Sore itu, aku baru pulang dari pengajian. Kulihat motor Bagas ada di depan rumah. Aku pikir, mungkin, Wita dan cucu-cucuku ikut berkunjung dan sudah menungguku di dalam. Namun, baru saja kaki ini melangkah, lamat-lamat terdengar suara Dini. Kuhentikan langkahku dan berdiri di ambang teras.
"Gas, kenapa, kamu gak seperti dulu lagi? Sikapmu juga sangat berubah," Dini bertanya.
"Maaf, Din. Kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu, harusnya bisa menjaga kepercayaan suamimu. Mas Imron sangat menyayangimu. Seharusnya kamu bersyukur. Dia lelaki yang baik dan soleh," ucap Bagas.
Aku tercenung. Sebenarnya ada hubungan apa Bagas dan Dini. Kenapa, Bagas ngomong seperti itu. Apa mungkin sebelum ini mereka sudah saling mengenal.
"Aku tau, mas Imron baik, bahkan sangat baik, malah. Tapi, hubungan ini, sebenarnya aku tidak menginginkannya," ujar Dini.
"Sudahlah, Din. Coba, kamu belajar menerima, dengan apa yang sudah kamu dapatkan dan jalani dengan ikhlas," ucap Bagas.
"Gak, aku tetap gak terima! Istrimu itu yang menyebabkan semua kekacauan ini. Kalau dia tidak muncul dihidup ki—"
"Cukup, Din! Jangan, kau bawa-bawa Wita dalam permasalahan ini. Justru aku sangat bersyukur, bisa bertemu Wita. Dan dia tidak melakukan kesalahan apapun! Berhenti menyalahkan orang lain, hanya untuk menutupi kesalahanmu!"
"Gak usah membela perempuan itu di depanku, Gas. Aku tak sudi. Aku akan berusaha, mendapatkan yang seharusnya jadi milikku, apa pun caranya!" ucap Dini emosi.
Aku bingung, sebenarnya mereka membicarakan tentang apa. Aku mencoba untuk berpura-pura tidak mendengar. Kembali kulangkahkan kaki dan mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum," ucapku
Wa'alaikumsalam," jawab Bagas.
"Eh, Mak baru pulang, ya?" tanya Bagas salah tingkah.
"Iya, baru saja pulang dari pengajian. Kamu, sendirian, Gas, Wita mana? tanyaku.
"Wita di rumah, Mak. Bagas cuma mampir sebentar, sekalian mau ke bengkel di ujung gang. Ada titipan Wita untuk Mak." Bagas menyodorkan bungkusan kepadaku.
Kuterima bungkusan dari Bagas. Kubuka, ternyata kue lapis kesukaanku. Aku tersenyum. Ah, Wita. Anak itu selalu begitu. Kulirik Dini yang berdiri tak jauh dariku. Wajahnya masih terlihat kesal dan emosi.
"Mak, Bagas langsung, ya! Keburu bengkelnya tutup," pamit Bagas.
"Eh, iya, Gas. Bilang makasih ke Wita ya," ucapku.
"Iya, Mak!" ucap Bagas.
Bagas mencium tanganku kemudian berlalu menuju motornya. Kuantar Bagas ke depan. Tak lama bunyi motor menjauh. Setelah kepergian Bagas, kupanggil Dini. Ada banyak hal yang harus kutanyakan pada Dini.
"Din, mak mau bicara sebentar," pintaku.
"Mak, mau ngomong apa?! Kalau mau ngomong masalah Wita, Dini gak mau!
"Duduk dulu, Din!" pintaku lagi.
Dini menghempaskan badannya dengan malas.
"Mau ngomong apa lagi sih, Mak?" tanya Dini ketus.
"Mak, mau nanya. Dua hari yang lalu, mak ada nemuin bungkus obat. Pas mak cek, ternyata itu pil kb. Kenapa, kok bisa ada pil kb di tong sampah? Apa itu punya kamu, Din?"
"Eh, itu, bu— bukan, Mak!" jawab Dini terbata-bata.
"Lantas, punya siapa? Di rumah ini, cuma ada kamu sama Mak. Makanya, Mak nanya sama kamu."
"Mak ini, udah dibilangin, bukan punya Dini! Kok, masih nanya juga! Ternyata, Mak, orangnya ngeselin juga, ya, sama kayak Wita!" ucap Dini ketus.
Selalu begitu. Setiap aku bertanya, atau meminta, jawabannya selalu kasar. Ada benarnya juga, apa yang Wita bilang, mungkin Dini gak pernah diajari sopan santun. Dan herannya, kenapa selalu Wita dibawa-bawa. Dini seperti dendam pada Wita.
"Ya, sudahlah kalau begitu, mak mau ke kamar dulu." ujarku. Aku berlalu meninggalkan Dini yang masih terlihat kesal.
Aku duduk di sisi ranjang. Kulirik bungkusan pil kb yang kutemukan tempo hari. Aku berpikir keras. Sepertinya tadi, Dini menjawab dengan terbata-bata. Aku rasa dia berbohong. Untuk menutupi kebohongannya, dia malahan nyolot padaku. Namun, apa alasannya, sampe Dini meminum pil kb. Bukankah dia berharap agar bisa cepat hamil. Dan itu juga, selama ini dijadikannya alasan, agar tidak membantuku dalam pekerjaan rumah tangga. Menantuku itu lama-lama penuh dengan misteri.
Ah, iya, lupa. Kenapa, tadi aku tak bilang pada Bagas, kalau ada yang mau aku omongin.
Kuambil gawai dan menghubungi nomor Bagas. Tapi, nomornya tidak aktif. Kucoba sekali lagi, menghubungi Bagas, masih sama, tidak aktif juga. Ya, sudahlah nanti saja kuhubungi lagi.
Kuputuskan untuk memasak saja, kebetulan lauk siang tadi sudah habis. Daripada tambah pusing kepalaku. Gegas kusiapkan segala bahan masakan. Rencana, aku akan memasak yang praktis saja, sambel ayam.
"Mak, masak apa?" Tiba-tiba Dini menghampiriku.
"Masak sambel ayam," ucapku singkat.
"Dini gak mau sambel ayam! Maunya gulai ayam."
Aku hentikan kegiatanku menyiapkan bahan masakan. Kupandangi wanita yang belum genap setahun menjadi menantuku ini.
"Kamu, kalau mau masak ayam gulai, masak sendiri! Mulai hari ini, kamu urus urusanmu sendiri! Mak gak mau lagi diperintah-perintah seperti babu!" ucapku ketus.
Kulihat Dini membelalakkan matanya. Mungkin tak percaya, aku akan membalasnya seperti itu. Enak saja dia, sudah menjelek-jelekkan anakku, terus masih seenak perutnya memerintah aku. Gak sudi lagi aku.
"Waw, surprise! Mertuaku sekarang sudah menunjukkan powernya!" ucap Dini sembari bertepuk tangan.
Kulanjutkan pekerjaanku. Tak kugubris keberadaan Dini lagi.
"Mak, emang Mak gak kuatir. Bagaimana seandainya Dini cerita ke Mas Imron, kalau Mak yang sangat disayang dan dihormatinya itu telah menyiksa istrinya yang cantik ini," ucap Dini dengan senyum mengejek.
"Mak, dak mempan lagi dengan ancaman itu. Mak percaya pada Imron. Dia dak akan langsung terpengaruh dengan omonganmu yang ngelantur itu," ucapku lagi.
"Huh! Percaya diri sekali, Mak mertuaku ini! Makan masih numpang dengan anak saja, masih bersikap angkuh!"
Aku tersenyum. Sepertinya Dini sangat kesal dengan ucapanku. Biar saja dia tahu. Hewan saja tidak akan sudi kalau anaknya diusik. Begitu pun aku. Gak akan kubiarkan siapa pun, menyakiti anakku, apapun alasannya. Apalagi emang kenyataannya Wita tidak bersalah.
"Oke, Mak! Kalau, Mak memang akan bersikap seperti ini seterusnya, jangan salahkan, jika Dini berbuat hal yang bahkan gak pernah Mak pikirkan."
"Mak, dak takut! Sudah cukup, Mak selama ini mengalah dan bersabar, dengan sikap dan tindakanmu. Berharap kamu akan sadar. Namun kayaknya sia-sia. Bukannya sadar, malah kamu terus-terusan berbuat masalah. Mak dak ngerti dendam apa kamu sama Wita. Yang pasti, Mak akan tetap membela Wita. Mak akan mati-matian berusaha walaupun yang mak hadapi menantu mak sendiri."
Wajah Dini memerah menahan marah. Kedua tangannya mengepal.
"Mak sama anak, sama saja. Nyusahin orang dan bikin orang kesel terus.
Dini berbalik badan dan meninggalkanku. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Terbayang langsung wajah Imron. Aku sangat merasa bersalah padanya. Maafin, makmu Nak. Mak sudah cukup bersabar menghadapi istrimu. Mak harus bersikap tegas pada istrimu. Semoga kau mengerti.
Keesokan paginya, aku baru saja selesai menyiapkan sarapan. Sarapan kali ini pun aku buat sesuai seleraku saja, tidak atas permintaan Dini, seperti biasanya. Kalau dia tidak mau, toh dia bisa beli sendiri.Setelah selesai membuat sarapan, aku berniat mencuci pakaian. Sesampai di pintu belakang, kulihat sudah teronggok sekeranjang penuh pakaian Dini. Kugeleng-gelengkan kepalaku.Saatnya memberi pelajaran pada menantu yang lidahnya tajam itu. Biar dia tau, aku selama ini bersabar, bukan karena aku takut, aku berharap dia akan berubah, namun sepertinya, aku salah langkah. Mungkin dengan jalan, bersikap sedikit tegas dan tidak memanjakannya, bisa membuat Dini sadar.Kusingkirkan keranjang pakaiannya dekat sudut pintu. Lalu kulanj
POV Wita Namaku Wita. Aku seorang ibu rumah tangga, dan mempunyai sepasang anak. Suamiku, mas Bagas seorang guru di salah satu sekolah dasar negeri di daerah kami. Selain itu, kami mempunyai toko kelontong kecil-kecilan di depan rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Walaupun seadanya, Alhamdulillah cukup untuk kami sekeluarga. Aku mengenal mas Bagas, lima tahun yang lalu. Kala itu, aku mengajar di salah satu sekolah dasar swasta sebagai tenaga kontrak. Awal aku mengenal mas Bagas, karena kami bertemu disalah satu lomba cerdas cermat dan kami berdua sebagai guru pembimbing. Sejak saat itu, kami menjadi dekat dan memutuskan untuk menikah. Alhamdulillah, tak lama kami menikah, aku hamil. Semenjak aku hamil, mas Bagas memintaku untuk resig
POV Wita 2Selesai membuatkan teh untuk mas Bagas, kutaruh di meja makan. Segera kusiapkan nasi goreng dan telur mata sapi untuk mas Bagas.Tak lama, kulihat Mas Bagas sudah rapi dengan seragamnya. Dia menuju ke meja makan. Mas Bagas menarik kursi dan duduk."Wah … nasi goreng, makasih ya, Bun," ucap Mas Bagas.Dia memang selalu seperti itu. Berusaha menyenangkan hatiku apalagi kalau aku sedang galau."Sama-sama, Yah," jawabku sembari duduk di hadapan Mas Bagas.Kuperhatikan wajah Mas Bagas. Aku ber
Lidah Menantu 10Pov Wita 3Aku mengernyitkan dahi. Penasaran apa yang akan dikatakan Bu Leli."Itu, Wit. Tentang kakak iparmu itu, Dini!"Hah, Dini, tentang Dini. Jadi tambah bingung. Masalah apa lagi ini."Gini lho, Wit! Tempo hari, Dini ada belanja tuh ke tukang sayur keliling. Terus dia alih-alih ngomongin kamu," jelas Bu Leli."Ngomongin gimana, Bu?" tanyaku penasaran."Iya, ngomongin kamu. Katanya dia sama kamu tuh gak akur, terus kamu itu kasar. Terus katanya lagi Bag
Kembali Pov Mak EsahPagi ini aku berencana akan menelepon Bagas untuk meminta bantuannya. Sengaja kutelepon pagi-pagi karena yang aku tau pagi kayak gini, Wita pasti sibuk di dapur.Kuambil gawai di atas nakas samping ranjang. Kutekan nomor Bagas. Tak lama panggilan tersambung."Assalamu'alaikum, Mak." Panggilan teleponku dijawab Bagas."Wa'alaikumsalam, Gas.""Ada apa, Mak?" tanya Bagas.Mungkin dia keheranan aku menelepon langsung ke nomornya, karena biasanya aku melalui Wita."Gas, Wita ada di dekat kamu atau di dapur?" aku balik bertanya."Dekat Bagas, Mak," jawab Bagas lagi."Coba kamu keluar dulu menghindar dari Wita, mak gak mau Wita tau masalah ini!" ujarku."Nggeh, Mak,"
"Mak, sebelumnya Bagas minta maaf. Memang seharusnya sedari awal, Bagas jujur terutama pada Wita," ucap Bagas."Jadi, Le kamu sama Dini?" tanyaku memastikan."Sebenarnya Dini mantan pacar Bagas, Mak," jelas Bagas.Aku menghela napas. Berarti dugaanku tidak salah."Dini yang selingkuh dan mutusin Bagas karena waktu itu kan Bagas belum jadi PNS, masih honorer." lanjut Bagas."Jadi, Wita benar-benar gak tau masalah ini? Pantas saja Dini begitu memusuhi dan membenci Wita," ucapku lagi."Wita gak tau apa-apa Mak. Lagipula semenjak putus sam
Lidah Menantu 13by Inda_melSetelah itu aku menuju taksi dan bermaksud duduk di sebelah Bagas. Tapi, ternyata Dini sudah berada disebelah Bagas. Bagas terlihat memejamkan mata dan sepertinya tidak menyadari kalau yang berada disampingnya adalah Dini. Apalah maunya anak ini. Tidak henti-hentinya membuat masalah. Duduk berdekatan dengan yang bukan muhrimnya dan dia tidak merasa malu di depanku berbuat seperti itu. "Din, kamu duduk di depan!" perintahku. Dini bersikap cuek seolah-olah dia tidak mendengar ucapanku. "Din!" panggilku. "Apaan sih, Mak! Udahlah, Mak aja yang duduk di depan, gak ada masalah, kan?" jawabnya santai. "Mak bilang kamu duduk depan, ngerti gak sih!" ucapku dengan nada yang sedikit tinggi. Terlihat Bagas membuka matanya dan terkejut saat melihat Dini duduk di sampingnya.
Lidah Menantu 14By Inda_mel"Lain kali Ayah harus hati-hati! Bikin Bunda kuatir, tau gak?!" sungut Wita. "Iya, istriku. Maafkan suamimu ya, karena dah buat kuatir," ujar Bagas sambil menangkupkan kedua tangannya. Wita dan aku tersenyum mendengar perkataan Bagas. Kulirik Dini yang berdiri tak jauh dari kami. Bibirnya manyun dan menatap dengan raut wajah tak suka. Aku rasa mungkin Dini cemburu. Entahlah, aku juga tidak tau jalan pikiran Dini. Dan aku juga tidak mau tahu. Yang pasti sepulang Imron minggu ini, masalah Dini harus ada penyelesaian. "Kita pulang sekarang aja, Yah? tanya Wita pada Bagas. "Iya, Bun. Ntar kesorean kasihan anak-anak terlalu lama ditinggal," jawab Bagas. Bagas bangkit dari pembaringan. Masih kelihatan dia meringis menahan sakit.""Ayok, Yah Bunda bantuin berdiri!" ucap Wita sambil memegang pinggang Bagas. "Pelan-pelan, Le!" ujarku
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk