Aku dan Abil pun terkejut dengan ucapan Wita. Kami berdua berpandangan dan spontan melirik ke arah Wita. Yang dilirik malah cuek, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dini mendekat ke arah Abil. Menelisik penampilan Abil dari atas sampe ke bawah. Abil kelihatan risih dipandangi seperti itu. "Kenapa kamu mandangi Kak Abil kayak gitu?! Kalau dibandingin kamu cantikan Kak Abil kali! Dan yang terpenting, dia sopan sama orang tua," ucap Wita dengan senyum menyindir. "Mmm … ada bibit pelakor kayaknya ni! Kamu gak malu ya, mau jadi istri pria yang sudah berkeluarga?! Apa kamu udah gak laku lagi sampe nyosor laki orang!" sahut Dini sinis. Nabila hanya tersenyum mendengar pertanyaan Dini. "Kamu, gak usah senyum-senyum! Muak aku ngelihat wajah sok sucimu itu! Dasar pelakor!" sungut Dini. "Apa Mbak gak ngerasa, bahwa ucapan mbak itu cocoknya ditujukan untuk mbak sendiri?" sindir Abil. "Apa ma
Imron masih memandang Abil tanpa berkedip. Aku rasa dia pasti tidak menyangka perubahan drastis pada diri Abil. Gadis remaja yang super tomboi dan sering berkelahi, menjelma menjadi wanita anggun dan cerdas. Tidak dipungkiri bukan hanya Imron, aku saja sampai terkagum menatap perubahan Nabila. "Ehem … ehem, Mas, aku masih di sini! Jangan menatap wanita itu selagi aku, istrimu ada di sampingmu!" protes Dini. Imron langsung menunduk dan mengalihkan pandangannya dan kulihat bibirnya mengucapkan Astagfirullah tanpa suara. "Gimana, Mas?" tanya Wita. "Gimana apanya?" Imron balik bertanya dengan kebingungan. "Lah piye iki! Gimana, maukan nikah sama Kak Abil! Kak Abil udah setuju lho jadi istri Mas!" ucap Wita. Spontan Abil mencubit pinggang Wita dan membuat Wita berteriak. "Apaan, Kak? Kok nyubit Wita, sih?" protes Wita sambil mengusap pinggangnya bekas cubitan Nabila tadi.
. Aku bergegas membuka pintu dan menghambur keluar. Wita melangkah di belakangku. Di ruang tengah kami tidak menemukan siapa pun. Aku dan Wita berpandangan. Pandangan kami beralih ke arah kamar Imron. "Aku gak akan pindah dari sini! Aku gak mau!" Terdengar suara Dini berteriak. Lalu pintu kamar terbuka. Muncul sosok Imron memandang kami berdua dengan tatapan heran. "Ada apa, Mak?" tanya Imron. "Lah, mak yang seharusnya nanya kamu, Le! Tadi mak dan Wita mendengar suara kaca pecah,""Oh … biasa lagi kumat. Hari ini agak parah kumatnya," jawab Imron santai. Dia berlalu kemudian menuju sofa dan merebahkan tubuhnya di sofa. "Siapa yang kumat, Mas? Dini?" tanya Wita kebingungan. "Iya siapa lagi! Dia kan sudah biasa gitu. Kalau mas tidak memenuhi keinginannya ada saja yang pecah!"jawab Imron. Aku mengernyitkan dahi. Dini sudah biasa seperti itu? Ta
"Lupa apa, Dek?" tanya Imron keheranan. "Iya, lupa apa toh, Nduk? Aku ikut bertanya. "Itu lho Mas,kita tadi gak ada nanya kak Abil tinggal di mana terus gak juga nanya nomor hape kak Abil, gimana mau menghubungi kak Abil?" tanya Wita kebingungan. Iya juga ya. Kenapa aku gak berpikir sampe ke situ. Gara-gara berdebat dengan Dini malah hal penting terlupakan. "Iya, Mas kok gak kepikiran tadi," sahut Imron. "Lah jadi piye iki?" tanya Wita lagi. "Mmm … Mak, bukannya pak Yudha, pak Rt kita itu pamannya Abil kan, Mak?" tanya Imron memastikan. "Eh iya, bener! Pak Yudha pamannya Abil, adik ayahnya itu," jawabku sumringah. Aku baru teringat ada keluarga Abil yang masih tinggal di sini. Ah, kenapa aku jadi sering lupa begini ya. "Mak semangat dan ceria sekali. Sudah lama gak liat Mak seperti ini!" goda Wita. "Kamu ini, Nduk! godai mak terus dari tadi
"Mau apa!!!" tanyaku lagi. Kulihat wajah Dini agak terlihat pucat. Seperti menahan sakit. "Mak, Dini mau … mau minta tolong Mak," jawab Dini terbata-bata sembari memegang perutnya. "Minta tolong apa?""Ini Mak, perut Dini sakit Mak bisa minta tolong bikinkan teh hangat Mak," pinta Dini memelas. Aku menghela napas. Kasian juga melihatnya kesakitan seperti itu. Ya sudahlah kubuatkan saja. Mungkin Dini benar-benar kesakitan. "Ya sudah! Mak buatkan dulu," ucapku akhirnya. "Makasih Mak," sahut Dini. Kemudian dia berlalu kembali ke kamarnya. Hah, gak salah dengar aku. Dini ngucapin makasih. Ini pasti ada udang dibalik batu. Ada tujuan dan maksud tertentu. Kita lihat saja nanti. Semoga Allah membuka semua kebenaran nantinya. Segera kubuat teh permintaan Dini. Saat aku akan mengantar teh ke kamar Dini, Imron keluar dari kamar mandi. Imron terlihat bingung melihat
"Siang Ibu … Bapak. Saya ingin menjelaskan hasil pemeriksaan Ibu Dini. Menurut hasil USG tadi ternyata Ibu Dini mengalami kram perut," jelas dokter itu. Aku dan Imron saling berpandangan. Kram perut. Aku bingung jadinya. "Penyebabnya apa, Dok?" tanya Imron penasaran. "Kram perut yang Ibu Dini alami disebabkan karena kehamilan.""Hamil?!!!" ucapku berbarengan dengan Imron. Kami kembali berpandangan dengan penuh tanda tanya. "Iya, hamil. Biasanya di awal kehamilan sebagian wanita ada yang mengalami kram perut. Gejala ini mungkin disebabkan oleh rahim yang membesar atau peningkatan kadar progesteron atau bisa juga disebabkan implantasi embrio," jelas dokter itu lagi. Tiba-tiba tirai yang tadinya ditutup tersibak. Terlihat Dini memaksakan untuk duduk. Aku ,Imron dan dokter tersebut spontan mengalihkan pandangan ke arah Dini."Gak mungkin saya hamil, Dok! Saya selalu minum pil KB set
"Akan apa?! Kamu itu cumanya bisa ngancem aja! Aku dah gak mempan lagi sama ancamanmu itu! Mau kamu ngomong apa, aku gak peduli lagi! Sudah cukup aku bersabar selama ini menghadapi sifatmu yang kekanak-kanakan. Ditambah lagi kamu bohong soal rahim kamu itu!!!" cecar Imron. Dini terlihat menunduk. Mungkin dia tidak menyangka, Imron bisa berubah menjadi tegas seperti itu. Alhamdulillah, Imron bisa mengambil sikap. "Tapi, aku gak mau, Mas! Aku mau pulang ke rumah kamu!" isak Dini. "Aku gak akan kemakan dengan air mata buayamu itu! Sudah, kalau memang kamu gak sakit lagi ayo kita cepat pulang! Biar kamu juga ada waktu mengemas baju dan perlengkapan kamu!" ucap Imron. "Mak, Imron pergi urus bayaran klinik dulu ya nanti Mak tunggu depan aja."Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban. Imron berlalu keluar dari ruang IGD. Tiba-tiba, Dini turun dari ranjang mendekatiku kemudian bersimpuh. "Mak, tolong
Dini menoleh ke sumber suara. Tiba-tiba Dini berlari mendekati orang yang menegurnya yang tak lain Bu Leli. "Ibu, tolong bantu Dini, Bu! Hu … hu hu." Kudengar Dini mengadu pada Bu Leli dengan tangis palsunya. Dini memeluk Bu Leli seolah-olah meminta pertolongan. Aku hanya melihat dari teras perilaku Dini. "Eh, Mak Esah! Nih diapain lagi mantunya! Kok ya Situ jadi orang tega banget nyakitin mantunya terus!" Ibu Leli berjalan mendekati teras tempat aku berdiri sambil merangkul Dini. Imron sudah masuk ke rumah dari tadi. Mungkin bersiap-siap solat jumat. Aku hanya diam mendengar tuduhan Bu Leli. "Situ apa gak bisa sama mantu jangan kejam! Ini diapain anak orang sampe minta tolong ketetangganya!""Bu Leli tanya sendiri tuh sama orangnya!" Kuarahkan telunjukku ke arah Dini. "Kenapa, Din? Kamu gak usah takut, ada Ibu di sini yang belain kamu!" ujar Bu Leli seraya menatapku tajam. "Bu Le
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk