Kembali Pov Mak Esah
Pagi ini aku berencana akan menelepon Bagas untuk meminta bantuannya. Sengaja kutelepon pagi-pagi karena yang aku tau pagi kayak gini, Wita pasti sibuk di dapur.
Kuambil gawai di atas nakas samping ranjang. Kutekan nomor Bagas. Tak lama panggilan tersambung.
"Assalamu'alaikum, Mak." Panggilan teleponku dijawab Bagas.
"Wa'alaikumsalam, Gas."
"Ada apa, Mak?" tanya Bagas.
Mungkin dia keheranan aku menelepon langsung ke nomornya, karena biasanya aku melalui Wita.
"Gas, Wita ada di dekat kamu atau di dapur?" aku balik bertanya.
"Dekat Bagas, Mak," jawab Bagas lagi.
"Coba kamu keluar dulu menghindar dari Wita, mak gak mau Wita tau masalah ini!" ujarku.
"Nggeh, Mak,"
"Mak, sebelumnya Bagas minta maaf. Memang seharusnya sedari awal, Bagas jujur terutama pada Wita," ucap Bagas."Jadi, Le kamu sama Dini?" tanyaku memastikan."Sebenarnya Dini mantan pacar Bagas, Mak," jelas Bagas.Aku menghela napas. Berarti dugaanku tidak salah."Dini yang selingkuh dan mutusin Bagas karena waktu itu kan Bagas belum jadi PNS, masih honorer." lanjut Bagas."Jadi, Wita benar-benar gak tau masalah ini? Pantas saja Dini begitu memusuhi dan membenci Wita," ucapku lagi."Wita gak tau apa-apa Mak. Lagipula semenjak putus sam
Lidah Menantu 13by Inda_melSetelah itu aku menuju taksi dan bermaksud duduk di sebelah Bagas. Tapi, ternyata Dini sudah berada disebelah Bagas. Bagas terlihat memejamkan mata dan sepertinya tidak menyadari kalau yang berada disampingnya adalah Dini. Apalah maunya anak ini. Tidak henti-hentinya membuat masalah. Duduk berdekatan dengan yang bukan muhrimnya dan dia tidak merasa malu di depanku berbuat seperti itu. "Din, kamu duduk di depan!" perintahku. Dini bersikap cuek seolah-olah dia tidak mendengar ucapanku. "Din!" panggilku. "Apaan sih, Mak! Udahlah, Mak aja yang duduk di depan, gak ada masalah, kan?" jawabnya santai. "Mak bilang kamu duduk depan, ngerti gak sih!" ucapku dengan nada yang sedikit tinggi. Terlihat Bagas membuka matanya dan terkejut saat melihat Dini duduk di sampingnya.
Lidah Menantu 14By Inda_mel"Lain kali Ayah harus hati-hati! Bikin Bunda kuatir, tau gak?!" sungut Wita. "Iya, istriku. Maafkan suamimu ya, karena dah buat kuatir," ujar Bagas sambil menangkupkan kedua tangannya. Wita dan aku tersenyum mendengar perkataan Bagas. Kulirik Dini yang berdiri tak jauh dari kami. Bibirnya manyun dan menatap dengan raut wajah tak suka. Aku rasa mungkin Dini cemburu. Entahlah, aku juga tidak tau jalan pikiran Dini. Dan aku juga tidak mau tahu. Yang pasti sepulang Imron minggu ini, masalah Dini harus ada penyelesaian. "Kita pulang sekarang aja, Yah? tanya Wita pada Bagas. "Iya, Bun. Ntar kesorean kasihan anak-anak terlalu lama ditinggal," jawab Bagas. Bagas bangkit dari pembaringan. Masih kelihatan dia meringis menahan sakit.""Ayok, Yah Bunda bantuin berdiri!" ucap Wita sambil memegang pinggang Bagas. "Pelan-pelan, Le!" ujarku
Lidah Menantu 15By Inda_melKami mengangguk dan tak lama sopir itu pergi meninggalkan rumah. Bagas dipapah Wita ke dalam rumah diikuti oleh anak-anak mereka. Saat aku hendak masuk ke dalam, Narsih menggamit lenganku. Menahan agar jangan masuk ke dalam. "Sah, bentar jangan masuk dulu, ada yang aku mau tanyain?" Dahiku mengernyit. Kenapa sepertinya Narsih begitu serius. Sebenarnya hal apa yang ingin ditanyakan Narsih. Aku ditariknya agak menjauh dari teras. Kelihatannya benar-benar penting. Karena yang aku tau, Narsih tidak pernah mencampuri urusan orang lain. Kalau dia sudah bersikap begini pastilah memang ada hal penting yang ingin ditanyakan. "Ada apa? Jenengan mau nanya apa?" tanyaku pada Narsih. Usia kami berdua memang sebaya hanya beda bulan saja. Makanya bila kami bertemu, kami memanggil dengan nama saja. "Aku bukan bermaksud untuk ikut campur,
Lidah Menantu 16By Inda_mel"Pantesan ya, Mak! Dari awal Dini pindah ke rumah Mak, dia selalu berkata ketus sama Wita. Kelihatan tidak menyukai Wita!" ucap Wita lirih. "Iya, Wit! Emang kelihatan sekali Dini tidak menyukai kamu, Nduk! Mungkin dia masih mengharapkan Bagas kembali padanya," ucapku lagi. Raut wajah Wita masih kelihatan emosi. Nampak dia sedang berpikir keras karena kulihat dahinya berkerut-kerut. "Mak, jangan-jangan Dini itu …""Jangan-jangan apa, Nduk?" tanyaku penasaran. "Ini sih kemungkinan, Mak. Wita rasa Dini nikah sama mas Imron cuma bagian dari rencana Dini untuk mendekati mas Bagas lagi," ujar Wita. "Bisa jadi, Nduk! Karena tadi itu, Dini sempat ngomong kalau dia cuma inginkan Bagas bukan masmu," timpalku. Wita menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah-olah tak percaya kalau Dini sangggup ngomong gitu. "Mak, apa ndak sebaik
"Iya, Mak! Imron tidak bisa cerai dengan Dini karena Imron sudah ada perjanjian dengan Dini!" ujar Imron lagi. "Apa? Perjanjian?" tanyaku bertambah heran. Apalagi ini? Kenapa Imron tidak pernah bercerita tentang perjanjian ini. "Itu … itu, Mak, Imron membuat perjanjian itu karena ….""Karena apa, Le?! tanyaku cemas. "Gini, Mak. Sebenarnya sebelum nikah dengan Dini, Imron pernah melakukan kesalahan. Imron menabrak Dini yang waktu itu hendak menyeberang. Dini tiba-tiba saja muncul di depan, saat Imron sedang menyetir. Dan kecelakaan itu menyebabkan Dini tidak bisa punya anak. Keluarganya meminta Imron bertanggung jawab jika tidak Imron akan dipenjara, Mak," jelas Imron panjang lebar. Ya Allah, cobaan apalagi ini. Kenapa bertubi-tubi masalah yang kau berikan kepada keluarga kami. "Jadi, karena itu kamu tiba-tiba tiba saja membawa Dini dan bilang ingin menika
Aku dan Wita terkejut melihat sosok itu. Ya Allah, ternyata … dia sepertinya tidak asing. Siapa ya orang ini. Kenapa aku jadi pelupa begini. "Heh! Kamu siapa?! Ikut campur urusan orang saja! Datang-datang langsung buat onar!" sungut Bu Leli. "Maaf, Bu, justru Ibu sendiri yang sekarang berbuat onar di rumah orang. Saya bisa tuntut Ibu dengan laporan perbuatan tidak menyenangkan," ucap orang itu. Kulihat Bu Leli nyalinya agak menciut. Dia seperti ingin ambil langkah seribu. "Lebih baik Ibu pergi deh daripada dilaporin, mau nginep di penjara?" goda Wita."Huh, awas kamu ya, Wit!" ancam Bu Leli kemudian berbalik badan kembali pulang ke rumahnya. Sepeninggal Bu Leli, aku dan Wita spontan kembali melihat sosok yang tiba-tiba tiba datang. Dia mengulurkan tangan hendak mencium tanganku. Kusambut tangannya sembari mengingat siapa orang yang berada di hadapanku ini. "Mak, apa kabar? Mak seh
Esok harinya, aku berencana berpamitan pada Wita dan Bagas untuk pulang ke rumah. Setelah semalam, aku menginap di rumah Wita. Selesai sarapan dan bermain bersama Zidan dan Zakia, aku sampaikan rencanaku itu. "Wit, Mak mau pamit balik dulu ke rumah ya!" ucapku. Wita menghentikan kegiatannya mencuci piring dan menoleh kepadaku. "Mak mau pulang? Sekarang?" tanya Wita. "Iya, rencananya sekitar jam sembilan nantilah, masih sejam lagi, kan?" jawabku sambil melirik ke jam dinding. Wita terlihat menghembuskan napas dengan kasar. Kemudian mencuci tangan dan mengeringkannya dengan lap yang tergantung di wastafel, kemudian menarik kursi dan duduk berhadapan denganku. "Mak, apa ndak sebaiknya Mak di sini dulu? Sambil menunggu Mas Imron datang," usul Wita. "Mak, nunggu masmu di rumah saja. Biar sekalian masak buat masmu," ucapku mencari alasan. Memang aku sengaja ingin pulang ke rumah secepatnya, karena aku kuatir Dini membuat ulah lagi dan semakin m
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk