Pagi ini, sengaja aku belanja di tukang sayur keliling. Kebetulan hanya sayur dan bumbu saja yang belum ada.
"Eh, Mak Esah. Udah lama, gak kelihatan belanja di sini? tanya Bu Leli, tetangga depan rumahku.
" Iya, Bu, cuma beli sayur aja," jawabku basa-basi.
Sebenarnya aku malas menanggapi omongan Bu Leli. Soalnya, dia terkenal akan gosipnya. Aku berusaha menghindar dengan orang yang satu ini. Bisa merusak iman dan ibadah kalau bergaul lama-lama dengan Bu Leli. Apalagi, aku ini sudah berumur.
"Eh, Mak Esah, mau nanya nih, kemarin lusa, saya ada dengar suara berantem di rumah Mak Esah. Siapa yang berantem, Mak?" tanya Bu Leli sambil berbisik.
Kan, benar langsung kepo aja, nih orang. Gak liat situasi, pokoknya, pengen tau urusan orang. Terus nanti digosipin ke sana ke mari.
"Bu Leli, salah denger kali, gak ada yang bertengkar, kok," jawabku lagi sambil memilih-milih sayur.
"Gak mungkin, Mak. Lah, wong, bu Romlah sebelah rumah Mak, denger juga, kok!" Bu Leli bicara sambil bibirnya dimiring-miringkan ke kanan dan ke kiri.
Si Romlah, setali tiga uang dengan Bu Leli. Kelompok tukang gosip dan ghibah. Kenapa, mereka ini gak tobat-tobat.
"Gak, Bu Leli. Mungkin suara tivi kali." Aku masih berusaha mengelak.
Ah, Mak Esah, gak asyik. Jujur aja napa?" Bibir Bu Leli manyun. "Tapi, bay de wey bas wey, Dini kemarin ikut belanja di sini lho, Mak! Ih, menantu Mak itu, selain pinter dan cantik, ramah lagi. Beruntung, Imron dapetin Dini jadi istri. Karena, kan kalau dilihat, Imron mah sebenarnya kurang serasi sama Dini." Bu Leli tersenyum mengejek.
Belum tahu, dia. Kalau penampilan dan fisiknya tak seindah perilakunya.
"Dini, belanja di sini?," tanyaku heran.
" Iya, Dini belanja, dan dia juga ngomong sesuatu, Mak!" ucap Bu Leli.
"Sesuatu? Tentang apa?" tanyaku penasaran.
"Nah, Mak Esah, kepo juga, kan? Bu Leli tersenyum, sambil menyenggol- nyenggol lenganku.
Aku hanya tersenyum dan masih sibuk memilih-milih sayur.
"Dini bilang, kalau dia gak akur sama Wita. Anak Mak, si Wita itu kasar, barbar, gak cocok sama Bagas, yang lembut dan penyayang. Kasihan, Bagas harus menikah dan menghabiskan hidup bersama Wita. Seharusnya, Bagas bisa dapat yang lebih baik lagi, Dini ngomong gitu, Mak."
Hah, aku terkejut mendengar penuturan Bu Leli. Sampai hati, Dini menjelekkan Wita, saudara iparnya sendiri. Benci boleh, tapi gak patut rasanya menjatuhkan ipar di depan orang lain. Kupingku terasa panas mendengar ucapan Bu Leli.
"Mak, pasti gak percaya, dengan omongan saya ini. Banyak saksinya, Mak. Ada Romlah, bu rt sama si Kang Ujang juga dengar, ya, Kang?" tanya Bu Leli pada tukang sayur.
Kang Ujang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengangkat kedua tangannya tanda tak mau ikut campur.
"Ih, Kang Ujang, mah, sama dengan Mak Esah, gak asyik," ucap Bu Leli kesal.
Aku terdiam. Mungkinkah Dini berkata seperti itu. Tapi, bisa jadi karena selama ini, Dini dan Wita memang tidak pernah akur.
"Kalau, Mak gak percaya sama saya, Mak, bisa tanyakan kepada yang ada di sini, waktu itu. Atau tanya langsung sama Dini. Tapi, Mak, ini saya minta maaf dulu, ya! Saya perhatikan, waktu itu, setiap Dini menyebut nama Bagas, wajahnya berubah, mmm … seperti bersinar-sinar gitu," tutur Bu Leli.
Untuk kedua kalinya aku terkejut. Tidak bisa dibiarkan. Kusudahi acara belanjaku dan berpamitan pada Bu Leli. Aku harus bertanya pada Dini apa maksud ucapannya.
Sesampainya aku di rumah, kutarok belanjaanku ke dapur. Ku temui Dini yang sedang menonton tivi.
"Din, kemarin kamu belanja?" tanyaku sembari duduk di sebelahnya.
" Iya, emang kenapa, Mak?" Dini balik bertanya.
"Apa benar, kamu bilang pada Bu Leli dan yang lain kalau Wita itu kasar?" tanyaku pelan.
Dini tersenyum tipis. Dapat kutangkap, hatinya seperti bahagia mendengar berita ini.
" Udah nyampek ke Mak, ya, gosip tentang Wita?" Dini bertanya lagi.
"Jadi … jadi beneran, kamu ngomong gitu ke tetangga?! Dan yang tentang Bagas, itu juga bener kamu yang ngomong?" tanyaku dengan nada agak tinggi.
"Bener, ada yang salah?" tanya Dini tanpa perasaan bersalah.
"Salah! Sangat salah! Seharusnya, kamu tidak pantas ngomong seperti itu! Wita itu keluargamu juga, adik suamimu! Apalagi, yang kamu bilang ke orang-orang itu, gak bener semuanya!" ucapku emosi.
"Halah, Mak! Keluarga yang mana? Toh, Dini gak pernah tuh, menganggap Wita sebagai keluarga.
Astaghfirullah, jahat sekali lidah menantuku ini. Entah apa maunya, padahal, Wita selama ini gak pernah berkata kasar. Baru sekali itu, Wita main tangan padanya, dia tega mengatakan yang tidak- tidak pada tetangga.
"Sekarang, mak mau tau, kenapa, kamu menjelek-jelekkan Wita? Sampe ngomong, Bagas perlu dikasihani, karena beristrikan Wita, maksud kamu, apa?!"
Dini tersenyum sinis memandangku. Ya, tuhan beginikah sebenarnya sifat asli menantuku. Selain pintar berpura-pura, hatinya juga sangat jahat. Lidahnya tak pernah mengeluarkan kata-kata yang baik.
"Mak, gak perlu tau, alasan Dini melakukan itu semua. Yang perlu, Mak pahami, Dini cuma mau merebut, apa yang seharusnya, sudah menjadi hak Dini."
"Hak apa? Hak apa yang sudah Wita ambil dari kamu. Selama ini, Wita gak pernah ngomong kasar sama kamu."
"Sudahlah, Mak! Jangan terus membela anak perempuan Mak itu! Mak gak tau, hatinya sebenarnya jahat. Dia tega merebut, apa yang pernah jadi milik Dini! Dan dia sudah menampar Dini. Gak akan pernah Dini maafkan dan lupakan semua perbuatan Wita!" Dini berucap dengan nada tinggi dan napas memburu.
Aku terdiam merenungkan ucapan Dini. Bingung sekaligus kesal dengan semua perlakuan dan sikapnya. Apa maksudnya? Dan apa yang pernah Wita rebut dari Dini. Setauku, sebelumnya, mereka tidak saling mengenal. Kupijit-pijit pelipisku, mencerna kata tiap kata dari mulut Dini.
"Minggir, Mak! Dini mau ke kamar. Tensi jadi naik, kalau ngomongin Wita! Dini berlalu di depanku tanpa melirikku.
Aku hanya mengurut dada meredam kekesalan. Banyak sekali teka-teki pada diri menantuku itu. Dan terlihat sekali kebenciannya pada Wita. Kepalaku rasanya mau pecah memikirkannya. Kupikir masa tuaku akan tenang dan tidak ada masalah. Tapi ternyata, bertubi-tubi masalah datang, semenjak Dini berada di rumah ini.
Harus bagaimana aku menghadapi masalah ini. Ngomong sama Wita, aku kuatir, dia bertambah emosi. Dengan Imron, ah, sangat tidak mungkin.
Pekerjaannya saja sudah menyita waktu. Dan tidak mungkin aku harus menambah beban pikirannya. Sama Bagas. Apa harus aku ceritakan pada Bagas. Rasa- rasanya, dia orang yang tepat, untuk tempatku berbagi. Bagas juga orangnya lebih bisa menahan emosi dan sabar.
Mungkin ini cara terbaik. Aku tidak bisa berpikir dan bertindak sendiri. Harus ada orang yang menolongku dan itu Bagas.
Sore itu, aku baru pulang dari pengajian. Kulihat motor Bagas ada di depan rumah. Aku pikir, mungkin, Wita dan cucu-cucuku ikut berkunjung dan sudah menungguku di dalam. Namun, baru saja kaki ini melangkah, lamat-lamat terdengar suara Dini. Kuhentikan langkahku dan berdiri di ambang teras."Gas, kenapa, kamu gak seperti dulu lagi? Sikapmu juga sangat berubah," Dini bertanya."Maaf, Din. Kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu, harusnya bisa menjaga kepercayaan suamimu. Mas Imron sangat menyayangimu. Seharusnya kamu bersyukur. Dia lelaki yang baik dan soleh," ucap Bagas.Aku tercenung. Sebenarnya ada hubungan apa Bagas dan Dini. Kenapa, Bagas ngomong seperti itu. Apa mungkin sebelum ini mereka sudah saling mengenal.
Keesokan paginya, aku baru saja selesai menyiapkan sarapan. Sarapan kali ini pun aku buat sesuai seleraku saja, tidak atas permintaan Dini, seperti biasanya. Kalau dia tidak mau, toh dia bisa beli sendiri.Setelah selesai membuat sarapan, aku berniat mencuci pakaian. Sesampai di pintu belakang, kulihat sudah teronggok sekeranjang penuh pakaian Dini. Kugeleng-gelengkan kepalaku.Saatnya memberi pelajaran pada menantu yang lidahnya tajam itu. Biar dia tau, aku selama ini bersabar, bukan karena aku takut, aku berharap dia akan berubah, namun sepertinya, aku salah langkah. Mungkin dengan jalan, bersikap sedikit tegas dan tidak memanjakannya, bisa membuat Dini sadar.Kusingkirkan keranjang pakaiannya dekat sudut pintu. Lalu kulanj
POV Wita Namaku Wita. Aku seorang ibu rumah tangga, dan mempunyai sepasang anak. Suamiku, mas Bagas seorang guru di salah satu sekolah dasar negeri di daerah kami. Selain itu, kami mempunyai toko kelontong kecil-kecilan di depan rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Walaupun seadanya, Alhamdulillah cukup untuk kami sekeluarga. Aku mengenal mas Bagas, lima tahun yang lalu. Kala itu, aku mengajar di salah satu sekolah dasar swasta sebagai tenaga kontrak. Awal aku mengenal mas Bagas, karena kami bertemu disalah satu lomba cerdas cermat dan kami berdua sebagai guru pembimbing. Sejak saat itu, kami menjadi dekat dan memutuskan untuk menikah. Alhamdulillah, tak lama kami menikah, aku hamil. Semenjak aku hamil, mas Bagas memintaku untuk resig
