah dan jingga yang selama ini mengikuti mereka terbang keluar dari sela-sela toko tersebut. Dia menghampiri empat sekaligus robot penjaga, dengan mulutnya yang terbuka siap menyemburkan api bersar pada benda besi bergerak itu.
“Felix,” lirih Aredel seraya memperhatikan burung berbulu indah itu, yang diterpa sinar mentahi pagi, yang kini mulai terbit dari arah timur.
Felix menyemburkan bola-bola api besar, tetapi dengan sigap para robot penjaga itu menodongkan kedua telapak tangannya ke depan, keluarlah air yan sangat deras sehingga dapat memadamkan bola-bola api tersebut.
“Kalian harus membantunya,” ujar pria paruh baya itu sedikit panik. Rayzeul menggelengkan kepalanya, kemudian tersenyum kecil. “Dia itu burung kuat, aku yakin dia bisa mengatasi para kroco-kroco itu sendirian.”
Aredel sibuk memperhatikan pertarungan tersebut. Seperti seorang ibu yang memperhatikan anaknya. Mata perempuan bersurai putih itu jeli, melihat pertarungan tersebut, sehingga ketika nanti Felix membutuhkan bantuan dia langsung pergi membantu burung raksasa tersebut.
Felix terbang menghindari serangan-serangan halilintar kecil yang dilontarkan oleh robot penjaga tersebut. Ketika para robot itu selesai menyerang, Felix dengan sigap meluncurkan serangan apinya membuat robot tersebut terbakar oleh api.
“Ayo kita segera masuk ke kapsul mini Tuan Owen,” seru Aredel. Rayzeul menganggukkan kepalanya, kemudian merangkul tangan pria paruh baya itu ke pundaknya. Aredel juga ikut merangkulkan tangan Tuan Owen ke pundak, kemudian mereka berdua kompak berlari cepat menuju kapsul terbang.
Tuan Owen jatuh ke tanah, setelah mereka bertiga telah sampai di depan kapsul terbang mini. Kepalanya pusing, karena diajak lari cepat oleh kedua elf yang merangkulkan tubuhnya tadi. Maklum saja, karena pasti pria yang sudah berumur itu pasti susah menyesuaikan tubuhnya.
“Tuan Owen, kau tidak apa-apa?” tanya Aredel khawatir. Tuan Owen menganggukkan kepalanya pelan, kemudian membuka pintu kapsul mini terbang tersebut.
Ctarr Ctarr
Suara halilintar terdengar sangat keras di langit. Aredel mendongakkan kepalanya ke atas melihat Felix yang bertubi-tubi mendapatkan serangan dari para robot penjaga. “Kalian berdua naik kapsul mini, aku dan Felix terbang saja!” Aredel terbang ke langit menyusul Felix, dengan lingkaran sihir biru yang telah dia buat.
Ctarr
Lingkaran sihir biru tersebut terkena serangan halilintar robot penjaga.
“Felix kau tidak apa-apa?” tanya Aredel seraya menengokkan kepalanya ke belakang melihat ke adaan burung tersebut.
Felix membuka lebar paruhnya lagi, kemudian menyemburkan api besar pada robot penjaga tersebut. Aredel melirik kapsul mini Tuan Owen yang mulai terbang, menuju Hutan Borneove. “Felix tinggalkan saja para robot ini! Ayo kita ke Hutan Borneove sekarang!” Aredel terbang cepat mengikuti kapsul terbang mini tersebut, disusul dengan Felix di belakangnya.
Splassh Splassh
Serang Aredel menggunakan tombak-tombak esnya, menyerang para robot penjaga. Para robot tersebut menghindar, kemudian balik menyerang Aredel dan Felix yang kabur. Perempuan bersurai putih itu sigap, membuat lingkaran sihir sehingga tidak mengenai mereka berdua.
“Felix teruslah maju, aku akan menahan mereka!” teriak Aredel sambil terbang mundur, menyerang keempat robot penjaga tersebut dengan tombak-tombak esnya.
Robot-robot penjaga tersebut mengejar mereka berdua, bahkan hingga keluar dari gerbang ibukota. Aredel menggelengkan kepalanya, seraya terus menyerang robot-robot tersebut menggunakan tombak-tombak esnya.
Ctarr Ctarr
Suara gemuruh yang mereka ciptakan, membuat warga sekitar membuka jendela rumahnya, dan melihat keluar apa yang sedang terjadi. Aredel sontak menghentikkan serangannya, berganti dengan mengeluarkan lingkaran sihir pelindung agar para manusia yang melihat tidak salah paham. Agar mereka tidak mengira kalau elf itu adalah makhluk jahat.
“Aku juga harus melidungi manusia-manusia itu. Aku tidak mau membuat mereka terlalu panik,” batin Aredel cemas.
Beberapa pasang mata takjub melihat perempuan kecil terbang beriringan dengan burung raksasa, sehingga mereka merekam tersebut dengan inbletnya lalu menyebarkannya ke media sosial. Aredel berdecih pelan, ketika melihat robot penjaga itu sangat gigih menyerang mereka tampa ampun.
“Sebentar lagi sampai di Kota Boneist,” gumam Aredel sambil memperkuat lingkaran sihirnya.
Ctarr Ctarr
Mereka pun akhirnya memasuki kawasan Kota Boneist. Para robot penjaga tersebut menghentikkan serangannya, kemudian berlari pulang ke ibukota. Aredel menghela napasnya lega, kemudian menapakkan kakinya di atas kapsul terbang mini di depannya. “Akhirnya mereka menyerah … yang aku harus lakukan sekarang adalah, mempersiapkan diri untuk perang.”
Dari kejauhan, sudah terlihat banyaknya halilintar, api, air, bahkan tornado kecil yang muncul dari hutan tersebut, membuat Aredel khawatir apakah orang-orang atau para elf yang berada di sana baik-baik saja atau tidak. Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai di Hutan Borneove. Aredel membulatkan matanya, terkejut melihat banyaknya elf yang terluka, dan juga manusia, serta robot-robot raksasa sebesar sepuluh meter.
“Aku harus segera membantu mereka!” seru Aredel kemudian terbang cepat menuju medan perang.
Ctarr Ctarrr Sambaran halilintar keluar dari tangan robot sebesar sepuluh meter berzirah kuning. Robot raksasa itu berjumlah sembilan, dengan baju zirah yang memiliki warna yang berbeda, melekat dimasing-masing robot tersebut. Benda besi raksasa itu tiada hentinya meluncurkan serangan pada elf-elf yang terlihat seperti kurcaci berterbangan. Ctarr Ctarr Elf-elf itu gesit menghindar serangan halilintar dari besi raksasa berzirah kuning yang menyerangnya. Para elf dengan elemen tanah, berhadapan dengan tiga robot raksasa berzirah kuning, elf dengan elemen api dan petir berhadapan dengan tiga robot raksasa berzirah hijau, dan elf elemen air dan salju berhadapan dengan tiga robot berzirah biru. Aredel menapakkan kakinya di tengah medan pertempuran, melihat sekelilingnya yang penuh dengan suara tembakan, darah, serta teriakan-teriakan dari para manusia dan elf. Aredel dan Felix bergabung bersama elf elemen air dan salju untuk mengala
Lingkaran sihir pelindung berbentuk kubah transparan itu mulai terbentuk lagi. Serangan demi serangan terus diluncurkan oleh robot raksasa yang berada di tengah tersebut. Robot sebelah kiri tadi, terlihat mulai lambat menghisap api biru yang berada di tubuh rekannya tersebut.“Sebentar lagi robot penghisap itu akan mati,” gumam Tuan Owen dengan senyuman sinisnya. Pria paruh baya dan elf lain merasa senang, seperti di atas awan.Slap Klang Kubah pelindung mereka pecah. Robot yang menyerang mereka pun kembali meluncurkan cambukan berbentuk bulan sabitnya pada sekumpulan elf kecil di hadapannya. Para elf terbang menghindari cambukan-cambukan bulan sabit tersebut dengan mudahnya.Slap SlappFelix membuka paruhnya, setelah melihat kesempatan untuk menyerang balik robot sebesar sepuluh meter itu. Burung gagah tersebut menyerang robot tersebut dengan bola api raksasa, dibantu oleh beberapa elf di belakangnya
Felix mengeluarkan suara nyaringnya, terbang di langit melewati robot-robot berzirah biru tersebut diikuti dengan beberapa elf di belakangnya. Aredel, dan para elf elemen es lainnya tersenyum senang, ketika melihat burung gagah itu membawa pasukan bantuan. Felix membuka paruhnya lebah, kemudian mengeluarkan api bersarnya, melelehkan beberapa panah es yang runcing tersebut. Para elf berelemen api tersebut menyusul mengeluarkan api dan petirnya menyerang para robot raksasa tersebut. Robot berzirah biru dengan motif gelombang air, dengan sigap mengeluarkan badai salju. Badai tersebut sangat besar dan dingin, meskipun tidak se ganas badai di Gunung Rinjanist, tetapi tetap menghambat gerakan para elf. Tumbuhan-tumbuhan hijau yang berada di dalam hutan tersebut berubah menjadi putih akibat terkena badai salju. Aredel dan Rayzeul lincah berlari kesana kemari menghindari badai tersebut, seraya mencoba membekukan tubuh besar robot tersebut. Para elf yang lain membantu Aredel
Perempuan bersurai putih itu terlihat kesal. Dia menyunggingkan senyuma sinisnya, mengeluarkan lingkaran sihir di tombak milik Aredel. Aredel terkejut, ketika melihat lingkaran hitam itu menyelimuti tombak esnya.Splah Tombak tersebut menghilang, secara cepat.“Aku penasaran dengan apa yang kau lihat tentang diriku anak kecil. Ternyata kau menarik, bisa melihat masa laluku hum,” ujarnya dengan senyuman sinis.ClingSebuah lingkaran sihir tiba-tiba saja muncul di langit. Lingaran sihir tersebut mengeluarkan tombak es aredel tadi. Benda lancip itu pun tanpa aba-aba langsung menghantam beberapa elf di bawahnya. Aredel membelakkan matanya tak percaya ketika melihat tombak es miliknya berpindah begitu saja.“Dia bisa memindahkan senjataku menggunakan sihir ruang dan waktunya,” batin Aredel.“Kenapa diam? Aku memintamu untuk menceritakannya, jadi cepatlah bercerita!” teriak Morie sambil
“Hahahaha.”Suara tawa dari perompak itu kian menggema disertai dengan suara bom dari meriam yang terus menyala. Para perompak itu megeluarkan sebuah tali besar, seraya berjalam mendekati Morie yang sedang terbaring lemah di atas lantai kapal kayu.“Jangan sentuh dia!” ujar pria bersurai kuning itu sambil merentangkan kedua tangannya, berupaya untuk menghalangi para perompak untuk tidak mendekati Morie.“Wah … berani juga kau,” ledek salah satu perompak.Morie mendengus sebal. “Dasar bodoh.”Perempuan bersurai hitam itu pun dengan cepat membuat lingkaran sihir hitam di tempat dia berbaring dan tempat pria bersurai kuning itu berdiri. Para perompak terkejut, mereka dengan sigap menjauh dari lingkaran sihir tersebut. Lingkaran sihir hitam itu bersinar terang, kemudian menelan Morie dan pria bersurai kuning tadi.Cling “Mereka menghilang?” tanya salah satu perom
Pria berpakaian seperti bajak laut itu mengeraskan rahangnya, dengan tatapan berapi-api dia kembali bangkit dari jatuhnya bersiap untuk menyerang perempuan yang telah menendangnya tadi. “Jangan bertindak bodoh, kau tidak akan menang melawanku.”Perempuan bersurai putih keemasan itu santai, melangkahkan kakinya maju dengan kesiur angin kencang yang menyelimuti tubuhnya.”Kau sudah lihat, kan? Menyerahlah sebelum aku mempermalukanmu lebih dalam lagi.”Pria berpakaian bajak laut itu berdecih pelan, mengedarkan pandangannya ke arah kedai melihat sepasang mata penasaran yang sedang memeperhatikan mereka berdua. “Dasar perempuan sialan!”Pria tersebut berteriak keras, kemudian berlari cepat menuju kapal kecil yang berada di pinggiran laut tersebut.Morie tersenyum miring, kemudian menghampiri perempuan cantik tersebut. Diikuti dengan Zayn di belekangnya. “Kau hebat sekali bisa mengusir pria bajak laut itu.”
Perempuan bersurai hitam itu sempoyongan, akibat suara merdu tersebut yang kian masuk ke dalam telinganya. Kabut di sekitarnya semakin menebal, membuat penglihatan semakin kabur dan tak jelas.“Agh! Pusing,” teriaknya dengan kedua tangan yang terus menutup telinga.“Aku senang sekali, bisa bertemu dengan elf kegelapan di sini,” ujar seorang dengan suara khas wanita.Suara itu merdu dan sangat lembut. Kabut yang menutupi kapal mereka kian menghilang, diiringi dengan langkah kaki seorang perempuan cantik dengan rambut panjang hitam dan baju bikini. “Kenapa elf kecil sepertimu kemari? Apakah kau tersesat?”Morie berdecih pelan seraya memijit lembut pelipisnya. Dia berusaha konsentrasi, menghilangkan rasa kantuk nan pusing yang mengelilingi kepalanya.“K-kau … siren, kan?” tanya Morie dengan suara seraknya.Perempuan bersurai hitam yang dibilang siren itu tersenyum miring, menaikan satu alis
Suatu gelombang yang sangat besar tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka. Ketiga makhluk yang berada di dalam kapal kecil itu panik, melihat hamparan air laut yang tiba-tiba naik ke atas. “Apa yang terjadi?!” teriak Zayn panik. “Sesuatu yang besar akan muncul! Morie ayo bantu aku untuk menyerang, dan Zayn pegangan yang erat!” seru Tauriel dengan lingkaran sihir berwarna putih yang sudah teracung ke depan. “Menyerang? Apa yang harus kita serang?!” tanya Morie panic. Raarrr Byuurr Cling Enam pasang mata mereka terbelalak, ketika merasakan hempasan gelombang air asin tersebut membasahi seluruh kapal. Mereka bertiga aman tidak terkena hempasan air laut itu karena Morie sigap membuat kubah pelindung. “Terima kasih Morie,” ujar Tauriel, yang diangguki kecil oleh perempuan bersurai hitam tersebut. Raarrr Mata Tauriel menajam. Dia terbang ke atas melihat siluet besar dari dasar laut.
Sejak Aredel kembali, keadaan Aciel dan Rayzeul berubah. Mereka nampak lebih semangat, dan sering tertawa bersama. Kekhawatiran mereka akan keadaan perempuan bersurai putih itu menghilang. Karena dia telah kembali, dan bahkan sudah melakukan banyak hal berempat. Seperti berjalan-jalan, mencari sesuatu yang aneh di hutan, atau mencoba penemuan baru Rayzeul. Pip Pip Pip “Dalam hitungan ketiga … dia akan meledak. Satu dua ….” Dor Semua orang bertepuk tangan. Termasuk Aciel dan Aredel. Mereka layaknya kedua orang tua yang bangga saat melihat Rayzeul dan Irimie sedang mendemontrasikan alat buatan mereka. “Mereka keren!” seru perempuan bersurai putih itu dari kejauhan. “Mereka pasti berhasil! Kalau begitu ayo!” Grep Pria bersurai merah itu menarik tangan Aredel. Dia tertawa, seraya membawa perempuan cantik bersurai pendek itu ke suatu
Satu bulan kemudian.Hari-hari yang dijalani Aciel sangat berat.Bukan hanya tentang Aredel yang belum kembali, tapi juga tentang pekerjaannya yang bertambah. Akibat adanya perang kemarin, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.Misalnya mengembangkan senjata baru, mini jet untuk perang, dan menjinakan robot-robot perang kemarin agar bisa digunakan kembali.Tentu saja dia tidak sendiri melakukan hal itu. Bersama dengan timnya yang lain, dan Irimie serta Rayzeul yang membuat amunisi-amunisi seperti bom.Dar “Dasar ahli kimia menyebalkan! Sudah aku bilang jangan coba-coba dulu dengan senjata itu!”Aciel berteriak marah. Lantaran pistol gel merahnya meledak begitu saja ketika Irimie dan Rayzeul menambahkan sesuatu.“Kita kan sedang ingin mencoba! Siapa tahu berhasil bukan?” tanya Irimie kesal.“Lihat … apakah itu berhasil? Kau membuatnya menjadi potongan be
“Aredel! Hei bangun! Kau tidak bisa meninggalkanku!”Suara teriakan pria bersurai merah itu menggema di medan pertempuran.Dia putus asa. Terus menerus meneriaki nama Aredel. Meskipun si empunya hanya bisa diam bergeming. Tanpa menyahut sekalipun.“Kau bilang akan hidup selamanya … tapi kenapa hanya dengan tertusuk pisau saja kau sekarat begini huh?!”Aciel tidak terima. Dia terus menggenggam tangan Aredel yang kini tengah diobati oleh Rayzeul.“Aciel … kau harus menerimanya. Itu bukanlah pisau biasa, pisau it---“ ucapan Ratu Tauriel terputus.“Aku tidak peduli! Seharusnya dia bisa hidup selamanya! Aku mau di---“BughRayzeul meninju pipi Aciel kencang. Pria bersurai merah itu diam, tak bisa berkata-kata. “Dasar sialan! Bisakah kau diam?! Bukan hanya kau yang bersedih di sini! Apakah kau tidak membayangkan bagaimana sedihnya Ibu Aredel?!”
“Aredel … kenapa aku merasa telingaku gatal ya?” tanya Aciel tiba-tiba.“Di sebelah mana?”“Kiri … apakah mungkin?”Aredel tertawa. Dia menidurkan tubuhnya di atas rumput hijau sambil menatap jutaan bintang di langit. “Ada yang membicarakan hal buruk tentangmu.”“Siapa yang berani membicarakanku?!” Aciel kesal. Dia melipat tangannya di dada sambil menatap datar Aredel.“Mungkin Irimie dan Rayzeul sedang membicarakanmu sekarang.” Perempuan bersurai putih itu menarik tangan Aciel lembut. Agar dia berbaring di sebelahnya.“Bagaimana bisa? Ugh aku tidak suka melihat adikku berdekatan dengan Rayzeul!” ujar Aciel kesal sambil merebahkan dirinya di samping Aredel.“Kenapa? Kau cemburu?”“Tidak. Aku hanya takut kalau Irimie akan menyukainya. Bagaimana kalau nanti Rayzeul mengkhianati adikku?” Wajah Aciel nampak kesa
Serpihan bintang langit malam menghiasi latar belakang kedua insan yang tengah bercengkrama, membuat makan malam di pinggir air terjun ini menjadi romantis.Perempuan bersurai putih itu kesusahan. Ini pertama kali untuknya memasakkan sebuah hidangan.Bahkan jika diingat terakhir kali, dia lupa kapan pernah masak.“Aku tidak bisa masak Aciel,” ujar Aredel pasrah sambil terus membersihkan sisik ikan.“Aku tahu. Kalau begitu kau harus belajar masak dengan Irimie.” Aredel menghela napasnya kasar. Mendengar pria bersurai merah itu menjawab sesuatu yang tidak mungkin, terdengar sangat menyebalkan di telinganya.“Dia tidak ada di sini. Bisakah kita langsung meminta saja makanan jadi? Daripada aku harus susah-susah membuatkanmu makanan,” keluh Aredel kesal dengan bibirnya yang mengerucut gemas.“Lihat betapa menggemaskannya dia,” batin pria bersurai merah itu senang.Aciel tertawa lalu menghampi
ZrasshHujan turun di seluruh Kerajaan Cartenzeul. Seperti tanda berkah dan kesedihan karena perang balas dendam ini telah berakhir. Mereka semua yang berada di medan perang satu persatu kembali, ke rumah mereka masing-masing.“Kau akan pulang ke kerajaan elf?” tanya Irimie sok akrab dengan Rayzeul.Pria bersurai putih itu mengangkat bahunya cuek. “Entahlah. Aku juga tidak tahu harus ke mana sekarang. Aku ingin kembali ke rumahku di Hutan Lhokove tapi rasanya malas.”“Bagaimana kalau kau tinggal di sini? Aku dengar kau mempunyai kemampuan kimia yang hebat? Kau bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dengan kemampuan itu di kerajaan kami.”Seseorang dari belakang berbicara.Perempuan anggun bersurai kuning keemasan tersenyum ramah. Menatap pria bersurai putih itu lembut.“Tuan Putri ingin merekrutku?” tanya Rayzeul tanpa basa-basi.Putri yang kerap disapa Aurora itu mengangg
Sesaat setelah Aredel mengucapkan kata-kata itu. Mulut Tauriel terbuka.Dia ikut bernyanyi, bersama para peri dengan bahasa kuno yang tidak Aredel mengerti.Cahaya terang mulai kembali keluar dari lingkaran sihir di bawah mereka.SplashDan sesaat setelah cahaya itu redup, Aredel pingsan. Dia terbaring lemas di sebelah kekasihnya, Aciel.Kedua tangan Ratu nampak sibuk. Tangannya bergerak, menyentuh dada Aredel dan Aciel.Cahaya berwarna biru muda keluar dari dada Aredel.Suara nyayian Tauriel dan para peri terdengar semakin ramai. Cahaya tersebut terbang, melayang halus di udara.Para peri yang menari itu nampak bahagia sambil menyentuh cahaya berbentuk bulat itu. Mereka membawa cahaya itu hingga mendarat tepat di dada Aciel.“Bagus … empat kali lagi,” batin Tauriel.Mereka melakukan hal tersebut berulang kali, hingga akhirnya sampai di ketiga kalinya.Para peri berhenti menyanyi
“Apa itu benar?” tanya Aredel dengan manik hijau yang bergetar. Perempuan bersurai hitam nan anggun dan berwajah tegas itu menghampiri Aciel. Dia berjongkok dan meletakkan tangannya di kening pria bersurai merah itu. Sudut bibirnya naik lalu melirik ke arah Aredel dan Tauriel. “Kalian harus cepat. Waktunya tidak lama lagi,” ujar Nyram dengan wajah datar. Bola mata Aredel membesar. Dia memegang erat kedua tangan Tauriel, sambil berjongkok di depannya. “Aku tidak apa-apa. Tolong berikan saja nyawaku pada Aciel. Aku tidak bisa membiarkannya mati begitu saja.” Tauriel menatap penuh ragu elf yang sudah dia anggap seperti anaknya itu. Dia menggeleng pelan sambil menatap dalam manik hijau Aredel. “Setelah aku pikir-pikir ulang … sepertinya tidak. Apakah kau memikirkan bagaimana nasib ibumu nanti saat mendengarmu koma?” lirih Tauriel. Manik hijau Aredel membulat. “Koma? Jadi kau tidak mati?” tanya Aredel lagi. “Tidak. Tapi kau sulit un
Perempuan bersurai putih itu melesat cepat. Dia sudah bertekad untuk membebaskan Morie dari kurungan yang dibuat Ratu Tauriel.“Aku harus menyelamatkan Aciel! Harusnya aku yang terkena tombak es itu bukannya kau!” teriak Aredel dalam hati.Tubuh mungilnya meliuk-liuk handal. Dengan tekad sekeras baja, dan rasa penyesalan sebesar matahari … Aredel berjanji akan menyelamatkan Aciel.“Aku tidak bisa membiarkan Aciel mati karena kelalaianku,” batin perempuan bersurai putih itu.PyuhHembusan angin tornado tak membuat langkah perempuan cantik itu gentar. Dia mengeluarkan sihir yang baru dia pelajari dari Ratu Tauriel. Yaitu membuat tubuh menjadi tembus apapun. Sehingga tidak ada serangan yang bisa mengenai tubuhnya.Perempuan itu menghembuskan napasnya perlahan. Aliran energi sihirnya yang terasa sejuk mulai menyebar dari atas kepala hingga ke ujung kaki.PyuhDia berhasil.Tor