POV Wita 2Selesai membuatkan teh untuk mas Bagas, kutaruh di meja makan. Segera kusiapkan nasi goreng dan telur mata sapi untuk mas Bagas.Tak lama, kulihat Mas Bagas sudah rapi dengan seragamnya. Dia menuju ke meja makan. Mas Bagas menarik kursi dan duduk."Wah … nasi goreng, makasih ya, Bun," ucap Mas Bagas.Dia memang selalu seperti itu. Berusaha menyenangkan hatiku apalagi kalau aku sedang galau."Sama-sama, Yah," jawabku sembari duduk di hadapan Mas Bagas.Kuperhatikan wajah Mas Bagas. Aku ber
Lidah Menantu 10Pov Wita 3Aku mengernyitkan dahi. Penasaran apa yang akan dikatakan Bu Leli."Itu, Wit. Tentang kakak iparmu itu, Dini!"Hah, Dini, tentang Dini. Jadi tambah bingung. Masalah apa lagi ini."Gini lho, Wit! Tempo hari, Dini ada belanja tuh ke tukang sayur keliling. Terus dia alih-alih ngomongin kamu," jelas Bu Leli."Ngomongin gimana, Bu?" tanyaku penasaran."Iya, ngomongin kamu. Katanya dia sama kamu tuh gak akur, terus kamu itu kasar. Terus katanya lagi Bag
Kembali Pov Mak EsahPagi ini aku berencana akan menelepon Bagas untuk meminta bantuannya. Sengaja kutelepon pagi-pagi karena yang aku tau pagi kayak gini, Wita pasti sibuk di dapur.Kuambil gawai di atas nakas samping ranjang. Kutekan nomor Bagas. Tak lama panggilan tersambung."Assalamu'alaikum, Mak." Panggilan teleponku dijawab Bagas."Wa'alaikumsalam, Gas.""Ada apa, Mak?" tanya Bagas.Mungkin dia keheranan aku menelepon langsung ke nomornya, karena biasanya aku melalui Wita."Gas, Wita ada di dekat kamu atau di dapur?" aku balik bertanya."Dekat Bagas, Mak," jawab Bagas lagi."Coba kamu keluar dulu menghindar dari Wita, mak gak mau Wita tau masalah ini!" ujarku."Nggeh, Mak,"
"Mak, sebelumnya Bagas minta maaf. Memang seharusnya sedari awal, Bagas jujur terutama pada Wita," ucap Bagas."Jadi, Le kamu sama Dini?" tanyaku memastikan."Sebenarnya Dini mantan pacar Bagas, Mak," jelas Bagas.Aku menghela napas. Berarti dugaanku tidak salah."Dini yang selingkuh dan mutusin Bagas karena waktu itu kan Bagas belum jadi PNS, masih honorer." lanjut Bagas."Jadi, Wita benar-benar gak tau masalah ini? Pantas saja Dini begitu memusuhi dan membenci Wita," ucapku lagi."Wita gak tau apa-apa Mak. Lagipula semenjak putus sam
Lidah Menantu 13by Inda_melSetelah itu aku menuju taksi dan bermaksud duduk di sebelah Bagas. Tapi, ternyata Dini sudah berada disebelah Bagas. Bagas terlihat memejamkan mata dan sepertinya tidak menyadari kalau yang berada disampingnya adalah Dini. Apalah maunya anak ini. Tidak henti-hentinya membuat masalah. Duduk berdekatan dengan yang bukan muhrimnya dan dia tidak merasa malu di depanku berbuat seperti itu. "Din, kamu duduk di depan!" perintahku. Dini bersikap cuek seolah-olah dia tidak mendengar ucapanku. "Din!" panggilku. "Apaan sih, Mak! Udahlah, Mak aja yang duduk di depan, gak ada masalah, kan?" jawabnya santai. "Mak bilang kamu duduk depan, ngerti gak sih!" ucapku dengan nada yang sedikit tinggi. Terlihat Bagas membuka matanya dan terkejut saat melihat Dini duduk di sampingnya.
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk